Anda di halaman 1dari 12

MEMBINCANGKAN PUISI*)

Iswadi Pratama

Apakah puisi itu? Samakah ia dengan sajak?


Pertanyaan semacam ini bisa saja dianggap tak penting lagi karena hanya akan membawa kita pada
sejumlah pendapat yang berlainan bahkan bertentangan. Keragaman ini salah satunya disebabkan
oleh perkembangan atau perubahan wawasan estetika para penyair dari waktu ke waktu sehingga
mempengaruhi pula konsep tentang puisi atau sajak. Namun, bila kita bersikap tak acuh saja, akan
menjadi ganjalan atau hambatan dalam proses kita mempelajari puisi atau sajak—terutama bagi
para guru bahasa dan sastra di sekolah ketika harus menjelaskannya kepada siswa.

Tidak menjadi soal seberapa banyak variasi defenisi yang diberikan para sarjana atau ahli sastra
untuk menjelaskan puisi dan sajak, selama kita tidak memutlakkan satu defenisi atas defenisi yang
lain. Kita bisa mengambil kesamaan-kesamaan atau ciri umum yang terdapat dalam seluruh defenisi
itu dalam menjelaskan puisi atau sajak.

Umumnya para guru atau siswa mengenal batasan puisi adalah: suatu karya (sastra/fiksi) yang
menggunakan bahasa yang indah, terikat dengan baris, bait, dan irama dan mengacu pada
makna tertentu. Namun bila defenisi ini dihadapkan pada sajak-sajak karya Sutardzi Coulzoum
Bachri yang bentuknya sangat atraktif dan acap nir-makna, atau pada sajak Sapardi Djoko Damono
yang susunan baris dan baitnya mirip seperti prosa (cerpen), maka defenisi di atas tidak bisa
dikenakan lagi. Masalah serupa juga akan kita dapati pada defenisi yang lain. Namun, paling tidak
kita bisa menyimpulkan—untuk sekarang ini—bahwa puisi merupakan pernyataan-pernyataan
yang imajinatif, yaitu perasaan yang direka-kan. Perasaan dan pikiran Penyair yang masih abstrak
dikongretkan. Untuk mengongkretkan peristiwa-peristiwa yang telah direkam di dalam pikiran dan
perasaan penyair, puisi merupakan salah satu sarananya. Pengongkretan intuisi melalui kata-kata itu
dilakukan dengan prinsip seefisien dan seefketif mungkin. (Hasanudin WS, 2002)

Seorang sastrawan Rusia, Boris Pasternak memberikan batasan tentang puisi dalam sajaknya:

BATASAN SAJAK

Sajak adalah siul melengking curam


Sajak adalah gemertak kerucut salju beku
Sajak adalah daun-daun menges sepanjang malam
Sajak adalah dua ekor burung malam menyanyikan duel
Sajak adalah manis kacang kapri mencekik mati
Sajak adalah air mata dunia di atas bahu

Menurut Wellek, dikutip oleh Pradopo di dalam Poetika, ada satu kesamaan dalam seluruh jenis
karya sastra yaitu unsur “ke-puitisan”. Unsur ini tidak Cuma ada di dalam sajak atau puisi,
melainkan juga di dalam cerpen dan novel, bahkan di dalam lirik lagu. Berdasarkan hal itu, saya
menyimpulkan bahwa, “kepuitisan” yang dimaksud adalah suatu getaran di dalam batin manusia
yang mempengaruhi perasaan dan inteleknya yang dipicu oleh suatu rangsangan tertentu.
Rangsangan itu bisa muncul dari sebuah peristiwa atau pengalaman riil, bersifat visual atau
inderawi, pergulatan pikiran (ide), imajinasi, bahkan bisa juga dipicu dari perbincangan sehari-hari,
dan lain-lain. “Getaran” itu pada mulanya bersifat abstrak dan seringkali berupa “keharuan” akan
sesuatu hal. Lalu seorang penulis menjelmakan “keharuan” itu melalui kata-kata (bahasa). Bila
rangsangan yang memicu keharuan atau getaran atau kepuitisan itu lebih didominasi oleh intelektual
(pergulatan pikiran), maka karya yang akan lahir juga cenderung mengajak pembaca untuk
menjelajah wilayah pemikiran, bila rangsangan lebih bersifat pengalaman visual maka karya yang
akan lahir akan memiliki nuansa visual yang kuat, bila rangsangan lebih besar muncul dari aspek
emosi maka karya yang lahir cenderung mengajak pembaca untuk merasakan lapisan-lapisan
perasaan tertentu. Namun, di dalam karya sastra (yang bagus) antara aspek kognitif, perasaan, atau
visual tersebut sebenarnya saling jalin menjalin satu sama lain. Hanya kadar masing-masing yang
berbeda.
Lalu, jika Si Penulis memilih bentuk prosa, maka “kepuitisan” itu akan diuraikan dan dijelaskan.
Page1
Bila pilihan bentuknya adalah sajak, ia akan dipadatkan dan memusat. Namun bisa saja ia
merupakan gabungan dari keduanya—baik dalam bentuknya sebagai sajak maupun prosa. Di dalam
bentuk sajak, ia akan melahirkan sajak yang seraya bertutur (menguraikan) ia merahasiakan sesuatu
dan acap dengan tetap menjaga unsur persajakan; rima, irama, metrum dll. Di dalam bentuk prosa,
ia akan melahirkan bentuk yang menguraikan atau menjelaskan sesuatu seraya mengeksplorasi
bahasa baku melalui ungkapan-ungkapan yang segar. (Iswadi Pratama, 2014).

Adanya unsur “kepuitisan”di dalam karya sastra, khususnya sajak atau puisi, Samuel Tylor
Coleridge, seorang tokoh aliran Romantik mengatakan, sajak adalah sejenis karangan yang
berlawanan dengan karya sains, yang tujuannya memberikan kesenangan langsung (immediate
pleasure). Menurutnya, ilmu bukanlah tidak memberikan kenikmatan, hanya saja kenikmatan ilmu
diperoleh melalui penelitian dan tidak bersifat langsung.

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa puisi tidak sama dengan sajak, tetapi identik. Sehingga
sajak diperbandingkan dengan prosa bukan dengan puisi. Prosa bersifat menguraikan dan
menjelaskan, sedang sajak bersifat memusatkan dan memadatkan (konsentrasi dan intens). Di dalam
keduanya (sajak dan prosa) dimungkinkan kepuitisan (terdapat puisi), sehingga dapat dijumpai
prosa yang puitis serta sajak yang prosais. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap sajak
adalah puisi, tetapi tidak hanya sajak yang mengandung puisi

Ciri dan Bentuk Sajak

Ada dua unsur yang dominan di dalam sajak. Pertama, dalam bentuk formalnya, sebuah sajak adalah
sebuah karya tulisan (sastra) yang dibangun oleh adanya unsur baris/larik dan bait. Kedua, setiap
sajak mengandung unsur kepuitisan yang dikuatkan atau dijelmakan melalui diksi (pilihan kata),
rima, bunyi, ambiguitas (kemenduaan) arti, obscure (kemisterian). Namun, dalam perwujudannya,
kedua unsur itu tidak berdiri sendiri, melainkan saling mendukung. Sehingga dapat disimpulkan
sebagai berikut:

1. Ada sajak yang mementingkan unsur atau bentuk formal, sehingga setiap puisi mesti mempunyai
baris dan bait meskipun polanya belum tentu teratur atau baku, sedangkan unsur puitis dianggap
sebagai pelengkap.
Misalnya di dalam sajak tradisional atau pantun, sajak mesti ditulis dengan mengikuti pola yang
telah disepakati tentang bagaimana sebuah pantun harus ditulis; jumlah baris, jumlah kata,
persajakan, dan lain-lain. Pada pantun, harus ada rima akhir, sampiran, dan isi atau maksud. Dua
baris pertama disebut sampiran, sedangkan dua baris terakhir disebut isi atau maksud. Setiap baris
terdapat pemenggalan, sewaktu membacakannya. Contohnya:

Tujuh tali mengikat tiiang


Jadi jembatan di tengah ladang
Bila adik sudi mengundang
Pastilah Abang akan datang

Dalam ranah sastra di Indonesia, pola penulisan semacam ini diikuti dalam masa sangat panjang
hingga pada masa angkatan Pujangga Baru. Sajak-sajak yang ditulis Amir Hamzah. Walaupun telah
memiliki keberbedaan, namun sebagian besar masih menunjukkan ciri seperti pantun di atas.

....................
Aduh, kasihan hatiku sayang
Alahai hatiku tiada bahagia
Jari menari doa semata
Tapi hatiku bercabang dua
(Amir Hamzah, “Doa Poyangku)

Sajak lain yang masih mementingkan bentuk formal, meskipun polanya tidak teratur, tetapi
masih sangat mementingkan baris dan bait:
Page2
HUJAN DI PASAR MALAM

sekelompok perempuan
memilih selendang
sesosok anak
menunjuk bintang

sebaris bintang menghilang


sehelai selendang
melayang

(Inggit Putria Marga, 2005)

2. Ada pula sajak yang lebih menekankan pada unsur puitis, sehingga mengabaikan bentuk formal
sajak. Bait atau baris bisa dikatakan tidak begitu difungsikan lagi, karena sajak lebih dirasakan
sebagai urutan kalimat belaka. Hanya karena keterbatasan ruang di halaman, sebagian dari puisi itu
mesti dituliskan di bawah bagian sebelumnya. (Junus, 1981;28, dalam Hasanudin WS, 2002; 23)
Pada sajak tipe ini, secara visual lebih mirip seperti prosa, lebih mengutamakan unsur kepuitisan
dari pada bentuk formal sajak yang mengutamakan baris dan bait. Misalnya dalam sajak “Ayat-
Ayat Api” Sapardi Djoko Damono di bawah ini:

IKLAN

Ia penggemar berat iklan. “Iklan itu sebenar-benar


Hiburan,” kata lelaki itu. “Siaran berita dan cerita itu
sekedar selingan.” Ia tahan seharian di depan televisi.
Isterinya suka menyediakan kopi dan kadang-kadang
Kacang atau kentang goreng untuk menemaninya
Mengunyah iklan
................................. dst.

Sepintas, kita bisa bertanya, di mana unsur puitisnya? Mengapa tidak ada ungkapan yang “puitik”
sama sekali seperti “hujan berguguran di dalam matamu”. Kepuitisan atau keindahan dalam sajak
di atas tidak dijelmakan dalam bentuk frasa atau kata atau ungkapan yang puitik. Melainkan justru
dengan cara melukiskan sesuatu yang sehari-hari dan remeh dengan bahasa yang sekadar saja untuk
kemudian “diubah” menjadi tidak biasa lagi dengan cara pemaknaan sehingga apa yang rutin dan
sehari-hari itu menjadi “hal baru”, menjadi puitik. Pada sajak di atas, itu terjadi pada frasa
“Mengunyah iklan”. Kehadiran frasa ini membuat kita tersentak dan mau tidak mau merenungkan
lagi apa yang dituliskan penyair. Selain itu, sajak di atas tetap mementingkan irama. Itu bisa dilihat
dari rangkaian kata dalam setiap lariknya menimbulkan irama tersendiri. Dalam sajak di atas irama
itu dibangun melalui pilihan kata: penggemar—sebenar-benar—sekedar. Iklan-hiburan. Berat—
berita—cerita...dst. Sebab, tanpa irama, ia akan benar-benar seperti prosa.

Di samping itu, bila dilihat dari unsur penggunaan bahasa, sajak bisa dibedakan dalam dua
kelompok besar sebagai berikut:

1. a. Sajak yang mementingkan unsur kata.


Kekuatan sajak dicari pada permaianan atau manipulasi yang bersumber pada pilihan kata.
Sebuah kata dipilih karena artinya sebagai sebuah kata, bukan sebagai unsur sebuah kalimat
dan bukan pula karena bunyinya, atau juga bukan karena keduanya.

b. Sajak yang mementingkan unsur kalimat.


Kekuatan sajak dicari pada manipulasi pemakaian kalimat. Kalau ia berhubungan dengan
pemakaian kata, maka kata bukan dilihat sebagai kata, tetapi sebagai sebuah unsur dalam
kalimat.

2. a. Sajak yang mementingkan kata sebagai unsur arti dan bunyi. Sajak-sajak Indonesia
Page3
sebelum perang termasuk ke dalam golongan ini.

b. Sajak yang mementingkan kata dalam hubungan unsur artinya, terutama dalam hubungan
pemakaian sebuah kalimat. Karya yang termasuk kategori ini adalah sajak-sajak yang
dipelopori oleh Chairil Anwar hingga Goenawan Mohamad.
c. Ada sajak yang lebih cenderung mementingkan unsur bunyi yang ada pada sebuah kata. Seperti
pada sajak-sajak Sutardzi era 70-an.

Ciri dan bentuk sajak yang lain yang membedakannya dengan prosa adalah:
1. Sajak pertama-tama bukan merupakan suatu deretan peristiwa, sehingga tidak ditemukan
suatu plot. Sajak pertama-tama adalah monolog, monolog aku lirik.
2. Satuan-satuan pada sajak lebih bersifat satuan irama, satuan bunyi, sedangkan satuan pada
prosa adalah satuan sintaksis; artinya sajak dapat saja tidak mengikuti struktur logis
kalimat, penyimpangan mungkin saja dilakukan untuk kepentingan irama, untuk
kepentingan kepuitisan; dan
3. Bahasa yang dipergunakan di dalam sajak cenderung mengarah kepada konotatif. Hampir
semua sajak memanfaatkan konotasi bahasa. Di samping itu, bahasa pada sajak terasa padat
dan terpusat yang berbeda dengan bahasa prosa (fiksi). Bahasa fiksi cenderung pada makna
denotatif, bersifat menguraikan, mendeskripsikan, serta memaparkan.

Lebih khusus lagi, menurut Timur Pradopo, di dalam sajak terdapat tiga unsur pokok: Pertama, ide
atau emosi. Kedua, bentuknya. Ketiga, kesan. Semua itu terungkap melalui unsur bahasa.
Ketiganya tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Mereka hadir secara bersamaan dan saling mendukung
untuk mencapai efek kepuitisan sehingga melahirkan sajak.

Sementara Marjorie Boulton membagi sajak atas dua unsur yang membentuknya.
1. Bentuk fisik, mencakup penampilan sajak dalam bentuk nada dan lirik sajak termasuk di
dalamnya irama, persamaan bunyi, intonasi, pengulangan dan perangkat bahasa lainnya.
2. Bentuk mental, yaitu tema, urutan logis, pola asosiasi, satuan arti yang dilambangkan, dan
pola-pola citraan serta emosi

Namun, menurut Wellek dan Warren, analisis yang bersifat dikotomis atau terlalu tegas memilah
seperti di atas dianggap belum memberikan gambaran yang memuaskan. Sedangkan menurut
Roman Ingarden, sebuah sajak pada hakikatnya terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Norma-
norma tersebut tidaklah berdiri sendiri-sendiri, melainkan norma yang satu menyebabkan timbulnya
norma yang lain. Norma-norma itu adalah:

1. Lapis Bunyi (Sound Stratum)


Bila sebuah sajak dibacakan, maka yang terdengar pada dasarnya adalah rangkaian bunyi.
Rangkaian bunyi itu menjadi komunikatif dan menarik, karena bunyi dan rangkaian bunyi itu
disusun berdasarkan konvensi bahasa. Karena disusun berdasarkan rangkaian bahasa maka
rangkaian bunyi tersebut menimbulkan arti atau makna. Sampai di sini muncullah tahap kedua:

2. Lapis Arti atau Makna (Unit of meaning)


Rangkaian fonem, suku kata, frase, dan kalimat kesemuanya itu merupakan satuan arti. Rangkaian
kalimat menjadi bait. Bait-bait membentuk kebulatan makna utuh yang memunculkan sebuah
gambaran dunia, dunia imajinasi. Dan lapis kedua ini pun menimbulkan lapis ketiga:

3. Lapis Dunia
Pada lapis ini dimaksudkan bahwa ketika membaca sajak, mau tak mau, pembaca akan
menghubungkan sesuatu yang berada di luar sajak, yaitu sesuatu yang tidak dinyatakan namun
secara eksplisit terasa ada. Lapis ini menyebabkan timbulnya lapis berikut:

4. Lapis Metafisis
Lapis ini menyiratkan sifat-sifat metafisis yang timbul akibat adanya lapis (3) berupa sifat-sifat
metafisis (yang sublim, yang tragis, mengerikan, menakutkan, dan yang suci) yang kesemuanya itu
Page4
akan menimbulkan kontemplasi pada pembaca

Bahasa dalam Sajak

Kritikus satra terkemuka A. Theeuw mengungkapkan bahwa dalam sastra, khususnya sajak, bahasa
yang istimewa selalu menjadi hal paling ditonjolkan. Itulah mengapa membaca sajak berarti
bergulat terus menerus dengan bahasa untuk menemukan makna yang disajikan Penyair.
Karena sajak merupakan refleksi dari pengalaman dan pengetahuan manusia yang terkristalisasi di
dalam batinnya, maka dibutuhkan bahasa khusus atau pilihan untuk membuatnya menjadi kongkret.
Sehingga bahasa pengucapan dalam sajak selalu memiliki ciri sendiri antara satu penyair dengan
penyair lainnya. Mereka memilih ungkapan dan bahasa yang menurut mereka paling pas dan tepat
untuk mengkongkretkan “puisi” atau kepuitisan yang ada dalam diri mereka. Sehingga kecakapan
dalam menggunakan bahasa terpilih menjadi syarat mutlak bagi penyair.

Sejak abad ke V telah dibedakan dua artes (artes adalah kepandaian, teknis, ilmiah, sistem aturan—
baru kemudian dalam bahasa Prancis dan Inggeris art berkembang maknanya menjadi seni) yang
masing-masing diberi nama granunatica dan rhetorica yang meliputi ilmu untuk berbicara secara
tepat, dan poetaqrum enmaratio, semacam ilmu sastra. Sehingga sastrawan sering dianggap
sebagai teladan dalam penggunaan bahasa yang baik dan optimal. Retorika kemudian berkembang
ke arah penelitian dan pemeriksaan sarana-sarana bahasa yang dipakai dalam bahasa yang baik,
termasuk penyimpangan, licentia poetarum keleluasaan penyair. Sehingga pengkajian dan
penafsiran terhadap sajak harus ditopang dengan pemahaman terhadap bahasa di dalam sajak.

Sarana bahasa yang sering dimanfaatkan penyair dalam menulis sajak antara lain adalah: kosa kata,
pemilihan kata atau diksi, citraan atau pengimajian, majas atau bahasa kiasan, sarana retorika, gaya
bahasa, dan ketata-bahasaan.

1. Kosa Kata
Banyak kata-kata yang mempunyai makna atau arti yang sama. Dengan begitu, kata-kata yang sama
artinya itu bisa digunakan untuk mengungkapkan suatu maksud tertentu. Kata yang mana yang
dipilih oleh Penyair, tentulah kata yang dianggapnya paling pas untuk menyampaikan maksudnya
itu.
Kata-kata seperti “Ayah”, “Bapak”, “Papah” mengacu pada arti yang sama, yakni seorang laki-laki
yang umumnya dianggap sebagai suami oleh seorang perempuan atau orang tua laki-laki bagi
seorang anak. Namun, secara esensial rasa atau kesan dari kata itu bisa berbeda. Kata “Ayah”
biasanya digunakan untuk memunculkan kesan formal dan terpelajar. Sedangkan kata “Bapak”
lebih berkesan umum. Adapun “Papah”, biasanya digunakan untuk memunculkan kesan “mewah”.
Hal-hal demikian selalu menjadi perhatian penyair, dan oleh sebab itu harus jadi perhatian pembaca
pula. Demikian pula dengan kata “Sepi”, “Sunyi”, “hening”, “lengang”, secara umum mengacu
pada arti yang sama. Tetapi kesan dan hakikat makna yang dimiliki bisa berbeda. Efek yang timbul
atau ditimbulkan oleh pemilihan kata tertentu akan membedakan kualitas sajak. Maka pemilihan
kosa kata yang tepat akan menunjukkan kematangan penyair. Di samping itu, akan menunjukkan
pula banyaknya perbendaharaan kata yang dimiliki penyair.

Seorang penyair memiliki kebebasan untuk menggunakan kata tertentu, baik yang berasal dari
bahasa lisan pergaulan, formal, kosa kata ilmiah, kamus, diambil dari bahasa daerah, atau dari istilah
yang sudah sangat lama, dan lain-lain. Semua itu dimaksudkan untuk menguatkan unsur kepuitisan
sajak, bukan karena tidak punya pilihan kata lain selain yang diketahuinya itu. Selain itu, pemilihan
kosa kata tertentu juga terkait dengan konteks dan orientasi yang hendak dibangun penyair dalam
sajaknya. Satu kata yang sama bisa memberikan efek, atau kesan dan makna yang berbeda dalam
dua sajak yang berbeda.

2. Pemilihan kata atau diksi


Seluruh kerja Penyair yang berhubungan dengan pemilihan kata setepat mungkin seperti yang telah
diuraikan pada bagian Kosa Kata di atas, disebut diksi. Diksi yang baik berhubungan dengan
pemilihan kata bermakna tepat dan selaras, yang penggunaannya cocok dengan pokok pembahasan
atau peristiwa. (Sudjiman dalam hasanudin WS, 2002; 79).
Page5
3. Citraan atau pengimajian
Pada dasarnya, masalah citraan atau pengimajian (imagery) ini masih berhubungan dengan diksi.
Pemilihan diksi tertntu yang dilakukan penyair adalah untuk mencitrakan suatu ide, emosi, suasana,
atau sebuah konsep yang abstrak di dalam batinnya sehingga menjadi kongkret dan memiliki daya
saran tertentu sehingga mempengaruhi imajinasi atau daya bayang dan perasaan pembacanya. Tentu
saja, daya bayang ini akan sangat berbeda antara satu pembaca dengan pembaca lainnya. Demikian
pula kemampuan mencitrakan sesuatu secara tepat bisa berbeda antar penyair.
Citraan sendiri terbagi dalam beberapa jenis:

a. Citraan penglihatan (visual Imagery)


Citraan penglihatan adalah citraan yang timbul karena daya saran penglihatan. Dalam sajak-sajak
imajis, unsur keputisan sepenuhnya disandarkan pada kekuatan pencitraan atau imaji seperti ini.
Misalnya pada sajak Sapardi Djoko damono; dalam Perahu Kertas)
b. Citraan Pendengaran (Auditory Imagery)
Segala sesuatu yang berhubungan dengan usaha memancing bayangan pendengaran guna
membangkitkan suasana tertentu di dalam sajak dapat digolongkan sebagai citraan pendengaran.
Sesuatu yang tidak ada dibuat seolah-olah menyentuh indera pendengaran, yang akhirnya
menyebabkan pembaca menghubungkan dengan sesuatu. Sesuatu itu tentunya disarankan oleh
sajak.
c. Citraan Penciuman (Smell Imagery) yakni segala gambaran dalam sajak yang menyarankan
sesuatu yang berhubungan dengan indera penciuman.
d. Citraan Rasaan atau pencecapan (taste imagery)
Segala gambaran dalam sajak yang menyarankan sesuatu yang berhubungan dengan indera perasa
(pencecapan).
e. Citraan Rabaan (tactile imagery)
Segala gambaran dalam sajak yang menyarankan sesuatu yang berhubungan dengan indera
perabaan; lembut, kasar, halus, dan lain-lain.
f. Citraan gerak (kinaesthetic imagery)
Segala gambaran dalam sajak yang menyarankan sesuatu yang berhubungan dengan gerak atau
dibayangkan sebagai sesuatu yang seolah-olah bisa bergerak.

4. Bahasa Bermajas (Figurative language)


Dalam kamus istilah sastra (Sudjiman, 1984: 11) yang dikutip oleh Hasanudin WS; 2002; 107,
bahasa bermajas adalah bahasa yang mempergunakan kata-kata yang susunan dan artinya sengaja
disimpangkan dari susunan dan arti biasa, dengan maksud mendapatkan kesegaran dan kekuatan
ekspresi. Caranya ialah dengan memanfaatkan perbandingan, pertentangan, atau pertautan antara
hal yang satu dengan hal yang lain, yang maknanya sudah dikenal oleh pembaca atau pendengar.
Majas sendiri adalah peristiwa pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim
atau menyimpang dari arti harfiahnya. Dengan menggunakan bahasa bermajas, maka sajak
seringkali mempunyai arti tambahan dari sekedar arti yang dapat ditangkap dari bentuk fisik
(tertulis) yang ada. Majas banyak macamnya, meskipun begitu majas tetap mempunyai ciri yang
sama, yaitu mencoba menghubungkan sesuatu dengan cara membandingkan, mempertentangkan,
atau mempertautkan. Jumlah majas cukup banyak. Beberapa di antaranya yang sering digunakan
penyair adalah majas perbandingan, personifikasi, metafora, dan hiperbola.Sering pula para penyair
memanfaatkan dari khasanah prosa (cerita) berunsur majas; alegori, parabel, dan fabel

5. Bahasa Retorika
Bahasa Retorika adalah bahasa yang digunakan untuk membangun unsur kepuitasan berupa
muslihat pikiran. Bahasa Retorika adalah keterampilan pemakaian bahasa secara efektif, tetapi
kadang-kadang bahasa retorika itu berkonotasi bahasa yang “melambung tinggi” yang tidak jujur
dan muluk. Beberpa majas yang menggunakan bahasa retorika adalah pleonasme, hiperbola,
tautolog, paralelisme, dan lainnya. Bahasa retorika ini juga sering dipakai dalam cerita pendek,
novel dan drama. Bahkan dalam seni berbicara, seni retorika memegang peranan penting.

6. Tata Bahasa
Page6
Dalam sajak, sudah lazim kita melihat adanya penyimpangan ketatabahasan yang dilakukan penyair.
Bukan karena mereka tidak mengerti, melainkan penyimpangan itu dilakukan secara sengaja untuk
menimbulkan efek kepuitisan dan keringkasan. Misalnya, penghilangan imbuhan, kata sambung,
atau penyimpangan struktur sintaksis. Namun, tidak berarti penyimpangan ini bersifat wajib dan
mutlak di dalam puisi. Banyak pula penyair yang tidak begitu tertarik memanfaatkan penyimpangan
tata bahasa ini dan membangun kepuitisan sajaknya dengan sarana lain.

Referensi Tambahan: Ragam Majas

A. Majas perbandingan
1. Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
Perjalanan hidup manusia seperti sungai yang mengalir menyusuri tebing-tebing,
yang kadang-kadang sulit ditebak kedalamannya, yang rela menerima segala sampah, dan
yang pada akhirnya berhenti ketika bertemu dengan laut.
2. Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.
Sudah dua hari ia tidak terlihat batang hidungnya.
3. Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan
dan penghubung, seperti layaknya, bagaikan, " umpama", "ibarat","bak", bagai".
Kau umpama air aku bagai minyaknya, bagaikan Qais dan Laila yang dimabuk cinta
berkorban apa saja.
4. Metafora: Gaya Bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda lain karena
mempunyai sifat yang sama atau hampir sama.
Hatimu sedingin angin yang menghembus salju.
5. Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan
dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
6. Sinestesia: Majas yang berupa suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang dicurahkan lewat
ungkapan rasa indra lainnya.
7. Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
8. Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
9. Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi
merek, ciri khas, atau atribut.
Karena sering menghisap jarum, dia terserang penyakit paru-paru.
(Rokok merek Djarum)
10. Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan
hubungan karib.
11. Litotes: Ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri.
Terimalah kado yang tidak berharga ini sebagai tanda terima kasihku.
12. Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut
menjadi tidak masuk akal.
Gedung-gedung perkantoran di kota-kota besar telah mencapai langit.
13. Personifikasi: Pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan
kepada sesuatu yang bukan manusia.
Hembusan angin di tepi pantai membelai rambutku.
14. Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak
bernyawa.
15. Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
Sejak kemarin dia tidak kelihatan batang hidungnya.
16. Totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya
sebagian.
Indonesia bertanding voli melawan Thailand.
17. Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-
kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
Dimana saya bisa menemukan kamar kecilnya?
18. Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana
Page7
adanya.
19. Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur
kata.
Perilakunya seperti ular yang menggeliat.
20. Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
21. Perifrasa: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
22. Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
Kita bermain ke rumah Ina.
23. Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk
menyatakan maksud.
24. Asosiasi: perbandingan terhadap dua hal yang berbeda, namun dinyatakan sama.
Masalahnya rumit, susah mencari jalan keluarnya seperti benang kusut.

B. Majas sindiran

1. Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan
dari fakta tersebut.
Suaramu merdu membuatku tersiksa.
2. Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.
3. Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat
pada manusia (lebih kasar dari ironi).
Kamu kan sudah pintar ? Mengapa harus bertanya kepadaku ?
4. Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau
menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
5. Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.

C. Majas penegasan

1. Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.


2. Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau
menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Saya naik tangga ke atas.
3. Repetisi: Perulangan kata, frasa, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.
4. Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang
berlainan.
5. Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.
6. Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frasa, atau klausa yang sejajar.
7. Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
8. Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.
9. Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang
berlainan.
10. Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang
penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
11. Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih
penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.
12. Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
13. Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan
tersebut.
14. Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur
tersebut seharusnya ada.
15. Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat,
kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
16. Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata
penghubung.
17. Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.
18. Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur
kalimat.
Page8
19. Eksklamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
20. Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu
keseluruhan.
21. Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
22. Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
23. Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam
kalimat.
24. Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi
dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
25. Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk
konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.

D. Majas pertentangan

1. Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan,


namun sebenarnya keduanya benar.
2. Oksimoron: Paradoks dalam satu frasa.
3. Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan
yang lainnya.
4. Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada
bagian sebelumnya.
5. Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa

Deklamasi
Sebagian sarjana dan para ahli menganggap kata deklamasi berasal dari bahasa Latin Declamare
yang artinya membaca karya sastera dengan alat bantu berupa gerak tubuh dan nyanyian. Gerak
tubuh yang dimaksud adalah gerak tubuh tertentu sebagai alat bantu untuk memunculkan (member
efek kuat) pada isi atau kandungan batin yang terdapat dalam puisi. Sedangkan nyanyian bisa
diartikan sebagai memberikan penekanan kepada aspek-aspek musikalitas yang terkandung dalam
puisi seperti, intonasi, tempo, rima, ritme, jeda, dll.
Namun ada pula yang mengatakan kata “Deklamasi” berasal dari bahasa Inggeris “declamation”
yang terbentuk dari kata kerja “to declaim” yang berarti “Speak with Strong Feelling”. Maksud
dari Kekuatan perasaan atau perasaan yang mendalam yang digunakan di dalam pendeklamasian
puisi adalah kemampuan si pembaca untuk menjelmakan atau mewujudkan kandungan batin
(pikiran atau tema, perasaan, suasana, dll) juga keindahan setiap kata dan kalimat yang terdapat di
dalam puisi, seolah-olah Si Pembaca mengalami langsung apa yang dituliskan oleh Si Penyair. Atau
paling tidak, sampai kandungan isi dan keindahan puisi itu memenuhi 3 aspek utama dalam
pembacaan: Indah secara auditif (didengar), Indah secara visual (apa yang tampak; ekspresi,
kostum, dll), dan indah secara kinetis (gerak lahiriah dan gerak batin atau perasaan).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membaca Puisi :


2.Ketepatan ekspresi/mimik; pernyataan perasaan hasil penjiwaan puisi.
Mimik adalah gerak air muka.
2. Kinesik yaitu gerak secara fisik dan gerak batin (perasaan yang mengalir dalam tubuh)
3. Kejelasan artikulasi; ketepatan dalam melafalkan setiap huruf dan kata- kata.
4. Timbre yaitu warna bunyi suara (bawaan) yang dimilikinya.
5. Dinamik artinya keras, lembut, tinggi, rendahnya, suara.
6. Intonasi atau lagu suara

Dalam sebuah puisi, ada tiga jenis intonasi antara lain sebagai berikut :
1. Tekanan dinamik yaitu tekanan pada kata- kata yang dianggap penting.
2. Tekanan nada yaitu tekanan tinggi rendahnya suara. Misalnya suara tinggi menggambarkan
keriangan, marah, takjub, dan sebagainya. Suara rendah mengungkapkan kesedihan, pasrah,
Page9
ragu, putus asa dan sebagainya.
3. Tekanan tempo yaitu cepat lambat pengucapan suku kata atau kata.

Unsur-unsur puisi
Unsur-unsur puisi meliputi struktur fisik dan struktur batin puisi

A.Struktur fisik puisi


Struktur fisik puisi terdiri dari:

1.Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata,
tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap
puisi.

2. Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah
bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya
harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna,
keselarasan bunyi, dan urutan kata.

3. Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif),
imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan
pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
Kata konkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji.
Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misalnya kata kongkret “salju:
melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat
melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.

4. Gaya bahasa, yaitu penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan
menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya
memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Gaya bahasa disebut juga majas.

5. Rima/Irama adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi.
Rima mencakup:
-Onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal "dag dig dug jantungku")
-Bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang,
sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya
-Pengulangan kata/ungkapan. Rima merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya
bunyi. Rima sangat menonjol dalam pembacaan puisi.

B. Struktur batin puisi


Struktur batin puisi terdiri dari

1. Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan
makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.

2. Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya.
Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair,
misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam
masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman
pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada
kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak
bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar
belakang sosiologis dan psikologisnya.

3. Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan
rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan
Page10
pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan
nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.

4. Amanat/tujuan/maksud (intention); yaitu pesan yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca

Jenis Puisi
Menurut zamannya, jenis puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru

A. Puisi lama
Puisi lama adalah puisi yang terikat oleh aturan-aturan. Aturan- aturan itu antara lain :
Jumlah kata dalam 1 baris
Jumlah baris dalam 1 bait
Persajakan (rima)
Banyak suku kata tiap baris
Irama
Ciri puisi lama:
- Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
- Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan.
- Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima.- -

Jenis-jenis puisi lama


1.Mantra; adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
Assalammu’alaikum putri satulung besar
Yang beralun berilir simayang
Mari kecil, kemari
Aku menyanggul rambutmu
Aku membawa sadap gading
Akan membasuh mukamu

2. Pantun; adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12
suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut
isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka.

Kalau ada jarum patah


Jangan dimasukkan ke dalam peti
Kalau ada kataku yang salah
Jangan dimasukkan ke dalam hati

B. Puisi baru
Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata,
maupun rima.
Ciri-ciri Puisi Baru:
- Bentuknya rapi, simetris;
- Mempunyai persajakan akhir (yang teratur);
- Banyak mempergunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola yang lain;
- Sebagian besar puisi empat seuntai;
- Tiap-tiap barisnya atas sebuah gatra (kesatuan sintaksis)
- Tiap gatranya terdiri atas dua kata (sebagian besar) : 4-5 suku kata.

Jenis-jenis puisi baru Menurut isinya, puisi dibedakan atas :

1. Balada adalah puisi berisi kisah/cerita. Balada jenis ini terdiri dari 3 (tiga) bait, masing-masing
dengan 8 (delapan) larik dengan skema rima a-b-a-b-b-c-c-b. Kemudian skema rima berubah
menjadi a-b-a-b-b-c-b-c. Larik terakhir dalam bait pertama digunakan sebagai refren dalam bait-
bait berikutnya. Contoh: Puisi karya WS. Rendra “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”.

2. Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan. Ciri-cirinya adalah lagu pujian
Page11
untuk menghormati seorang dewa, Tuhan, seorang pahlawan, tanah air, atau almamater (Pemandu
di Dunia Sastra). Sekarang ini, pengertian himne menjadi berkembang. Himne diartikan sebagai
puisi yang dinyanyikan, berisi pujian terhadap sesuatu yang dihormati (guru, pahlawan, dewa,
Tuhan) yang bernapaskan ketuhanan.

3. Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa. Nada dan gayanya sangat resmi
(metrumnya ketat), bernada anggun, membahas sesuatu yang mulia, bersifat menyanjung baik
terhadap pribadi tertentu atau peristiwa umum.

4. Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup. Epigram berasal dari Bahasa Yunani
epigramma yang berarti unsur pengajaran; didaktik; nasihat membawa ke arah kebenaran untuk
dijadikan pedoman, iktibar; ada teladan.

5. Romansa adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih. Berasal dari bahasa Perancis:
Romantique yang berarti keindahan perasaan; persoalan kasih sayang, rindu dendam, serta kasih
mesra

6. Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan. Berisi sajak atau lagu yang mengungkapkan
rasa duka atau keluh kesah karena sedih atau rindu, terutama karena kematian/kepergian seseorang.

7. Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik. Berasal dari bahasa Latin Satura yang berarti
sindiran; kecaman tajam terhadap sesuatu fenomena; tidak puas hati satu golongan (ke atas
pemimpin yang pura-pura, rasuah, zalim, dsb.).

Sedangkan macam-macam puisi baru dilihat dari bentuknya (jumlah baris setiap bait) antara lain:
1. Distikon, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas dua baris (puisi dua seuntai).
2. Terzina, puisi yang tiap baitnya terdiri atas tiga baris (puisi tiga seuntai).
3. Kuatrain, puisi yang tiap baitnya terdiri atas empat baris (puisi empat seuntai).
4. Kuint, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas lima baris (puisi lima seuntai).
5. Sektet, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas enam baris (puisi enam seuntai).
6. Septime, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas tujuh baris (tujuh seuntai).
7. Oktaf/Stanza, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas delapan baris (double kutrain atau puisi
delapan seuntai).

8. Soneta, adalah puisi yang terdiri atas empat belas baris yang terbagi menjadi dua, dua bait
pertama masing-masing empat baris dan dua bait kedua masing-masing tiga baris. Soneta berasal
dari kata sonneto (Bahasa Italia) perubahan dari kata sono yang berarti suara. Jadi soneta adalah
puisi yang bersuara. Di Indonesia, soneta masuk dari negeri Belanda diperkenalkan oleh
Muhammad Yamin dan Roestam Effendi, karena itulah mereka berdualah yang dianggap
sebagai ”Pelopor/Bapak Soneta Indonesia”. Bentuk soneta Indonesia tidak lagi tunduk pada syarat-
syarat soneta Italia atau Inggris, tetapi lebih mempunyai kebebasan dalam segi isi maupun rimanya.
Yang menjadi pegangan adalah jumlah barisnya (empat belas baris).
---------------------------------
*) Disarikan dari berbagai sumber bacaan, untuk kepentingan workshop Deklamasi dan Penulisan
Puisi
Page12

Anda mungkin juga menyukai