Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ANALISIS

STARTA NORMA DAN SEMIOTIK DALAM PUISI

Oleh

Utsmanul Fatih ( 121411131002)

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Karya sastra merupakan wujud dari hasil pemikiran manusia.
Karya sastra diciptakan untuk dinikmati dan diapresiasi. Dalam hal
ini setiap penulis memiliki cara dalam menemukan gagasan dan
gambarannya untuk menghasilkan efek-efek tertentu bagi
pembacanya.
Karya sastra sebagai kajian dari semiotik yang menggunakan
gaya bahasa sastra sebagai media untuk menemukan nilai
estetisnya. Aminuddin (199767) mengemukakan terdapat jenis
karya sastra yaitu puisi dan prosa fiksi. Dalam hal ini perbedaan
karakteristik karya sastra mengakibatkan perbedaan dalam
tahapan pemaknaan dan penafsiran ciri dan penggambarannya.
Pengarang memiliki kreativitas masing-masing dan setiap karya
yang dihasilkan memperhatikan kebaharuan dan perkembangan
sosial budaya. Misalnya puisi sebagai objek kajian yang dianalisis.
Setiap orang tentunya pada umumnya memiliki pendapat dan
penafsiran terhadap suatu puisi. Perbedaan itu muncul pula pada
pemahaman seseorang, stilistika akan muncul dengan kekhasan
bahasa yang digunakan dan akan sangat berbeda dengan
penggunaan bahasa sehari-hari.
Sastra terbagi atas dua jenis yaitu sastra lama dan modern.
Sastra ini menjadi objek yang diamati dalam penelitian sastra,
sastra modern dapat meliputi puisi, prosa maupun drama.
Berdasarkan hal tersebut menurut Ratna (2009:19) dari ketiga
jenis sastra modern dan sastra lama, puisilah yang paling sering
digunakan dalam penelitian stilistika. Puisi memiliki ciri khas yaitu
kepadatan
pemakaian
bahasa
sehingga
paling
besar
kemungkinannya
untuk
menampilkan
ciri-ciri
stilistika.
Dibandingkan dengan prosa yang memiliki ciri khas pada cerita
(plot) sedangkan ciri khas drama pada dialog.
Seperti yang dikatakan A. Teeuw (1980:12), puisi sebagai
sebuah karya seni, dapat dikaji dari berbagai aspek yang terdapat
di dalamnya. Puisi dapat dikaji melalui struktur dan unsur-unsur
pembentuknya, mengingat puisi itu adalah struktur yang tersusun
dari berbagai macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan.
Sepanjang zaman, puisi selalu mengalami perubahan dan
perkembangan. Hal ini mengingat hakikatnya sebagai karya seni

yang di dalamnya selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan


pembaruan (inovasi).
Puisi merupakan karya sastra yang kompleks, maka untuk
memahaminya diperlukan analisis agar dapat diketahui bagianbagian serta jalinannya secara nyata. Untuk menganalisis puisi
dengan tepat, perlu diketahui wujud sebenarnya dari puisi
tersebut. Menurut Rene Wellek (1968:150), puisi adalah sebab
yang memungkinkan timbulnya pengalaman. Oleh karena itu, puisi
harus dimengerti sebagai struktur norma-norma. Norma itu harus
dipahamai secara implisit untuk menarik setiap pengalaman
individu karya sastra dan bersama-sama merupakan karya sastra
yang murni sebagai keseluruhan.
Puisi bersifat inspiratif dan mewakili makna yang tersirat dari
ungkapan batin seorang penyair. Setiap kata atau kalimat dalam
puisi secara tidak langsung memiliki makna yang abstrak dan
memberikan imaji kepada pembaca, serta memberi bentuk suatu
bayangan khayalan bagi pembaca. Hal tersebut membuat makna
puisi begitu kompleks.
Karya sastra merupakan struktur yang bermakna.
Mengingat bahwa karya sastra itu merupakan sistem tanda yang
menggunakan medium bahasa. Bahasa dalam puisi memiliki tanda,
tanda-tanda tersebut memiliki arti. Arti atau pemaknaan tersebut
dapat diidentifikasi ataupun diapresiasi melalui citraan dan teori.
Citraan itu termasuk citraan penglihatan, pendengaran, peraba,
perasa, dan penciuman.
Selain itu, bertolak dari teori-teori yang yang dikemukan oleh
Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, yang menganalisis puisi
berdasarkan norma-normanya. Tiap-tiap norma menimbulkan lapis
norma di bawahnya. Norma-norma itu bersusun sebagai
berikut: Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound Stratum).
Dalam membaca puisi akan terdengar rangkaian bunyi yang
dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Suara
disesuaikan dengan konvensi bahasa, disusun begitu rupa hingga
menimbulkan arti. Maka, lapis bunyi menjadi dasar timbulnya lapis
kedua yaitu lapis arti. Lapis arti (units of meaning) berupa
rangkaian fonem, suku kata, frase, dan kalimat yang merupakan
satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan
keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Rangkaian satuansatuan arti ini menimbulkan lapis ketiga, yaitu berupa latar, pelaku,
objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa

cerita atau lukisan. Roman Ingarden masih menambahkan dua


lapis norma lagi yang menurut Wellek merupakan lapis keempat
dan kelima, yaitu:
Lapis dunia yang dipandang dari titik pandang tertentu yang
tidak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya (implied).
Sebuah peristiwa dalam sastra dapat dikemukakan atau
dinyatakan terdengar atau terlihat, bahkan peristiwa yang
sama, misalnya suara jederan pintu, dapat memperlihatkan aspek
luar atau dalam watak.Lapis metafisis, berupa sifat-sifat
metafisis (yang sublim, yang tragis, mengerikan atau menakutkan,
dan yang suci), dengan sifat-sifat ini seni dapat memberikan
renungan (kontemplasi) kepada pembaca. Akan tetapi, tidak
semua karya sastra terdapat lapis metafisis tersebut. Karya sastra
yang bagus juga memiliki tanda-tanda (semiotik), sehingga sastra
memiliki nilai lebih ketika dibaca.

1.2

Rumusan Masalah

Menganalisis strata norma dan semiotik puisi Cintaku jauh di


pulau karya
Chairil Anwar dan Pina karya Kuntowijoyo
1.3

Tujuan Masalah

Mengetahui strata norma dan semiotik puisi Cintaku jauh di


pulau karya
Chairil Anwar dan Pina karya Kuntowijoyo

BAB II
ANALISIS PUISI
2.1 Analisis Stata Norma cintaku jauh di pulau Karya
Chairil Anwar
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar
Di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar

Angin membantu, laut terang, tapi terasa


Aku tidak kan sampai padanya.
Di air yang terang, di angin mendayu,

Di perasaan penghabisan segala melaju

Ajal bertakhta, sambil berkata :


tujukan perahu ke pangkuanku saja
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama kan merapuh!

Mengapa ajal memanggil dulu


Sebelum dapat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau
Kalau ku mati, dia mati iseng sendiri

2.1.1 Lapis Suara


Lapis norma pertama adalah lapis bunyi. Bila orang membaca
puisi, maka yang terdengar itu ialah rangkaian bunyi yang dibatasi
jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Tetapi suara itu bukan
hanya suara yang tak berarti. Suara itu sesuai dengan konvensi
bahasa, disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti (Pradopo,
2003:66).
Sajak tersebut berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata,
dan barangkali merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara
frase, dan suara kalimat. Jadi, lapis bunyi dalam sajak itu adalah
semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu,
di sini bahasa Indonesia. Hanya saja dalam puisi pembicaraan lapis
bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang
bersifat istimewa atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk
mendapat efek puitis atau nilai seni, terutama di sini bunyi-bunyi

yang mengandung ekspresi kuat, yang adanya memang disengaja


oleh penyair untuk mengekspresikan pengalaman jiwanya.
Pada bait pertama baris pertama sajak Cintaku jauh di pulau ada
asonansi a dan u, di baris kedua ada aliterasi s yang berturutturut : gadis manis, sekarang iseng sendiri. Begitu juga dalam bait
kedua ada asonansi a : melancar-memancar-si pacar-terasapadanya. Aliterasi l dan r : perahu melancar. Bulan memancar, laut
terang tapi terasa. Pola sajak akhir bait ke-2, 3, 4 : aa-bb yang
saling dipertentangkan. Memncar-si pacar dipertentangkan dengan
terasa-padanya; kutempuh-merapuh dipertentangkan dengan dulucintaku. Pada umumnya dalam sajak itu bunyi-bunyi yang dominan
adalah vokal bersuara berat a dan u, seperti kelihatan dalam bait
ketiga dan keempat yang dipergunakan sebagai lambang rasa
(klanksymboliek) (pradopo, 2002:17).

2.1.2 Lapis Arti


Lapis arti berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan
kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Akan tetapi,
dalam karya sastra yang merupakan satuan minimum arti adalah
kata. Kata dirangkai menjadi kelompok kata dan kalimat. Kalimatkalimat berangkai menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita
ataupun keseluruhan sajak (Pradopo, 2003:67).
Dalam bait pertama, Cintaku jauh di pulau berarti : kekasiku
berada di pulau yang jauh. Gadis manis, sekarang iseng sendiri,
kekasih si aku masih gadis dan manis. Karena si aku tidak ada, ia
berbuat iseng menghabiskan waktu sendirian. Dapat juga berarti
bahwa si gadis sangat menatikan si aku.
Dalam bait kedua; untuk menuju kekasihnya itu si aku naik perahu
dengan lancar pada waktu terang bulan, tidak berkabut. Meskipun
demikian, si aku merasa tidak akan sampai pada pacarnya.

Bait ketiga : di air laut yang terang dan di angin yang bertiup
kencang

itu

menurut

perasaan

sepenuhnya

(di

perasaan

penghabisan) semuanya serba cepat, laju tanpa halangan, namun


ajal (kematian) telah memberi isyarat akan mengakhiri hidup si
aku.
Bait kelima : karena itu, si aku yang berada di pulau yang jauh itu,
akan sia-sia menanti si aku dan mati menghabiskan waktu sendiri.
Sesungguhnya sajak itu berupa kiasan. Pacar si aku, gadis manis
itu, adalah cita-cita si aku yang menarik, tetapi sukar dicapai,
harus melalui laut yang melambangkan perjuangan yang penuh
rintangan, bahkan menentang maut. Karena itu, sebelum si aku
mencapai cita-citanya ia telah meninggal (Pradopo, 2002:18).

2.1.3 Lapis Ketiga


Rangkaian satuan-satuan arti itu menimbulkan lapis yang ketiga,
yaitu objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan semuanya
itu berangkai menjadi dunia pengarang berupa cerita, lukisan,
ataupun pernyataan.
objek-objek yang dikemukakan : cintaku, gadis manis, laut, pulau,
perahu, angin, air laut dan ajal.
Pelaku atau tokoh : si aku. Latar waktu : waktu malam terang
bulan. Latar tempat : laut yang terang (tidak berkabut).
Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang
diciptakan oleh pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan
antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur
ceritanya (alur); seperti berikut :
Gadis manis, kekasih si aku berada sendirian di sebuah pulau yang
jauh. Si aku ingin menemaninya, ia naik perahu dengan laju pada
waktu malam terang bulan. Laut tak berkabut, angin meniup

kencang. Akan tetapi dalam keadaan serba lancar itu, si aku


merasa ia tidak akan sampai pada kekasihnya karena maut yang
lebih dulu menghalang. Bahkan setelah bertahun-tahun berlayar,
hingga perahu yang dinaiki akan merapuh (rusak). Kaena itu, kalau
si aku tidak akan sampai ke tempat kekasihnya, maka gadis itu
akan sia-sia menghabiskan waktu sendirian (pradopo, 2002:17).

2.1.4 Lapis Keempat


Lapis norma keempat adalah lapis dunia yang dipandang dari
titik pandang tertentu yang tidak perlu dinyatakan secara eksplisit
karena sudah terkandung di dalamnya (implisit). Sebuah peristiwa
dapat dikemukakan atau dinyatakan terdengar atau terlihat,
bahkan peristiwa yang sama, misalnya jederan pintu, dapat
menyiratkan atau memperlihatkan

aspek

watak

luar

atau

dalam. Misalnya, pintu membuka bersuara halus dapat memberi


sugesti yang membuka atau yang menutup seorang wanita atau
orang yang berwatak hati-hati. Keadaan yang telihat dapat
memberikan

sugesti

atau

menyiratkan

orang

yang

ada

di

dalamnya.
Di pandang dari sudut pandang tertentu kekasih si aku itu menarik,
kelihatan dari kata-kata : gadis manis. Bait kedua menyatakan
sesuatu yang menyenangkan dan si aku penuh kegembiraan
berlayar

di

laut

yang

terang.

Bait

keempat

menyatakan

kegelisahan si aku yang merasa bahwa usahanya sia-sia.


Bait

ketiga

menyatakan

segalanya

berjalan

dengan

baik,

perahunya berlayar dengan laju dan baris ke-3,4 menyatakan si


aku telah dihadang kematiannya.
Bait keempat dan kelima menyatakan kegagalan si aku untuk
mencapai gadisnya (cita-citanya) meskipun segala daya upaya
telah dilakukan. Sebelum mencapai cita-citanya si aku mati
(Pradopo, 2002:19).

2.1.5 Lapis Kelima


Lapis norma kelima adalah lapis metafisis, berupa sifat-sifat
metafisik (yang sublim, yang tragis, mengerikan atau menakutkan,
dan

yang

suci).

Dengan

sifat-sifat

ini

karya

sastra

dapat

memberikan renungan (kontemplasi) kepada pembaca.


Dalam sajak ini lapis itu berupa ketragisan hidup manusia : yaitu
meskipun segala usaha telah dilakukan, disertai sarana yang
cukup, bahkan segalanya berjalan dengan lancar, tetapi sering kali
manusia tidak dapat mencapai apa yang diidam-idamkan (yang
dicita-citakannya) karena maut telah lebih dulu menghadang.
Dengan demikian, cita-cita yang hebat, menggairahkan, akan siasia saja (pradopo, 2002:19
2.2 Analisis Puisi Pina Karya Kuntowijoyo

PINA
(KUNTOWIJOYO)
Di atas pohon pina
surya
mempersembahkan sinarnya
pada semesta
Seseorang tertidur
sangat lelap
di bawahnya
tidak tahu
bahwa Waktu sudah berjalan

sampai di tikungan
2.2.1 Analisis Strata Norma
Analisis lapis pertama (bunyi atau sound stratum)

Pada baris pertama puisi tersebut ada pengulangan bunyi


vokal pada sebuah baris yang sama(asonansi) yaitu i dan a.

Pada baris pertama sampai baris keempat


terdapat
pengulangan bunyi vokal a (pina- surya- sinarnya- semesta)

Pada baris ke-10 (terakhir) ada Pengulangan bunyi vokal dari


kata-kata yang berurutan atau rima awal(aliterasi) yaitu a (pada
semesta)

Pada baris ke-6 dan ke-7 terdapat pengulangan bunyi


konsonan ng (Seseorang-sangat)

Pada baris ke-9 dan ke-10 (terakhir) terdapat pengulangan


bunyi konsonan n (berjalan-tikungan)

Pada baris ke-10 (terakhir) ada Pengulangan bunyi vokal dari


kata-kata yang berurutan atau rima awal(aliterasi) yaitu i (sampai
di tikungan).
Analisis lapis kedua (arti atau units of meaning)

Di atas pohon pina

Pohon pina adalah jenis pohon yang tumbuh liar ditepi sungai
dan ditempat-tempat lain, pohon ini berbatang langsing, tinggi,
tegak dan tidak bercabang (mirip pohon kelapa). Biasanya disawah
pohon pina dijadikan tempat bersandar karena batang pohonnya
yang tegak.

surya

surya=fajar=matahari=mentari
Merupakan bintang yang mempunyai energi panas terbesar di
dunia yang berguna bagi kelangsungan hidup makhluk hidup
(tumbuh-tumbuhan, biantang dan manusia) melalaui cahaya/sinar
yang dipancarkannya kebumi. Tanpa sinar surya tumbuh-tumbuhan

tidak dapat berfotosintesis dan tanpa sinar surya juga alam akan
menjadi gelap gulita.

mempersembahkan sinarnya

Sinar surya/matahari yang dipancarkan kebumi terus menerus


tanpa henti untuk membantu kelangsungan hidup makhluk hidup
adalah sebuah rasa kasih sayangnya yang tanpa lelah ia
pancarkan. Meski ia adalah sebuah benda mati dengan pancaran
sinarnya yang menyinari dunia ini merupakan sebuah jasa yang
teramat besar.

pada semesta

alam yang begitu teramat luas , tidak mampu dihitun berapa


luasnya dan dialamnya ada berjuta-juta bintang, planet yang
merupakan benda-benda langit yang ada dalam semesta ini, tidak
mampu dihitun berapa luasnya. Dan pada semesta ini hidup
berjuta-juta kehidupan pula.

Seseorang tertidur

Seseorang=satu orang
Tertidur=dengan tidak sengaja tidur
Seseorang yang dengan tidak sadar tidur atau tiba-tiba tidur
sehingga tidak menyadarkan diri

sangat lelap

keadaan yang benar-benar tidak menyadarkan diri, sangat tidak


dalam keadaan sadar

di bawahnya

dari tempatnya yang lebih rendah

tidak tahu

tidak tahu menahu tentang suatu hal

bahwa Waktu sudah berjalan

waktu adalah suatu hal yang terus-menerus berjalan bergerak


maju dan dengan cepat berubah dari satu titik ke titik didepannya.

sampai di tikungan

ketika sesuatu yang beranjak sampai hingga tikungan, akan


dengan sekejap hilang dari pandangan, karena arahnya yang telah
berbelok.

Analisis lapis ketiga (objek-objek, latar, pelaku, dunia pengarang


dan lain-lain)

Baris ke-1

pohon pina

Baris ke-2

surya

Baris ke-3

sinarnya

Baris ke-4

semesta

Baris ke-5

Seseorang

Baris ke-6

lelap

Baris ke-7

di bawahnya

Baris ke-8

tidak tahu

Baris ke-9

Waktu

Baris ke-10

tikungan

Analisis lapis keempat (Lapis Implisit)


Pohon pina yang tinggi dan tumbuh tegak adalah
penggambaran sebuah jalan atau sebuah cara untuk meraih sinar
yang terpancar diatasnya, pohon pina memang bukan pohon yang
mudah untuk dipanjat karena tidak bercabang seperti pohon yang
lain, tapi dengan usaha yang sungguh-sungguh tidak ada hal yang
tidak bisa, namun ada seseorang yang tertidur dibawahnya,
menggambarkan bahwa ia hanya diam sementara orang bekerja,
ia peka terhadap tuntutan kehidupan ini, zaman yang akan
terus berubah, tetapi ia diam tidak melakukan perubahan,
tidak melakukan suatu hal yang berguna untuk dirinya atupun
orang lain, sedangkan orang-orang telah melakukan perubahan
pada dirinya, menggunakan kesempatan waktu yang ia punya
untuk menggapai mimpi mereka masing-masing dengan harapan
dan tekad kuat dalam dirinya, tetapi orang itu, adalah orang yang

tidak sigap menuai harapan dalam hidup ini, dan acuh akan
kesampatan yang ada, malah terbuai pada gemerlap kehidupan
yang hanya menghasilkan kesia-siaan sehingga apa yang
diimpikannyapun tak akan ia dapatkan di masa yang akan datang.
Lapis kelima (metafisis)
Jangan menunggu apa-apa lagi untuk memulai mimpi, karena
waktu tak akan menunggu kita. Lakukan apa yang ada dihadapan
kita, dengan sendirinya kemudahan terbuka.
2.2.2

Analisis Semiotik

Pina

= Pohon pina yang tinggi dan tumbuh tegak adalah


penggambaran sebuah jalan.

Surya

= Tuntunan

Sinarnya

= harapan

Tertidur

= Tidak mau berusaha

Tikungan = Kesesatan

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Dalam mengapresiasi suatu puisi metode yang dapat
dilakukan bermacam-macam. Dan ketika membuat seuatu analisis,
perlu sebuah teori yang telah teruji dan mampu mengupas semua
masalah dalam puisi tersebut. Salah satunya adalah teori dari
Roman Ingarden yang menyebutnya strata norma. Strata norma
terdiri dari empat lapis. Di antaranya lapis bunyi, lapis arti, lapis
dunia, dan lapis metafisis.
Pada puisi Derai-Derai Cemara karya Chairil Anwar, secara
keseluruhan memberi arti bahwa jangan menyia-nyiakan waktu.

Perubahan yang terjadi pada diri haruslah lebih baik dari


sebelumnya agar tidak menyesal dikemudian hari. Banyak yang
harus dibekali dalam diri ini untuk menggapai kematian yang
tentram dan damai.
Pada puisi Datang Dara,
memberi makna bahwa tidak
Gunakanlah waktu dalam hidup
tidak mengabaikan nasihat dari
terpuruk dalam kehidupan dan
pernah terduga sebelumnya.

Hilang Dara, secara keseluruhan


ada yang sempurna di dunia.
untuk mengejar impian dengan
orang lain. Jika tidak kita akan
menunggu kematian yang tidak

DAFTRA PUSTAKA
Pradopo, Rachmad Djoko. (1997). Pengkajian puisi : analisis strata
norma dan analisis struktural dan semiotik. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Pengkajian
Gadjah Mada University Press.

Puisi. Yogyakarta:

Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra;


Perkenalan Awal terhadap Ilmu Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung:
Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai