munculnya puisi sampai periode modern saat ini. Disetiap periode tersebut terdapat perbedaan ciri, ciri
tersebut biasanya dilatarbelakangi dengan kondisi sosial, politik, budaya pada saat itu. begitu cara
penyair menuliskan puisinya terdapat perbedaan yang bertingkat dari periode-periode. Periode
angkatan 20-an atau sering dikena;l dengan angkatan balai pustaka merupakan jikal bakal muncul dan
berkembangnya era puisi di Indonesia, peyair peyair dalam periode ini memiliki model yang khas dalam
menulis puisi, mereka mengadopsi kriteria syair dan pantun dalm pembuatan puisi. Sehingga dapat
dikatakan bahwa puisiu angkatan balai pustaka memilkik corak yang hampir sama dengan syair dan
pantun.
B.Rumusan Masalah
1.Apa saja ciri-ciri puisi angkatan balai pustaka?
2.Mencari contoh-contoh puisi angktan balai pustaka.!
3.Mencari tahu penyair-penyair yang ada pada angkatan 20-an.!
C.Tujuan
1.Mengetahui dan memahami angkatan balai pustaka.
2.Mengetahui contoh-contoh puisi angktan balai pustaka.
3.Mengetahui penyair-penyair yang ada pada angkatan 20-an.!
PEMBAHASAN
Puisi angkatan 20-an memiliki corak puisi lama yang berkaitan syaor dan pantun. Hanya saja sampiran
ditiadakan untuk menjadikan puisinya lebih Intens. Corak puisi seperti syair tidak digunbakan sebagai
cerita namun digunakan sebagai mengungkap makna yang lebih padat.
Sajak
Di mana harga karangan sajak,
Bukan dalam maksud isinya;
Dalam bentuk, kata nan rancak,
Dicari timbang dengan pilihannya.
Dengan jelas dapat kita lihat, bahwa puisi di atas memiliki corak yang sama dengan Pantun yaitu
memiliki sajak a-b,a-b, seperti dalam kutipan beikut:
Pada kutipan di atas, Sanusi Pane menggunakan akhiran k-a,k-a pada sajaknya. Hal ini sangat serupa
dengan ciri pantun yang memiliki akhiran a-b,a-b. Jadi dapat kita pahami bahwa puisi angkatan 20-an
memiliki karakteristik yang sama dengan Pantun.Selain memiliki corak yang sama dengan pantun, Puisi
angkatan 20-an juga memiliki corak yang sama dengan Syair. Seperti dalam Puisi Sanusi Pane yang
berjudul ‘’Wijaya Kusuma’’ beikut ini:
Wijaya Kusuma
Di balik gunung jauh disana,
Terletak taman dewata raya,
Tempat tumbuh kusuma wijaya,
Bunga yang indah penawar fana.
Hanya sedikit yang tahu jalan,
Dari negeri sampai kesana,
Lebih sedikit lagi orangnya,
Yang dapat mencapai gerbang taman.
Turut suara seruling Krisna
Berbunyi di dalam hutan,
Memanggil engkau sih trisna
Engkau dipanggil senantiasa,
Mengikuti sidang orang pungutan,
Engkau menurut orang biasa.
Pada Puisi di atas, terdapat beberapa baris puisi yang memiliki kesamaan dengan Syair. Syair memiliki
sajak a-a,a-a, dan semua sajak memiliki keterkaitan arti, begitu pula dengan Puisi angkatan 20-an yang
memiliki kesamaan dengan syair. Seperti kutipan berikut:
Dari kutipan puisi di atas, dapat kita lihat bahwa setiap sajak merupakan sebuah cerita yang saling
berkaitan satu sama lain. Sajak awal hingga sajak akhir merupakan penggambaran makna yang
berurutan, dan tidak ada sajak yang berfungsi sebagai sampiran di dalamnya.
Baris pertama dan kedua pada kutipan di atas bukan merupakan Sampiran belaka, tetapi memiliki isi
yang berkaitan dengan baris selanjutnya.
PENDAHULUAN
Dalam makalah ini, sastra Indonesia berarti sastra berbahasa Indonesia yang sudah
berkembang sejak awal abad ke-20 sebagaimana tampak pada penerbitan pers (surat kabar,
majalah) baik dari usaha kalangan swasta maupun pemerintahan Kolonial Belanda. Dan
selanjutnya berkembang marak bersama sastra daerah (Melayu, Sunda, Jawa, Bali, dan lain-
lain).
Dimana tradisi Indonesia pada tahun 1920-an erat hubungannya dengan penerbit Balai Pustaka
yang merupakan hasil kebijakan politik pemerintahan kolonial Belanda di bidang pengajaran.
Dan perkembangan sastra itu pastilah tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor politik,
ekonomi, dan sosial.
Sedangkan novel atau roman Indonesia sudah dimulai pada tahun 1920-an dengan terbitnya
Azab dan Sengsara karangan Merari Siregar. Inilah karya pertama yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka. Dan masalah-masalah yang bermunculan dalam setiap masa itu tertumpu pada
peristiwa-peristiwa historis yang sudah dikenal atau populer di kalangan publik sastra
Indonesia, seperti Pergerakan Nasional, Balai Pustaka, Pujangga Baru dan sebagainya.
Dalam sejarahnya awal mula Balai Pustaka terbentuk ketika pemerintahan Kolonial Belanda
mendirikan komisi untuk bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat, pada 14 September 1908
melalui keputusan Gubernemen dengan nama awal yaitu Commissie voor de inlandsche school
en volkslectuur diketuai oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Dan Balai Pustaka baru menghasilkan bacaan
pada tahun 1910 yang dipimpin oleh Dr. D.A. Rinkes sampai tahun 1916 dengan tugasnya
adalah memajukam moral dan budaya serta meningkatkan apresiasi sastra. Kemudian pada
tahun 1917 pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan Kantoor voor de volkslectuur atau
Kantor Bacaan Rakyat yaitu Balai Pustaka.
Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa – bahasa seperti bahasa
Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu tinggi dan bahasa Madura. Serta mencegah pengaruh
buruk dari bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki
misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Tujuan inti didirikannya Komisi Bacaan Rakyat adalah meredam dan mengalihkan gejolak
perjuangan bangsa Indonesia lewat media tulisan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
Belanda. Tujuan lainnya adalah menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa hal ini
bertujuan agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang di negaranya
sendiri.
Adapun usaha – usaha positif yang dilakukan yaitu mengadakan perpustakaan di tiap – tiap
sekolah, mengadakan peminjaman buku – buku dengan tarif murah secara teratur, dan
memberikan bantuan kepada usaha – usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan.
Jadi, beberapa faktor berikut inilah yang menjadi penyebab perjalanan kesusastraan Indonesia
berkembang mengikuti idiologi kolonial :
1. Pendirian Balai Pustaka telah menafikan keberadaan karya – karya terbitan swasta yang secara
sepihak dituding sebagai “bacaan liar”. Karya – karya sastra yang dipublikasikan lewat surat
kabar dan majalah, dianggap tidak ada.
2. Pemberlakuan sensor melalui Nota Rinkes menyebabkan buku – buku terbitan Balai Pustaka,
khasnya novel – novel Indonesia sebelum perang, cenderung menampilkan tokoh – tokoh yang
terkesan karikaturs.
3. Penetapan bahasa melayu mendorong munculnya sastrawan – sastrawan yang menguasai
bahasa Melayu. Dan mereka datang dari Sumatera. Maka, sastrawan yang berasal dari Sumatera
itulah yang kemudian mendominasi peta kesusastraan Indonesia.
Sastra Balai Pustaka adalah sastra rakyat yang berpijak pada kultur Indonesia abad 20. Hal ini
dengan jelas nampak dari roman – roman Balai Pustaka dalam bahasa jawa, sunda, dan melayu
tinggi.
Sastra Balai Pustaka sebenarnya adalah “sastra daerah”, bukan saja dalam arti menggunakan
bahasa daerah tetapi juga menggarap tema – tema kedaerahan, bisa dilihat dari karya – karya
yang lahir pada saat itu.
Saat itu buku – buku yang diterbitkan Balai Pustaka dapat dibagi tiga; pertama, buku untuk anak
– anak. Kedua, buku hiburan dan penambahan pengetahuan dalam bahasa daerah. Ketiga, buku
hiburan dan penambahan pengetahuan dalam bahasa melayu dan kemudian menjadi bahasa
Indonesia.
Pada masa pendudukan jepang (1942-1945) Balai Pustaka masih tetap eksis namun
menggunakan nama lain yaitu, Gunseikanbo Kokumin Tosyokyoku yang artinya Biro Pustaka
Rakyat Pemerintah Militer Jepang. [1]
Zaman keemasan Balai Pustaka sekitar tahun 1948 hingga pertengahan tahun 50-an ketika
dipimpin oleh K.St. Pamoentjak dan mendominasi penerbitan buku – buku sastra dan sejumlah
pengarang Indonesia bermunculan seperti H.B.Jassin, Idrus, M.Taslim, dan lain – lain.[2]
Isi roman Azab dan Sengsara sudah tidak lagi menceritakan hal – hal yang fantastis dan
istanasentris, melainkan lukisan tentang hal – hal yang benar terjadi dalam masyarakat yang
memusatkan pada golongan orang tua tentang akibat kawin paksa dan masalah adat. Adapun
isi ringkasa roman Azab dan Sengsara.
Cinta yang tak sampai antara kedua anak muda Aminuddin dan Mariamin, karena rintangan
orang tua. Mereka saling mencintai sejak dibangku sekolah, tetapi akhirnya masing – masing
harus kawin dengan orang yang bukan pilihannya sendiri, yang akibatnya tak ada kebahagiaan
dalam hidupnya. Pihak gadis terpaksa kawin dengan orang yang tidak dicintai, yang berakhir
dengan perceraian dan Mariamin mati muda karena merana.
Genre roman mencapai puncak yang sesungguhnya ketika diterbitkan buku Siti Nurbaya karya
Marah Rusli pada tahun 1922. Pengarang tidak hanya mempersoalkan masalah yang nyata saja,
tetapi mengemukakan manusia- manusia yang hidup. Pada roman Siti Nurbaya tidak hanya
melukiskan percintaan saja, juga mempersoalkan poligami, membangga- banggakaan
bangsawan, adat yang tidak sesuai dengan zamannya, persamaan hak wanita dan pria dalam
menentukan jodohnya, anggapan bahwa asal ada uang segala maksud tertentu tercapai.
Persoalan – persoalan itulah yang ada dalam masyarakat.
Balai Pustaka membahas tentang istiadat dan percintaan. Pada tingkat unsur intrinsik ; gaya
bahasa yang digunakan karya – karya Balai Pustaka menggunakan perumpamaan klise,
menggunakan banyak pepatah – pepatah dalam bahasanya, serta gaya percakapan sehari –
hari. Alur yang dipakai adalah alur datar atau alur lurus dan akhir cerita tertutup. Tokoh –
tokohnya selalu orang – orang kedaerahan atau bersifat kedaerahan, baik dalam bahasa
maupun dalam masalah dengan teknik penokohan yang datar. Penyajian tokoh hanya dalam
permukaannya saja tidak ada atau menggunakan masalah kejiwaan tetapi masalah seperti fisik
yang dimunculkan dalam karya – karya Balai Pustaka. Sudut pandang yang digunakan adalah
sudut pandang maha tahu, bersifat Idealisme dan Romantis. Kadang banyak alur yang
menyimpang dan lambat. Amanatnya bersifat didaktis atau nasihat, mendidik pembaca agar
loyal pada pemerintah sebagai pegawai. Bertumpu pada kebudayaan daerah, sehingga karya-
karya Balai Pustaka digemari rakyat pedesaan dan rakyat kota yang Priyayi. Roman – roman
Balai Pustaka penuh sentimentalis, penuh air mata/cengeng, yang dimaksudkan untuk
meninabobokan rakyat agar menjauhkan diri dari pikiran – pikiran sosial dan politik bangsanya.
Adapun perintis puisi baru pada masa angkatan 20 adalah Moh. Yamin. Beliau dipandang
sebagai penyair Indonesia baru yang pertama karena ia mengadakan pembaharuan puisi
Indonesia, pembaharuannya dapat dilihat dari kumpulan puisi Tanah Air pada tahun 1922.
Dari segi isi, puisi ini merupakan ucapan perasaan pribadi seorang manusia yang rindu pada
keagungan yang Maha Kuasa. Dari segi bentuk, jumlah barisnya tidak lagi empat baris, seperti
syair dan pantun dan persajakannya (rima) tidak sama.
Dilihat bentuknya, puisi tersebut seperti pantun, tetapi dilihat hubungan barisnya, seperti syair,
ia meniadakan tradisi sampiran dalam pantun sehingga sajak itu disebut pantun modern, yang
lebih banyak menggunakan sajak aliterasi, asonansi, dan sajak dalam sehingga beliau dipandang
sebagai pelopor penggunaan sajak asonansi dan aliterasi.
Di bawah ini disajikan riwayat hidup para pengarang angkatan Balai Pustaka secara singkat dan
berikut nama-nama pada masa angkatan Balai Pustaka.
1. Merari Siregar
Dilahirkan 13 Juni 1896 di Siporok, Tanapuli Selatan (Sumatra Utara), meninggal 23 April 1940 di
Kelenget, Madura. Berpendidikan Handels-correspondent Bond A di Jakarta (1923), pernah
bekerja sebagai guru di Medan, rumah sakit umum Jakarta, dan Opium & Zouttreige Kalianget.
Novelnya Azab dan Sengsara (1920) lazim dianggap sebagai awal kesusastraan Indonesia.
2. Marah Rusli
3. Abdul Muis
Dilahirkan pada tahun 1889 di Solok, Sumatra Barat, meningggal 17 Juli 1959 di Bandung.
Pendidikan terakhir tamat sekolah kedokteran (STOVIA), di Jakarta. Menjadi klerek
didepartemen buderwijs en eredienst dan jadi wartawan di Bandung selain itu ia juga aktif
dalam syarikat islam dan pernah menjadi anggota dewan rakyat. Namanya terkenal karena
novel Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933), Surapati (1950), dan Robert Anak Surapati
(1953)
Dilahirkan 3 November 1989 di Sungai Batang (Sumatra Utara), meningggal 28 November 1975
di Jakarta. Pendidikannya sekolah Melayu 11 (1908), dan sekolah Bantu (1911) ia pernah
menjadi guru sekolah Desa di Sungai Batang (1908), guru Bantu di Muarabelita (Palembang),
Dosen Fakultas Sastra UI (1955-1960), dan Redaktur Balai Pustaka hingga pensiun.
Menghasilkan sejumlah novel diantaranya yaitu Apa Dayaku Karena Aku Permpuan (1922),
Salah Pilih (1928), Karena Mertua (1932), dan lain – lain.
5. Muhamad Kasim
Dilahirkan tahun 1886 di Muara Sipongi, Tanapuli Selatan (Sumatra Utara), pendidikannya
sekolah guru sampai tahun 1935, ia bekerja sebagai guru sekolah dasar. Kumpulan cerpennya
Teman Duduk (1936) lazim disebut sebagai awal tradisi kumpulan cerpen sastra Indonesia.
Bukunya yang berjudul Si Samin mendapat hadiah Sayembara Buku Anak – anak Balai Pustaka
tahun 1924, lalu terbit lagi tahun 1928 dengan judul Pemandangan Dalam Dunia Kanak – kanak.
6. Suman H. S.
Dilahirkan tahun 1904 di Bengkalis. Berpindah ke sekolah Melayu di Bengkalis (1912-1918) dan
sekolah normal di Medan dan Langsa (1923), dia pernah menjadi guru Bahasa Indonesia di
HISSIAK Sri Indapura (1923-1930). Kepala Sekolah Bumi Melayu (di Pasir pengkarayaan (1930)
pemilik sekolah dizaman penduduk Jepang, pemilik sekolah merangkap kepala jabatan dinas
Pekanbaru – Kampar. Anggota pemerintahan tingkat satu Riau (1960-1966). Anggota DPRD
propinsi Riau (1966-1968) dan terakhir menjabat ketua umum Yayasan Lembaga Pendidikan
Riau.
Karangannya :
Dilahirkan 14 Agustus 1904 di Talawi, Sumatra Barat, meninggal 8 Januari 1967 di Jakarta
berpendidikan sekolah kedokteran (STOVIA) di Jakarta (1918-1925) dan kemudian
memperdalam pengetahuan di Belanda dan Jerman Barat (1926-1930), dia pernah memjadi
redaktur Panji Pustaka. Perwata Deli dan Mimbar Indonesia di samping itu ia juga pernah
menjadi anggota Dewan Rakyat pada masa pendudukan Jepang, anggota Dewan Perancang
Nasional, anggota MPRS, ketua komisaris badan penerbit Dewan Agung, dan Dewan Komisaris
LKBN antara.
Karangannya:
Dilahirka tahun 1928 di Bukitinggi, meninggal tahun 1942 di Jakarta pernah menjadi guru dan
kemudian menjadi Redaktur Balai Pustaka (1920-1940).
Karangannya:
Karangannya:
Dilahirkan tahun 1896 di Surakam, Solok (Sumatra Utara), meninggal 16 Desember 1969, sejak
tahun 1920 hingga pensiun ia bekerja di Balai Pustaka.
Karangannya:
Karangannya:
Dilahirkan 13 Mai 1903 di Padang dan HKS Bandung ( 1924) dia pernah menjadi guru di
Perguruan Tinggi Islam Adabiah 11 Padang tahun (1928-1947), ia bermukim di Belanda dan 14
tahun diantaranya (1933-1946) menjadi anggota Kamer Majelis Rendah.
Karangannya:
Dilahirkan 1 Juli 1896 di Bonjol, Sumatra Utara, meninggal 4 April 1983 di Jakarta pendidikannya
Sekolah Gubernemen kelas dua Lubuk Sikamping dan Kursus Guru Bantu.
Karangannya:
1. Gubahan (kumpulan sajak, 1930)
2. Puspa Aneka (1931)
Tokoh – tokoh yang pernah memimpin Balai Pustaka tercatat Dr. D.A Rankes, Dr. G.W.J.
Drewes, Dr. K.A. Hidding, sementara sastrawan Indonesia yang pernah bekerja di sana tercatat
adinegoro,S. Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Nur Sutan Iskandar, dan H.B. Jasin.[3]
Karya sastra yang terbit di luar Balai Pustaka dan yang tidak termasuk kriteria Balai Pustaka
biasa kita sebut dengan Bacaan Liar.
Pada abad ke-19, di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (mulai tahun 1862). Awal abad-
20 di Bandung terbit surat kabar yaitu Medan Priyayi yang memuat cerita – cerita bersambung
berbentuk roman. Cerita – cerita itu ditulis dalam bahasa Melayu, tetapi bukan oleh pengarang
– pengarang Melayu atau Sumatra, yang mengisahkan masyarakat pada masa itu. Seperti
roman yang berjudul Hikayat, yang melukiskan kehidupan sehari – hari dan menggunakan
bahasa Melayu. Pemimpin redaksi surat kabar Medan Prijaji sendiri, Raden Mas (Djokonomo)
Tirto Adhisurjo (1875-1916) menulis dua buah cerita roman, masing-masing berjudul Busono
(1910) dan Nyai Permana (1912). Pengarang keturunan bahasa Melayu- Cina. Misalnya G.
Francis yang menulis kisah Nyai Desima (1896). Kisah ini menceritakan nasib seorang wanita
kampung yang dijadikan nyai orang Inggris kemudian tertawan hatinya oleh pengaruh guna-
guna seorang Bang Samiun.[4]
Adapun karya Marco Kartodikromo yang berjudul Student Hijo, yang terbit pertama kali tahun
1918 melalui Harian Sinar Hindia, dan muncul sebagai buku tahun 1919, merupakan salah satu
perintis lahirnya sastra perlawanan: sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang.
[5]
Novel ini berkisah tentang lahirnya para intelektual pribumi dari kalangan borjuis kecil yang
secara berani mengontraskan kehidupan di Nederland, oleh karena itu novel ini dipinggirkan
oleh Balai Pustaka. Tak hanya itu, buku ini menceritakan kisah cinta yang rumit antara para
tokoh – tokohnya seperti Hijo, Biru, Wungu, Walter dan lain – lain.
Adapun Kesastraan Melayu Tionghoa. Mengutip hasil penelitian Salmon Edwin mengatakan,
Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei karangan Gouw Peng Liang adalah dua prosa asli
pertama Kesastraan Melayu Tionghoa yang diterbutkan tahun 1903, dua karya itu lahir 20
tahun lebih awal dibanding karya – karya sastra terbitan Balai Pustaka antara lain terbitan novel
Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar dan Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli.
Isi dari Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei itu sudah bukan lagi tergolong kisah –
kisah hikayat namun sebaliknya lebih mengesankan sabagai novel denan para tokohnya yang riil
an pengarang yang jelas. Gerakan Tionghoa Modern waktu itu, berniat ingin memperbarui adat
– istiadat Tionghoa di Jawa yang mereka nilai sudah kolot.[6]
KESIMPULAN
Dalam Sejarahnya Balai Pustaka terbentuk pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Nama
awal dari Balai Pustaka yaitu Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur. Kemudian
pada tahun 1917 pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan Kantoor voor de volkslectuur atau
Kantor Bacaan Rakyat yaitu Balai Pustaka. Karya pertama yang diterbitkan pada masa angkatan
Balai Pustaka adalah Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar (1920). Tujuan didirikannya Balai
Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa – bahasa daerah. Balai pustaka juga melakukan
berbagai cara untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan yang banyak menyoroti kehidupan
pernyaian (cabul) dan daianggap memiliki misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu
Rendah.
Karya – karya Balai Pustaka membahas tentang istiadat dan percintaan. Tokoh – tokohnya di
angkatan Balai pustaka selalu orang – orang kedaerahan atau bersifat kedaerahan. Sedangkan
karya sastra yang terbit di luar Balai Pustaka dan yang tidak termasuk kriteria Balai Pustaka
biasa kita sebut dengan bacaan liar. Pada abad ke-19 mulai bermunculan bacaan liar yang ada
di Surabaya, yaitu terbit surat kabar Bintang Timoer (mulai tahun 1862). Pada masa Balai
Pustaka, bacaan liar yang popular adalah Nyai Dasima dan Student Hijo. Adapun Kesastraan
Melayu Tionghoa.Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei karangan Gouw Peng Liang,
isinya menceritakan tentang keinginan memperbarui adat – istiadat Tionghoa di Jawa, yang
mereka nilai sudah kolot.
(Semua isi penjelasan di atas, kurang lebih merangkum dan menyalin dari data daftar pustaka di
bawah)
DAFTAR PUSTAKA
6 http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0002/18/dikbud/sast09.htm