Enam puluh tahun lagi dari sekarang, pohon-pohon itu akan ditebangi jadi jalan dan mall.
Pencakar-pencakar langit akan menancap di setiap jengkal tanah di seluruh tubuh kota. Jalan
layang melilit kota, tidak ada lagi yang akan sempat melihat pagi dan senja merah, karena
langit sudah dihancurkan oleh dosa-dosa pembangunan.
Di jalanan tidak ada lagi ruang bagi
pejalan kaki dan sepeda, semua direbut oleh kendaraan mewah punya para konglomerat.
Kehidupan ini bukan milik rakyat, tapi para pemimpin, ketua-ketua partai, dan para cerdik
pandai yang nenjadi selebriti karena teori-teori kemanusiaannya yang luar biasa cerdas, tetapi
tak pernah berpihak kepada kemanusiaan.
Uang adalah dewa yang paling tinggi yang ingin dimiliki oleh semua orang dengan
segala macam cara. Termasuk menipu, menindas, membunuh, juga mempergunakan ideologi,
ilmu pengetahuan, kesenian, dan agama. Karena itu, terimalah ini. Aku diminta menyampaikan
ini kepada Abang. Buanglah senjata yang tidak akan sempat meletus itu, karena senjata-senjata
kuman sudah terlebih dahulu akan mematuk nyawa Abang. Kecuali kalau Abang terima ini!
Para penjajah mengulurkan sebuah cek.
Berapa saja angka yang Abang taruh di atasnya, cek ini akan bunyi tetapi dengan satu
syarat.
Aku harus meletakkan senjata? Tidak!
O tidak, tidak! Abang tak perlu meletakkan senjata, itu melanggar janji seorang prajurit.
Tetap saja angkat senjata Abang dan kemudian tembakkan. Karena itulah gunanya senjata itu
diberikan. Tapi jangan menembak ke arah depan. Karena musuh yang sebenarnya bukan di
depan, tetapi di samping dan di belakang. Terutama di dalam diri Abang sendiri. Tembak
semuanya itu, bersihkan musuh-musuh dalam selimut yang sudah membuat enam puluh lima
tahun merdeka itu lebih neraka dari apa yang ada sekarang.
Aku tercengang.
Menembak ke dalam diriku sendiri?
Ke samping dan ke belakang juga.
Tapi, itu bunuh diri.
Bukan. Itu pembersihan rohani!
Itu berarti aku akan membunuh teman-teman seperjuanganku sendiri.
Bukan. Mereka itu musuh dalam selimut.
Aku terkejut.
Bagaimana, berkenan? Mohon jangan menolak, karena aku akan kecewa dan sedih.
Para penjajah tidak menunggu jawabanku. Dia langsung menjatuhkan diri ke pelukanku.
Lalu mencium dengan mulutnya menempel seperti bekicot. Ciuman lengket itu membuat
tubuhku meleleh. Pagutan tangannya adalah lengan-lengan gurita yang mengurung dan membelit
sukma sehingga aku ringsek total.
Senjata itu terlepas dari tanganku, sementara cek yang diselusupkan ke kantung bajuku
seperti tangan nakal yang merogoh liar kegairahanku, sehingga dalam ketegangan yang tak
tertahan, aku tidak bisa bilang tidak. Aku terpanggang di dalam api para penjajah. Aku
melambung
dilalap kenikmatan yang belum pernah kualami.
Apa yang lebih berharga lebih dari rasa bahagia. Apa aku harus menolak apa yang dikejar
oleh semua orang dengan mengorbankan jiwa-raga dan kehormatannya, apalagi ia datang
menyerahkan diri kepadaku tanpa syarat.
Aku kelenger. Belum pernah aku menikmati kenikmatan yang begitu panjang dan seakanakan tidak akan pernah berakhir. Aku hanyut dan menyerah. Aku ingin berada di puncak
kebahagiaan itu selama-lamanya.
Tetapi, tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika aku terbangun, aku terperanjat. Di
depanku, sahabat karibku berlumuran darah. Wajahnya begitu dekat, sehingga aku tepercik
oleh darah yang menetes dari lubang peluru di dahinya. Ia membuka mulutnya tetapi begitu
lemah, sehingga aku menempelkan telingaku untuk mendengar.
Bangun, tembak, jangan tidur, mereka menyerbu sebelum kita sadar, katanya, lalu langsung
roboh. Aku gugup tapi berdiri. Sekitarku sudah menjadi lautan mayat. Semua temanku sudah
tertembak mati. Tinggal aku sendiri yang luput karena sudah bermimpi atau memang aku
disisihkan supaya katut menang, karena para penjajah sudah memilih.
Lupa pada cek yang ada di kantung. Lupa pada gambar yang sudah ditempelkan para penjajah di
benakku tentang kebobrokan 65 tahun yang akan datang, aku angkat senjata. Tapi mana
senjataku. Tanganku kosong, senjata entah di mana. Aku berteriak histeris, tapi suaraku
ditelan kebekuan kalah. Aku berontak. Aku angkat tanganku, tapi tidak bisa, tanganku kaku.
Aku menadahkan muka ke atas menjerit minta pertolongan.
Tiba-tiba, di atas sana aku lihat bendera sang saka berkibar di puncak tiang. Gagah dan
bergelora dikibas-kibaskan angin. Negeriku sudah merdeka. Rakyat bebas. Aku meledak.
Kesedihanku berubah jadi kegembiraan. Aku terlempar ke 65 tahun yang akan datang di
tahun 2010. Terima kasih Tuhan!
Tapi, ketika memandang di sekitar, aku terperanjat. Hutan dan gunung gundul. Sungai kering
dan laut terpolusi. Musim hujan tidak karuan. Bencana alam menghantam. Hujan, banjir,
longsor tetapi hutan terbakar, gunung meletus, sumur bumi muncrat menenggelamkan kota
dalam kubangan lumpur. Demam berdarah, flu babi, narkoba, kemiskinan, korupsi, gontokgontokan agama, disintegrasi. Rakyat kelaparan sementara para pejabat sibuk bertengkar
saling menyalahkan dan menghasut dialah yang paling tepat memimpin. Keos!
Lalu aku dengar para penjajah tertawa.
Betul tidak, betul tidak apa yang aku aku katakan, kata para penjajah. Tidak ada gunanya
kemerdekaan. Kemerdekaan hanya buat orang kaya dan yang berkuasa. Kalian, 220 juta
kawula, akan tetap menjadi budak yang tidak punya masa depan. Bukan kalian yang akan
menulis sejarah tapi para konglomerat, petualang-petualang politik dan para elite yang
melihat kehidupan dari balik teori-teori akademisnya yang abstrak.
Para penjajah tertawa ngakak.
Aku jadi muak! Benci! Marah! Sumpek! Aku sumpahi, ludahi, hajar habis semua kebiadaban
itu. Aku malu, aku luka, aku sakit!
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika kubuka mata, anakku, Taksu, berdiri di
depanku dan berbisik.
Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada para penindas, mereka
yang pernah menderaku selama 27 tahun itu akan terus menyandera diri dan jiwaku. Aku
ingin menjadi orang yang merdeka. Karenanya aku buang semua kebencian itu, sehingga aku
benar-benar merasa sebagai orang yang bebas dan merdeka.
Aku terkejut. Kupandang Taksu seperti melihat terowongan gelap.
Apa? Coba ulangi!
Taksu mengucapkan sekali lagi, sementara aku memejamkan mata. Kalimat-kalimat itu
seperti ujung jarum yang menembus kuping dan masuk langsung ke hulu hatiku. Jantungku
yang robek dijahitnya kembali. Sedang hulu hatiku yang tertutup dibukanya lebar-lebar agar
sehat jasmani dan rohani sehingga mampu memimpin sebagai presiden pertama Afrika
Selatan!
Lalu kuulangi Mandela seperti yang aku dengar dari Taksu.
Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada para penindas, mereka
yang pernah menderaku selama 27 tahun itu, akan terus menyandera diri dan jiwaku. Aku
ingin menjadi orang yang merdeka. Karenanya aku buang semua kebencian itu, sehingga aku
benar-benar merasa sebagai orang yang bebas dan merdeka.
Dewi, istriku, manggut-manggut.
Hebat, mulia, dan sangat agung pikirannya kan, Bu?
Ya, iyalah Pak, orang besar memang pikirannya juga harus besar!
Lho, bukan orang besar saja. Orang kecil, rakyat jelata, seperti kita juga harus meneladani
apa yang ditemukan oleh orang-orang besar itu. Karena itulah kita sebut dia pemimpin.
Bukan hanya karena dia berdiri paling depan kalau kita berperang, itu sih wayang. Tetapi
karena dia membuka makna-makna di dalam kehidupan, sehingga kita bisa melihat apa
sebenarnya inti baik, buruk, adil, dan khususnya kemerdekaan itu. Tidak seperti kita sekarang
di Indonesia ini yang sibuk membenci orang lain, meskipun memang pantas dibenci!
Istriku termenung.
Jadi Bapak setuju pada Mandela?
Lho bukan hanya aku yang sudah tua bangka ini, Bu. Bukan hanya kita yang sudah
bangkotan karena kebanyakan makan garam ini saja. Anak kita, si Taksu yang masih mentah
itu, juga setuju. Justru dia yang tadi membacakan pikiran agung Nelson Mandela itu
kepadaku, sehingga aku seperti mendapat pencerahan. Begitu hebatnya arti kata-kata. Hanya
kata-kata, tetapi cukup bisa mengubah perasaanku. Itu dia kehebatan seni. Pikiranku seperti
dicuci bersih, plong sekarang oleh kebenaran yang diulurkan Mandela. Umpama Ibu hanya
masak tempe-tahu atau ikan asin tok seperti biasanya, suamimu ini tidak akan sambat lagi.
Perasaanku jadi tenang setelah mendapat siraman kebenaran dari Mandela. Batu pun rasanya
sekarang enak!
Ah, Bapak kalau lagi senang suka melebih-lebihkan begitu.
Lho, aku serius! Ini penting sekali. Perubahan itu tidak dimulai dari penampakan jasmani,
tetapi rohani. Kalau di dalam sini sudah bener, semuanya akan jalan. Tapi kalau di hati sudah
rusuh dan kotor, apa saja, yang baik dan sudah adil juga jadi salah. Ya nggak?
Jadi Bapak sekarang pengikut Nelson Mandela?
Bukan, bukan, ini bukan kultus individu. Nelson Mandela tidak usah dipuja-puja. Dia juga
manusia biasa. Tetapi pikirannya tentang kemerdekaan dan kebebasan itu sangat agung,
perlu, harus, wajib, dan mesti kita laksanakan, kalau mau mengubah keadaan baik di
Indonesia maupun di batin kita sendiri. Kita harus menjadi manusia yang merdeka, bebas,
sehat, dan waras!
Dewi menganguk-angguk.
Sekarang aku ke tetangga dulu dan menyebarkan virus kemerdekaan dan kebebasan Nelson
Mandela ini. Hal-hal yang baik tidak ada gunanya kalau tidak disosialisasikan! Ini ibadah!
Aku bergegas keluar. Kutumpahkan ucapan Nelson Mandela itu, lengkap dengan kecap
manisku. Aku pujikan usaha berpikir positif, yang konkret dan arif-bijaksana itu.
Tak cukup kepada beberapa tetangga, kusamper warung dekat rumah. Aku tularkan konsep
kemerdekaan yang membebaskan perasaan itu kepada semua orang. Yang menyenangkan,
hampir semua, setelah diberi penjelasan, keplok tangan, sepakat menganggap Nelson
Mandela sudah memasok rumusan penting untuk membuka citra baru tentang apa itu
merdeka.
Sore hari baru aku pulang. Ketika membuka pintu, terdengar suara azan dan beduk tanda
buka puasa. Tepat sekali. Aku bergegas masuk, lalu nyruput teh manis panas yang sudah
dihidangkan istriku. Nikmat. Tak ada yang lebih indah dari seteguk teh panas manis di ujung
puasa. Perutku langsung gemeletuk minta diisi. Tapi ketika membuka tutup meja makan aku
terkejut.
Tempe, tahu, dan ikan asin lagi.
Kok hanya tempe-tahu dan ikan asin tok? Beribu-ribu kali aku sudah makan tempe-tahu dan
ikan asin, Masak aku mesti makan semuanya itu sekali lagi sekarang sesudah 12 jam tidak
makan dan minum? Mana pecel lelenya?
Istriku cepat datang.
Kenapa Pak?
Kenapa tempe-tahu dan ikan asin lagi. Tempe-tahu dan ikan asin tiap hari. Mana pecel
lelenya? Aku kan sudah minta sekali ini pecel lele? Aku kan minta pecel lele?
Ya!
Mana?
Tapi?
Jangan tetapi! Pecel lele! Mana? Aku kan minta pecel lele, bukan tempe-tahu dan ikan asin!
Pecel lele!
Ya Bapak memang minta pecel lele, tapi setelah itu Bapak bilang
Pecel lele!
Tidak! Setelah minta pecel lele, Bapak bilang, kalau hati sudah plong, bersih, merdeka, dan
lapang, apa pun jadi baik. Batu pun jadi enak!
Aku tertegun.
Aku bilang begitu?
Ya, Bapak bilang begitu!
Aku terhenyak.
Ya, ya sudah, kalau aku sudah bilang begitu, memang harus begitu. Nggak ada masalah.
Tempe-tahu dan ikan asin juga enak kalau batu saja enak!
Kontan kulupakan pecel lele, kembali pada Nelson Mandela. Tempe-tahu dan ikan asin itu
aku andaikan dalam hati ikan reca-reca. Dengan garang aku lahap tempe-tahu dan ikan asin
itu dengan nikmat. Peluh berleleran dari kepalaku. Istriku takjub seperti tak percaya.
Bener nikmat?
Nikmat sekali. Lalu aku berbisik mesra untuk membuktikan kenikmatanku.
Besok pagi kita kabulkan permintaan Taksu yang sudah dua tahun kita tunda, karena
khawatir dia ketularan budaya kemewahan. Kita belikan dia motor baru. Ibu tarik semua uang
kita yang dipinjam oleh tetangga-tetangga, karena memang sudah lama betul belum
dikembalikan.
Tidak bisa!
Lho, kenapa tidak? Tiga bulan lalu mestinya sudah mereka kembalikan!
Itu dia, Pak. Daripada aku tekanan batin sampai malas keluar rumah ketemu tetangga,
karena kesal dicurigai mau nagih hutang-nagih hutang melulu, setiap aku keluar mau
bersilaturahmi mereka langsung mencelup masuk, seperti ada hantu, takut akan aku tagih!
Sudah berapa hari ini aku jadi segan keluar rumah. Supaya bisa bebas dari tekanan batin dan
merdeka lagi, tadi aku datangi mereka dan bilang pada semuanya, ya sudah, hutanghutangnya dilupakan saja semua. Jadi, sekarang aku sudah bisa tenang lagi seperti kata
Nelson Mandela.
Aku langsung berhenti makan. Tempe-tahu dan ikan asin itu terasa sekeras batu. Batu-batu
itu mengganjal kerongkonganku sehingga aku tercekik.
Ya Tuhan, alangkah beratnya memperjuangkan kemerdekaa. Tapi seberat-beratnya berjuang
merebut kemerdekaan, ya Tuhan, alangkah beratnya hidup sesudah merdeka!