Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Puisi termasuk karya sastra, dan semua karya sastra
bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatif karena banyak digunakan makna kias dan makna
lambang. Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi, lebih bersifat konotatif. Bahasanya
lebih banyak mengandung kemungkinan makna. Hal ini disebabkan terjadinya pengonsentrasian atau
pemadatan segenap kekuatan bahasa dalam puisi. Apabila dilihat dari segi bentuk penulisannya, puisi
memiliki suatu tata wajah atau penampilan khusus di atas kertas, yang biasa disebut tipografi.
Pada dasarnya untuk memberikan pengertian puisi secara memuaskan cukup sulit. Adapun pengertian
puisi menurut Waluyo (1987:25) beberapa yang dapat dirangkum dalam satu kalimat dapat dipaparkan
sebagai berikut.
a. Dalam puisi terjadi pemadatan segala unsur kekuatan bahasa;
b. Dalam penyusunannya, unsur-unsur bahasa itu dirapikan, diperbagus, diatur sebaik-baiknya dengan
memperhatikan irama dan bunyi;
c. Puisi adalah ungkapan pikiran dan perasaan penyair yang berdasarkan pengalaman jiwa dan bersifat
imajinatif;
d. Bahasa yang dipergunakan bersifat konotatif; hal ini ditandai dengan kata konkret lewat pengimajian,
pelambangan, dan pengiasan, atau dengan kata lain dengan kata konkret dan bahasa figuratif;
e. Bentuk fisik dan bentuk batin puisi merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, tidak dapat dipisahkan
dan merupakan kesatuan yang padu. Bentuk fisik dan bentuk batin itu dapat ditelaah unsur-unsurnya
hanya dalam kaitannya dengan keseluruhan. Unsur-unsur itu hanyalah berarti dalam totalitasnya
dengan keseluruhannya.
Selain itu, unsur-unsur puisi juga melakukan regulasi diri artinya mempunyai saling keterkaitan antara
unsur yang satu dengan yang lain. Jalinan unsur-unsur yang terdapat dalam struktur fisik dalam
membentuk kesatuan dan keutuhan puisi menyebabkan keseluruhan puisi lebih bermakna dan lebih
lengkap dari sekadar kumpulan unsur-unsur. Puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan
perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama, merupakan rekaman
dan interpretasi pengalaman manusia yang penting.
Dengan demikan, setiap unsur yang terdapat dalam puisi tersebut memiliki saling hubunga antara yang
satu dengan yang lain untuk terbentuknya suatu kesatuan makna dari sebuah puisi.
A. Tema Puisi
Sebelum membaca puisi, peneliti harus menyadari bahwa makna puisi harus ditafsirkan dan bukan
makna secara langsung yang dapat diketahui. Djojosuroto menambahkan untuk langkah selanjutnya
dapat dilakukan dengan menafsirkan konteks dalam linguistik berupa alat-alat linguistik yang secara
eksplisit digunakan dalam ujaran (2005:24). Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata dan hubungan
antar kalimat dalam tiap baris puisi tersebut. Jika hal demikian dilakukan, akan diperoleh penafsiran
yang tidak berbeda dengan maksud penyairnya. Sehingga pokok pikiran atau tema pada puisi dapat
diketahui.
Setiap wacana tentu memiliki tema atau hal pokok yang menjadi topik pembicaraan, begitu pula pada
wacana sastra khususnya pada puisi juga memiliki tema di dalamnya. Tema puisi adalah gagasan pokok
yang dikemukakan penyair lewat puisinya (Djojosuroto, 2005:24). Tema puisi biasanya mengungkapkan
persoalan manusia yang bersifat hakiki, seperti: cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kedukaan,
kesengsaraan hidup, keadilan, kebenaran, ketuhanan, kritik sosial, dan protes. Tema dapat dijabarkan
menjadi subtema atau dapat dikatakan pokok pikiran.
B. Nada Puisi
Sebuah puisi dapat menimbulkan suatu nada tertentu dari pembawaan sikap penyairnya. Nada atau
sikap pada puisi sering dikaitkan dengan suasana. Jika nada berarti sikap penyair terhadap pokok
persoalan (feeling) dan sikap penyair terhadap pembaca (tone), maka suasana berarti keadaan
perasaan yang ditimbulkan oleh pengungkapan nada dan lingkungan yang dapat ditangkap oleh panca
indera. Nada berhubungan dengan tema dan pembaca. Nada yang berhubungan dengan tema
menunjukkan sikap penyair terhadap objek yang digarapnya. Misalnya, penyair menggarap objek
seorang perampok, penyair dapat bersikap simpati, benci, antipati, terharu, dan sebagainya. Nada
yang berhubungan dengan pembaca, misalnya nada menggurui, nada sinis, nada menghasut, nada
santai, nada filosofis, dan lain-lainnya.
Penghayatan pembaca akan nada yang dikemukakan penyair harus sesuai. Hanya dengan cara demikian
tafsiran atas makna sebuah puisi dapat mendekati ketepatan yang dikehendaki penyair. Cara
menafsirkan puisi diantaranya ialah dengan meninjau bahasa yang digunakan oleh penyair, yaitu
menentukan konteks puisi berdasarkan hubungan kohesi (hubungan struktur antar kalimat) dan
koherensi (hubungan makna antar kalimat). Makna puisi tidak hanya ditentukan oleh kata dan kalimat
secara lepas, akan tetapi ditentukan oleh hubungan antara kalimat yang satu dengan yang lain baik
kalimat sebelumnya dan sesudahnya (Djojosuroto, 2005:26).
C. Suasana Puisi
Dalam puisi diungkapkan perasaan penyair secara totalitas. Puisi dapat mengungkapkan perasaan
gembira, sedih, terharu, takut, gelisah, rindu, penasaaran, benci, cinta, dendam, dan sebagainya. Hal
ini dimaksudkan, penyair mengerahkan segenap kekuatan bahasa untuk memperkuat ekspresi perasaan
yang bersifat total (Tarigan, 1984:5). Bahasa memiliki fungsi simbolik, emotif, dan afektif
(Suriasumantri, 1985:181; Djojosuroto, 2005:26). Di dalam puisi, ketiga fungsi bahasa itu dimanfaatkan.
Unsur emotif mendapat porsi yang lebih dominan.
D. Struktur Fisik Puisi
1. Bunyi
Menurut Pradopo (2007:22-37) bunyi dalam sebuah puisi bersifat estetik, unsur puisi yang bertugas
untuk memberikan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi tidak hanya berfungsi sebagai hiasan dalam
sebuah puisi, juga mempunyai peranan yang lebih penting, yaitu untuk memperdalam ucapan,
menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, atau menimbulkan suasana yang
khusus. Selain itu, bunyi pada puisi juga digunakan sebagai orkestrasi untuk menimbulkan bunyi musik.
Bunyi konsonan dan bunyi vokal disusun begitu rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan
berirama seperti bunyi musik, dari bunyi musik murni ini dapatlah mengalir perasaan, imaji-imaji
dalam pikiran, atau pengalaman-pengalaman jiwa pendengarnya (pembacanya).
Kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu itu biasanya disebut efoni (euphony), atau bunyi yang indah.
Orkestrasi bunyi yang merdu ini biasanya dipergunakan untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih
sayang atau cinta, serta hal-hal yang meng-gembirakan. Misalnya terlihat pada sajak Soeparwoto
Wiraatmadja berikut ini.
SENANDUNG NATAL
Bagi umat Kristen, malam Natal adalah malam bahagia untuk merayakan kelahiran Yesus Kristus Sang
Penebus. Penyair mengajak kekasihnya merayakan malam Natal dengan ziarah ke gereja suci.
Kerinduan akan kehadiran Sang Penebus begitu dalam menikam pengembaraan di dalam perlawatan.
Hal ini tampak pada bunyi-bunyi yang dimunculkan penyair dengan bunyi vokal i pada
kata ziarah dan suci, kesyahduan rindu yang dalam digambarkan dengan bunyi vokal a berkombinasi
dengan bunyi konsonan m dan n pada kata pengembaraan dan perlawatan. Di setiap malam Natal akan
terdengar lagu malam sunyi. Di malam yang gelap dini / digetar nyanyi itu, penyair mengajak
kekasihnya membuka diri agar Kristus masuk ke hati sanubari manusia.
Selain bunyi-bunyi merdu, dalam sebuah puisi juga dapat ditemukan kombinasi-kombinasi bunyi yang
tidak merdu, parau disebut kakafoni (cacophony). Seperti pada sajak Hamid Jabbar berikut ini.
AROMA MAUT
2. Kata
Satuan arti yang membentuk struktur formal lingustik karya sastra adalah kata. Untuk mencapai nilai
seni pada suatu karya sastra maka pengarang dapat menggunakan berbagai cara, terutama alatnya yang
terpenting adalah kata, karena kata dapat menjelmakan pengalaman jiwa si pengarang dalam karya
yang dihasilkannya. Menurut Aminuddin (1995:201) gaya pemilihan kata atau kata-kata dalam karya
sastra adalah cara penggunaan kata atau kata-kata dalam teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan
gagasan dan nilai estetis tertentu. Jadi, kata memiliki arti dan efek tertentu yang akan
ditimbulkannya. Di antaranya adalah arti denotatif dan konotatif, pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan
dan gaya bahasa, citraan, dan hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata-kata atau kalimat puisi,
yang semuanya dipergunakan penyair untuk melahirkan pengalaman jiwa dalam sajak-sajaknya. Kata-
kata yang telah digunakan oleh penyair ini disebut kata berjiwa, yang tidak sama artinya dengan kata
dalam kamus, yang harus melalui proses pengolahan. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan
perasaan-perasaan penyair, sikapnya terhadap sesuatu. Kata berjiwa sudah diberi suasana tertentu.
Kata-kata dalam tiap sajak merupakan cerminan kepribadian penyair, yaitu suatu bentuk
pengekspresiannya yang bersifat pribadi atau individual. Oleh karena itu, penyair mempunyai cara
sendiri untuk menyampaikan pengalaman jiwanya, misalnya pada sajak Emha Ainun Najib berikut ini.
Untuk menggambarkan penyesalannya penyair menggambarkan dirinya meratap bagai bayi, dan
menunjukkan ketidakberdayaan manusia di hadapan Tuhan, penyair menggunakan kata-kata: terkapar
bagai si tua renta. Rasa tidak berdaya orang yang sudah renta, yang tidak sanggup mengerjakan segala
sesuatunya sendiri tanpa bantuan orang lain, lebih terasa konkret dari pada kata “lemah”.
Penggunaan kata pada puisi populer juga diupayakan untuk menimbulkan efek tertentu dan melahirkan
pengalaman jiwa penyair dalam sajak-sajaknya. Dalam hal ini ditinjau dari arti kata yang meliputi
pemilihan kata (diksi), denotasi dan konotatif, bahasa kiasan, citraan, serta hal-hal yang berhubungan
dengan struktur kata-kata atau kalimat puisi, yang semuanya digunakan penyair untuk menggambarkan
perasaan dan pengalaman jiwanya dalam tiap sajaknya. Sama halnya dengan penyair pada umumnya,
mereka yang termasuk penulis puisi populer tentunya mempunyai cara sendiri untuk menyampaikan
pengalaman jiwanya.
a) Pemilihan Kata
Menurut Pradopo (2007:54-58) pemilihan kata dalam sajak disebut diksi. Alat untuk menyampaikan
perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Baik tidaknya tergantung kecakapan sastrawan dalam
menggunakan kata-kata. Kehalusan perasaan sastrawan menggunakan kata-kata sangat diperlukan.
Selain itu, perbedaan arti dan rasa sekecil-kecilnya pun harus dikuasai pemakaianya. Seorang penyair
dapat menggunakan kata-kata kuna yang sudah mati, tetapi harus dapat menghidupkannya kembali.
Oleh karena itu, penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis harus
dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah
konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi (Waluyo, 1987:72). Sejalan dengan
Aminuddin (1995:201) yang menyatakan bahwa gaya pemilihan kata-kata dalam karya sastra adalah
cara penggunaan kata-kata dalam teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan gagasan dan nilai
estetik tertentu. Jadi, pemilihan kata yang tepat harus dipertimbangkan urutan katanya dan kekuatan
atau daya magis dari kata-kata tersebut agar selain makna dalam sebuah puisi, aspek estetis juga perlu
diperhatikan.
Penyair dalam puisinya terkadang menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa daerah.
Penggunaan kata daerah ini secara estetis harusdapat dipertanggung-jawabkan, artinya harus dapat
menimbulkan efek puitis, atau dimungkinkan dalam bahasa Indonesia kata-kata itu tidak ada (Pradopo,
2007:52-53). Selain itu penyair juga biasa menggunakan istilah-istilah atau kata-kata dalam bahasa
asing atau perbandingan asing, serta kalimat-kalimat bahasa asing. Penggunaan kata-kata dalam bahasa
asing ini pun harus dapat memberi efek puitis. Dalam hal ini, penyair bermaksud agar karyanya dapat
dimengerti oleh kalangan luas dan memberi efek universal. Oleh sebab itu, penggunaan atau
perbandingan itu harus sudah dikenal umum, atau sudah populer. Misalnya pada sajak Rita Oetoro
berikut ini.
RAYUAN SERAYU
“Kembang glepang” suatu istilah yang digunakan orang Jawa untuk penataan rambut gadis-gadis Jawa
atau pun Bali yang berbentuk kuncir dan ditambah dengan hiasan berupa bunga melati pada celah-
celah pangkal kunciran rambutnya, gadis yang menggunakan kunciran seperti itu akan terlihat cantik
bagi yang memandangnya. Jadi dalam puisi Rayuan Serayu menggambarkan suatu kenangan indah yang
begitu banyak lika-liku namun tetap terasa manis untuk selalu diingat, selayaknya melihat gadis yang
berambut “kembang glepang”. Oleh karena itu, penggunaan kata-kata bahasa sehari-hari dapat
memberi efek gaya yang realistis, sedangkan penggunaan kata-kata yang indah dapat memberi efek
romantis.
b. Denotasi dan Konotasi
Kata-kata yang digunakan dalam dunia persajakan tidak seutuhnya bergantung pada makna denotatif,
tetapi lebih cenderung pada makna konotatif (Tarigan, 1984:29). Djojosuroto (2005:13) berpendapat
bahwa bahasa puisi itu cenderung bersifat konotatif. Sehingga disimpulkan oleh Pradopo (2007:58-61)
bahwa sebuah kata yang digunakan dalam puisi itu mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi, ialah
artinya yang menunjuk, dan konotasi, yaitu arti tambahannya. Denotasi sebuah kata adalah definisi
kamusnya atau makna leksikon, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama
dengan kata itu. Jadi, satu kata itu menunjuk satu hal. Maka dalam membaca sajak orang harus
mengerti arti kamusnya, arti denotatif, orang harus mengerti apa yang ditunjuk oleh tiap-tiap kata
yang digunakan. Namun seperti yang telah dikemukakan di atas dalam puisi, sebuah kata tidak hanya
mengandung aspek denotasinya saja. Bukan hanya berisi arti yang ditunjuk saja, masih ada arti
tambahannya, yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Misalnya sajak
Kirjomulyo berikut ini.
TANJUNG SANGIANG
I
Angin laut jauh sampai ke atas bukit
dinginnya terasa sampai ke hati
aku melihat ujung buih
serupa melihat diri sendiri
datang dan pergi
(Romansa Perjalanan, 2000)
‘Angin laut’ terasa dinginnya sampai menembus ke hati. Angin laut adalah udara yang bergerak dari
darat ke laut dan terjadi pada malam hari. Angin itu menyejukkan bahkan bisa terasa sangat sejuk
hingga membuat orang kedinginan sampai kulit terasa kering dan kelu. Apa lagi angin yang berhembus
pada malam hari, pasti akan terasa sangat dingin saat udara itu menyentuh kulit. Jika angin yang dingin
itu berhembus sampai menembus ke hati pasti akan terasa sangat dingin melebihi saat menyentuh kulit
saja, mungkin seperti mati rasa.
Bahasa sastra itu penuh arti ganda (ambiguitas), homonim, kategori-kategori arbitraire (mana suka)
dan terkesan tidak masuk akal apabila dilihat dari kepaduan kata-kata yang digunakan dalam puisi itu.
Selain itu bahasa sastra umumnya dan puisi khususnya juga menyerap peristiwa-peristiwa sejarah,
ingatan-ingatan, dan asosiasi-asosiasi. Bahasa sastra jauh dari hanya menerangkan saja, tapi juga
cenderung menyembunyikan makna. Bahasa sastra mempunyai segi ekspresifnya, membawa nada dan
sikap si pembicara atau penulis. Jadi, dalam membaca sajak selain harus dipahami secara leksikonitas,
juga harus diperhatikan dan dipahami makna tambahan atau konotasinya yang ditimbulkan oleh
asosiasi-asosiasi arti denotatifnya.
3. Bahasa Kiasan
Unsur kepuitisan yang lain, untuk mendapatkan kepuitisan ialah bahasa kiasan (figurative language).
Menurut Aminuddin (1995:227) kajian retorik memilah figurative language (bahasa figuratif) menjadi
dua jenis, yakni (1) figure of thought: bahasa figuratif yang terkait dengan cara pengolahan dan
pembayangan gagasan, dan (2) rhetorical figure: bahasa figuratif yang terkait dengan cara penataan
dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat. Pemakaian kiasan oleh penyair dalam sebuah puisi
pada dasarnya bertujuan agar dapat membantu dan merangsang imajinasi atau daya bayang pembaca
untuk melukiskan apa yang sedang dibacanya itu dalam angan-angan sendiri (Surana, 2001:90). Adanya
bahasa kiasan ini menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan
terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan atau menyamakan
sesuatu hal dengan hal lain agar gambaran jelas, lebih menarik, dan hidup. Bahasa kiasan ada
bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum,
yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mengaitkan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan
sesuatu yang lain (Pradopo, 2007:62-79). Jenis-jenis bahasa kiasan yang termasuk bahasa figuratif
tersebut adalah perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic simile), personifikasi,
metonimi, sinekdoki (synecdoche), dan allegori.
a) Perumpamaan (Simile)
Perumpamaan adalah kiasan yang tidak langsung atau yang disebut dengan perbandingan (Waluyo,
1987:84). Perumpamaan ini dapat dikatakan bahasa kiasan yang paling sederhana dan paling banyak
digunakan dalam sajak. Benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan
kata-kata seperti laksana, bagaikan, bak, layaknya, seumpama, serupa, semisal dan sebagainya.
Misalnya pada sajak Kirjomulyo berikut ini.
Jalanan waktu diumpamakan serupa atau sama dengan jalanan alam yang terus melingkar dan
membelit layaknya hati serta lincah seperti musim yang terus berganti sesuai dengan perubahan iklim
udara.
b) Metafora
Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan (Waluyo, 1987:84).
Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan atau diungkapkan dengan benda yang lain,
contohnya: tangan kanan (orang kepercayaan), raja siang (matahari), putri malam (bulan), bunga bagsa
(pahlawan), dan lain sebagainya). Jadi, metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau
seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama. Misalnya dalam sajaknya yang berjudul “Aku”
dalam kumpulan puisinya Kerikil Tajam, Chairil Anwar menyamakan dirinya dengan binatang jalang
yang bebas, tidak memiliki ikatan, dan tak dibatasi oleh apa pun, dalam hal ini Chairil Anwar dalam
berkarya tidak memerhatikan cara atau aturan lama, seperti berikut.
Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term) dan term kedua
(secondary term) (Pradopo, 2007:66-67). Term pokok disebut juga tenor, term kedua disebut
juga vehicle. Term pokok atau tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang term kedua
atau vehicle adalah hal yang membandingkan. Misalnya ‘Aku’ ini ‘binatang jalang’: ‘Aku’ adalah term
pokok, sedang ‘binatang jalang’ term kedua atau vehicle. Namun seringkali penyair langsung
menyebutkan term kedua tanpa menyebutkan term pokok atau tenor.
c) Perumpamaan Epos
Perumpamaan (epic simile) ialah perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk
dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase
yang berturut-turut (Pradopo, 2007:69). Terkadang kelanjutan perbandingan ini sangat panjang. Dapat
dilihat sajak Sapardi Djoko Damono berikut.
DONGENG MARSINAH
….
Marsinah itu arloji sejati,
tak telah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”
(Ayat-ayat Api, 2000)
Dalam penggalan sajak di atas penyair mengumpamakan ‘engkau’ ini seperti kolam dan melanjutkannya
gambaran tentang engkau ‘engkau’ ini layaknya kolam yang berada di tengah-tengah belukar atau
semak. Ditambah lagi dengan perbandingan ‘beriak-riak tenang’, ‘membiarkan nyiur sepasang’,
bercerminkan diri ke dalam airmu…’. Sehingga semakin jelas apa yang digambarkan penyair dalam
puisinya. Jadi, guna perumpamaan epos ini pada dasarnya seperti perumpamaan juga, yaitu untuk
memberi gambaran yang jelas, hanya saja perumpamaan epos dimaksudkan untuk lebih memperdalam
dan menandaskan sifat-sifat pembandingnya, bukan sekedar memberikan persamaannya saja.
d) Allegori
Allegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan (Pradopo, 2007:71). Cerita kiasan atau lukisan kiasan
ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Allegori ini banyak terdapat dalam sajak-sajak Pujangga
Baru. Namun pada waktu sekarang banyak juga terdapat dalam sajak-sajak Indonesia modern. Allegori
ini sesungguhnya metafora yang dilanjutkan. Misalnya dapat dilihat pada sajak Kirjomulyo berikut ini.
BUAT H. B. JASSIN
e) Metonimia
Metonimia adalah bahasa kias yang mempergunakan sebuah kata atau kalimat untuk menyatakan
sesuatu, karena mempunyai pertautan yang dekat dan relasional (Djojosuroto, 2005:19). Dalam pola-
pola kontiguitas tiada relasi kesamaan, melainkan relasi kebertautan unsur, atau pengertian yang satu
dipergunakan sebagai pengganti pengertian lain yang berdekatan. Kaitan-kaitan tersebut berdasarkan
berbagai motivasi, misalnya karena ada hubungan kausal, logika, hubungan waktu atau ruang. Hal ini
diperjelas oleh Hartoko (1992:189) yang menyatakan bahwa kasus-kasus metonimia ialah akibat
digantikan sebab, isi diganti wadah. Satu contoh sajak “Bercerai” karya Chairil Anwar berikut ini.
JARING-JARING
Kali ini
Nelayan menebar jaring di laut
Menangkap ikan
Kali lain
Tuhan menebar jaring maut
Menangkap insan.
(Biarkan Angin Itu, 1996; Apresiasi Puisi, 2005)
Kata-kata ‘jaring maut’ dalam penggalan puisi di atas berperan menggantikan sesuatu kekuasaan Tuhan
yang terwujud dalam kasih dan sayang Tuhan terhadap umatNya. Tuhan ingin mengumpulkan manusia
untuk kembali kejalan yang benar. Jadi, metonimi digunakan untuk menggambarkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain, yang dapat mewakili sifat yang digantikan atau digambarkan.
f) Personifikasi
Personifikasi adalah bahasa kiasan yang menggambarkan keadaan atau peristiwa alam sering dikiaskan
sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia (Waluyo, 1987:85). Menurut Djojosuroto
(2005:18) personifikasi adalah jenis bahasa kias yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-
benda mati dapat berbuat, berpikir sebagaimana seperti manusia. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa personifikasi adalah bahasa kias yang melukiskan benda-benda mati seolah-olah seperti
manusia. Di bawah ini beberapa contoh personifikasi.
PULANG MALAM
DI DEPAN PINTU
g) Sinekdoki (synecdoche)
Sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan, atau
menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian (Waluyo, 1987:85). Dalam hal ini Pradopo (2007:78-
79) menggolongkan sinekdoki ini terdiri dari dua macam, yaitu: (1) pars pro toto: sebagian untuk
keseluruhan, contohnya: hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, masa
depan Indonesia yang diramaikan oleh orang-orang yang kesulitan mencari pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dikiaskan dengan bagian anggota tubuh yakni mulut yang menganga seperti orang
kelaparan atau kehausan, (2) totum pro parte: keseluruhan untuk sebagian, contohnya: pergi ke dunia
luas/ anakku sayang/ pergi ke hidup bebas, perintah sang ibu kepada anaknya untuk dapat hidup
mandiri di luar rumah dikiaskan dengan kehiduan yang luas yang ada di dunia luar.
Selain bahasa-bahasa figuratif di atas, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa unsur
kepuitisan dengan menggunakan bahasa kiasan juga didukung dengan adanya sarana retorika atau
disebut juga gaya bahasa (rhetorical figure). Menurut Aminuddin (1995:227) sarana retorika atau gaya
bahasa yang digunakan oleh penyair dalam puisinya adalah bahasa figuratif yang terkait dengan cara
penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat. Dengan adanya sarana retorika dalam
sebuah puisi ini dapat menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada
pembaca.
Tiap pengarang mempunyai gaya bahasa sendiri. Hal ini sesuai dengan sifat dan kegemaran masing-
masing pengarang. Meskipun tiap pengarang mempunyai gaya dan cara sendiri dalam melahirkan
pikiran, namun ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang biasa digunakan.
Sarana retorika itu bermacam-macam, namun setiap periode atau angkatan sastra itu mempunyai jenis-
jenis sarana retorika yang digemari, bahkan setiap penyair itu mempunyai kekhususan dalam
menggunakan dan memilih sarana retorika dalam sajak-sajaknya. Meskipun begitu, tetapi untuk puisi-
puisi modern atau pun puisi populer juga masih dapat ditemukan berbagai gaya bahasa dalam tiap
lariknya.
Beberapa sarana retorika yang biasa terdapat dalam suatu sajak adalah pleonasme, enumerasi,
pararelisme, retisense, hiperbola, dan paradoks. Berikut penjelasannya:
Pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata
yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama (Pradopo, 2007:95). Dengan cara
demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar. Misalnya:
naik meninggi, turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit, jatuh ke bawah, raih menjulang
menggapai bukit, terbang melayang mencapai langit, luka menoreh menusuk perih, duka menyeruak
menghapus suka.
Enumerasi (penjumlahan) ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan
menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca
atau pendengar (Pradopo, 2007:96). Dengan demikian suatu pernyataan atau keadaan, memberi
intensitas. Seperti sajak Kirjomulyo berikut ini.
APRIL
Kenangan buat Lorca
Bait kedua itu merupakan enumerasi (penjumlahan): girang yang dirasakan sampai bertebaran di kota
sampai ke desa, bahkan dapat dirasakan oleh hati-hati yang lain dan semua orang dapat melihatnya.
Pararelisme (persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud dan tujuannya serupa.
Slametmuljana menambahkan bahwa sarana retorik yang dalam penataan kata-katanya menggunakan
gaya pararelisme dalam puisi yakni kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari
kalimat yang mendahului. (Pradopo, 2007:97). Misalnya pada sajak Sapardi Djoko Damono berikut ini.
Pengulangan bunyi pada larik yang berbunyi ‘sunyi yang lebat’ pada baris ke-1, ke-2, dan ke-3 ini
bertujuan mempertegas suasana sepi yang ingin dirasakan penyair saat itu. Kesepian itu seperti semak
yang tumbuh lebat, menjalar ke ujung-ujung jari, … bola mata dan gendang telinga, sampai ke …lidah
dan ujung hidung. Sehingga kesendirian yang dialami penyair begitu terasa nyata. Jadi, tujuan penyair
mengulangi kata sunyi pada baris pertama ingin menunjukkan betapa sepi dan sendirinya ia ketika itu.
Selain gaya bahasa yang menunjukkan adanya penegasan dengan menggunakan pengulangan atau pun
penjumlahan kata-kata, dalam puisi juga terdapat sarana yang menggunakan titik-titik banyak untuk
mengganti perasaan yang tidak terungkapkan. Sarana retorik semacam ini dikatakan oleh Pradopo
(2007:97) adalah retorik retisense. Pada umumnya penyair romantik banyak menggunakan sarana
retorika ini, lebih-lebih sajak romantik remaja banyak menggunakannya. Seperti sajak karya J.E.
Tatengkeng “Kusuka Katakan” (1974:19; Pengkajian Puisi, 2007:97) berikut ini.
Hiperbola adalah kiasan yang dalam mengungkapkan sesuatu maksud atau hal apa pun secara
berlebihan (Waluyo, 1987:85). Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar
mendapatkan perhatian yang lebih seksama dari pembaca. Seperti pada sajak Emha Ainun Najib
berikut ini.
Paradoks adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebenarnya tidak
sungguh-sungguh dipikir dan rasakan (Pradopo, 2007:99). Seperti: siang yang berselimut malam, ini
sebuah kiasan yang artinya di siang (keceriaan) hari tetapi terasa gelap (tidak menyenangkan) karena
tertutup langit malam (kesedihan), dalam kemenangan keselip kekalahan (sebelum dapat meraih
kemenangan, seseorang pasti pernah mengalami kekalahan).
Bahasa kiasan menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya
akan makna (Waluyo, 1987:83). Oleh karena itu, bahasa kiasan seringkali digunakan oleh penyair
karena dianggap lebih efektif untuk menyatakan atau mengungkapkan maksud penyair karena bahasa
kias mampu menghasilkan kesenangan imajinatif dan memberi imaji tambahan dalam puisi. Sehingga
yang abstrak menjadi konkret dan menjadikan puisi lebih enak dinikmati pembaca. Selain itu, bahasa
kias juga berpengaruh pada intensitas pengungkapan perasaan penyair untuk puisinya dan dapat
mengonsentrasikan makna puisi yang luas dengan bahasa yang singkat.
4. Citraan
Pencitraan atau pengimajian adalah pengungkapan pengalaman sensoris penyair ke dalam kata dan
ungkapan, sehingga terjelma gambaran yang lebih konkret. Sehingga untuk memberi gambaran yang
jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat lebih hidup gambaran dan pikiran serta
penginderaan dalam sebuah puisi yang dimaksudkan untuk menarik perhatian, penyair juga
menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran), di samping alat kepuitisan yang lain. Menurut
Waluyo (1987:78) citraan atau pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian berikut: kata atau
susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran,
dan perasaan. Dengan demikian, orang harus mengerti arti kata-kata, yang dalam hubungan ini juga
harus dapat mengingat sebuah pengalaman inderaan objek-objek yang disebutkan atau diterangkan,
atau secara imajinatif membangun semacam pengalaman di luar hal-hal yang berhubungan sehingga
kata-kata akan secara sungguh-sungguh berarti kepada pembaca atau pendengarnya. Jadi, dengan
adanya citraan dapat lebih mengingatkan kembali dari pada membuat baru kesan pikiran, sehingga
pembaca terlibat dalam kreasi puitis. Maka pembaca akan mudah menanggapi hal-hal yang dalam
pengalamannya telah tersedia simpanan imaji-imaji yang kaya.
Seperti yang telah dijelaskan di atas gambaran-gambaran angan atau pengimajian itu ada bermacam-
macam, yaitu dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan, dan
penciuman. Bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan gerakan. Berdasarkan hal itu, Pradopo
(2007:81) menggolongkan citraan menjadi beberapa jenis, antara lain citraan yang ditimbulkan oleh
penglihatan (visual imagery), yang ditimbulkan oleh pendengaran disebut citra pendengaran (auditory
imagery) dan sebagainya. Gambaran-gambaran angan yang bermacam-macam itu tidak digunakan
secara terpisah-pisah oleh penyair dalam sejaknya, melainkan digunakan bersama-sama, saling
memperkuat dan saling menambah kepuitisannya.
Citra penglihatan memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang
tidak terlihat jadi seolah-olah terlihat. Misalnya pada penggalan sajak Sapardi Djoko Damono berikut
ini.
SURAT CINTA
Meskipun jarang digunakan seperti citra penglihatan dan pendengaran, citra perabaan (tactile thermal
imagery) juga banyak digunakan oleh para penyair. Misalnya dapat dilihat pada sajak Subagio Sapardi
Djoko Damono berikut ini.
KAMAR
Citraan yang begitu jarang dipergunakan ialah citraan penciuman dan pengecapan. Namun sebagai
contoh dapat dilihat sajak berikut ini.
Penciuman:
DI KUBURAN
Pengecapan:
SENJA DI JALAN PASEH
Ada juga citraan gerak (movement imagery atau kinaesthetic imagery). Imaji ini menggambarkan
sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan seperti dapat bergerak. Citraan gerak ini
membuat hidup dan gambaran jadi dinamis. Misalnya pada sajak Sapardi Djoko Damono berikut ini.
Di bawah ini penyair mengggunakan bermacam-macam citraan secara bersama-sama. Misalnya pada
sajak berikut.
TROMPET
Penyair menggunakan banyak menggunakan imaji auditif seperti: ‘terompet dilengkingkan’ dan pekik
elang’. Kata-kata ‘bau pandan’, ‘aroma daun pandan’, dan ‘amis darah dan daging’ merupakan
pengimajian penciuman. Imaji perabaan terdapat pada baris ke-5 yang berbunyi ‘duri-durinya
menyuruk di daging’. Penyair juga mengimajikan citra penglihatan pada puisinya contohnya ‘emas fajar
yang pertama’. Selain itu ada pula diselipkan citra gerak yakni pada baris-baris terakhir yang berbunyi
‘menyepak-nyepak dalam dada’.
Untuk memberi suasana khusus dan memberi gambaran suatu tempat secara jelas penyair
menggunakan kesatuan citra-citra yang masih dalam satu ruang lingkup. Ada kalanya penyair juga
menggunakan imaji-imaji pedesaan, alam, dalam sajak-sajaknya, atau dapat juga dengan menggunakan
imaji yang memberi gambaran tentang citra-citra kekotaan dan khidupan modern. Misalnya pada sajak
Agnes Sri Hartini Arswendo yang berikut ini. Penyair menggunakan imaji yang menggambarkan citra-
citra pedesaan dan alam.
DARI JENDELA
Puisi di atas menggambarkan hal-hal yang cenderung ditemui di pedesaan, misalnya sawah, kali, batang
padi, suasana alam berkabut. Sedangkan imaji-imaji kekotaan dan kehidupan dunia modern dapat
dilihat pada sajak Sapardi Djoko Damono berikut.
IKLAN
Penyair secara jelas mengimajikan suasana kota, dan kehidupan modern yang ditampilkan itu
tergambar dari kata-kata dalam puisinya, seperti ‘televisi’, ‘iklan’, ‘kentang goreng’, ‘dokter’, dan
‘badut’ yang kata-kata tersebut cenderung menggambarkan kehidupan modern di kota. Jadi, sajak
yang menunjukkan adanya kesatuan citraan membuat jelas dan memberi suasana khusus. Seperti sajak
di bawah ini, citra-citranya menunjukkan citraan kesedihan. Misalnya pada sajak Kirjomulyo berikut ini.
DUKA
Di ujung malam
orang hendak melupakan duka
serupa ada
serupa tak ada
(Romansa Perjalanan, 2000)
Citraan yang terdapat dalam sajak di atas menggambarkan atau menunjukkan perjalanan hidup anak
manusia yang tidak dapat diketahui kapan berakhir, hal ini terlihat jelas pada korespondensi kata-kata
yang dipilih. Namun perlu juga sajak-sajak yang tidak menunjukkan kesatuan citraan akan
menyebabkan makna atau gambaran puisi menjadi gelap, karena tidak adanya saling hubungan antara
kata yang satu dengan kata yang lain atau antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain.
5. Irama
Satu hal yang masih erat hubungannya dengan pembicaraan bunyi adalah irama. Bunyi-bunyi yang
berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi menimbulkan suatu gerak yang hidup,
seperti gercik air yang mengalir turun tak putus-putus. Gerak yang teratur itulah yang disebut irama.
Irama dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa
yang teratur. Irama itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah
irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Sedangkan ritme adalah
irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak
merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.
Dalam puisi timbulnya irama itu karena perulangan bunyi berturut-turut dan bervariasi, misalnya sajak
akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena adanya pararelisme-pararelisme, ulangan-ulangan
kata, ulangan-ulangan bait. Selain itu, disebabkan pula oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian
keras lemah, disebabkan oleh sifat-sifat konsonan dan vokalnya atau panjang-pendek kata, atau
kelompok-kelompok sintaksis berupa gatra atau kelompok kata.
Pada puisi-puisi Indonesia, puisi dengan metrum tertentu dapat dikatakan tidak ada. Apabila terdapat
metrum, maka bersifat individual, artinya metrum-metrum itu buatan-buatan penyair-penyair pribadi
yang saling berbeda, tanpa aturan dan patokan tertentu. Sebenarnya yang mempunyai metrum adalah
pantun dan syair. Hal ini disebabkan jumlah suku kata yang cenderung tetap dalam tiap baris baitnya
dan oleh persajakan (tengah dan akhir) yang tetap.
Begitu juga dalam sajak-sajak Pujangga Baru kelihatan seperti mempunyai metrum karena bentuknya
yang teratur rapi dan jumlah suku kata yang cenderung tetap. Misalnya sajak karya Amir Hamzah ini.
DOA POYANGKU
Para penyair sesungguhnya lebih memerhatikan ritme pada puisinya. Ritme ini didasari oleh adanya
pertentangan bunyi, membuat perulangan, juga untuk membuat irama itu penyair juga dapat
melakukannya dengan menyingkat kata, misalnya hadir menjadi dir, hendak menjadi nak, atau manusia
menjadi nusia. Memilih kata yang cocok bunyinya: pitunang poyang, habis kikis, atau selaras dengan
kata yang dikombinasikan itu, dan sebagainya. Dengan adanya irama itu, selain puisi terdengar merdu,
mudah dibaca, juga hal ini menyebabkan aliran perasaan ataupun pikiran yang tidak terputus dan
terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji-imaji) yang jelas dan hidup. Hal ini
menimbulkan juga adanya pesona atau daya magis hingga melibatkan para pembaca atau pendengar ke
dalam keadaanextase (bersatu diri dengan objeknya).
Puisi yang merdu bunyinya dikatakan melodius: berlagu seolah-olah seperti nyanyian yang mempunyai
melodi. Misalnya seperti sajak M. Yamin berikut ini.
Dua alun irama ini dalam puisi sangat penting. Sastrawan-sastrawan modern tidak mau lagi
menggunakan puisi berdasarkan dua alun suara ini, sama halnya dengan puisi-puisi populer juga telah
mengabaikannya. Mereka lebih bebas dan mementingkan keutuhan pengertian, bukan ikatan alun
irama.
Dalam seni sastra Barat, irama itu dinyatakan dengan tanda (-) yang disebut arsis, untuk suku kata yang
mendapat tekanan keras (panjang). Sedangkan kata yang mendapat tekanan lunak (pendek) dinyatakan
dengan tanda (^), yang diberi nama thesis. Berikut dapat dilihat pada kutipan puisi “Ballada
Terbunuhnya Atmo Karpo” Rendra sebagai berikut.
- ^ - ^ - ^ ^^ - ^ - ^ - ^ ^ ^
Dengan kuku-kuku besi, kuda menebah perut bumi
- ^ ^ ^ -^ - ^ - - ^ ^ - ^ ^ ^ - ^ - ^ - ^
Bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya pada pucuk-pucuk para
^ - ^ -- - - - ^ ^ - ^ ^ - ^ ^- ^
Mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok yang diburu
- ^ - ^ - - - ^ ^^- - ^- ^
Surai bau keringat basah jenawipun telanjang
Kata-kata yang mendapat penekanan pada tiap baris larik di atas ditandai dengan pelantunan irama
bertekanan lembut (rendah) seperti: kuku-kuku besi dan perut bumi.
Nama-nama yang membentuk kaki puisi yaitu: 1) / ^ - / ^ - / (jambe), 2) / ^ ^ - / ^ ^ - / (anapes), 3) /
- ^ / - ^ / (troacheus), dan 3) / - ^ ^ / - ^ ^ / (dactylus). Suku kata dalam jambe bervariasi, ada yang
diberi tekanan dan ada yang tidak. Ada yang bertekanan keras dan lembut. Pada troacheus, tekanan
keras terdapat pada suku kata pertama. Pada daktylus, tekanan terdapat pada awal baris, dan
selanjutnya diselingi dua suku kata tidak bertekanan. Pada anapest tekanan dimulai pada suku kata
ketiga dan pada awal kata tidak bertekanan (Waluyo, 1987:96).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa puisi modern termasuk puisi populer dinyatakan
bahwa lebih mementingkan makna dari pada alun irama. Namun pada tiap larik puisi tetap mempunyai
irama dalam setiap pembacaannya. Jadi, dalam puisi populer perulangan bunyi dan tekanan-tekanan
kata yang bergantian keras lemah, disebabkan oleh konsonan dan vokal atau panjang pendek kata, juga
disebabkan adanya kelompok sintaksis dapat menimbulkan irama. Seperti halnya puisi pada umumnya,
puisi populer dengan metrum tertentu cukup sulit ditemukan. Namun jika ada metrum itu hanya
buatan-buatan penyair-penyair secara pribadi yang tentunya berbeda satu dengan lainnya, tanpa
aturan dan patokan tertentu.
Sumber:
Ariesya, Miranty. 2009. Struktur Puisi Populer Karya Pendengar Radio Primadona
Pontianak. Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Indonesia. Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Tanjungpura.