Aku
yang terdera. Aku yang menjadi korban.Aku menderita. Aku yang sudah kesakitan. Aku yang
menanggung seluruh kerugian. Aku diberitakan, diperdebatkan, dipergunjingkan, diselidiki, dan
dipakai sebagai contoh, sebagai obyek untuk berbagai menyelidikan, analisis-analisis, yang
menyebabkan banyak orang menjadi terkenal dan kaya.”
“Aku sudah mencetak duit buat banyak orang, yang memanfaatkan dengan cerdik seluruh
peristiwa dahsyat ini, sehingga mereka menjadi terkenal, terkemuka, memegang posisi puncak,
dan akhirnya menang. Tetapi, aku sama sekali tak kebagian apa-apa. Aku tetap saja hanya
sebuah mayat yang sepi. Yang akhirnya tak lebih penting dari segala manipulasi orang-orang
tersebut. Ini sama sekali tidak adil!”
Ia bangkit dari kebisuan dan kekakuannya, dan mulai menyusun protes. Ia menggugat perilaku
semena-mena tersebut, yang jelas sekali memperlihatkan keserakahan manusia.
“Peradaban sudah merosot. Kebudayaan tidak lagi membuahbudikan keluhuran, tapi membuat
manusia semakin tamak dan tipis rasa kemanusiannya.Dunia sudah menjadi sebuah pasar besar.
Semua orang berdagang.”
“Dan dagang sendiri bukan lagi menjadi ajang tukar-menukar jasa dengan saling
menguntungkan, saling bergotong-royong, tetapi sudah menjadi perang siasat untuk menipu dan
membuat bangkrut orang lain.”
“Kehidupan sudah rusak. Aku menginginkan pencerahan atas kabut hitam yang akan membuat
dunia dan kehidupan, serta segala manusia berikut isinya ini, kiamat kobra,” kata mayat itu.
Ia berdiri di pinggir jalan. Lalu mulai mengganggu setiap orang lewat, dengan berbagai keluhan,
kemudian sindiran-sindiran, dan akhirnya menjadi umpatan-umpatan yang terdengar tidak
bedanya dengan kutukan.
“Aku yang mati, kamu yang enak! Aku yang kejepit, kamu yang melejit. Kamu semua
kelihatannya saja menangis, meringis, tapi sebetulnya kamu semua tertawa. Kamu terus hidup
ngakak.”
“Kematianku sudah menghasilkan lebih banyak uang lagi ke dalam bisnismu. Air matamu hanya
kelambu untuk menutup segala kebahagiaan dan keuntunganmu menjual berita-berita perih,
menciptakan esai-esai, elegi-elegi, balada-balada, dan orasi-orasi, yang meratapi dan menggugat
kematianku. Kamu tidak punya malu lagi mengeruk keuntungan dari orang yang mati!”
Mayat itu mengetuk pintu sebuah media massa yang mengalami cetak ulang ketika memuat
secara lengkap cerita dan foto-foto kematiannya. Para wartawan yang ditemuinya semua
menghindar, mengangkat bahu, dan menunjuk atasannya. Sedang atasannya yang paling atas
sibuk menunjuk wakilnya supaya meladeni mayat yang cerewet itu.
Akhirnya sekretaris redaksi terpaksa membatalkan niatnya untuk pulang lebih dulu. Ia
menghadapi mayat itu dengan senyum ramah. Sama-sama wanita, mungkin dapat diselesaikan
secara baik-baik.
“Silakan menuliskan semua keberatan Anda terhadap pemberitaan kami. Kalau memang ada
yang salah, meskipun kami sudah sangat berhati-hati, kami bersedia meralatnya untuk
kebahagiaan dan ketenangan Anda di sana,” katanya mempersilakan mayat itu menumpahkan
semua sumpah serapahnya.
Mayat itu langsung duduk di depan komputer. Seperti bendungan ambrol, ia menembakkan
seluruh unek-unek perutnya. Apa saja yang sudah menyakitkan, apa saja yang sudah
menyinggung, semua yang tidak adil, seluruh ketidakbenaran, kesalahkaprahan, bahkan yang
mungkin akan menyiksanya di kemudian hari, ia beberkan dengan kata-kata yang tajam dan
berbisa. Ia menguras seluruh dendam, luka, prasangka, dan kesakitannya.
Berjam-jam mayat itu mencurahkan segala tuntutannya. Komputer penuh dengan kata-kata
kotor. Dalam uraian mayat itu, dunia menjadi pabrik kejahatan yang hanya dihuni oleh bandit-
bandit tengik. Moral, susila, tata krama,kapatutan, keluhuran budi, apalagi kemanusiaan yang
dikibar-kibarkan selama ini, ternyata hanya sebuah koteka untuk membungkus kebiadaban.
“Semuanya busuk,” erang mayat itu. Dan, setelah itu komputer tersebut sepertinya tak mampu
lagi menampung semua kata-kata sumpah serapahnya. Ia terenyak di kursi ketika seluruh unek-
unek tuntutannya berhasil ia lemparkan keluar dari perut, hati, dan otaknya. Seperti balon
kempes, ia menggepeng di atas kursi. Nampak begitu lelah, namun damai.
Penjaga kantor yang tua bangka menghampirinya, menanyakan apakah ia memerlukan sesuatu.
Minuman panas, air dingin untuk penyegar. Mungkin juga makanan, semacam roti bakar yang
masih bisa disambar dari perempatan jalan di malam selarut itu. Sekaligus mengingatkan bahwa
subuh sebentar lagi akan menyundul di langit timur.
Mayat itu menggelengkan kepalanya. Ia tidak menginginkan apa-apa lagi. Semua bentuk protes
dalam pikirannya sudah tersalurkan. Kini ia memerlukan sebuah tidur yang panjang. Barangkali
sepotong dua potong mimpi yang benar-benar mimpi.
Panjaga kantor itu mengerti. Tetapi sebelum pergi meninggalkan tamu eksklusif itu, yang
diwanti-wanti oleh sekretaris supaya diperlakukan ekstra istimewa, ia sempat mengerling ke atas
layar komputer. Ia berdecak-decak kagum. Seakan-akan ikut menikmati kepuasan mayat
tersebut. Ini menyebabkan kantuk mayat itu hilang. Ia menoleh pada penjaga malam, yang sudah
lancang itu, dengan mata berkilat-kilat.
“Kamu mengerti?”
“Tidak. Itu memang benar.” Mayat itu menjadi amat girang menemukan untuk pertama kalinya
orang yang mampu memahami segala tuntutannya.
“Jadi kamu percaya saya sekarang, betapa tidak adilnya semua ini?”
“Saya percaya.”
Mayat itu mengulurkan tangannya. Penjaga malam itu juga mengulurkan tangannya. Keduanya
berjabatan tangan, seperti orang yang mau bersekongkol. Tapi, tangan penjaga malam itu dingin
sekali seperti beku. Mayat itu terkejut.
“Tidak.”
“Tidak.”
“Tapi, kenapa?”
Mayat itu terkejut. Ia curiga kalau-kalau bukan menghadapi seorang penjaga malam. Siapa tahu
itu agen polisi. Paling sedikit mata-mata yang diutus oleh kepala kantor. Tetapi, ketika ia
memandangi mata penjaga malam itu, ia hampir terpekik, karena di kedua mata itu nampak
ruang kosong.
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena itu kewajiban saya.”
“Semuanya!”
“Ya, memang.”
Mayat itu bingung. Dia berdiri dan memperhatikan penjaga malam itu lebih cermat. Tak puas
hanya melihat, ia lalu menyentuh, kemudian meraba-raba, selanjutnya merogoh tubuh penjaga
malam itu. Tiba-tiba ia terpekik ngeri.
“Wow! Badan kamu seperti tak punya tulang. Daging kamu bonyok!”
“Memang!”
“Bukan cuma itu. Aku jadi curiga, jangan-jangan kamu … Maaf, boleh aku kobok sekali lagi?”
“Silakan.”
Mayat itu mendekat, lalu ngobok sekali lagi badan penjaga malam itu. Ia terpekik kembali dan
meloncat keluar. Matanya sampai tumpah keluar karena takjub.
“Ya Tuhan, kamu kok sepertinya tidak punya hati dan juga tidak punya otak.”
“Memang begitu.”
“Ya. Jangankan perasaandan pikiran, apa pun saya tidak punya. Lihat, kemaluan juga tidak ada
lagi. Maaf, ya … “
Penjaga malam itu membuka seluruh pakaiannya. Mayat itu menggigil dibuatnya. Orang itu
memang sudah dikebiri total. Ia tak punya segala-galanya.
“Kamu sudah bangkrut sebangkrut-bangkrutnya. Kamu tidak punya apa-apa.Kamu sudah kalah
komplet. Apa kamu bukan manusia?”
“Saya manusia.”
“Tidak.”
“Ya, begitulah saya harus hidup meskipun tidak punya semua itu lagi.”
“Tidak mungkin!”
“Memang, tidak mungkin. Tetapi, apa boleh buat, wong ini harus kok. Ini kewajiban saya.”
“Boleh panggil saya siapa saja. Saya tidak milih-milih nama. Terserah orang, suka manggil saya
apa saja. Silakan. Saya manut-manut saja.” “Itu namanya pasrah. Apa kamu orang Jawa?”
“Coba ceritakan sedikit kehidupan kamu. Gaji kamu berapa sih? Pasti besar sekali karena
kewajiban kamu begitu berat. Berapa?”
“Tiga puluh.”
“Ya!”
“Gila! Bagaimana kamu bisa hidup hanya dengan gaji segitu?”
“Itu juga diangap sudah terlalu banyak. Bukan hanya saya yang harus hidup. Istri saya dan
sepuluh orang anak saya juga harus hidup.”
Mayat itu duduk kembali. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seorang yang bergaji seperak
sehari, dengan tanggungan istri dan sepuluh orang anak, bisa hidup. Pasti penjaga malam itu
korupsi.
“Tidak, Pak. Saya hanya jualin kertas-kertas kantor yang sudah tidak terpakai.”
“Terserah, Pak.”
Mayat itu termenung. Ia lupa pada masalahnya sendiri dan mulai kagum. Memang, pada orang
kecil sering muncul sifat-sifat luhur yang dahsyat.
“Kamu luar biasa.” gumam mayat itu terpesona. “Orang lain sudah mati kalau kondisinya seperti
kamu ini.”
“Ah! Apa?”
“Ya.”
“Betul sekali.”
“Benar!”
“Wow! Kalau begitu, kita sama dong!” teriak mayat itu kegirangan, karena merasa mendapat
seorang teman secara tiba-tiba, sambil mengulurkan tangannya mau berjabatan.
Tetapi sekali ini, penjaga malam itu tak menyambut uluran tangannya.
“Ayo, salaman. Kita sama! Tadinya kukira aku sendirian. Sekarang aku tahu masih ada orang
lain. Sedikitnya, kita bisa berbagi kemalangan. Ayo salaman!”
“Tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa? Kamu tidak mau salaman? Ini hanya ekspresi, bukan kolusi. Jangan takut,
tidak akan dituntut.”
“Keliru bagaimana?”
“Betul.”
“Tetapi bukan?”
“Kenapa bukan?”
“Karena, meskipun saya mayat, tempat saya tidak di kuburan. Tetapi di kantor ini.”
“Kamu jangan main-main. Ini bukan waktuna untuk guyonan.” “Tidak. Sumpah, saya sungguh-
sungguh. Boleh saja tidak percaya. Tidak apa. Saya sudah biasa tidak dipercaya. saya tidak
tersinggung atau sakit hati. Dipercaya atau tidak, memang beginilah saya. Saya mayat yang harus
hidup. Harus. Saya tidak boleh istirahat. Mati pun saya tetap harus bertugas.”
“Ya, itu.”
“Ya Tuhan, kalau begitu, nasibku tidak terlalu jelek. Ada yang lebih jelek. Bahkan aku boleh
dikata agak mendingan dibandingkan dengan penjaga malam itu,” desis mayat itu.
“Kasihan…”
Penjaga malam itu tiba-tiba keluar dari gelap. Dengan tergopoh-gopoh menghampiri.
Penjaga malam itu mengangguk, lalu kembali lagi ke tempatnya. Waktu itu mayat tersebut
merasa malu hati. Diliriknya komputer yang sudah dipenuhi dengan tumpahan tuntutannya.
Setelah melihat nasib penjaga malam itu, apa yang dirasanya sebagai kesakitan seperti tidak ada
artinya sama sekali. Ia merasa sudah terlalu cengeng.
Tetapi apa daya, seluruh tulisan di dalam komputer itu sudah diprotek, sama sekali tidak bisa
dihapus lagi. Ia abadi. Mayat itu lalu mencoba mengalihkan pikirannya. Tetapi, apa yang barusan
ia tulis seperti berbunyi dengan sendirinya. Ternyata begitu panjang tuntutan dan protesnya.