Anda di halaman 1dari 7

KRITIK SASTRA PERIODE BALAI PUSTAKA

MAKALAH

Oleh
1. Febby Septa Lingga NIM 06021181621013
2. Winda Oktaria Marini NIM 06021281621020
3. Putri Amalia NIM 06021281621021
4. Yusmaniar NIM 06021281621069

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
A. Teori Kritik Sastra Indonesia Modern pada Periode Kritik Sastrawan
Kritik sastra Indonesia modern selalu mengalami perkembangan.
Perkembangan kritik sastra itu terlihat pada wujud, corak, dan sifatnya. Di awal
perkembangan kritik sastra yang berlangsung pada periode Balai Pustaka sampai
dengan periode Angkatan 45, kritik sastra Indonesia modern ditulis oleh para
sastrawan. Para sastrawan menulis kritik sastra di samping menulis karya sastra
(Pradopo, 2017:87).
Pada pertengahan tahun 1950-an, terdapat perkembangan corak dalam
kritik sastra Indonesia modern. Perkembangan ini dipengaruhi oleh tampilnya
penulis-penulis kritik dari kampus universitas. Corak kritik baru ini disebut
dengan kritik akademik. Kritik akademik terasa mendominasi corak kritik sastra
Indonesia modern walaupun para sastrawan tetap menulis kritik juga (Pradopo,
2017:87).
Pradopo (2017:87) mengatakan bahwa kritik sastra Indonesia modern
merupakan tulisan-tulisan berupa esai-esai yang berdiri sendiri. Esai tersebut
merupakan kritik teoritis atau kritik terapan. Menurut Pradopo (2017:281), kritik
terapan merupakan penerapan teori kritik terhadap karya sastra secara konkret
melalui analisis, interpretasi, dan penilaian atas karya sastra.
Kritik sastra yang berupa esai-esai itu kemudian dikumpulkan oleh
penulisnya dan dibukukan. Penulis yang pertama kali membukukan esai-esai
kritik sastranya adalah Amal Hamzah, yaitu berupa kritik terapan berjudul Buku
dan Penulis pada tahun 1950. Kemudian disusul oleh H. B. Jassin pada tahun
1952 yang membukukan esai-esai kritik sastranya dengan judul Tifa Penyair dan
Daerahnya. Pada tahun yang sama Aoh Karta Hadimadja menerbitkan kumpulan
esai berjudul Beberapa Paham Angkatan ’45 (1952) (Pradopo, 2017:87—88).
Selain berupa esai, ada juga kritik sastra yang berupa studi khusus. Kritik
sastra ini baru ditulis pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an. Pada
tahun 1959, Ajip Rosidi menerbitkan buku studi khusus yang membicarakan
cerpen Indonesia modern secara keseluruhan dan kumpulan cerpen yang dapat
digolongkan sebagai kritik sastra terapan. Kemudian pada tahun 1962, Boen Sri
Oemarjati menerbitkan Roman Atheis Achdiat Kartamihardja. Studi khusus itu
berupa skripsi atau tesis sarjana sastra yang merupakan telaah sebuah buku karya
sastra seorang pengarang (Pradopo, 2017:88).
Kritik sastra Indonesia modern sejak lahirnya tersebar dalam surat kabar
harian dan majalah. Berdasarkan tulisan-tulisan yang berupa esai tentang kritik
sastra dalam surat kabar, majalah, buku-buku kritik sastra, sejarah sastra, makalah
diskusi, simposium, dan buku pelajaran sastra, dapatlah disusun telaah teori dan
terapan kritik sastra Indonesia modern (Pradopo, 2017:90).

B. Teori Kritik Sastra pada Periode Balai Pustaka


Karya sastra tercipta berdasarkan pandangan, pikiran, dan paham tertentu.
Pandangan, pikiran, dan paham itu dapat dikatakan sebagai teori kritik dalam
bidang penciptaan karya sastra. teori kritik semacam itu tetap disebut sebagai teori
kritik yang mengarahkan penciptaan karya sastra meskipun tidak tertulis secara
eksplisit sebagai teori kritik sastra (Pradopo, 2017:91).
Tercantum dalam “Nota over de Volkslectuur” yang dikeluarkan pada
tahun 1911 dan ditandatangani oleh D. A. Rinkes sebagai sekretaris komisi untuk
Bacaan Rakyat dan Sekolah-Sekolah Bumiputera, yang berisikan antara lain
syarat-syarat penerbitan Balai Pustaka, yaitu sebagai berikut.
1. Karangan-karangan yang diterbitkan hendaklah yang dapat menambah
kecerdasan dan memberikan pendidikan budi pekerti
2. Isi karangan tidak mengganggu ketertiban umum dan keamanan negeri,
artinya tidak bertentangan dengan garis politik pemerintah
3. Harus netral agama
Aturan-aturan tersebut mengarahkan wujud dan sifat buku-buku yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka. Aturan-aturan itu dapat disebut sebagai teori kritik
sastra yang tertuju bagi pencapaian yang didapatkan para pembaca. Nota Rinkes
tersebut dapat dipandang sebagai teori kritik sastra karena menjadi pedoman
penulisan karya sastra, sehingga teori kritik sastra tersebut merupakan teori kritik
sastra Indonesia pertama yang dinyatakan secara eksplisit/tertulis. Oleh karena itu,
teori kritik sastra pertama ini merupakan kritik normatif dan pragmatik, yaitu
berdasarkan aturan dan tujuan. Roman-roman tersebut berorientasi pragmatik
yang memajukan dan mendidik rakyat sebagai pembaca untuk berbudi pekerti
yang baik dan taat kepada pemerintahan. Sifat pragmatik itu terlihat dalam bahasa,
gaya pencitraan, nasihat, dan isi pikiran yang dikemukakan dalam roman-roman
Balai Pustaka (Pradopo, 2017:91—92) .
Pada periode Balai Pustaka (1921—1930), hampir tidak ada tulisan yang
berupa kritik sastra atau mirip kritik sastra. Hal ini dikarenakan hadirnya kritik
sastra dipengaruhi oleh kehadiran karya sastra. Pada masa itu, buku karya sastra
masih sangat sedikit. Balai pustaka hanya menerbitkan sekitar lima belas buku
yang ditulis oleh sebelas pengarang. Belum lagi, karya-karya sastra itu belum
begitu disadari sebagai karya sastra, melainkan hanya dirasa sebagai bahan bacaan
penghibur dan pengetahuan saja. Selain itu, pada saat itu juga Indonesia belum
ada tradisi menulis kritik. Bahkan di dalam beberapa majalah yang terbit, tidak
ada tulisan yang menyinggung-nyinggung sastra walaupun majalah itu memuat
puisi, cerpen, dan cerbung. Barulah pada dekade berikutnya terbit majalah sastra
kebudayaan umum, yaitu majalah Pujangga Baru yang terbit pertama kali pada
bulan Juli 1933. Mulai sejak itu, agak banyak tulisan yang berhubungan dengan
kesusasteraan yang di antaranya dapat disebut sebagai kritik sastra (Pradopo,
2017:96—97).

C. Kritik Sastra Terapan pada Periode Balai Pustaka (1920—1932)


Kritik sastra dibuat sesuai dengan tujuan dan guna kritik sastra, yaitu
menerangkan karya sastra kepada masyarakat, keperluan ilmiah sastra, untuk
penyusunan sejarah sastra, dan perkembangan sastra suatu bangsa. Selain itu,
terdapat tujuan yang lebih pragmatik, yaitu ajakan untuk mencintai karya sastra
sebagai salah satu budaya bangsa. Kritik sastra Indonesia modern dipergunakan
untuk menyatakan diri dalam usaha memajukan pengetahuan, kesadaran, dan
perkembangan budaya bersama bagi bangsa (Pradopo, 2017:282).
Kritik sastra Indonesia modern pada periode Balai Pustaka masih sangat
langka berhubung karya sastra Indonesia modern baru saja lahir. Kritik sastra
Indonesia pertama kali ditulis oleh sastrawan Muhammad Yamin atas sastra
Melayu, yaitu Sejarah Melayu (1920, hlm. 6—28) dan Syair Bidasari (1921,
hlm.7—10). Meskipun kritik sastra terapan Muhammad Yamin dikenakan pada
sastra Melayu, tetapi dapat dianggap sebagai kritik sastra Indonesia modern. Hal
itu dikarenakan Muhammad Yamin adalah sastrawan Indonesia modern dan
kritiknya sesuai dengan wujud kritik sastra Indonesia modern. Tujuan Muhammad
Yamin menulis kritik itu tersirat di dalam kritiknya, halaman 27, yaitu untuk
menarik perhatian orang Indonesia supaya menghargai karya sastra bangsa
sendiri, sehingga di situ ada tujuan praktis dan pragmatik. Di dalam kritiknya,
Muhammad Yamin mengemukakan keindahan sejarah melayu dan syair bidasari,
baik mengenai gaya bahasa, gaya cerita, cerita, maupun pikiran atau
kebijaksanaan yang tinggi. Kritik itu bersifat impresionistik karena semua yang
dikemukakannya itu adalah kesan-kesan pokok. Selain itu, kritiknya bertipe kritik
pragmatik karena berorientasi pada tujuan karya sastra untuk pendidikan pembaca
dan dapat disebut kritik judisial karena mempertimbangkan baik buruknya karya
sastra (Pradopo, 2017:282—283).
Kritik sastra Balai Pustaka bertipe pragmatik seperti halnya kritik
Muhammad Yamin. Pertimbangan kritik sastra tersebut hanya mengenai kesan-
kesan pokoknya dan tidak menganalisis karya sastra secara analitik dan merenik.
Selain itu, karena penilaiannya menurut pertimbangan aturan tertentu, maka
praktik kritiknya bersifat judisial, sedangkan penilaiannya absolut, serta
metodenya deduktif, yaitu karya sastra dicocokkan dengan aturan-aturan dan
norma-norma yang mengikat (Pradopo, 2017:285).
Kritik sastra para redaktur Balai Pustaka didasari oleh teori sastra yang
berdasarkan pada aturan-aturan umum untuk buku yang akan diterbitkan, yaitu
tidak boleh melanggar moral masyarakat, agama, dan politik Pemerintahan Hindia
Belanda (Pradopo, 2017:284). Dengan demikian, menurut Teeuw (Pradopo,
2017:92) tahun 20-an merupakan masa kecilnya kesusastraan Indonesia modern.
Hal itu disebabkan oleh para pengarang yang tidak mendapatkan kesempatan
untuk menghindar dari syarat-syarat yang berlaku. Sebagaimana disebutkan oleh
Wellek dan Warren (Pradopo, 2017:92) bahwa syarat-syarat itu merupakan bagian
dari pemerkosaan terhadap imajinasi estetik. Di sini pelaku-pelaku dipergunakan
untuk melaksanakan tujuan pengarang untuk memberikan didikan kepada
pembaca sehingga kisah yang ditampilkan menjadi bersifat rekaan.
Di samping itu, karya-karya yang tidak memenuhi aturan-aturan Balai
Pustaka akan ditolak meskipun karya-karya itu bernilai sastra yang tinggi
(Pradopo, 2017:92). Salah satu contoh karya sastra yang ditolak oleh Balai
Pustaka karena tidak memenuhi aturan-aturannya adalah Salah Asuhan. Secara
literer dan berdasarkan kriteria estetik, Salah Asuhan bernilai tinggi dari segi gaya
bahasa dan gaya ceritanya, begitu juga berdasarkan kriteria ekstra estetik mungkin
bernilai tinggi berhubung menggambarkan kehidupan manusia dengan watak-
watak senyatanya, segala baik buruknya, hingga dapat menimbulkan kontemplasi
pembaca akan nasih manusia (Pradopo, 2017:284).
Kritik tersebut seperti kutipan berikut.

Suatu roman yang ditulis baik sekali. Saya kira saya tidak akan melebih-
lebihkan kalau saya katakana bahwa oleh Volkslectuur belum ada diterbitkan
suatu roman pribumi-pun yang dapat dibandingkan dengan karangan ini. Dari
mula sampai akhir perhatian pembaca terikat olehnya. Lukisan-lukisan yang
diberikan begitu tepat dan ceritanya sangat lancer. Ia mempunyai nilai didikan
besar bagi orang-orang pribumi yang menganggap diri mereka orang-orang
Eropa, hanya karena dapat bicara Hollands dan adalah suatu pedoman bagi
orang-orang tua pribumi dalam memberikan didikan kepada anak-anak mereka.
Tetapi ada bagian-bagain yang tak dapat diterima. Jika tidak saya ikat terpisah
bagian-bagian itu saya tandai dengan garis-garis biru di pinggir. Tetapi bagian-
bagian yang merangsang berahi itu dapat dibuang tanpa keberatan apa-apa.

Kritik tersebut disampaikan agar Salah Asuhan dapat “dibenarkan”


sebelum diterbitkan oleh Balai Pustaka. Beberapa bagian yaitu hal-hal yang
menjelek-jelekkan bangsa Barat, melanggar kesopanan masyarakat, dan berbau
politik perlu “dibersihkan”. Dengan demikian, Salah Asuhan yang diterbitkan
sampai sekarang tidaklah sama dengan maskah aslinya. Hal ini tentu disesalkan
karena perubahan dan penyesuaian itu dapat mengurangi nilai sastranya. Namun,
pengubahan dan penyesuaian itu merupakan penerapan teori kritik pragmatik pada
zaman Balai Pustaka (Pradopo, 2017:92—94).
Jadi, kritik sastra terapan periode Balai Pustaka atau periode 1920—1932
adalah bertipe pragmatik, impresionistik, judisial, bermetode deduktif, dan
penilaiannya absolut, menomorsatukan tujuan pendidikan (sebagai salah satu
kriteria ekstra estetik) di atas kriteria ekstra estetik lain dan kriteria estetik
(Pradopo, 2017:285).

Anda mungkin juga menyukai