Hakikat puisi bukan terletak pada bentuk formalnya, meeskipun itu penting, melainkan pada isinya.
Puisi baru terkadang tidak berupa persamaan sajak (bunyi), jumlah baris, atau pun jumlah kata pada
tiap barisnya.
Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk mengerti hakikat puisi itu, yakni:
1. Fungsi Estetik
Puisi adalah karya seni sastra dan merupakan bentuk karya sastra. Wellek dan Warren (1968, hlm
25) dalam bukunya Theory of Literature mengemukakan bahwa paling tidak kita memandang
kesusastraan sebagai karya yang di dalamnya fungsi estetiknya dominan, yakni fungsi seninya yang
berkuasa. Tanpa seni, karya sastra tidak dapat disebut karya (seni) sastra. Kita dapat mengenal
ujnsur-unsur estetik (keindahan) misalnya, gaya bahasa dan komposisi. Estetik ini merupakan unsur-
unsur kepuitisannya, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata), irama, dan gaya bahasanya, Gaya
bahasa meliputi semua penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu, yaitu
efek estetikanya atau aspek kepuitisannya. Jenis-jenis gaya bahasa itu meliputi aspek bahasa, yaitu
bunyi, kata, kalimat, dan wacana yang dipergunakan secara khusus untuk mendapatkan efek
tertentu.
2. Kepadatan
Membuat sajak itu merupakan aktivitas pemadatan. Dalam puisi, tidak semua peristiwa diceritakan.
Yang dikemukakan hanyalah inti masalah, peristiwa, atau inti cerita. Yang dikemukakan adalah
esensi sesuatu. Jadi puisi merupakan ekspresi esensi, hakikat, inti hal pokok. Karena puisi itu
merupakan pemadatan, penyair biasanya memilih kata dengan akurat. Kadang-kadang kata yang
diambil itu dasarnya, imbuhan, awalan, dan akhiran sering dihilangkan.
SELAMAT TINGGAL
Aku berkaca
Siapa punya?
‘dalam hatiku’
Apa hanya angin lalu?
Ah....!
Selamat tinggal
(1959, hlm 9)
Sajak ini hanya berupa inti masalah, Hubungan antarkalimatnya bersifat implisit, tidak dinyatakan
secara jelas dan merenik (halus). Dalam “Siapa punya”, Chairil tidak kata “mempunyai”, awalan
(me/m/) dan akhiran (i) dihilangkan. Kata-kata yang tak perlu dihilangkan, hanya secara sugesti saja
dikemukakan.
Misalnya: “Kudengar seru menderu”, mestinya “Kudenger suara yang seru menderu, Bahkan kalimat
pun dihilangkan. Perhatikan bait pertama dan kedua sajak itu, sbb:
Aku berkaca
Siapa punya?
Si aku yang tidak pernah berkaca, bercermin, ketika berkaca terkejut melihat mukanya sendiri yang
penuh luka. Hubungannya implisit, ada kalimat yang dihilangkan. Jika dieksplisitkan sbb:
Aku berkaca (sesudah itu aku terkejut dan bertanya). Siapakah yang mempunyai muka yang penuh
luka ini? Dengan dieksplisitkan ini menjadi jelas. Akan tetapi kepuitisannya hilang. Hilang
kemadatannya. Hilang iramanya. Berkaca arti kiasanya adalah berintrospeksi, melihat keadean
dirinya sendiri. Luka adalah kiasan untuk cacat. Jadi, setelah berintrospeksi si aku melihat dirinya
penuh cacat, penuh kekurangan, sehingga dia terkejut.
Sajak “Selamat Tinggal” ini penuh dengan pemadatan. Pemadatan-pemadatan itu antara lain dengan
penggunaan sejumlah kiasan.
Aku berkaca (setelah itu aku terkejut dan bertanya). Siapakah yang mempunyai muka yang penuh
luka ini? (Kemudian) aku mendengar (suara) yang seru menderu (apakah suara itu dari) dalam
hatiku? Apakah hanya (suara) angin lalu saja? (Kemudian aku mendengar) lagu lain pula (yang)
menggelepar (di) tengah malam buta. (Mendengar semua suara dan lagu itu, aku hanya bisa
mengeluh) Ah....!! (Kemudian) segala (suara itu) menebal, segala (lagu itu) mengental! (Segala(nya)
tak kukenal! (Oleh karena itu, aku hanya bisa mengucap). Selamat tinggal...!! Kata-kata yang diberi di
dalam kurung adalah kata-kata yang tidak dieksplisitkan dalam sajak).
Kiasan di dalam sajak Chairil Anwar pada nomor (2) merupakan salah satu ekspresi atau pengucapan
tidak langsung. Apakah ekspresi itu merupakan hakikat puisi?
Puisi itu sepanjang zaman selalu berubah. Menurut Riffaterre (1978, hlm 1) bahwa sepanjang waktu
dan dari waktu ke waktu, puisi itu selalu berubah. Perubahan itu disebabkan oleh evolusi
(perubahan, pertumbuhan) selera dan perubahan konsep estetik. Hal-hal yang tidak berubah yaitu
puisi mengucapkan sesuatu secara tidak langsung. Ucapan tidak langsung ini ialah menyatakan suatu
hal dengan arti yang lain.
Ketidaklangsungan ekspresi ini menurut Riffaterre tadi disebabkan oleh tiga hal:
Di dalam bukunya Semiotics of Poetry, Riffaterre mengatakan, ada empat hal yang harus
diperhatikan dalam pemaknaan puisi:
d. Hipogram