Anda di halaman 1dari 15

Majas Pada Puisi Di Depan Sancho Panza dan Asmaradana Karya

Goenawan Mohammad

(Sebuah Kajian Struktural)

Kansa Wasfa Salsabila, 1702540, kansawasfa27@upi.edu

ABSTRAK

Sajak (karya sastra) merupakan sebuah struktur. Karya sastra adalah wacana yang
khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala
kemungkinan yang tersedia. Salah satu bentuk karya sastra adalah puisi. Puisi
merupakan bentuk karya sastra yang tertua. Tujuan penelitian ini diadakan adalah
untuk mengkaji struktur lahir dan struktur batin dari puisi Di Depan Sancho Panza
karya Goenawan Mohamad dan secara khusus mengkaji majas pada puisi ini.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif
dengan desain analisis deskriptif. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah
majas yang terkandung dalam puisi ini terdiri atas majas personifikasi dan majas
perbandingan.
Kata kunci: kajian struktural, majas, Goenawan Mohamad, Di Depan Sancho
Panza

PENDAHULUAN

Sudjiman dalam Munir (2013) menyatakan bahwa karya sastra merupakan


wujud permainan kata-kata pengarang yang berisi maksud tertentu, yang akan
disampaikan kepada penikmat sastra. Karya sastra adalah wacana yang khas yang
di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala
kemungkinan yang tersedia.

Secara sederhana, Coleridge dalam buku Pradopo (1987, hlm. 6)


mengatakan bahwa ‘puisi merupakan kata-kata yang terindah dalam susunan
terindah’. Dahulu kita mengenal puisi sebagai suatu bentuk karya yang terikat,
karena bahasanya diikat oleh irama, matra, rima dan ketentuan penyusunan larik
dan bait. Namun sekarang kita tidak bisa lagi merujuk pengertian puisi berdasarkan
wujud puisi sebagai bentuk karya terikat, karena saat ini juga ada puisi yang di
setiap baitnya tidak memiliki baris yang sama. Atau dalam setiap barisnya tidak
memiliki jumlah kata atau suku kata yang sama dengan baris lainnya.

Puisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ragam sastra yang
bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; gubahan
dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga
mempertajam kesadaran orang akan pengalaman hidup dan membangkitkan
tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus.

Dalam memberikan tanggapan terhadap suatu karya sastra, terdapat tiga


tingkatan. Yang pertama adalah apresiasi. Apresiasi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah kesadaran terhadap nilai seni dan budaya; penilaian (penghargaan)
terhadap sesuatu. Artinya, apresiasi sastra adalah penghargaan terhadap sastra atau
kesadaran akan adanya sesuatu yang berharga pada sastra. (Damono, 2014, hlm. 1).
Tingkatan kedua dalam tanggapan terhadap suatu karya sastra adalah kajian. Kajian
merupakan hasil dari kegiatan mengkaji. Sehingga kajian sastra adalah kegiatan
mempelajari unsur-unsur dan hubungan antar unsur dalam karya sastra bertolak dari
pendekatan teori dan cara kerja tertentu. (Aminuddin, 1995, hlm. 39). Dan tingkatan
terakhir adalah kritik. Kritik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
kecaman atau tanggapan, atau kupasan kadang-kadang disertai uraian dan
pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya.
Dalam hal ini, kritik sastra artinya kegiatan mengupas suatu karya sastra dengan
mempertimbangkan baik buruk sebuah karya sastra dan disertai dengan alasan-
alasan yang masuk akal dan berlandaskan teori.

Pradopo (1987, hlm. 120) mengatakan bahwa;


Sajak (karya sastra) merupakan sebuah struktur. Struktur di sini dalam arti
bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem yang
antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling
menetukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa
kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri-
sendiri, melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan dan saling
bergantung.
Stuktur puisi terdiri dari dua, yaitu struktur lahir dan struktur batin. Struktur lahir
terdiri atas diksi, kata konkret, imaji, bahasa figuratif (majas), rima, irama, matra
dan tipografi. Sedangkan struktur batin teridiri atas tema atau sense, perasaan atau
feeling, nada dan suasana, serta amanat. Dalam menganalisis struktur puisi, kita
hanya menganalisis berdasarkan apa yang tertulis pada larik-larik yang ada di dalam
suatu puisi.

Setelah dijabarkan pengertian mengenai kajian sastra, secara umum, tujuan


penelitian ini adalah untuk melakukan pengkajian terhadap puisi Di Depan Sancho
Panza karya Goenawan Mohammad secara struktural. Kemudian secara khusus
penelitian, ini bertujuan untuk mengkaji majas dari puisi Di Depan Sancho Panza
ini.

METODE PENELITIAN

Pengkajian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain


analisis deskriptif. Kirk dan Mileer dalam Moleong (1989, hlm. 4) mendefinisikan
bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social
yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam
kawasannya maupun dalam peristilahannya.

PEMBAHASAN

A. Puisi dan Unsur Penyusunannya


Puisi adalah karya sastra (Waluyo, 1987, hlm. 22). Waluyo (1987) dalam
bukunya mengatakan bahwa karya sastra bersifat imajinatif, bahasa yang digunakan
bersifat konotatif. Hal tersebut karena kebanyakan karya sastra selalu terdapat
bahasa atau makna kias dan majas. Ia juga menyebutkan bahwa karya sastra
khususnya puisi, banyak menggunakan kata-kata yang memiliki makna konotatif
karena memiliki banyak kemungkinan makna yang ada di dalamnya. Sedangkan
Slametmuljana dalam Waluyo menjelaskan bahwa puisi merupakan bentuk
kesusastraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya (1987,
hlm. 23). Dari pengulangan bunyi itu lah yang nantinya akan menghasilkan rima,
irama dan musikalitas.
Puisi terdiri dari dua unsur pokok yang saling mengikat dan membentuk
makna yang utuh. Yaitu, struktur lahir dan struktur batin. Dick Hartoko dalam buku
Waluyo (1987) menyebutkan bahwa unsur tematik atau unsur semantik menunjuk
pada struktur batin, sedangkan unsur sintaktik menunjuk ke struktur lahir. Namun
ia tidak membedakan kedua hal tersebut menjadi bagian yang terpisah. Yang
menjadi inti puisi adalah struktur batin, yang disampaikan melalui struktur lahir.
Oleh sebab itu, struktur lahir merupakan sebuah metode untuk mencapai struktur
batin yang merupakan hakikat atau perasaan dari puisi.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa struktur lahir terdiri dari
beberapa hal, yang pertama adalah diksi. Diksi menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk
mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang
diharapkan). Pemilihan kata ini penting dalam menciptakan puisi, karena setiap
kata yang digunakan haruslah memiliki rima dan irama yang indah dan enak untuk
di dengarkan. Selain itu, penulis juga harus mempertimbangkan maknanya,
kedudukan kata itu di tengah kontkes kata lainnya, dan kedudukan kata dalam
keseluruhan puisi itu. Karena pemilihan kata yang selektif ini pula, kata-kata yang
dipilih penulis untuk puisinya bersifat absolut dan tidak dapat diganti padanan
katanya, walaupun memiliki makna yang sama (Waluyo, 1987).
Struktur lahir puisi selanjutnya adalah citraan atau imaji. Citraan atau imaji
adalah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya
(Shafwan, 2017). Siswanto (2008) menyebutkan dalam bukunya bahwa imaji
adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi.
Imaji dalam sebuah puisi terdiri dari tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji
penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). (Siswanto, 2008, hlm.
118). Imaji memiliki hubungan yang erat dengan diksi. Dalam memilih diksi,
penulis harus memperhatikan apakah diksi yang dipilih tersebut mampu
menghasilkan pengimajian.
Struktur lahir yang ketiga adalah kata konkret. Kata konkret juga memiliki
hubungan dengan pengimajian dan diksi. Dari diksi yang menghasilkan
pengimajian dalam puisi, maka pengimajian tersebut ditandai oleh kata konkret.
Penggunaan kata konkret pada puisi bertujuan untuk membangkitkan imaji
pembaca. Selain itu kata konkret juga erat kaitannya dengan penggunaan kiasan dan
lambang. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah
melihat, mendengar, atau measa apa yang dilukiskan oleh penyair, sehingga penulis
bisa terlibat penuh secara batin ke dalam puisinya.

Selanjutnya ada majas atau bahasa figuratif. Sudjito dalam buku Siswanto
(2008, hlm 120) memberikan pengertian majas adalah bahasa berkias yang dapat
menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu.
Sedangkan Waluyo (1987, hlm. 83) menjelaskan bahasa figuratif merupakan
bahasa yang bersusun-susun sehingga menyebabkan puisi menjadi prismatic yang
artinya memancarkan banyak makna. Majas merupakan cara penyair dalam
mengungkapkan sesuatu dengan cara yang tidak biasa yaitu memberi makna kias
dalam puisinya. Waluyo (1987) dalam bukunya membagi majas menjadi dua, yaitu
kiasan (gaya bahasa) dan perlambangan.

Struktur lahir yang kelima adalah rima. Waluyo (1987) dalam bukunya
mengelompokkan rima termasuk ke dalam versifikasi. Versifikasi menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah seni atau praktir menulis sajak. Yang termasuk
versifikasi adalah rima, ritma, dan metrum. Rima adalah pengulangan bunyi dalam
puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi (Waluyo, 1987, hlm. 90).
Terdapat perbedaan antara rima dengan sajak, yaitu letak persamaan bunyi pada
puisi. Sajak adalah persamaan bunyi pada akhir baris puisi, sedangkan rima adalah
persamaan bunyi puisi, baik di awal, tengah maupun akhir baris puisi. (Siswanto,
2008, hlm. 122).

Ritma atau irama merupakan tinggi-rendah, panjang-pendek, keras-


lemahnya bunyi (Siswanto, 2008, 123). Berbeda dengan metrum atau matra, rima
sebagaimana yang dijelaskan Slametmuljana dalam buku Waluyo (1987, hlm.94)
adalah pertentangan bunyi yang mengalun dengan teratur dan berulang sehingga
membentuk keindahan. Sedangkan metrum atau matra berupa pengulangan tekanan
kata yang tetap dan bersifat statis. Di Indonesia, tekanan kata bahasa Indonesia
tidak membedakan arti dan belum dibakukan. Oleh karena itu, metrum atau matra
masih sukar untuk diterapkan dalam puisi-puisi Indonesia.
Struktur lahir yang terakhir adalah tipografi atau tata wajah. Siswanto
(2008) dalam bukunya menjelaskan bahwa tipografi adalah ciri-ciri yang dapat
dilihat secara sekilas sebelum membaca atau memahami sebuah puisi. Tipografi
adalah pengaturan dan penulisan kata, larik dan bait dalam puisi. Satu larik dalam
puisi belum tentu menyatakan satu pernyataan. Dalam puisi, juga tidak menjadi
patokan bahwa itu satu larik merupakan satu kalimat yang diawali huruf capital dan
diakhiri dengan tanda titik. Satu kumpulan pernyataan puisi tidak membentuk
paragraph melainkan bait yang mengandung satu pokok pikiran.

Unsur penyusun puisi selanjutnya adalah struktur batin. Struktur batin


terdiri dari tema atau sense, perasaan atau feeling, nada dan suasana serta amanat.
Tema adalah gagasan pokok yang ingin disampaikan oleh pengarang atau yang
terdapat dalam puisi (Siswanto, 2008, hlm. 124). Waluyo (1987) dalam bukunya
membagi tema menjadi lima berdasarkan pancasila, yaitu tema ketuhanan;
berdasarkan pengalaman religi penulis, tema kemanusiaan; bermaksud
menunjukkan betapa tingginya martabat manusia dan meyakinkan pembaca bahwa
setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama, tema
patriotisme/kebangsaan; dapat meningkatkan perasaan citna tanah air, tema
kedaulatan rakyat; menentang sikap kesewenang-wenangan pihak yang berkuasa,
dan tema keadilan sosial.

Perasaan atau feeling adalah sikap penyair terhadap pokok permasalahan


yang terdapat dalam puisi si penyair. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan
dalam menyikapi suatu masalah tidak berhantung pada kemampuan penyair
memiliki diksi, rima, gaya bahasa dan bentuk puisi saja, tetapi juga bergantung
kepada wawasan, pengetahuan, pengalamn dan kepribadian yang terbentuk oleh
latar belakang sosiologis dan psikologisnya. (Siswanto, 2008, hlm. 124-125).

Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca (Waluyo, 1987, hlm. 125).
Artinya, penyair berhak untuk menentukan sikap yang ingin dimunculkan dalam
puisinya kepada pembaca, seperti ingin menasehati, menggurui, mengejek,
menyindir dan lain sebagainya. Sementara itu, suasana adalah sikap atau kondisi
psikologis pembaca yang ditimbulkan oleh puisi tersebut. Nada dan suasana saling
berkaitan, karena jika nada yang dimunculkan oleh penyair sampai kepada pembaca
maka hal itu juga akan mempengaruhi suasana pembaca.

Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Karena


setiap penulis pasti punya tujuan ketika ia menciptakan puisi tersebut, yaitu sebuah
pesan yang ingin pembaca ambil dari puisi tersebut. Itu juga yang menjadi salah
satu faktor yang mendorong penyair untuk menciptakan sebuah puisi. Amanat akan
bisa ditelaah ketika pembaca sudah memahami tema, perasaan, nada dan suasana.
(Waluyo, 1987, hlm. 130).

B. Struktur Lahir Puisi Di Depan Sancho Panza


1. Diksi
Diksi yang digunakan oleh Goenawan Mohamad dalam puisi Di
Depan Sancho Panza ini cukup akrab dan sering digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Kata disisipkan pada larik yang disisipkan ke
dalam hujan dimaksudkan penyair untuk menunjukkan bahwa sajak
yang dibaca oleh perempuan yang ada di dalam puisi tersebut ia
(perempuan) bacakan ketika hujan. Dan frasa tak tidur pada larik
selanjutnya menggambarkan bahwa hujan saat itu turun untuk waktu
yang cukup lama. Atau, juga bisa artikan dengan perempuan itu
membaca sajak ketika hujan turun di malam hari dan tidak berhenti
hingga keesokan paginya. Tetap terbuang pada bait ketiga dapat
diartikan sebagai sesuatu yang sia-sia dan tidak berguna. Hujan hanya
datang kadang-kadang, menunjukkan bahwa semua sajak-sajak yang
dikirimkan kepada perempuan tersebut tidak selalu dibacanya, karena ia
membaca sajak tersebut pada saat hujan turun.
Brisik kereta langit menjelaskan tentang bunyi guruh pada larik
sebelumnya adalah suara yang kereta, dan bunyi tersebut berasal dari
langit. Yang menenggelamkan merujuk pada makna bunyi yang
ditimbulkan oleh kereta langit pada larik sebelumnya.
2. Imaji
Imaji yang terdapat pada puisi Di Depan Sancho Panza ini ada tiga, yaitu
imaji penglihatan, imaji pendengaran dan imaji raba. Kata dipegangnya
pada larik keempat bait kedua merupakan bentuk dari imaji raba.
Sedangkan kata brisik pada larik keenam bait ketiga yang berbunyi
seperti brisik kereta langit yang menenggelamkan dan kata mendengar
pada larik keempat bait keempat dan dengar pada larik dan cinta dari
cuaca, meskipun yang ia dengar merupakan imaji auditif. Sedangkan
kata melihat pada larik ketiga bait keempat yang berbunyi Dan Sancho
pun sedih. Sebab ia pernah melihat seorang kurus, merupakan imaji
visual.
3. Kata konkret
Kata konkret pada puisi Di Depan Sancho Panza ini cukup banyak,
yakni tak tidur, cemas, terbuang, hujan, guruh, menenggelamkan,
memabukkan, kurus, tua, majenun. Kata tak tidur memiliki makna kias
yang berarti tidak berhenti. Cemas artinya khawatir, takut, gelisah.
Terbuang artinya sia-sia, tidak berguna. Hujan dapat diartikan sebagai
suasana sendu. Guruh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya
suara menggelegar dari udara yang disebabkan oleh halilintar,
menandakan suatu bunyi yang sangat keras. Menenggelamkan dapat
diartikan sebagai menjatuhkan diri, yang mana dalam larik ini memiliki
konteks negatif. Kata memabukkan secara kiasan dapat diartikan
menjadi orang tergila-gila. Kata kurus dan tua memiliki makna kias
seseorang yang menyedihkan. Kata majenun menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia memiliki arti kemasukan jin.
4. Majas
Dalam puisi Di Depan Sancho Panza ini, terdapat 5 kiasan atau gaya
bahasa. Yang pertama, yang disisipkan ke dalam yang hujan tak tidur.
Dalam larik tersebut terdapat dua kata yang termasuk ke dalam gaya
bahasa personifikasi, yaitu disisipkan dan tak tidur. Karena kata
disisipkan dan tak tidur merupakan aktivitas yang dilakukan oleh
makhluk hidup. Hal tersebut karena merujuk kepada pengertian gaya
bahasa personifikasi adalah keadaan atau peristiwa alam sering
dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia.
Selain itu kata terbuang pada larik untuk apa. Ia tak tahu kenapa sajak-
sajak tetap terbuang juga termasuk ke dalam gaya bahasa personifikasi.
Seperti brisik kereta langit dan seperti gerimis pada larik terakhir bait
terakhir juga menggambarkan gaya bahasa perbandingan yang ditandai
dengan kata seperti. Kemudian, penyair menggunakan kata hujan untuk
melambangkan momen yang digunakan oleh perempuan untuk
membaca sajak.
5. Rima
Dalam puisi Di Depan Sancho Panza ini, terdapat bentuk intern pola
bunyi. Menurut Boulton dalam buku Waluyo (1987, hlm. 92), yang
dimaksud dengan bentuk intern pola bunyi adalah aliterasi, asonansi,
persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, saja
penuh, repetisi bunyi (kata) dan sebagainya. Selain itu, juga terdapat
rima pengulangan. Boulton dalam waluyo (1987, hlm. 93) menjelaskan
bahwa pengulangan bunyi, kata, atau frasa memberikan efek intelektual
dan efek magis yang murni. Bentuk intern pola bunyi pada puisi ini
adalah pada larik Memang sebenarnya perempuan itu cemas. Pada larik
tersebut terdapat persamaan suku kata menggunakan huruf vocal /e/.
selain itu, juga terdapat pengulangan kata pada larik seperti brisik kereta
langit yang menenggelamkan, antusiasme yang tak lazim. Atau logat
yang asing. Atau angan-angan yang memabukkan. Pada larik tersebut,
kata yang yang sering diulang menimbulkan bunyi yang bisa
memberikan efek keindahan.
6. Ritma
Dalam puisi Di Depan Sancho Panza ini, penyair tidak terlalu banyak
menggunakan pengulangan, baik itu pengulangan yang terdapat dalam
setiap larik, maupun pengulangan pada ujung larik dalam setiap bait.
Beberapa pengulangan yang terdapat dalam satu larik diantaranya
adalah sebagai berikut.
a. Di depan Sancho Panza yang lelah. Pada larik ini, huruf vocal /a/
mendominasi. Dalam kata depan, Panza dan lelah terdapat
pengulangan bunyi vocal /a/.
b. Yang disisipkan ke dalam hujan. Pada larik ini, terdapat bunyi –an
yang ada pada kata disisipkan dan hujan.
c. Atau angan-angan yang memabukkan. Sama seperti yang diatas,
pada larik ini, terdapat bunyi –an yang ada pada kata angan-angan
dan memabukkan.
7. Matra atau Metrum
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa di Indonesia tekanan
kata bahasa Indonesia tidak membedakan arti dan belum dibakukan.
Oleh karena itu, metrum atau matra masih sukar untuk diterapkan dalam
puisi-puisi Indonesia.
8. Tipografi
Tipografi yang digunakan dalam puisi Di Depan Sanco Panza ini berupa
penulisan rata kiri tanpa ada baris yang menjorok ke tengah.

Di depan Sancho Panza


Di depan Sancho Panza yang lelah,
seorang perempuan bercerita tentang sajak
yang disisipkan ke dalam hujan
yang tak tidur.

Tentu saja Sancho tak mengerti


bagaimana sajak disisipkan
ke dalam hujan, tapi ia mengerti
cinta yang sungguh. Dipegangnya tangan
perempuan itu dan berkata, “Jangan cemas.”

Memang sebenarnya perempuan itu cemas


Seseorang mencintainya dan ia tak tahu
untuk apa. Ia tak tahu kenapa sajak-sajak tetap terbuang
dan laki-laki itu tetap menuliskannya, sementara hujan
hanya datang kadang-kadang. Malah guruh lebih sering,
seperti brisik kereta langit yang menenggelamkan
antusiasme yang tak lazim. Atau logat yang asing.
Atau angan-angan yang memabukkan.

“Semua ini jadi lucu,” kata perempuan itu.


Dan Sancho pun sedih. Sebab ia pernah melihat seorang kurus,
tua dan majenun, yang memungut sajak yang lumat
dalam hujan, yang percaya telah mendengar sedu-sedan
dan cinta dari cuaca, meskipun yang ia dengar
adalah sesuatu yang panjang dan sabra
seperti gerimis.

2009

C. Struktur Batin Puisi Di Depan Sancho Panza


1. Tema
Secara keseluruhan, tema dari puisi Di Depan Sancho Panza ini adalah
tentang cinta. Hal itu dapat dilihat dari adanya beberapa kali penyebutan
kata cinta. Namun, cinta yang terdapat dalam puisi ini juga bisa diartikan
menjadi cinta yang diliputi rasa cemas, gundah dan menyedihkan. Hal
itu terlihat dari larik pertama baris ketiga yang berbunyi, Memang
sebenarnya perempuan itu cemas. Si perempuan itu merasa cemas akan
seseorang yang mencintainya tanpa sepengetahuannya. Dan hal itu pula
yang membuat Sancho menjadi sedih.
2. Perasaan
Perasaan yang paling menonjol pada puisi Di Depan Sancho Panza ini
adalah perasaan cemas. Seperti yang sudah diuraikan diatas, bahwa puisi
ini memiliki tema cinta yang diliputi rasa cemas, maka perasaan yang
menonjol pun adalah perasaan cemas. Selain itu juga ada perasaan sedih
yang dirasakan oleh Sancho yang tergambar dalam larik terakhir.
3. Nada dan Suasana
Sikap yang diberikan penulis pada puisi Di Depan Sancho Panza ini
adalah penulis mencoba untuk menyampaikan sebuah bentuk kesetiaan.
Sedangkan suasana yang tercipta adalah romantis dan kekhawatiran.Hal
itu ditunjukkan dengan Sancho yang mencoba menenangkan
kekhawatiran sang perempuan sambil memegang tangannya.
4. Amanat
Amanat atau hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisi ini
berupa dorongan untuk mengungkapkan salah satu bentuk dari
kesetiaan.
D. Temuan
Berdasarkan analisis struktur puisi Di Depan Sancho Panza karya
Goenawan Mohamad ini, dapat disimpulkan bahwa struktur lahir dan
struktur batin merupakan dua unsur utama yang membangun sebuah puisi.
Diantara struktur lahir sebuah puisi terdapat majas atau bahasa figuratif.
Majas sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, adalah bahasa
kiasan yang dapat memberikan efek atau menimbulkan konotasi tertentu.
Sedangkan bahasa figuratif adalah bahasa bersusun yang melahirkan
banyak makna. Perrin dalam Waluyo (1987) menyatakan bahwa bahasa
figuratif dirasa lebih efektif untuk menyatakan maksud penyair, karena: (1)
bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif; (2) bahasa
figuratif adalah cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisis,
sehingga yang abstrak jadi konkretdan menjadikan puisi lebih nikmat
dibaca; (3) bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas perasaan
penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap penyair; (4) bahasa
figuratif adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak
disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan
bahasa yang singkat.
Waluyo (1987) dalam bukunya membagi majas menjadi dua, yaitu
kiasan (gaya bahasa) dan perlambangan. Kiasan yang dimaksud mempunyai
makna yang lebih luas dengan gaya bahasa kiasan, karena mewakili apa
yang secara tradisional disebut gaya bahasa tradisional. Sedangkan
perlambangan adalah kata yang digunakan penyair untuk memperjelas
makna dan membuat nada dan suasana sajak menjadi lebih jelas, sehingga
dapat menggugah hati pembaca. (Walyuo, 1987, hlm. 87). Dalam puisi Di
Depan Sancho Panza ini, terdapat beberapa kiasan atau gaya bahasa dan satu
perlambangan.
Kiasan yang pertama, yang disisipkan ke dalam yang hujan tak
tidur. Dalam larik tersebut terdapat dua kata yang termasuk ke dalam gaya
bahasa personifikasi, yaitu disisipkan dan tak tidur. Karena kata disisipkan
dan tak tidur merupakan aktivitas yang dilakukan oleh makhluk hidup. Hal
tersebut karena merujuk kepada pengertian gaya bahasa personifikasi
adalah keadaan atau peristiwa alam sering dikiaskan sebagai keadaan atau
peristiwa yang dialami oleh manusia. Selain itu kata terbuang pada larik
untuk apa. Ia tak tahu kenapa sajak-sajak tetap terbuang juga termasuk ke
dalam gaya bahasa personifikasi. Seperti brisik kereta langit dan seperti
gerimis pada larik terakhir bait terakhir juga menggambarkan gaya bahasa
perbandingan yang ditandai dengan kata seperti. Kemudian, penyair
menggunakan kata hujan untuk melambangkan momen yang digunakan
oleh perempuan untuk membaca sajak.

KESIMPULAN

Setelah dilakukan pengkajian terhadap struktur dari puisi Di Depan Sancho


Panza karya Goenawan Mohamad ini, dapat diketahui bahwa struktur lahir dan
struktur batin merupakan dua unsur utama yang membangun sebuah puisi. Struktur
lahir merupakan unsur yang medukung untuk tercapainya struktur batin. Struktur
lahir terdiri dari diksi, imaji, kata konkret, majas, rima, irama, matra dan tipografi.
Sedangkan struktur batin terdiri dari tema, perasaan, nada dan suasana serta amanat.
DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. (2014). Bilang Begini, Maksudnya Begitu. Jakarta, PT.
Gramedia Pustaka Utama

Moleong, Lexy J. (1989). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung,


PT. Remaja Rosdakarya.

Munir, Saiful. (2013). Diksi Dan Majas Dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Dalam
Kelam Karya Sutikno W.S: Kajian Stilistika. 2 (1). 2.

Pradopo, Rahmat Djoko. (1987). Pengkajian Puisi. Yogyakarta, Gadja Mada


University Press.

Siswanto, Wahyudi. (2008). Pengantar Teori Sastra. Jakarta, PT. Grasindo.

Waluyo, Herman J. (1987). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta, Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai