PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra hadir sebagai wujud nyata imajinatif kreatif seorang
sastrawan dengan proses yang berbeda antara pengarang yang satu dengan
pengarang yang lain, terutama dalam penciptaan cerita fiksi. Proses tersebut
bersifat individualis artinya cara yang digunakan oleh tiap-tiap pengarang dapat
berbeda. Perbedaan itu meliputi beberapa hal diantaranya metode, munculnya
proses kreatif dan cara mengekspresikan apa yang ada dalam diri pengarang
hingga bahasa penyampaian yang digunakan (Waluyo, 2002: 68).
Salah satu bentuk karya sastra yang Freud dalam teori psikoanalisisnya
sangat erat hubungannya dengan sastra. Teori psikoanalisis memberikan adanya
dorongan bawah sadar yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Sebagaimana
kita ketahui bahwa seorang pengarang dalam menghasilkan suatu karya kadang-
kadang dipengaruhi oleh unsur alam bawah sadar, sehingga membantu dalam
menghasilkan karya sastra.
Sebagai sebuah karya sastra, Novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode
merupakan salah satu novel antropologi yang ditulis berdasarkan penelitian
bertahun-tahun pada kebudayaan Wakatobi - Buton. Novel ini merupakan
rekaman dari dinamika kebudayaan Wakatobi Buton selama ini. Novel ini
menyajikan kisah cinta dua orang anak Manusia (Amalia Ode) dengan Imam yang
penuh dengan lika-liku adat, pelarangan, pelanggaran, hingga sebuah permintaan
yang berakhir dengan kehilangan jiwa (Amalia Ode). Mimpi pertemuan dengan
seorang Mahasiswa yang memanggilnya ibu, telah memaksa Amalia Ode untuk
tetap mempertahankan cintanya. Ia Bertahan sampai ia melahirkan anaknya.
Perkawinannya dengan La Ode Halimu, menyadarkan La Ode Halimu bahwa
perkawinan bukan hanya dilandasi oleh adat dan budaya, tetapi harus dilandasi
dengan cinta dan kasih sayang. Jabat tangan bukan hanya sebagai ritual, tetapi
lebih dari itu. (DBBO: 7).
1
Novel ini juga memberikan gambaran tentang kepribadian yang
digambarkan melalui tokoh Imam. Dimana, patah hati yang menimpa hati Imam
seorang lelaki yang memang rapuh, membuat Imam mengalihkan seluruh cintanya
untuk menuntut pendidikan sebagai bentuk pemberontakan pada budayanya,
budaya yang telah mendiskreditkan dirinya, budaya Ode yang masih dianggap
sebagai darah biru oleh masyarakat Buton, sementara Imam menyadari bahwa
Ode adalah bentuk kreativitas yang diberikan oleh budaya bagi mereka yang
berkarya (DBBO: 7).
Pengarang menggambarkan unsur kehidupan tersebut melalui tokoh-
tokohnya. Dalam novel ini terdapat tokoh utama. Yaitu Imam seorang anak
nelayan yang berkeinginan untuk mendapatkan restu adat dan budaya bersama
perempuan yang dicintainya yaitu Amalia Ode menjadi bahan hangat di
kampungnya, persoalan gelar bangsawan yang dimiliki Amalia Ode menjadi
larangan keras untuk mempersatukan antara kedunya tersebut
Alasan peneliti mengambil novel tersebut karena gagasan cerita yang
menarik untuk dikaji, dilihat dari segi penceritaannya novel Di Bawah Bayang-
Bayang Ode karya Sumiman Udu dilengkapi bait-bait nasihat perjalanan
kehidupan tokoh utama yang paling mendominasi dan saling berkaitan yang
bergerak dalam panggung pementasannya. Belum ada penelitian relevan terhadap
novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya Sumiman Udu, jadi penelitian relevan
hanya berfokus pada kesamaan teorinnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimanakah resepsi sastra terhadap pembaca dan struktur kepribadian
tokoh utama dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya Sumiman Udu:
Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud?
2
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis
resepsi sastra terhadap pembaca dan struktur kepribadian tokoh utama dalam
novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya Sumiman Udu: kajian Psikoanalisis
Sigmund Freud
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini sangat diharapkan dapat member manfaat bagi
banyak orang. Ada dua bentuk manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu:
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam dunia kesusastraan Indonesia yang terkait dengan
masalah analisis resepsi sastra terhadap pembaca dan psikoanalisis, khususnya
mengenai struktur kepribadian Sigmund Freud.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktisnya, yakni: (1) Memberikan sumbangan yang
berharga mengenai langkah-langkah menganalisis novel dengan menggunakan
teori analisis resepsi sastra dan psikoanalisis Sigmund Freud, (2) Dapat
menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam studi sastra dengan
tinjauan analisis resepsi sastra dan psikoanalisis Sigmund Freud, (3) serta dapat
dijadikan bahan acuan bagi peneliti selanjutnya.
3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Karya Sastra
Kata sastra dalam perkembangannya berasal dari bahasa sanskerta.
Kemudian, kata sastra dipakai dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) dengan makna
karangan. Kata sastra itu membawa makna aslinya seperti itu ketika kata sastra
masuk ke dalam wilayah bahasa Indonesia. Untuk mengatakan suatu karangan
atau tulisan yang indah, bagus, baik, dan dipakailah tambahan su di depannya
sehingga menjadi susastra yang berarti karangan yang indah atau tulisan itu
ditambahkan konfiks ke-an sehingga terbentuklah kata kesusastraan. Jadi,
kesusastraan adalah kumpulan karangan atau tulisan yang indah, yang baik, dan
yang bagus (Tasai, 2003: 1).
B. Tokoh
Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh utama
atau tokoh inti atau tokoh sentral dan tokoh tambahan atau tokoh periferal.
Penjelasan tentang tokoh utama dan tokoh tambahan disampaikan oleh
(Aminuddin 2009: 79). Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam
suatu cerita disebut dengan tokoh utama, sedangkan tokoh tambahan merupakan
tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya
melengkapi, melayani, dan mendukung pelaku.
Aminuddin dalam (Nurgiyantoro, 2013: 79-80) menyatakan terdapat dua
macam tokoh dalam suatu cerita, yaitu:
1. Tokoh Utama
Tokoh utama adalah tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu
cerita.Tokoh ini merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai
pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel-novel tertentu,
tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap
halaman buku cerita yang bersangkutan.
4
2. Tokoh Pembantu
Tokoh pembantu adalah tokoh yang memiliki peranan tidak penting dalam
cerita dan kehadiran tokoh ini hanya sekedar menunjang tokoh utama.
Berdasarkan perwatakannya.
3. Tokoh Sederhana
Tokoh sederhana adalah tokoh ynag memilki satu kualitas pribadi tertentu,
satu sifat watak yang tertentu saja. Sifat dan tingkah laku seseorang tokoh
sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu.
4. Tokoh Kompleks
Tokoh kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai
kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.Ia dapat
memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia dapat pula
menampilkan watak dan tingkah laku yang bermacam-macam, bahkan mungkin
seperti bertentangan dan sulit diduga Abrams dalam (Nurgiyantoro 2013: 181-
183).
5
kesadaran untuk membangkitkan kembali nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka
kesadaran humanisme universal, c) kesadaran bahwa nilai-nilai karya sastra dapat
dikembangkan hanya melalui kompetensi pembaca, d) kesadaran bahwa
keabadian nilai karya seni disebabkan oleh pembaca, e) kesadaran bahwa makna
yang terkandung dalam hubungan ambiguitas antara karya sastra dan pembaca.
Berkat adanya keterlibatan pembacalah hakikat multikultural bisa digali secara
maksimal (Ratna, 2011: 166).
Dalam rangka memahami suatu teks, sesuai dengan hakikat karya sastra
yang polisemi, yang ambigous, maka ada satu keinginan untuk menemui “arti
yang sebenarnya” dari teks itu. Dalam hal ini, resepsi sastra mengakui adanya
polisemi pada sebuah karya sastra karena khalayak (audiens) berhak
memaknainya. Dalam pemaknaan ini, “arti” dikongkretkan dalam hubungan
penerimaan oleh khalayak itu sesuai dengan “pembawaan” karya itu kepada dunia
khalayaknya, sehingga ia mempunyai akibat (Wirkung) terhadap pembacanya,
artinya sesuai dengan ideologi khalayaknya (Junus, 1985: 2). Dengan demikian,
jika suatu karya sastra dibaca (dimaknai) oleh pembacanya, maka itu berarti ia
sedang dikongkretkan oleh masyarakat pembacanya (audiensnya).
Proses pembacaan bagi teori resepsi selalu bersifat dinamis, pergerakan
dan pemekaran yang kompleks sepanjang waktu. Karya sastra sendiri eksis hanya
sebagai apa yang disebut ahli teori Polandia Roman Ingarden sebagai seperangkat
‘schemata’ atau arah yang umum yang harus diaktualisasikan oleh pembaca.
Untuk melakukan ini, pembaca akan membawa ‘prapemahaman’ tertentu ke
dalam karya sastra. Sebuah konteks kepercayaan dan ekspektasi yang samar-
samar yang di dalamnya pembaca akan memeriksa ciri-ciri karya yang bervariasi.
Tetapi selagi proses pembacaan berjalan, ekspektasi tadi dengan sendirinya akan
dimodifikasi oleh apa yang kita pelajari dan lingkaran hermeneutik akan mulai
berputar (Eagleton, 2007: 109).
Masalah-masalah lain yang perlu juga diperhatikan di dalam penelitian
resepsi sastra adalah masalah penyalinan, penyaduran, dan penerjemahan. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikatakan Teeuw (1984: 213). Selain itu, Soeratno (1991:
22) mengatakan bahwa dalam penelitian resepsi sastra perlu diperhatikan juga
6
kemungkinan sambutan suatu teks terhadap teks yang lain. Sambutan tersebut
dapat berupa pengolahan kembali, pemutarbalikan, pemberontakan, dan penulisan
kembali teksnya.
Dari pendapat mengenai teori resepsi sastra penulis dapat simpulkan
bahwa teori resepsi sastra yang bisa didefenisikan sebagai pengolahan teks, cara-
cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons
terhadapnya teori resepsi sastra merupakan teori yang memfokuskan pembaca
sebagai subjek yang aktif dalam menanggapi dan memaknai sebuah karya sastra,
dalam memaknai karya sastra tiap orang akan berbeda dengan orang lainnya, dan
bukan hanya tiap orang akan tetapi tiap periode juga berbeda dalam memaknai
karya sastra. Sehingga perbedaan itulah yang memunculkan akan adanya
cakrawala harapan dan tempat terbuka yang estetika resepsinya bahwa karya
sastra itu sejak terbitnya selalu mendapatkan resepsi atau tanggapan para
pembacanya.
7
E. Psikoanalisis Sigmund Freud
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai
aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam
berkarya. Begitu pula pembaca dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari
kejiwaan masing-masing. Bahkan psikologi sastra mengenal karya sastra sebagai
pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah ke
dalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi pengalaman sendiri dan
pengalaman hidup disekitar pengarang, akan terproyeksi secara imajiner ke dalam
teks sastra (Endraswara, 2013: 96).
Teori psikoanalisis menjadi teori yang paling komprehensif diantara teori
kepribadian lainnya, namun juga mendapat tanggapan yang baik tanggapan positif
maupun tanggapan negatif. Peran penting dalam ketidaksadaran beserta insting-
insting seks dan agresif yang ada didalamnya dalam pengaturan tingkah laku,
menjadi karya temuan monumental Freud. Sistematika yang dipakai Freud dalam
dalam mendeskripsikan kepribadian menjadi tiga pokok yaitu: struktur
kepribadian, Dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian. Dalam
penelitian ini, peneliti berfokus pada dinamika kepribadian khususnya teori
struktur kepribadian (id, ego, superego) Sigmund freud dan perkembangan
kepribadian yaitu mekanisme pertahanan ego.
8
Teori psikoanalisis dari Sigmund Freud, yang menurut beliau kepribadian
itu terdiri dari tiga unsur, yaitu: 1) Id; 2) Ego; 3) Superego, yang menurut beliau
ketiga unsur tersebut bekerja sama untuk menghasilkan perilaku manusia yang
komples. Ketiga unsur kepribadian diuraikan berikut ini.
1) Id
Sigmud Freud merupakan seorang psikolog dan filosof terkenal dan
pernah mendapatkan penghargaan Goethe Prize. Beliau lahir pada 6 Mei 1856 di
Freiberg, beliau merupakan seorang Austria keturunan Yahudi dan juga pendiri
aliran psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi. Menurut Sigmund Freud, Id
merupakan sumber segala energi psikis sehingga Id merupakan komponen utama
dalam kepribadian. Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir
sejak lahir, aspek kepribadiannya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan
primitif. Id didorong oleh prinsip kesenangan yang berusaha untuk memenuhi
semua keinginan dan kebutuhan, apabila tidak terpenuhi maka akan timbul
kecemasan dan ketegangan. Menurut Frued id mencoba untuk menyelesaikan
ketegangan yang diciptakan oleh prinsip kesenangan dengan proses utama yang
melibatkan proses dalam pembentukan citra mental dari objek yang diinginkan
sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan. Sebagai contoh adalah ketika merasa
lapar atau haus maka akan segera memenuhi kebutuhan tersebut dengan makan
atau minum sampai id tersebut terpenuhi.
Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar
memenuhi kebutuhan dasar. Id adalah sistem kepribadian manusia yang paling
dasar, disebut pula “libido”. Id merupakan aspek kepribadian yang paling “gelap”
dalam bawah sadar manusia, berisi insting dan nafsu-nafsu, tak kenal nilai dan
menjadi “energi buta”, karena belum dikendalikan. Misalnya kebutuhan makan,
seks, menolak rasa sakit atau tidak nyaman. Id berada di alam tak sadar dan tidak
ada kontak dengan realitas sosial. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip
kesenangan, yakni selalu mencari kesenangan dan menghindari ketidaknyamanan
(Minderop, 2010: 21).
Ciri-ciri dari id adalah tidak memiliki moralitas karena tidak dapat
membedakan antara baik dan jahat maka id adalah amoral, primitif. Seluruh
9
energinya hanya digunakan untuk satu tujuan mencari kenikmatan tanpa
menghiraukan apakah hal itu tepat atau tidak. Sebagai daerah yang menyimpan
insting-insting (motivator-motivator primer), id beroperasi menurut proses primer
(Semiun, 2006: 63).
2) Ego
Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk
menangani dengan realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id dan
memastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat
diterima di dunia nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar, prasadar, dan tidak
sadar. Ego beroperasi menurut proses sekunder. Tujuan proses sekunder adalah
mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukannya suatu objek yang cocok
untuk pemuasan kebutuhan. Dengan kata lain fungsi ego adalah menyaring
dorongan-dorongan yang ingin dipuaskan oleh Id berdasarkan kenyataan.
Freud (dalam Minderop, 2010: 21) berpendapat bahwa ego terperangkap
di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh pada prinsip
realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang dibatasi oleh
realitas. Misalnya seseorang yang hanya ingin memenuhi kepuasan diri sendiri
akan tertahan dan terhalang oleh realitas kehidupan yang dihadapi.
Menurut Frued (dalam Semiun, 2006: 64-65) ego dikatakan mengikuti
prinsip kenyataan (reallity principle) dan beroperasi menurut proses sekunder.
Tujuan prinsip kenyataan adalah mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukan
suatu objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan. Untuk sementara waktu,
prinsip kenyataan menunda prinsip kenikmatan, meskipun prinsip kenikmatan
akhirnya terpenuhi ketika objek yang dibutuhkan ditemukan dan dengan demikian
tegangan direduksikan.
Prinsip kenyataan menanyakan apakah pengalaman benar atau salah yakni
apakah pengalaman itu ada dalam kenyataan dunia luar atau tidak sedangkan
prinsip kenikmatan hanya tertarik pada apakah pengalaman itu menyakitkan atau
menyenangkan. Freud juga berpendapat bahwa ego terdiferensiasi dari id ketika
bayi belajar membedakan dirinya dari dunia luar. Meskipun id tetap tidak
berubah, namun ego terus menerus berubah. Meskipun id tetap mengikuti
10
tuntunan tuntunan tidak realistik dan tidak mengalah dalam mencari kenikmatan,
namun ego harus realistik. Id menyiapkan energy bagi seseorang, sedangkan ego
harus melakukan kontrol.
3) Super Ego
Menurut Sigmund Freud, Superego adalah suatu gambaran kesadaran akan
nilai-nilai dan moral masyarakat yang ditanam oleh adat-istiadat, agama,
orangtua, dan lingkungan. Pada dasarnya Superego adalah hati nurani, jadi
Superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian, baik yang benar atau
yang salah. Superego hadir dalam sadar, prasadar dam tidak sadar. Id, Ego dan
Superego saling mempengaruhi satu sama lain, ego bersama dengan superego
mengatur dan mengarahkan pemenuhan id dengan berdasarkan aturan-aturan yang
benar dalam masyarakat, agama dan perilaku yang baik atau buruk.
Aktivitas superego menyatakan diri dalam konflik dengan ego yang
dirasakan dalam bentuk emosi seperti rasa bersalah, rasa menyesal, dan lain
sebagainya sedangkan menurut Freud dalam (Moesono 2003:31) superego
dibentuk melalui jalan internalisasi, artinya larangan-larangan atau perintah yang
berasal dari luar (misalnya orang tua). Hal ini di olah sedemikian rupa sehingga
akhirnya terpancar dari dalam. Dengan demikian, larangan yang tadinya dianggap
“asing” bagi subjek, akhirnya dianggap sebagai berasal dari subjek sendiri.
Superego merupakan dasar moral seseorang.
11
BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Dikatakan deskriptif karena dalam penelitian ini mendeskripsikan data
berdasarkan kenyataan-kenyataan secara objektif, sesuai dengan data yang
ditemukan dan dikatakan kualitatif karena dalam menjelaskan konsep-konsep
yang berkaitan satu sama lain atau kalimat, bukan menggunakan angka-angka
statistik.
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan. Dikatakan penelitian kepustakaan karena penelitian ini didukung
oleh referensi baik berupa teks novel maupun sumber buku penunjang lainnya
(Internet, Koran, dan Majalah) yang mencakup masalah dalam penelitian ini.
12
1. Membaca keseluruhan novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya
Sumiman Udu secara berulang-ulang.
2. Mencatat data dan hal-hal yang berkaitan dengan cinta terlarang adat dan
budaya dikajian dalam bentuk psikologi kepribadiannya dan
menginterpretasikan kedalam teori analisis resepsi sastra.
13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
14
Amalia berpesan pada ibunya sebelum meninggal dunia, “satu pesanku,
ibu. Kalau suatu saat nanti lahir anakku, jangan sisipkan kata “ode” di namanya.
Namai saja ia Anastasia, nanti sejarahlah yang akan memberikan “ode” itu di
depan namanya, kalau memang itu perlu”.
15
yang nota bene orang Buton. Dari dalam novel terbaca bahwa pengarang sangat
mengenal daerahnya dan mempunyai visi dan misi yang jelas untuk membangun
generasi muda melalui pendidikan.
Novel yang sarat dengan gejolak pemikiran pengarang untuk kemajuan
anak bangsa tidak terasa berat dibaca karena dikemas dengan apik oleh
pengarangnya terlebih penggambaran keelokan Wakatobi yang dipromosikan
beberapa tahun belakangan ini dapat dinikmati melalui novel ini terutama bagi
yang belum berkesempatan berkunjung ke sana.
1. Id (Das Es)
Salah satu bentuk psikologi kepribadian yang terdapat dalam novel ini
yaitu id. Id merupakan watak dasar pada setiap manusia yang hadir sejak manusia
lahir dan berisi sifat-sifat keturunan, naluri seksual dan agresif. Id beroperasi
berdasarkan prinsip kenikmatan, yaitu berusaha memperoleh kenikmatan dan
menghindari rasa sakit.
Id dicirakan tidak memiliki moralitas karena tidak dapat membedakan
antara baik dan jahat maka id adalah amoral, primitif. Tipe id ini dengan tegas
menunjukkan seluruh energinya hanya digunakan untuk satu tujuan mencari
kenikmatan tanpa menghiraukan apakah hal itu tepat atau tidak. Sejalan dengan
sikap, perilaku dan karakter tokoh utama yang diwujudkan dalam novel Di Bawah
Bayang-Bayang Ode yang mendeskripsikan sifat tokoh utama yang nalurinya
memiliki dan mengiginkan seorang perempuan bernama Amalia Ode tatapi
16
terhalangnya oleh adat dan budaya.
Tokoh utama dalam novel DBBO, merupakan seorang anak nelayan
bernama Imam yang menentang adat dan budaya, dengan mengedepankan logika
berfikir, keinginannya untuk menikahi seorang Amalia Ode hanya keinginan belaka,
karena sudah terkena oleh masyarakat hegemoni budaya kebangsawanan. Berikut
kutipannya:
“Bu, mungkinkah aku akan lari dari kenyataan, bahwa aku
mencintai Lia? Apakah aku harus membohongi hati nuraniku?
Apakah aku harus mengalah? Bukankah adat hanyalah buatan
manusia? Bukankah itu hanyalah ego para bangsawan? Tidak!
Tidak Bu, apapun yang terjadi ibu harus datang melamar, sebagai
wujud tanggung jawab Imam, Bu!” (DBBO: 20)
Kutipan tersebut memperlihatkan bagaimana kesungguhan Imam untuk
menikahi Amalia Ode dengan memberikan bantahan kepada ibunya bahwasanya
adat itu hanyalah buatan manusia dengan alasan dia akan bertanggung jawab
dengan cara datang melamar Amalia Ode. Imam tidak pernah berfikir bahwasanya
dia juga telah menentang adat budaya yang telah disepakati orang terdahulu. Rasa
ingin menikahi dan memiliki seorang Amalia Ode sangatlah besar dia juga tidak
bisa membohongi hati nurani untuk tetap bersama Amalia Ode.
Hal tersebut menjadi alasan keganasan adat jika melihat seseorang dari
gelar bangsawannya dua orang anak manusia yang saling mencintai harus kandas
ditengah jalan karena persoalan budaya. Inilah yang mendorong seorang Imam
untuk bertemu Amalia Ode. Keinginan dan rasa rindu yang amat berat dirasakan
oleh Imam dan Amalia Ode terlampiaskan oleh hasrat membabi buta
mementingkan nafsu dan tidak berfikir akan dampaknya. Berikut kutipannya:
“Sampai di kamar, Lia kembali lagi memeluk Imam, Semantara
tangannya bergerak seperti seorang penari menyelusuri setiap
lekuk tubuh Imam. Tarian kerinduan yang tidak pernah
dipelajarinya, gerakan erotik yang tidak pernah dimimpikannya.
Jantungnya berdetak lebih kencang lagi, dan magma gunung
Lambelu menggelegak. Kedunaya larut, mereka melupakan
semuanya. Akhirnya larut dalam puisi tanpa kata”. (DBBO: 93).
17
kembali. Kamar itulah yang menjadi saksi bisu pertemuan antara Imam dan
Amalia Ode melampiaskan hasrat rindu. Membayangkan semuanya akan baik-
baik saja, karena persoalan cinta mereka telah dihalangi adat dan budaya agar
tidak bersatu. Kerinduan itu melupakan segalanya bahwa mereka bukanlah
sepasang suami istri. Semua itu larut dalam kenangan indah keinginan kuat dari
hasrat rindu yang membabi buta.
Penyesalan benar datangnya dibelakang. Semua yang telah dilakuakan
antara Imam dan Amalia Ode kini tinggal kenangan. Adat selalu menjadi
penghalang untuk bersatunya mereka berdua, hal-hal terindah kini menjadi
catatan sejarah bahwa ada 2 orang anak sijoli pernah bersama dan saling
mencintai. Tidak lepas dari itu hal buruk yang telah dilakuakan oleh Imam adalah
merusak anak orang tanpa adnya rerstu dari orang tua demi terlampiasnya
kerinduan terhadap Amlia Ode, dan pada akhirnya mereka berdua tidak
dipersatukan dalam resepsi pernikahan.
Novel Dibawah Bayang-Bayang Ode Karya Sumiman Udu adalah sebuah
prosa fiksi yang menggambarkan pergulatan batin seorang laki-laki dalam
menghadapi berbagai permasalahan hidup di tengah pergulatan adat, kehidupan
budaya dan tekanan nilai-nilai di masyarakat. lelaki tersebut bernama Imam yang
ditandai dengan tokoh utama dalam novel tersebut yang mengalami berbagai
permasalahan hidup.
Kepribadian id yang digambarkan Imam dalam novel Di Bawah Bayang-
Bayang Ode karya Sumiman Udu terdapat bebrapa kutipan. Kutipan-kutipan
tersebut menunjukkan keinginan tokoh utama untuk mencari kebenaran adat dan
budaya. Tokoh utama yaitu Imam mengalami berbagai permasalahan akibatnya
dia mempunyai keinginan untuk pergi meninggalkan desanya dan melupakan
semua yang pernah terjadi di desa tersebut.
18
initerperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh
pada prinip realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang
dibatasi oleh realita.
Maksud dari penjelasan tersebut yaitu, ego pada diri individu memiliki peran
penting karena kerja ego sebagai pengendali memberikan batasan antara
kesenangan dan realita, sehingga keinginan individu masih dapat terpuaskan tanpa
harus mengakibatkan kesulitan atau penderitaan.
Novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode yang menceritakan kekejaman adat
dan budaya dan sudah banyak menjadi korban. Dalam diri seseorang pastinya ada
hal yang mendasar agar tetap disegani tanpa harus berfikir asal-usul keturunannya.
Sejalan dengan itu kekejaman adat yang terdapat dalam novel tersebut membatasi
seseorang untuk berkembang dengan mementingkan asal-usul keluarga, dalam
novel juga disebutkan bagaimana usaha keluarga Imam untuk menyatukan
anknya, tetapi disisi lain keluarga Amalia Ode hanya menerima pernikahan itu
dilihat dari gelarnya. Sedangkan keluarga Imam memandang gelar bangsawan
Ode itu didapatkan bukan dari asal-usul darah biru, melainkan didapatkan dari
perjuangan pendahulu. Berikut kutipannya:
Ibunya tersenyum, seperti menemukan jalan pikiran yang
baru,”Bengini, Nak. Gelar kebangsawanan di Buton didapatkan
dari hasil perjuangan, Nak. Misalnya kalau kau berilmu, kau
mengajarkannya atau menggunakannya untuk kepentingan
kesultanan, dan kau abdikan untuk kemasalahatan umat manusia,
maka kau akan diberi gelar ‘Ode’. Atau kalau kau memiliki
ketangkasan sebagai seorang satria dan kau gunakan untuk
kepentingan kesultanan dan umat, kau juga akan mendapatkan
gelar itu. Selanjutnya kalau kau punya uang atau kekayaan, lalu kau
gunakan untuk pembangunan negeri, maka kau juga akan
mendapatkan gelar itu. Sehingga, gelar kebangsawan itu adalah
gelar atau pujian bagi orang-orang berjasa dalam kesultanan. Kau
tahu apa arti Ode itu? Kata kakekmu itu adalah bahasa Belanda
yang berarti pujian.” (DBBO: 23)
19
ini juga dilatar belakangi bahwasanya gelar Ode adalah gelar yang diberikan oleh
sultan-sultan terdahulu yang memiliki ketangkasan dalam menjaga keamanan
daerah Buton dan mereka-mereka ini adalah orang yang bisa menjaga etika serta
sikap yang baik.
Kegigihan Imam yang mengharapkan agar keluarga Amalia Ode
menyetujui hubungan mereka tetap saja sia-sia. Hanya bayangan dan keinginan
hasrat kuat yang menyelimuti niat baiknya itu. Disisi lain dalam novel tersebut
Ayah Imam juga memberikan padangan lain mengenai gelar bangsawan yang
dimiliki oleh orang-orang Buton. Berikut kutippannya:
“Amalia bergelar “ode”, Nak. Berasal dari keluarga baik-baik.
Kaya raya pula. Keluarganya itu, ibarat tanah yang subur, bibit
yang baik. Mereka itu hampir sama dengan leluhurmu. Mereka
merasa sebagai bangsawan. Bedanya, keluarga Amalia Ode masih
memakai gelar kebangsawanannya. Tapi leluhurmu tidak setuju
dengan gelar bangsawan itu. Bapakmu, dulu, pernah bilang, ia
lebih mengikuti ajaran agama yang memandang manusia dari
takwanya. Selain itu, bapakmu sadar, adat Buton hanya
memberikan gelar ‘ode’ untuk orang yang berjasa, bukan untuk
orang berdarah biru.” (DBBO: 17)
20
adalah kebaikan dari Gusti Allah. Sebagai individu, manusia mempunyai
kebutuhan dan apabila kebutuhan itu disebabkan oleh adanya hubungan dengan
dunia luar, maka tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu yang
bersangkutan harus sesuai dengan dunia luar kenyataan. Kepribadian ego ini
diwujudkan pada kutipan dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya
Sumiman Udu. Tokoh utama tersebut menggambarkan sikap ego melawan rasa
sakit dan kekecewaan yang dirasakan tokoh utama.
21
mementingkan untuk menuntut ilmu dan mengesampingkan cintanya bersama
Amalia Ode yang sudah mati ditelan kejamnya sejarah leluhur Buton. Keputusan
seorang Imam untuk pergi adalah tindakan yang sangat baik, hal ini bertujuan agar
Imam tidak lagi larut dalam kesalahan-kesalahan yang sama di dalam kekejaman
adat.
Imam juga selalu berangan-angan untuk memberikan pendidikan moral
yang lebih baik agar negerinya yang masih terbelenggu dan memegang erat
budaya kebangsawanan tidak larut akan kesalahan, karena pada dasarnya manusia
harus merdeka. Berikut kutipannya:
“Imam menyapu dadanya. Ia merasakan sesuatu telah terjadi di
negeri ini. Banyak yang hilang. Termasuk tatanan adat dan
budayanya. Imam berfikir, inilah buah dari ketakutan yang
berkepanjangan akibat ketidakmerdekaan yang melanda pemikiran
manusia. Akibat kebodohan yang melanda sebuah negeri yang
dulunya suci. Akibat sebuah kemunafikan dan pengkhianatan
terhadap martabat tujuh, undang-undang dasar negeri ini.” (DBBO:
171-172)
22
kedua dorongan dari Id dan superego beradu kekuatan. Fungsi ego adalah menjaga
keseimbangan antara kedua sistem yang lainnya sehingga tidak terlalu banyak
dorongan dari id yang dimunculkan ke kesadaran sebaliknya tidak semua
dorongan superego saja yang dipenuhi. Sedangkan superego adalah suatu sistem
yang merupakan kebalikan dari id. Sistem ini sepenuhnya dibentuk oleh
kebudayaan. Segala norma-norma yang dipenuhi melalui pendidikan itu menjadi
pengisi dari sistem superego sehingga superego berisi dorongan untuk membuat
kebajikan, dorongan untuk mengikuti norma-norma masyarakat dan sebagainya.
Selanjutnya Freud mengatakan bahwa untuk menyalurkan dorongan-dorongan
primitif yang tidak bisa dibenarkan oleh superego, ego mempunyai cara-cara
tertentu yang disebut sebagai mekanisme pertahanan (defense mechanism).
Mekanisme pertahanan ini guna untuk melindungi ego dari ancaman dorongan
primitif yang mendesak terus karena tidak diizinkan muncul oleh superego
(Saraswati, 2011).
23
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian, pembahasan, dan kesimpulan tentang analisis
resepsi pembaca yaitu novel yang sarat dengan gejolak pemikiran pengarang
untuk kemajuan anak bangsa tidak terasa berat dibaca karena dikemas dengan apik
oleh pengarangnya terlebih penggambaran keelokan Wakatobi yang dipromosikan
beberapa tahun belakangan ini dapat dinikmati melalui novel ini terutama bagi
yang belum berkesempatan berkunjung ke sana.
Kepribadian tokoh utama dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode
Karya Sumiman Udu (kajian teori psikoanalisis). Novel tersebut tercermin pada
tiga kepribadian menurut Sigmund Freud yakni;
a) Id adalah salah satu bentuk psikologi kepribadian yang terdapat dalam novel
ini yaitu kepribadian id yang digambarkan Imam dalam novel Di Bawah
Bayang-Bayang Ode karya Sumiman Udu terdapat bebrapa kutipan. Kutipan-
kutipan tersebut menunjukkan keinginan tokoh utama untuk mencari
kebenaran adat dan budaya. Tokoh utama yaitu Imam mengalami berbagai
permasalahan akibatnya dia mempunyai keinginan untuk pergi meninggalkan
desanya dan melupakan semua yang pernah terjadi di desa tersebut.
b) Ego sebagai pengendali memberikan batasan antara kesenangan dan realita.
Sejalan dengan penggambaran dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode
pengarang mewujudkan tokoh utama sebagai tokoh mengalami kepedihan dan
kesulitan yang sangat mendalam dalam kehidupannya, akibat dari kejamnya
adat dan budaya. Bahkan muncul dipikirannya untuk melupakan semua
permasalahan tersebut, tetapi disisi lain jutru menyadari apa yang telah terjadi
adalah kebaikan yang harus ia perjuangkan. Kepribadian ego ini diwujudkan
pada kutipan dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya Sumiman
Udu. Tokoh utama tersebut menggambarkan sikap ego melawan rasa sakit dan
kekecewaan yang dirasakan tokoh utama.
24
c) Superego dapat diartikan sebagai penentu nilai benar dan salah sesuai dengan
pedoman atau aturan-aturan yang berlaku di luar diri individu. Penggambaran
tokoh utama dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode menghadapi
kesenjanagan sosial, budaya dan adat istiadat sikap kepribadian superego
memberikan kesadaran terhadap tokoh utama yaitu Imam bahwa sesuatu hal
tidak selalu bisa dipaksakan. Semua manusia terlahir dengan cara pandang
yang berbeda-beda, untuk menghindari kesalahan dia telah menanamkan nilai-
nilai baik dalam dirinya agar tidak selalu larut dalam kesalahan.
B. Saran
Berdasarkan penelitian, pembahasan, dan kesimpulan tentang struktur
kepribadian dan mekanisme pertahanan ego tokoh utama dalam novel Di Bawah
Bayang-Bayang Ode karya Sumiman Udu, untuk selanjutnya akan dikemukakan
saran yang berkaitan dengan penelitian ini. Kepada mahasiswa program studi
sastra agar melakukan usaha-usaha penelitian lebih lanjut terhadap novel Di
Bawah Bayang-Bayang Ode dengan perspektif psikoanalisis Sigmund Freud yang
lain seperti kecemasan dan insting. Harapannya, penelitian yang lebih
komprehensif akan memberi kostribusi bagi pengembangan diskurs sastra yang
lebih dinamis.
25
DAFTAR PUSTAKA
26