Anda di halaman 1dari 5

Mingguraya, ASA, dan Sastra

Oleh Sainul Hermawan

Bahasa mencerminkan bangsa, sastra mencerminkan zamannya. Keduanya tidak jatuh dari
langit. Karya sastra adalah ciptaan sastrawan dan merupakan tanggapan serta penilaian terhadap
segala yang dihayatinya. Karena sastrawan juga anggota masyarakat, tanggapan dan penilaian
tersebut tidak sepenuhnya milik sastrawan tetapi juga milik masyarakat. Oleh karena itu,
tanggapan sastrawan bisa sejalan dan juga bertentangan dengan tanggapan dan penilaian
masyarakat. Sapardi Djoko Damono (1999: 1-2) menyarankan agar konsep sastra sebagai cermin
zamannya ditafsirkan dengan hati-hati. Jadi, sebagai cermin, karya sastra bukan salinan utuh
realitas. Ia bisa menonjolkan hal-hal tertentu dan menyembunyikan hal yang lain. Demikian pula
yang terjadi pada karya Ali Syamsudin Arsi (ASA) dalam buku kumpulan puisinya Buku
Setengah Tiang (2015) yang berisi 92 puisi yang ditulis pada 2014-2015. Sajak "Suka-suka
Mingguraya" (hal. 70) bagi saya adalah episentrum kesadaran dan gejolak emosi sebagian besar
puisi dalam antologi ini.

Sajak lima bait tersebut menggambarkan Mingguraya atau Minggu Raya (mana yang benar
penulisannya?) sebagai tempat bertemu, bicara, melepaskan duka lara. Siapakah kita dalam sajak
ini? Kita di sini bisa siapa saja. Bisa antara ASA sendiri dan kawan-kawannya. Bisa antara Anda
(pembaca) dengan kawan-kawan Anda dan kawan-kawan ASA. Bisa juga kita itu adalah saya
dan kawan-kawan saya. Mereka bicara suka-suka tentang kesukaan mereka masing-masing. Kita
bisa berarti beragam komunitas di Mingguraya termasuk para penjual makanan di warung-
warungnya. Setiap kelompok kita bisa tidak suka pembicaraan suka-suka kelompok kita yang
lain. Suka di satu kelompok kita bisa jadi duka di kelompok kita yang lain. Akhir bait sajak
empat bait "Mingguraya sebuah Kenangan" karya Ogi Fajar Nuzuli (2013: 172) menggambarkan
kondisi Mingguraya.

....
Berjalan menyusuri Mingguraya dahulu
sama dengan berjalan menyusuri Banjarbaru kini
Setiap orang memiliki kelompok
Setiap kelompok memiliki kenangan
dan setiap kenangan memiliki makna sendiri

Hubungan Ogi dengan Mingguraya berbeda dari hubungan ASA dengan Mingguraya. Ogi
sebagai insider menyadari dinamikanya daripada ASA yang sebagai pendatang.

Puisi karya ASA yang lahir di, dari, dan untuk kelompoknya di Banjarbaru harus
menyadarkan kita untuk berhati-hati memahami teori tentang hubungan antara puisi dan
zamannya. Beragam pembaca pasti memiliki persepsi sendiri atas zaman yang mereka hadapi.
Cobalah Anda introgasi setiap kali Anda selesai membaca puisi dalam buku ini, kira-kira zaman
apa yang dibicarakannya dan bagaimana perbedaan dan persamaan dengan persepsi zaman
menurut Anda?

Realitas Mingguraya bukan tempat terapi bicara yang ideal. Mingguraya bukan tempat
yang selalu penuh harmoni dan solusi bagi duka lara. Suka-suka di Mingguraya adalah masalah.
Sajak ASA adalah cermin retak Mingguraya. Wajar jika sebagian orang merasa tak nyaman
berada di Mingguraya dan sebisa mungkin menghindarinya. Tampaknya sebagian besar puisi
ASA dalam buku ini lahir dari kondisi sosial Mingguraya. Wajar juga jika sebagian pembaca tak
nyaman membaca sajak-sajak ASA yang bercorak suka-suka.

Di Mingguraya ASA hadir untuk beragam urusan: melatih penulisan sastra, merencanakan
gerakan-gerakan sastra, tampil baca puisi di poetry in action, diskusi, dan main catur. Apa yang
ditulis dalam puisinya bukan tanggapan dan penilaian terhadap pertarungan dirinya melawan
kekuasaan melainkan bentuk kepedulian terhadap isu-isu yang ia bicarakan dan dengar di
Mingguraya. Misalnya, ketika ia bicara tentang pembunuhan dalam sajak "Satu Bulan Lima
Terkapar" (hal. 51), pemaknaannya tidak bisa dirujuk ke pengalaman dirinya. Ia hanya berusaha
berempati tanpa amunisi kesadaran yang penuh tentang apa yang terjadi. Suka-suka ASA jika
sajak ini hanya bisa dipahami oleh dirinya sendiri atau para kita di Mingguraya yang
membicarakan topik pembunuhan itu. Sajak "Suka-suka Mingguraya" jelas lebih mudah
dipahami karena ASA ada di dalamnya dan ruang itu juga menjadi bagian dari orang yang
pernah dan betah di sana. Puisi dalam buku terbaru ASA ini seperti kumpulan suara suka-suka
dari Mingguraya. Bukan hanya suara ASA sendiri tapi juga kelompoknya.

Jika ASA menulis sajak "Satu Bulan Lima Terkapar" (hal. 51) yang mengisahkan
penembakan orang Dayak di Tanah Bumbu oleh aparat, bukan karena ia ikut terlibat dalam
jaringan advokasi yang secara intim berada dalam pusaran konflik, tetapi ia hanyalah menyerap
isu tentang itu di Mingguraya sehingga ketika kita baca secara keseluruhan tidak begitu jelas apa
maksudnya bagi pembaca umum tapi akan sangat terang bagi orang-orang yang terlibat dalam
perbincangan isu itu di Mingguraya.

Coba bandingkan antara sajak ini dan sajak "Suka-suka Mingguraya", mana yang lebih
mudah Anda pahami? Coba ceritakan apa saja yang bisa Anda ceritakan dari sajak yang mudah
dipahami itu? Cara ini bisa diterapkan untuk mendeteksi mana sajak dalam buku ini yang
mencerminkan keintiman penyair dan topik puisinya. Semakin jelas bagi pembaca, semakin
intim hubungan ASA dan puisinya.

Sajak "Menuliskan Cahaya Mata" (hal. 83) mempertegas proses kreatifnya. Mata sering
menjadi simbol kecerdasan karena sering dihubungkan dengan tindak pengamatan yang cermat
atas sesuatu, seseorang, atau peristiwa. Kecerdasan pengamatan itu bisa bersumber dari diri
sendiri atau orang lain. Meskipun dinyatakan bahwa si aku menulis hasil pengamatan selepas-
lepasnya, tujuan itu tak sepenuhnya tercapai karena ternyata makna sebagian puisinya bisa kita
ikat dan rangkai untuk memahami maknanya.

Suara suka-suka ASA juga dimungkinkan oleh ketersediaan media sosial sebagai tempat
publikasi awal puisinya sebelum dikumpulkan menjadi satu buku yang diterbitkan dengan biaya
sendiri. Dalam kondisi ini puisi ASA merdeka dari dominasi persepsi media massa bertiras
nasional, seperti Kompas, Koran Tempo, Horison, atau Republik. Ada semangat pemberontakan
untuk tidak tunduk pada selera redaktur media massa nasional.

Lari dari media cetak bertiras nasional, masuk ke media sosial tanpa sensor. Kualitasnya
hanya bisa diduga dari perolehan jempol sebagai tanda suka, batal suka, tidak suka, tidak tahu,
atau tidak ingin diketahui bahwa suka.

Dalam konteks ini, puisi ASA dapat dikatakan mewakili selera massa yang kualitasnya
hanya dapat diukur dengan banyaknya jempol di media sosial.

Mari kita tengok lagi beberapa sajak yang pernah diunggah di akun facebooknya dan
dimuat kembali dalam buku ini, yakni "Sajak Sederhana Julak Asa" (hal. 63) yang pernah
diposting di FB-nya pada 1 Februari. Sampai Juli 2015 hanya mendapatkan 29 jempol dan 6
komentar atau tak sampai 10 persen dari total kawannya. Sajak satu kata "Sebelum Datang
Berlinang" (hal. 59) yang diposting di FB pada 13 April hanya mendapat 17 jempol tanpa
komentar. Apakah ASA menjadikan jempol itu titik untuk merenungkan kualitas puisinya atau ia
sudah memposisikan semua jempol itu sekadar tanda suka-suka tanpa makna? Bagi saya jempol
itu bisa mewakili selera meskipun tidak seluruhnya. Meskipun demikian jempol dapat dijadikan
ukuran untuk menilai seberapa berhasil sajak ASA berkomunikasi dengan pembacanya.

Puisi ASA adalah cerminan kondisi sosial yang melahirkannya, secara spesifik lingkungan
pergaulan ASA di Mingguraya tampak menghasilkan puisi yang cenderung tergesa-gesa, kurang
intensif mendalami isu bersama. Akibatnya idiom puisinya tampak menyempit dan kian sulit
ditembus pembaca. Keberaniaan ASA untuk meninggalkan kesuka-sukaan Mingguraya
merupakan salah satu cara untuk menemukan daya ucap yang baru bagi puisinya di masa depan.
Jika puisi dalam antologi ini memang bukan untuk pembaca, ASA tetap saja suka-suka di
Mingguraya.

Cuaca

ASA tampak suka dengan diksi “cuaca”. Sedikitnya dapat ditemukan 15 kata cuaca dalam
beberapa sajak yang berbeda. Misalnya,. ...waktu berselingkuh dengan cuaca tak mampu lagi
ditebak..., (hal. 20)...lebih banyak kabut daripada bening cuaca... (hal. 31), ....keheningan
cuaca... cuaca alam.. (hal. 45), ...gumpalan kabut cuaca dari hitam pekat racun bertuba-tuba...
(hal. 47), ...di bising racun cuaca... (hal. 57), ... kepada mendung cuaca hujan badai... (hal. 57),...
sungai yang meradang adalah kepal tangan racun cuaca...(hal. 60)...kabut embun cuaca... (hal.
63-64)... hambar semuram cuaca... (hal. 67)... para pelumat cuaca... (hal. 69)...ruang purba
cuaca...(hal. 78)... racun cuaca... (hal. 81)...kanvas cuaca..(hal. 83).. dalam cuaca... (hal.
88)...berkuda di pelana cuaca (hal. 111).

“Cuaca” dalam KBBI (hal. 221) adalah keadaan udara (suhu, cahaya matahari, kecepatan
angin, kelembaban udara) pada suatu tempat tertentu dalam jangka waktu yang terbatas. Sajak
ASA tak memberikan isyarat waktu dan tempat itu sehingga cuaca yang dimaksud terlalu kabur.
Kekaburan itu tampak untuk menggapai universalitas. Namun, upaya itu juga bisa
mencampakkan partikularitasnya yang mungkin mampu menambah daya keindahannya. Banyak
puisi yang bertema cuaca yang menyenangkan karena rujukan tempat dan waktunya yang jelas,
fokus pada partikularitas kultur, seperti sajak Hujan Bulan Juni.

Sebagian “cuaca” dalam frase tersebut abstrak dan eksplisit sehingga berpotensi
mematikan imajinasi pembaca. Contoh konkret cuaca konkret tanpa kata cuaca dapat dibaca
pada sajak "Lambai dari Pulau ke Pulau" (hal. 11). Selain itu, redundansinya menyebabkan
keberadaannya sia-sia dan membingungkan. Misalnya, pada kesia-siaan “cuaca” dalam
ungkapan gumpalan kabut cuaca. Racun cuaca lebih jelas daripada kanvas cuaca, pelana cuaca,
dan ruang purba cuaca.

Penutup

Tulisan ini tidak bermaksud mencari-cari kesalahan sebuah karya sehingga penyair yang
karyanya dikaji tidak perlu menuntut pembacanya membuat karya serupa yang lebih baik. Inilah
yang disebut respon estetika, yakni respons yang tidak sepenuhnya objektif. Kepekaan yang
diungkapkan pembaca terhadap fokus tertertu sebuah karya menggambarkan pengalamannya
dalam membaca. Sebagaimana sebuah sajak juga bisa mencerminkan tingkat pembacaan
penyairnya. Fungsi kritik antara lain berbagi pengalaman baik dengan penulis maupun pembaca
yang lain. Kritik pada tulisan ini terbuka untuk dikritik kembali.

Menutup uraian ini, sedikitnya ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk
memahami buku setengah tiang ini. Pertama, puisi ASA sebagian besar lahir dari Mingguraya.
Memahami apa yang dibicarakan kelompok ASA di sana akan membantu menuntun pemahaman.
Kedua, puisi ASA condong bersifat lisan. Keterangan tambahan kadang muncul saat ASA
melisankannya. Selain itu, watak kelisanan ekspresinya cenderung redundan atau copious dan
kurang analitik. Misalnya tampak pada sajak "Purnama Terkepung Mendung" (hal. 79-80). Sajak
ini hanya bicara kekacauan sebuah situasi atau kondisi. Perhatikan ada berapa diksi mendung,
kepung, dan gelap? Ketika dinyatakan mendung mengandung gelap, tampak
ketidakanalitikannya dan ekspresi ini menjadi redundansi. Redundansi itu bisa berupa repetisi
tanpa variasi dan daya logis. Ketiga, terkait dengan kelisanannya beberapa puisi di buku ini
ditulis bukan untuk menyampaikan kebenaran ataupun informasi tetapi memberikan stimulasi
musikal saat didengarkan pembacaannya dengan indah. Terakhir, sebagian puisi berstatus
gumam. Sebagai ekspresi psikologis yang sangat subjektif, pembaca jangan terlalu percaya diri
berhasil meraih ilham, ajaran, atau hikmah puisi ini. Dalam konteks ini ASA tak termasuk
pujangga yang karyanya bisa dijadikan sumber ilham perubahan mental dan moral. Dalam
gumam, ASA tampak hanya ingin mengguncang dan membingungkan. Pilihan ini tentu akan
memberikan konsekuensi sendiri.

Loktara, 8.2015

Anda mungkin juga menyukai