Anda di halaman 1dari 9

c.

Teori Kritik Sastra Ajip Rosidi

Seorang tokoh sastrawan baru, stelah angkatan 45 yang mnonjol adalah ajip rosidi
karena banyak karyanya di bidang karya kritik sastra, sedangkan yang lain hanya satu dua
menulis kritik sastra, lagi pula corak dan sifatnya seperti tulisan Ajip Rosidi juga. Ia seorang
tokoh sastrawan yang “ajaib”, lahir 31 Januari 1938, telah menulis karya sastra pada usia 31
tahun(1951). Kumpulan cerpennya yang pertama terbit waktu ia berumur 17 tahun, yaitu
Tahun Tahun Kematian(1955). Sebagai sastrawan ia sangat produktif,tidak hanya menulis
cerita rekaan, tetapi juga dikenal sebagai penyair. Disamping itu, ia banyak menulis tinjauan
pustaka. Diantaranya yang telah terbit adalah Kapankah Kesusastraan Lahir (1964), Cerita
Pendek Indonesia (1959, cet. Ke-2 1968), Ikhtisar sejarah Sastra Indonesia (1984), Puisi
Indonesia 1 (1975), Puisi Indonesia Modern (ditulis1984, terbit 1987). Ia juga menulis roman
Anak tanah Air (1985). Di samping buku-buku itu, ada buku-buku lain kumpulan cerpen dan
puisi.

Pada umumnya artikel dan studi sastranya berupa kritik terapan. Pada umumnya dasar
teori kritik dan orientasinya adalah ekspresif, sesuai dengan kedudukannya sebagai
sastrawan, sekalipun juga kadang cenderung pada orientasi produktif, dalam arti, ia banyak
membicarakan tentang karya sastra sebagai karya sastra daripada hanya sebagai dokumen
biografi pengarangnya.

Tulisan-tulisan ajip yang awal berupa timbangan buku seperti “ Yang Jatuh dan Yang
Tumbuh: Kumpulan Sajak Hadi "Dalam Sajak" (1955), "Kerikil Tajam dan Yang Terampas
dan Yang Putus"(1955). Kritiknya yang panjang adalah "Sajak-Sajak Sanusi Pane" (1956).

Dalam tulisannya yang awal tampak dipergunakan teori objektif, seperti contoh
berikut (1955, hlm. 21-22).

Ya, sebagian besar sajak-sajaknya di sini, cumalah permainana kata, untuk kemudian
pindah ke bagian dua yang bersuasana lain, semacam teks pidato yang akan dibacakan
dilapangan misalnya

Bukan kita menolak tendens dalam sastra. Tapi kepaduan bentuk lahir dan tendensnya
itu, sehingga mengangkatnya sebagai salah satu hasil sastra yang kekal.

Sebagai kritikus sastrawan, Ajip Rosidi banyak mendasarkan kritiknya pada teori
ekspresif, berorientasi pada sastrawan, seperti tampak dalam kutipan berikut.
Apa yang sebenarnya dia (Sitor Situmorang) bahwa sepulangnya dari rantau? Ia
merasa asing di tanah airnya dan tahu bahwa

Malam tiba ibu tertidur

Bapa lama sudah mendengkur,

Di pantai pasir berdesir gelombang

Tahu si anak tiada pulang.

Ia masih merindukan salju, Paris, Silvana walau di sana juga, dimata Mme Omnes ia
dirindukan;

Di mata mu negeri kekasih

Rindu pudar membakar diri

(1955,hlm. 455)

Sebagai seorang putra tanah airnya yang sadar, Sanusi menceburkan dirinya dalam
kalangan pendidikan yang bersifat nasional : beberapa lamanya ia memimpin Perguruan
Rakyat. Dan seperti juga Darmawulan dalam lakonya, Sanusi mula-mula ragu akan tugasnya.

O, Kriysna, tidaklah kembali

Titah yang dulu menyuruh daku

Meniup suling di tanah airku.

..........

Tapi serupa Arjuna setelah mendapat wejangan dari Kriysna untuk berperang dalam
Kurawa, Sanusi pun sadar:

Aku merasa tenaga baru

Memenuhi jiwa dan kalbuku

Tempang berjuang, perang selalu

Hatiku rindu ke padang kuru.


(1956, hlm. 157-158)

Sebenarnya "metode" kritik seperti itu adalah konvensi kritik sastra indonesia sejak
zaman Pujangga Baru, konvensi menulis kritik selalu menghububgkan karya sastra dengan
pengarangnya meskipun dengan metode objektif. Di samping itu, juaga belum ada kesadaran
atas tetaatasasan pendekatan sastra atau penggunaan teori.

Meskipun orientasi Ajip Rosidi ekspresif, pendekatannya lebih dengan dengan


orientasi objektif karena ia lebih mengutamakan pembicaraab karya sastranya daripada hanya
sekadar melihat karya sastra sebagai biografi pengarang. Bahkan, kadang ia mneggunakan
semacam teori yang dapat disebut "teori dan metode" semiotik meskipun orientasinya
ekspresif. Misalnya tampak ketika ia membandingkan sajak Amir Hamzah dengan sajak
Chairil Anwar (1964:86-93) seperti salah satu kutipan ini.

...... Misalnya ada sebuah sajak Amir Hamzah yang bejudul "Padamu Jua"
yang akalu saya baca, saya lantas teringat dengan sajak Chairil Anwar "Doa". Kedua
sajak itu melukisnkan suatu hal yang sama, hubungan penyairnya dengan Tuhan,
gustinya. Kesuannya melukiskan kemesraan hubungan itu, tapi pengalaman yang
meraka kandung berlainan. Dan karena perbedaan kadungan pengalamna itu, maka
sikap yang mereka ambil pun berlainan pula.

Demikian pula kalau saya lagi menghadapi sajak Amir Hamzah "Doa
Poyangku", saya biasanya teringat akan sajak Chairil Anwar yang berjudul "Sorga".
Pun kedua sajak itu melukiskan motif yang sama, yaitu tentang kepercayaan para
penyairnya terhadap sorga, tetapi juga di sini kedua penyair itu menunjukkan
perbedaan sikap yang dilantarkan oleh perbedaan kandungan pengalamannya masing-
masing (1964:86-87).

Dalam memberi penilaian, Ajip Rosidi mempergunakan kriteria estetik dan ekstra
estetik. Kriteria estetik sebagai berikut.

Yang paling baik dan bulat secara keseluruhan adalah " Kisah Martini" yang
melukiskan Martini, seorang janda muda, main api dengan Herman, seorang anggota
Parlemen yang bersemboyan: merengkuh hidup srpuas-puasnya. Dalam melukiskan
pertumbuhan cinta dalam diri Martini melalui kejadian-kejadian kecil namun
diperhatikan oleh kaum wanita; sampai pada pelukisan perjuangan batin Martini
taktakala ia hendak mengugurkan kandungannya, Achdiat sangat kuat dan menguasai
diri. Dalam cerpen ini tak terasa ada yang lebih atau dibikin-bikin, semuanya lrngkap
dan bulat. Dalam mengungkapkan kewanitaan yang halus namun mesra, Achdiat pun
berhasil, bahkan sangat berhasil (1969:108).

Dalam setiap sajak itu, Chairil Anwar berhasil menjelmakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa sastra yang matang, sedangkan setiap kata, setiap kalimat, setiap bait
kelihatan ditimbang matang-matang sehingga mencapai efektivitas yang maksimal.
Chairil Anwar pun memperkenalkan imaji-imaji yabg baru (=asing) dalam bahasa
Indonesia sehari-hari seperti yang dilakukan oleh Armijn Pane, pada pihak yang lain:
kata-kata itu meskipun dipungut dari bahasa sehari-hari telah diasahnya sedemikian
rupa sehingga di dalam sajaknya menjelma menjadi sesuatu yang berbobot puisi
(1987:84).

Kriteria ekstra estetika kelihatan dalam kutipan -kutipan berikut.

Tetapi nilai cerpen-cerpen Tridnojuwono yang terhampun dalam Laki-laki dan


Mestu, tidaklah hanya terdapat pada kenyataan bahwa apa yg diceritakan itu
merupakan "daerah baru" dalam kesusastraan Indonesia, lengkap dengan ketakutan,
keberanian, penyesalan, kebanggan, keyakinan, kebodohan,kekejaman meskipun
hendak dikesampingkan dan dipendam oleh sebuah kata yang "keras": disiplin
(1968:132).

Yang kemudian ini penilaiannya terdapat cerpen-cerpen Nugroho Notosusanto.

Suara yang menjadi nada dasar seluruh cerpen ini ialah suara seorang manusia
yang dipercaya kepada kemanusiaan. Justru kepercayaan itulah yang menghangati
cerpen-cerpen ini. Dia percaya manusia tidak menuju keruntuhannya. Menusia
senantiasa maju. Yang dulu hidup buat membangun yang sekarang, yang dulu tak
sempat dikerjakan. Dan sekarang hidup buat yang bakal datang, buat mengerjakan
yang kini tak keburu disiapkan.

Nada dasar seperti itu, di tengah-tengah suara yang penuh pesimisma,


terutama dalam dunia kesusastraan kita, adalah merupakan suara yang segar dan
cerah.

Meskipun Ajip Rosidi menilai karya sastra dipergunakan kriteria estetik dan ekstra
estetik, dalam kritik-kritiknya jauh lebih banyak penilaian estetiknya yang ditonjolkan.
Bentuk kritik Ajip Rosidi adalah kritik jusial, yaitu kritik yang menilai,
mempertimbangkan, seperti contoh-contoh kutipan diatas. Di samping itu, sifat
impresionistik, dalam arti hanya pokok-pokonya saja yang dibicarakan dan tanpa ada analisis
lebih lanjut. Hal ini dapat kelihatan pada kritik-kritinya dari awal sampai dengan akhir,
seperti kelihatan dalam bukunya Puisi Indonesia Modern (1987) yang merupakan tinjauan
puisi Indonesia modern secara selenjang terbang, hanya pokok-pokok masalah saja yang
diuraikan, dari pusi awal hingga akhir.

Ajip Rosidi tidak menggunakan teori analisis lebih lanjut, kecuali analisis yang
bersifat dikotomis, yaitu karya sastra itu terdiri atas bentuk dan isi. Pada tahun 1955, Gajus
Siagian telah memperkenalkan teori analisi unsur-unsur rekaan, cerpen khusunya, dalam
artikelnya "Beberapa Perunjuk bagi Calon Pengarang" (1955, hal. 56-57), begitu juga
Mochtar Lubis dalam bukunya Teknik Mengarang (cet. Ke-2 1955, cet. Ke-3 1960:14-22).
Teori analisis cerpen ini tidak hanya dipergunakan oelh Ajip Rosidi dalam kritiknya terhadap
cerpen dalam bukunya Cerita Pendek Indonesia. Dengan demikian, analisidnya mengenai
bentuk dan isi tidak rinci, hanya pokok-pokok pikiran, cerita dan sedikit tentang gaya dan
gaya bahasa, "analisis" nya secara impresionistik, hanya mengenai kesan-kesan pokok yang
dipaparkan.

Pernyataan mengenai bentuk dan isi itu misalnya yang berikut ini.

Sajak yang mampu mewakili empat-lima sjak yang lainnya ialah sebuah sajak
yang paling panjang dan paling besar: bentuk, maupun isinya, yaitu:"Syiwa Nataraja"
yang mengisahkan penyairnya yang berkelana kembara dari satu bagian ke bagian
dunian lainnya dalam mencari bahagia dan menemukannya dalam suatu renungan
India, seolah-olah ada yang membisikkan di telinganya: bahagia di hatimu. Seolah-
olah melihat Syiwa Nataraja..... Dan melalui ini ia mengerti akan hakekat kehidupan,
hidupnya dan seluruh krhidupan umat manusia (1956, hal. 158-159).

Dalah satu kritiknya kepada cerita pendek Idrus, mengenai "bentuk"nya sebagai berikut.

Keserhanaan baru merupakan reaksi cita-cita kesusastraan sebelumnya,


dimana-mana kata-kata indah namun kosong, kalimat yang berkelok-kelok penuh
khayal tapi tak mampu menggambarkan kenyataan, memegang peranan.

........
Demikianlah arti Idrus dalam dunia kesusastraan Indonesia, terutama bukan
keangungan nialai buah tangannya, tetapi ia telah memperbaharui cita-cita penulisan
kesusastraan yang bertele-tele yang segar dan padat (1968:45)

Dalam tulisannya "Satu Objek Dua Subjek" (1964:86-93) Ajip membandingkan sajak
Amir Hamzah dengan Chairil Anwar: "Padamu Jua" dengan "Doa" dan "Doa Poyangku"
dengan "Sorga". Hanya saja, secara teoritis ia tidak melihat bahwa sajak Chairil Anwar
adalah jawaban terhadap jawaban sajak Amir Hamzah dan tidak melihat bahwa keduannya
itu menunjukkan adanya hubungan intertekstual seperti teori Riffaterre (via Teeuw hal. 64-
65). Meskulipun demikian, cara Ajip Rosidi membandingkan secara pertentangan atas dua
sajak "Satu Objek Dua Subjek" itu, sesungguhnya ia telah mengenal teori hubungan
intertekstual kendatipun belum dirumuskan.

Tidak terpisahkan dari orientasinya yang ekspresif, secara tidak terumus Ajip Rosidi
mengemukakan bahwa penelitian latar belakang untuk memamahami karya sastra seorang
sastrawan, diperlukan pembicaraan dan penelitian latar belakang sosial budaya pengarang
(Cf. Chairil Anwar dalam Jassin, 1956:118-119) . Hal ini kelihatan di antaranya dalam
artikelnya "Menempatkan Chairil Anwar pada Proposisinya" (1973:28-36) yang ditulis pada
tahun 1967, seperti kutipan ini.

Chairil Anwar sebenarnya merupakan personifikasi Manusia Indonesia yang


kuat hendak hidup dalam lingkungan dunia. Atau lebih tepat: segolongan Manusi
Indonesia yang secara rohaniah menyerap dan menjadikan kebudayaan Eropa modern
sebagai sumber utama

......

Tadi sudah dikemukakan bahwa secara rohaniah kesenian dan pandangan


hidup Chairil Anwar bersumber pada kebudayaan Eropa Barat modern: ia
sesungguhnya orang yang melaksanakan segal teori Soetan Takdir dalam polemiknya
di masa sebelum perang (1973:34).

Dikemukakan Ajip pula dalam artikelnya "Chairil Anwar dan Politik" (1973:37-41)
bahwa dengan melihat sajak " Persetujuan dengan Bung Karno". Chairil Anwar adlah
seorang yang tahu hubungan dirinya dengan masyarakat, sebagai anak bangsa dengan tanah
airnya beserta persoalan dan masalah-masalah yabg dihadapi, sikap hidup dan politinya telah
dinyatakan dengan jelas dalam sajak-sajaknya (1973:40-41).
Sebagai seorang kritikus yang menggungah kreativitas pengarang, dengan mengutip
kata-kata Chairil Anwar bahwa setiap seniman hendaknya sebagai pembuka jalan atau
perambah daerah baru, maka ia menunjukkan tugas seniman, yaitu setiap seniman mesti
mencari daerah baru, mesti membukanya buat umum (1955:21, Cf. Jassin, 1959:44).

Memasuki dasawarsa tahun 1950-an, pembicaraan mengenai konsepsi (: teori) sastra


semarak kembali setelah pada tahun 1947, terbit majalah mingguan Siasat dan Mimbar
Indonesia. Pada bulan Maret 1948, majalah mingguan Siasatmembuka ruangan kesusastraan
“Gelanggang” yang mencerminkan semangat para pengelola rubrik ini untuk mengusung
sikap kulturalnya. Pada awalnya fokus pembicaraan dalam sejumlah artikel yang dimuat
dalam ruangan “Gelanggang” berkisar pada konsepsi estetik Generasi Gelanggang. Penamaan
Generasi Gelanggang sendiri pada akhirnya kalah populer setelah muncul penamaan
Angkatan 45. Konsepsi estetik Angkatan 45 inilah yang kemudian hampir mendominasi
perbincangan kesusastraan Indonesia pada masa itu.

Dalam majalah Siasat, 22 Oktober 1950, dimuat sebuah dokumen penting yang diberi
nama “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang bertarikh 18 Februari 1950. Surat Kepercayaan
Gelanggang inilah yang kemudian dipandang sebagai sikap dan dasar konsepsi estetik
Angkatan 45. Jassin kemudian menafsirkan dan merumuskan konsepsi itu dengan apa yang
disebutnya konsep humanisme-universal. Dalam penjelasannya, Jassin mengungkapkan:
“Angkatan 45 tidak mengabdi kepada sesuatu isme, tapi mengabdi kepada kemanusiaan yang
mengandung segala yang baik dari sekalian isme… Angkatan 45 mempunyai konsepsi
humanisme universal.

Penamaan Angkatan 45 dengan konsepsi humanisme universal itu ternyata bukan


tanpa masalah. Paling tidak, setelah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)—sebuah lembaga
kesenian yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) berdiri 17 Agustus 1950,
penentangan terhadap penamaan Angkatan 45 dengan konsepsi humanisme universalnya,
gencar dilakukan oleh golongan sastrawan Lekra yang mengusung humanisme proletariat.
Bagi Lekra, kebudayaan—termasuk di dalamnya kesusastraan—haruslah berpihak kepada
rakyat. Dengan demikian, kesenian pun harus berpihak kepada rakyat.

Terjadinya polemik antara kelompok Angkatan 45 dan golongan Lekra pada awalnya
justru memberi sumbangan berarti bagi usaha-usaha perumusan konsep-konsep sastra yang
dalam kerangka kritik sastra dapatlah dimasukkan sebagai pembicaraan teori sastra. Kondisi
itu bertambah semarak saat muncul majalah-majalah kesusastraan. Maka, berbagai pemikiran
mengenai teori sastra telah berkembang semarak pada masa itu.

Dalam majalah Indonesia, misalnya, banyak dimuat berbagai artikel mengenai


konsep-konsep sastra, seperti hubungan sastra dan politik, definisi dan konsep sastra, masalah
angkatan, kriteria sastra pornografi, sastra bertendens, tanggung jawab sosial sastrawan,
keindahan dan kebaruan dalam sastra, dan sejumlah artikel lain yang mencoba memberi
penjelasan atas berbagai hal yang berkaitan dengan kesusastraan. Puncak pertentangan itu
terjadi tahun 1965, ketika Lekra bersama organ PKI lainnya melakukan serangan dan teror
terhadap para penanda tangan Manifes Kebudayaan yang mendukung konsep humanisme
universal. Itulah masa khaos sastra Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Pradopo, Rachmat Djoko.2017. Teori Kritik dan Penerapannya dalam Sastra Indonesia
Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Cetakan 1

https://dipanugraha.org/2015/01/20/perkembangan-teori-dan-kritik-sastra-indonesia

diakses pada tanggal 25 Maret 2019

Anda mungkin juga menyukai