Anda di halaman 1dari 16

ASPEK PEMEROLEHAN BAHASA

DITINJAU DARI SEGI PRAGMATIK

Disusun oleh:

Dheica Dwi Ariyanti (J1D020033)


Endah Rizki Aprianti (J1D020034)
Arfan Maulana (J1D020035)
Aldi Nur Fadilah (J1D020036)
Galih Teja Arum (J1D020037)

Mata Kuliah : Psikolinguistik


Dosen Pengampu : Bivit Anggoro P.N.,S.pd.,M.pd.

Universitas Jendral Soedirman


Fakultas Ilmu Budaya
Pendidikan Bahasa Indonesia
A. Pengertian Pragmantik

Pembelajaran bahasa yang digunakan dalam komunikasi, dan bagaimana menyelidiki


makna sebagai konteks, bukan sebagai suatu yang abstrak dalam komunikasi merupakan
pengertian pragmatik yang dikemukakan oleh Leech (1993:5). Hal senada dikemukakan oleh
Nadar (2009:2) pragmatik merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa yang
digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu. Berbicara mengenai pragmatik, erat
hubungannya dengan konteks. Hal ini diperjelas oleh Rohmadi (2004:2) yang menyatakan
bahwa pragmatik merupakan studi kebahasaan yang terikat konteks. Konteks memiliki peran
yang kuat dalam menentukan maksud penutur dalam berinteraksi dengan lawan tutur.

Sehubungan dengan hal tersebut, Yule (2006:3) mendefinisikan pragmatik sebagai


studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar
(pembaca). Studi ini berhubungan dengan analisis–analisis tentang apa yang dimaksudkan
orang dengan tuturan–tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang
digunakan dalam tuturan itu sendiri.

Dalam tujuan penerapannya, pragmatik merupakan telaah secara umum mengenai


bagaimana konteks mempengaruhi cara untuk menafsirkan kalimat, Tarigan (1986:34). Hal
ini diperjelas lagi dengan pendapat Wijana (1996:2) yang menjelaskan bahwa pragmatik
sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni
bagaimana suatu kebahasaan digunakan dalam komunikasi. Sehingga makna yang dikaji
dalam pragmatik adalah makna yang terikat konteks atau dengan kata lain mengkaji maksud
penutur.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan secara garis besar definisi pragmatik
tidak dapat dilepaskan dari bahasa dan konteks. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji penutur untuk menyesuaikan kalimat
yang diujarkan sesuai dengan konteksnya, sehingga komunikasi dapat berjalan dengan lancar.
Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa kemampuan berbahasa yang baik tidak hanya terletak
pada kesesuaian aturan gramatikal tetapi juga pada aturan pragmatik.
B. Tahapan Penguasaan Pragmatik pada Anak

Tahapan Penguasaan Pragmatik pada Anak menurut Bambang Kaswanti Purwo :

 Tahap 1 : tahap mulai berbahasa-berbicara. Mengeluarkan suara tertentu bukan kata-


kata (awal lahir –11 bulan) Usia 0 tahun. Sejak masa-masa awal setelah ke-lahirannya
anak mampu berkomunikasi dengan ibunya dan orang dewasa di sekitarnya yang
sejak dini memang memperlakukan anak seolah-olah sudah dapat diajak berbicara.
Bentuk komunikasi anak pertama-tama berkembang dari suara tangisnya. Suara tangis
yang semula digunakan untuk "menyatakan rasa tidak enak" berkembanglah
penambahan makna baru atau "tindak ujaran" (speech act) yang baru pada suara
tangis itu, yaitu "meminta orang dewasa berbuat sesuatu untuknya. Sikap ini disebut
makna pragmatik.
 Pada sekitar usia 3 minggu bayi sudah dapat tersenyum dalam pengertian "senyum
sosial". Senyum seperti ini muncul pada waktu ada rangsangan dari luar.
 Pada usia 12 minggu, bayi sudah mengenal pola dialog. Ia mengeluarkan suara
balasan apabila ibunya rnemberikan tanggapan terhadap suaranya, apa pun itu
bentuknya, entah itu bersin, sendawa, atau batuk. Pada usia bayi sudah dapat
menanggapi ajakan komunikasi dari ibunya. Kemampuan menanggapi ajakan orang
lain untuk berkomunikasi berkembanglah kemampuan untuk memulai atau
memprakarsai suatu "dialog".
 Pada usia sekitar 4 bulan. Prakarsanya mengajak berkomunikasi dengan orang dewasa
itu dilakukannya dengan batuk atau senyumnya. Menjelang usia 5 bulan. Bayi mulai
menirukan secara sengaja gerak-gerik dan suara orang dewasa.
 Pada usia sekitar 5 bulan. Bayi dapat bersuara dengan sikap menunjukkan rasa
senang, rasa tidak senang, rasa puas, rasa mau tahu. Prakarsanya mengajak
berkomunikasi dengan orang dewasa dilakukannya dengan batuk atau senyumnya.
 Pada usia 6 bulan; Mulai meningkat minat bayi pada mainan dan benda-benda yang
ada di sekitarnya. la mulai terasyikkan dengan gerakan meraih, menggenggam, dan
menguasai benda. Semenjak masa ini, interaksi tidak lagi antara bayi dan ibu saja;
interaksi berkembang menjadi tiga serangkai: bayi, ibu, dan benda-benda.
 Selama paruh kedua tahun pertama usianya (7-12 bulan) anak mulai lebih memiliki
kendali di dalam interaksi dengan ibunya. Anak sudah mulai dapat menyatakan
hajatnya secara lebih jelas dan efektif. Pengucapan bunyi yang stabil secara fonetis itu
terjadi pada anak usia sekitar 9 bulan. Sernentara itu, mulai stabil pula pengaitan
bunyi tertentu dengan konteks pengucapan bunyi yang bersangkutan. Bambang
Kaswanti Purwo mengutip beberapa pendapat pendahulunya terkait penelitian
berbahasa anak, yaitu von Raffler Engel mencatat bahwa anak laki-lakinya
menyuarakan [eee] apabila ia "meminta sesuatu", dan menyuarakan [uuu] apabila ia
"tidak menyetujui sesuatu". Dore, et al. melaporkan hal yang serupa pada anak usia 11
bulan. Halliday mencatat adanya bunyi-bunyi tertentu pada anaknya, pada usia 9
sampai 10,5 bulan, yang dapat ditafsirkan sebagai maksud anak untuk memikat dan
mengikat perhatian orang dewasa.
 Pada usia antara 12 dan 16 bulan, berdasarkan penelitian Carter terhadap anak yang
bernama David, anak menggunakan kombinasi bunyi satu silabel (yang terdiri atas
satu suku kata) dengan gerak-gerik tertentu. Carter rnendaftar adanya delapan wujud
pragmatik (pragmatic entities) yang diungkapkan oleh anak pada masa usia itu.
Berikut ini lima di antara delapan wujud pragmatik yang dicoba didaftar oleh Carter.
Kedelapan wujud pragmatik ini pada hakikatnya merupakan "permintaan anak untuk
(kurang lebih memasuki tahap sintaksis, pada waktu anak mulai mampu merangkai
dua kata (atau yang disebut masa "kalimat dua kata"), Sekitar usia 2 tahun. Pada masa
holofrastis, "kalimat satu kata" pada awalnya hanya digunakan untuk "meminta
sesuatu" dan "menyapa". Kata more, misalnya, dimaksudkan untuk "meminta
makanan lagi" atau "meminta untuk digelitik lagi". Kata up digunakan untuk
"meminta untuk diangkat".) mengubah keadaan di sekitarnya"
a. [m] , [mm], [ma], [may]. [me] meraih ke benda (minta bantuan agar dapat
memperoleh benda)
b. [I]., [la], [lae] atau [d], [da], [dae] , [de] menunjuk ke benda (menarik
perhatian terhadap benda)
c. [h], [ba], [bae]. [be] menghempaskan benda (minta bantuan menyingkirkan
benda)
d. [n.1], [n] , [ne] , [na], [nae], [now] menggeleng-gelengkan kepala (menyatakan
tidak setuju, tidak senang)
e. [h], [hi], [hiyl , [he], [he], [Tim] meraih ke orang (memberi atau mengambil
benda).
 Tahapan ke dua sampai ke 4.
Penggunaaan bahasa lebih meningkat kearah yang lebih kompleks. Sekitar usia 18
bulan. Penggunaan gerak-gerik akan semakin menyurut pada waktu anak niengakhiri
masa holofrastis, yaitu pada saat anak

C. Aspek Pragmantik dan Contohnya

Pragmatik memiliki kajian atau bidang telaah tertentu yaitu dieksis, praanggapan
(presupposition), tindak tutur (speech acts), dan implikatur percakapan (conversational
implicature).
Tindak Tutur
Tindak tutur adalah bagian dari pragmatik. Tindak tutur (istilah Kridalaksana
‘pertuturan’ / speech act, speech event): pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu
maksud dari pembicara diketahui pendengar (Kridalaksana, 1984:154). Tindak tutur (speech
atcs) adalah ujaran yang dibuat sebagai bagian dari interaksi sosial (Hudson dikutif
Alwasilah, 1993:19). Setiap peristiwa tutur terbatas pada kegiatan, atau aspek-aspek kegiatan
yang secara langsung diatur oleh kaidah atau norma bagi penutur. Ujaran atau tindak tutur
dapat terdiri dari satu tindak turur atau lebih dalam suatu peristiwa tutur dan situasi tutur.
Tindak tutur merupakan gejala individu, bersifat psikologis, dan ditentukan oleh
kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur di titikberatkan
kepada makna atau arti tindak, sedangkan peristiwa tutur lebih dititikberatkan pada tujuan
peristiwanya (Suwito, 1983:33). Kalimat yang bentuk formalnya berupa
pertanyaan memberikan informasi dan dapat pula berfungsi melakukan suatu tindak tutur
yang dilakukan oleh penutur. Dengan demikian, penutur yang diucapkan suatu tindakan,
seperti “Pergi!”, “Silahkan Anda tinggalkan rumah ini, karena Anda belum membayar
kontraknya!”, “Saya mohon Anda meninggaln rumah ini” tindak tutur ini merupakan suatu
perintah dari penutur kepada mitra tutur untuk melakukan tindakan.
Jenis-Jenis Tindak Tutur
Tindak tutur atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam pragmatik. Jjenis tindak tutur antara lain, yaitu tindak lokusi, tindak ilokusi,
dan tindak perlokusi.
1. Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang untuk menyatakan sesuatu. Misal;
kakinya dua, pohon punya daun. Tindak tutur yang dilakukan oleh penutur berkaitan
dengan perbuatan dalam hubungannya tentang sesuatu dengan mengatakan sesuatu,
seperti memutuskan, mendoakan, merestui dan menuntut.
2. Tindak tutur ilokusi yaitu, tindak tutur yang didefinisikan tidak tutur ilokusi sebagi
sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau mengimformasikan sesuatu
dapat juga digunakan untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, tindak tutur yang
dilakukan oleh penutur berkaitan dengan perbuatan hubungan dengan menyatakan
sesuatu. Tindak tutur ilokusi berkaitana dengan nilai yang ada dalam proposisinya.
Contoh, “Saya tidak dapat datang”. Kalimat ini oleh seseorang kepada temannya yang
baru melaksanakan resepsi pernikahan anaknya, tidak hanya berfungsi untuk
menyatakan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu yakni meminta maaf karena tidak
datang.
3. Tindak tutur perlokusi yaitu perbuatan yang dilakukan dengan mengujarkan sesuatu,
membuat orang lain percaya akan sesuatu dengan mendesak orang lain untuk berbuat
sesuatu, dll. atau mempengaruhi orang lain.
Misalnya:
Tempat itu jauh.
mengandung pesan. metapesan ‘Jangan pergi ke sana!’ metapesan (Dalam pikiran
mitratutur ada keputusan) “Saya tidak akan pergi ke sana.”

Pembagian tindak tutur berdasarkan maksud penutur ketika berbicara (ilokusi) Searle
membagi dalam lima jenis. Pembagian ini menurut Searle (1980:16) didasarkan atas asumsi
“Berbicara menggunakan suatu bahasa adalah mewujudkan prilaku dalam aturan yang
tertentu”. Kelima tindak tutur tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tindak tutur repesentatif, yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk menetapan atau
menjelakan sesuatu apa adanya.
Contoh
Guru : Pokok bahasan kita hari ini mengenai analisis wacana.
Tuturan guru di atas, merupakan salah satu contoh tindak tutur representatif yang
termasuk mdalam tindak memberitahukan.
2. Tindak tutur komisif, yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pembicaraan
melakukan sesuatu, seperti berjanji, bernazar, bersumpah, dan ancaman.
Contoh saya berjanji akan datang besok
Tuturan di atas, merupakan salah satu contoh tindak komisif yang termasuk dalam
menjanjikan
3. Tinddak tutur direkfif, yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pendengar
melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, perintah, dan meminta.
Contoh
Guru : Siapa yang piket hari ini?
Siswa : Ani (siswa yang bersangkutan maju)
Tuturan di atas, merupakan suatu pernyatan yang tujuannya meminta informasi mitra
tutur.
4. Tindak tutur ekspresif, tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan
sikap. Tindak tutur ini berupa tindak meminta maaf, berterimakasih,menyampaikan
ucapan selamat, memuji, mengkritik.
Contoh : Ya, bagus sekali nilai rapormu.
Tuturan di atas, merupakan salah satu contoh tindak ekspresif yang termasuk pujian.
5. Tindak tutur deklaratif, yaitu tindak tutur yang berfungsi untk memantapkan sesuatu
yang dinyatakan, atara lain dengan setuju, tidak setuju, benar-benar salah, dan
sebagainya.

Praanggapan (presuposisi)
Praanggapan berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to
suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis
mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang kawan bicara atau hal
yang dibicarakan.
Selain definisi tersebut, beberapa definisi lain tentang praanggapan di antaranya
adalah: Levinson (dikutif Nababan, 1987:48) memberikan konsep praanggapan yang
disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam anggapan atau
pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai
makna.
Dari definisi praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah
kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan
disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan contoh
berikut :
(1) “Aku sudah membeli bukunya Pak Udin kemarin”
(2)“Dapat potongan 30 persen kan?
Contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur (1A) memiliki
praanggapan bahwa B mengetahui maksudnya yaitu terdapat sebuah buku yang ditulis oleh
Pak Pranowo.
Kesalahan membuat praanggapan efek dalam ujaran manusia. Dengan kata lain,
praanggapan yang tepat dapat mempertinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang
diungkapkan. Makin tepat praanggapan yang dihpotesiskan, makin tinggi nilai komunikatif
sebuah ujaran yang diungkapkan.
Contoh:
(2a) “Ayah saya datang dari Surabaya”.
(3a) “Minuman nya sudah selesai”.
Dari contoh (2a) praanggapan adalah: (1) saya mempunyai ayah; (2) Ayah ada
disurabaya. Pada contoh (3a) praanggapannya adalah silahkan diminum. Oleh karena itu,
fungsi praanggapan ialah membantu mengurangi hambatan respons orang terhadap
penafsiran suatu ujaran.
Praanggapan (presuposisi) menurut Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke
dalam 6 jenis praanggapan, yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-
faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural, dan presuposisi konterfaktual.
1. Presuposisi Esistensial
Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah preaanggapan yang menunjukkan
eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit.
a. Orang itu berjalan
b. Ada orang berjalan
2. Presuposisi Faktif
Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang
dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.
a. Dia tidak menyadari bahwa ia sakit
b. Dia sakit
3. Presuposisi Leksikal
leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara
konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak
dinyatakan) dipahami.
a. Dia berhenti merokok
b. Dulu dia biasa merokok
4. Presuposisi Non-faktif
Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan
tidak benar.
a. Saya membayangkan bahwa saya kaya
b. Saya tidak kaya
a. Saya membayangkan berada di Hawai
b. Saya tidak berada di Hawai
5. Presuposisi Struktural
Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu
telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian
struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya,
secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah
diketahui sebagai masalah.
a. Di mana Anda membeli sepeda itu?
b. Anda membeli sepeda
6. Presuposisi konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak
hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak
belakang dengan kenyataan.
a. Seandainya

Implikatur
Makna tersirat (implied meaning) atau implikatur adalah makna atau pesan yang
tersirat dalam ungkapan lisan dan atau wacana tulis. Kata lain implikatur adalah ungkapan
secara tidak langsung yakni makna ungkapan tidak tercermin dalam kosa kata secara literal.
Dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensional, yaitu
implikatur yang ditentukan oleh ‘arti konvensional kata-kata yang dipakai’.
Contoh:
a. Dia orang Palembang karena itu dia pemberani.
Pada contoh (a) tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri
(pemberani) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Palembang), tetapi bentuk ungkapan yang
dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau individu itu
dimaksud orang Palembang dan tidak pemberani, implikaturnya yang keliru tetapi ujaran
tidak salah.
Deiksis
Deiksis berasal dari kata Yunani kuno yang berarti “menunjukkan atau menunjuk”.
Dengan kata lain informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk
pada hal tertentu baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis.
Deiksis adalah kata atau frasa yang menghunjuk kepada kata, frasa, atau ungkapan yang telah
dipakai atau yang akan diberikan (Agustina, 1995:40). Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis
apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi
si pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu.
Perhatikan contoh kalimat berikut.
(a) Begitulah isi sms yang dikirimkannya padaku dua hari yang lalu.
(b) Hari ini bayar, besok gratis.
(c) Jika Anda berkenan, di tempat ini Anda dapat menunggu saya dua jam lagi.

Jenis-jenis Deiksis
Dalam kajian pragmatik, deiksis dapat dibagi menjadi jenis-jenis seperti diuraikan berikut ini.
a. Deiksis Orang
Dalam kategori deiksis orang, yang menjadi kriteria adalah peran pemeran
serta dalam peristiwa berbahasa tersebut (Nababan, 1987:41). Bahasa Indonesia
mengenal pembagian kata ganti orang menjadi tiga yaitu, kata ganti orang
pertama,orang kedua, dan orang ketiga.
Dalam sistem ini, orang pertama ialah kategori rujukan pembicara kepada
dirinya sendiri, seperti saya, aku, kami, dan kita. Orang kedua adalah kategori rujukan
kepada seseorang (atau lebih) pendengar atau siapa yang dituju dalam pembicaraan,
seperti kamu, engkau, anda, dan kalian. Orang ketiga adalah kategori rujukan kepada
orang yang bukan pembicara dan bukan pula pendengar, seperti dia, ia, beliau, -nya,
dan mereka. Contoh pemakaian deiksis orang dapat dilihat dalam kalimat-kalimat
berikut.
(a) Mengapa hanya saya yang diberi tugas berat seperti ini?
(b) Saya melihat mereka di pasar kemarin.
b. Dieksis Tempat
Dieksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang atau tempat yang
dipandang dari lokasi pemeran serta dalam peristiwa berbahasa itu. Dalam berbahasa,
orang akan membedakan antara di sini, di situ dan di sana. Hal ini dikarenakan disini
lokasinya dekat dengan si pembicara, di situ lokasinya tidak dekat pembicara,
sedangkan di sana lokasinya tidak dekat dari si pembicara dan tidak pula dekat dari
pendengar.
Contoh penggunaan dieksis tempat dapat dilihat pada kalimat-kalimat berikut.
(a) Tempat itu terlalu jauh baginya, meskipun bagimu tidak.
(b) Duduklah bersamaku di sini.
c. Deiksis Waktu
Deiksis waktu adalah pengungkapan atau pemberian bentuk kepada titik atau
jarak waktu yang dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat. Contoh deiksis
waktu adalah kemarin, lusa, besok, bulan ini, minggu ini, atau pada suatu hari.
Kalimat-kalimat berikut adalah contoh pemakaian dari kata penunjuk deiksis waktu.
(a) Dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri, yang bernama Fitri dapat makan
gratis besok. (tulisan di sebuah restoran)
(b) Gaji bulan ini tidak seberapa yang diterimanya.

D. Teori Pemerolehan Bahasa

1. Teori Behaviorisme
 Anak dilahirkan tanpa membawa apa-apa
 Anak belajar bahasa melalui imitasi, modeling, atau reinforcement.
 Psikolog behavioristik mengkaji perilaku linguistik dalam hubungan antara
rangsangan (stimulus) dan reaksi (response)

2. Teori Nativisme
 Bahasa terlalu kompleks untuk dipelajari dalam waktu dekat dan melalui
imitation.
 Setiap anak telah memiliki Language Acquisition Device (LAD) yang dibawa
sejak lahir (Miller dan Chomsky 1957)

3. Teori Kognitivisme
 Urutan perkembangan kognitif menentukan perkembangan bahasa.
 Dari lahir sampai 18 bulan, bahasa dianggap belum ada.
4. Teori Interaksionisme
 Pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental
pembelajaran dan lingkungan Bahasa.

E. Hubungan pemerolehan bahasa ditinjau dari segi pragmatik dengan mata


kuliah psikolinguistik.

Kata pemerolehan merupakan kata baru dalam bahasa Indonesia. Kata pemerolehan
tidak sama dengan perolehan. Kata pemerolehan mengacu kepada proses, sedangkan kata
perolehan mengacu kepada hasil. Jika dipa- dankan kata pemerolehan ini identik dengan
kata bahasa Inggris acquisition. Oleh sebab itu, frase pemerolehan bahasa merupakan
bentuk turunan dari language acquisition.
Perkembangan bahasa dibentuk dari interaksi dengan orang lain. Dengan
berinteraksi dengan orang lain, maka pengetahuan, nilai dan sikap anak akan berkembang.
Anak memiliki perkembangan kognisi yang terbatas pada - tertentu, tetapi
melalui interaksi sosial, anak akan mengalami peningkatan kemampuan berpikir. Bahasa
digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat untuk berkomunikasi dengan orang
lain.
Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal
disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama anak terjadi jika
anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada
masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada
bentuk bahasanya.
Anak-anak menggunakan bahasa yang telah diperolehnya melalui interaksi dengan
orang lain, baik dengan anak sebaya, anak-anak yang lebih muda atau dengan orang dewasa
di sekitarnya. Dalam penggunaannya, secara tidak langsung anak-anak juga mempelajari
norma dan budaya yang berlaku di sekitarnya dalam menggunakan bahasa tersebut.
Dardjowijoyo (2000:275) menyebutnya dengan pemakaian bahasa (language usage) dan
penggunaan bahasa (language use). Dengan demikian, anak- anak juga harus menguasai
kemampuan pragmatik.
Ketika memasuki taman kanak- kanak, anak sudah menguasai hampir semua kaidah
dasar gramatikal bahasanya. Mereka juga memiliki perbendaharaan kata atau
memahami kosakata lebih banyak lagi. Mereka pun sudah dapat menggunakan
bahasa dalam konteks sosial yang bermacam- macam. Mereka dapat bergurau, bertengkar
dengan teman-teman sebayanya dan berbicara dengan santun kepada orang tua dan
guru mereka. Masa kanak-kanak adalah usia yang paling tepat untuk mengembangkan
bahasa. Masa ini sering juga disebut masa golden age. Pada usia itu, anak sangat
peka mendapatkan rangsangan-rangsangan baik yang berkaitan dengan aspek
fisik motorik, intelektual, sosial, emosi maupun bahasa. Perkembangan awal lebih penting
daripada perkembangan selanjutnya, karena dasar awal sangat dipengaruhi oleh belajar
dan pengalaman. Peran guru sangat dibutuhkan dalam mengembangkan kemampaun
pemerolehan bahasa dalam konteks pragmatik.
Anak miliki tahapan-tahapan tersendiri dalam memeroleh bahasanya, termasuk di
dalamnya kemampuan pragmatik (tentu saja dengan tindak tuturnya). Perkembangan
linguistiknya ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua, khususnya ibu dan
anak. Dalam masa perkembangan linguistiknya, anak mengembangkan konsep dirinya
dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek, dan tindakan pada
tahap satu kata, anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama-nama benda dan
orang yang dijumpai. Hal itu menjadi perbendaharaan kata mereka interogatif/pertanyaan,
perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi. Jadi, melalui
kompetensi dan perfomansinya anak-anak telah memeroleh kemampuan pragmatik
melalui tuturan.
Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan pemerolehan pragmatik anak usia
prasekolah memerlukan waktu yang lama dan panjang serta melalui fase-fase
yang memiliki ciri-ciri tersendiri. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan fase yang
memerlukan perhatian. Inilah sebabnya fase prasekolah merupakan awal penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan manusia pada fase selanjutnya.
Penguasaan bahasa anak dapat dilihat dari aktivitas anak dalam kehidupan sehari-
hari. Anak seyogyanya juga harus dipersiapkan untuk mampu berinteraksi dengan orang
lain dengan menggunakan tata bahasa yang beragam sesuai dengan latar belakang petutur.
Untuk mengetahui sejauh mana anak menguasai pragmatik, performa anak dalam
menuturkan keinginannya dengan beragam bentuk. Setidaknya penguasaan pragmatik
tersebut terlihat dari kemampuannya mempersepsi dan memproduksi Tindak Tutur
Direktif (TTD).
Psikolinguistik sangat berkaitan dengan pemerolehan bahasa dari segi pragmatik.
Kajian mengenai faktor-faktor psikologis dan neurobiologis yang memungkinkan manusia
memperoleh, menggunakan, dan memahami bahasa. Manusia memiliki tahapan-tahapan
yang dialami dalam proses pemerolehan bahasanya. Pemerolehan bahasa tersebut termasuk
kondisi seseorang saat tahapan pemerolehan bahasa ditinjau dari segi ilmu pragmatik.
Performa anak dalam berkomunikasi diperoleh dari pengalaman berbahasanya. Sangat jelas
bahwa dalam pemerolehan bahasa anak dibutuhkan kemampuan pragmatik untuk
memahami tuturan yang disampaikan. Kemudian kemampuan pragmatik tersebut dapat
dikaji dalam ilmu Psikolinguistik mengenai proses pemerolehan bahasa dan pengalaman
berbahasa seseorang.

F. Faktor Pendorong pemerolehan bahasa kedua

Faktor Usia, usia yang muda jauh lebih mudah dalam pemerolehan bahasa kedua. Anak-
anak tampaknya lebih mudah dalam memperoleh bahasa baru, sedangkan orang dewasa
tampaknya mendapat kesulitan dalam memperoleh tingkat kemahiran bahasa kedua. Anak
yang masih berusia emas akan dengan mudah menguasai bahasa kedua.
a. Anak usia 5 tahun sudah memiliki kemampuan bahasa yang baik, kalimat-kalimat
yang disampaikan sudah bisa dimengerti oleh orang lain. Dalam percakapan ia sudah
bisa menggunakan kata-kata yang menghubungkan sebab-akibat, seperti kata “
mungkin” ataupun “ seharusnya” (Tussolekha, R., 2015).
b. Dalam hal kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua, dapat disimpulkan
bahwa anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam pemerolehan sistem
fonologi atau pelafalan bahkan banyak diantara mereka yang mencapai pelafalan
seperti penutur asli; orang dewasa tampaknya maju lebih cepat daripada anak-anak
dalam bidang morfologi dan sintaksis, paling tidak pada pemulaan masa belajar; anak-
anak lebih berhasil daripada orang dewasa, tetapi tidak selalu lebih cepat. Perbedaan
umur mempengaruhi kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua pada aspek
fonologi, morfologi dan sintaksis tetapi tidak berpengaruh dalam pemerolehan
urutannya. Munculnya berbagai variasi dalam pemerolehan fonologi sebagian besar
disebabkan oleh belum sempurnanya alat ucap (Yanti, 2016).

 Faktor Bahasa Pertama, apabila pemerolehan bahasa pertama sudah baik maka
pemerolehan bahasanya kedua juga akan baik. Ellis (1986: 19) menyebutkan para
pakar pembelajaran bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama
mempunyai pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua pembelajar.
 Faktor Lingkungan
Lingkungan bahasa sangat penting bagi seseorang pembelajar untuk dapat berhasil
dalam mempelajari bahasa baru (bahasa kedua). Lingkungan bahasa adalah segala hal
yang didengar dan dilihat oleh pembelajar sehubungan bahasa kedua yang sedang
dipelajari. Lingkungan dan kebiasaan (penggunaan bahasa yang secara terus-menerus
dalam suatu interaksi sosial sangat mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua), Hal-
hal termasuk dalam lingkungan bahasa adalah situasi di restoran atau di toko,
percakapan dengan kawan-kawan, ketika menonton televisi, saat membaca koran,
dalam proses belajar-mengajar di dalam kelas, dan sebagainya. Kualitas lingkungan
bahasa ini merupakan suatu yang penting bagi pembelajar untuk memperoleh
keberhasilan dalam mempelajari bahasa kedua, berbahasa formal, Faktor yang juga
sangat berpengaruh dalam proses pemerolehan bahasa adalah fator lingkungan
(Kapoh, R. J., 2010). Menurut Baradja (1994:3-12) terdapat enam faktor yang perlu
diperhatikan secara cermat, yaitu tujuan, pembelajar, pengajar, bahan, metode, dan
faktor lingkungan. Meski demikin, faktor tujuan, pembelajar, dan pengajar merupakan
tiga faktor utama dari ketiga faktor ini kemampuan bahasa kedua mengkonsentrasikan
diri pada hal-hal yang menyangkut pembelajar dan proses pembelajar.
 Faktor motivasi (adanya tujuan tertentu sebagai motivasi dalam memperoleh bahasa
kedua merupakan unsur yang sangat penting dalam pemerolehan bahasa kedua).
 Kreativitas orang tua dalam berkomunikasi dengan anak.

G. Faktor Penghambat Pemerolehan Bahasa Kedua


1. Kurangnya kreatifitas orang tua dalam berkomunikasi dengan anak
2. Faktor kesehatan anak
3. Faktor biologis anak
4. Tidak adanya motivasi dalam diri anak untuk memahai apa maksud dari perkataan
penutur
5. Terlambat dalam mempelajari bahasa kedua, anak-anak biasanya lebih cepat dalam
mempelajari bahasa kedua
6. Tidak di barengi dengan Penyajian formal atau otodidak
7. Faktor bahasa pertama
8. Faktor lingkungan yang tidak mendukung
DAFTAR PUSTAKA

Akhyar, Fitria. 2019. Perkembangan Pragmatik Pemerolehan Bahasa Anak.


Jurnal Kajian Bahasa dan Sastra, vol 1, No. 1. hlm 75-86.

Syaprizal, Muhammad Peri. 2019. Proses Pemerolehan Bahasa Pada Anak. Jurnal
AL-HIKMAH Vol. 1, No. 2. hlm 78-80.

Akhyar, Fitria. 2019. Perkembangan Pragmatik dalam Pemerolehan Bahasa


Anak. Jurnal Kajian Bahasa dan Sastra, Vol. 1, No. 1. hlm 78-79.

Natsir, Nurasia. 2017. Hubungan Psikolonguistik Dalam Pemerolehan dan


Pembelajaran Bahasa. Jurnal Retorika, Vol. 10, No.1, hlm 24.

Andini, Hanim Mawar. 2017. "Jenis-jenis Tindak Tutur dan Makna Pragmatik
Bahasa Guru pada Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Karangreja
Kabupaten Purbalingga Tahun Ajaran 2016/2017". Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS,
FKIP, USD. Diakses pada 22 Oktober 2021 dari
https://repository.usd.ac.id/17795/2/131224069_full.pdf

Puput. 2018. “Aspek-Aspek Pragmatik: Tindak Tutur, Praanggapan, Dieksis,


Inferensi Dan Implikatur”. Bloger. Diakses pada Oktober 2021.

Anda mungkin juga menyukai