Anda di halaman 1dari 3

The birth of tragedy

Sudah ribuan ide telah kupahami, dan beberapa darinya telah mengejawantah
menjadi realita yang begitu mengagumkan. Semua berjalan seirama dengan alunan nada
kehidupan yang bersemangat. Sedari dulu telah kusiapkan segala macam aksi
pemberontakan terhadap serangan absurditas yang menjengkelkan, yaitu tindakan
mengamini tanpa terjebak dalam keterputusasaan. Namun akulah penari yang malang,
yang melupakan batas-batas kelelahan seorang penari mengikuti lantunan senandung
menyambut saturnalia kehidupan.
Sekarang kupertanyakan, "kapan sang penari akan merasa lelah?" Yaa, sore hari.

Sore menjadi waktu untukku melepas kepenatan, disana engkau menyediakan


bantal yang empuk dan selimut yang menghangatkan untuk melepaskan cengkraman
idealisku terhadap hidup.

Benar jika kita telah lama saling mengenal dan tidak akan merasa sungkan untuk
bercerita apapun yang dirasa harus diceritakan. Aku memulai pementasan ini dengan
rasa percara diri yang tinggi, seakan tidak menampakkan beban apa yang sedang
menunggangi pundakku. Dengan begitu aku dapat menjadi pendengar dari semua lara
yang terungkap dari mulutmu yang lelah dan tubuhmu yang gusar atas semua tanjakan
yang engkau lalui.

Engkau bercerita tentang apa yang akan kau dihidupi dan bagaimana cara untuk
meraih hidup yang engkau dambakan. Dalam hati aku bergumam "sebelum kau bertanya
apa dan bagaimana, terlebih dahulu engkau harus mengerti mengapa?". Namun ini tidak
berakhir di mulutku karena asik mendengar bunyi dari sayapmu yang akan membawamu
terbang. Untuk membuatmu tetap membumi, aku hanya bisa mengatakan "ingat !!! Dunia
yang kita hidupi ini tidak serapih apa yang kita yang pikirkan, bahwa merasa absurd dapat
menampari wajah siapapun".
Sore mulai menunjukkan sifat malunya sambil bergembira menyambut datangnya
malam. Kulanjutkan dengan menyeruput habis racikan kopi tradisional yang setia
menemani obrolan kita yang begitu menyenangkan.

Disetiap penghujung minggu selalu kusempatkan untuk bercerita denganmu karena


kutahu kau memang teman cerita yang baik. Kita saling bertukar cerita dan melempar
saran untuk setiap permasalahan kita, entah itu saran yang baik ataupun saran yang
menyesatkan. Tapi saranmu menyesatkanku ke jalan yang benar. Engkau banyak
memberi inspirasi padaku untuk setiap hal yang belum pernah terpikirkan olehku.

Hari demi hari pertemuan kita menimbulkan rasa penasaranku terhadap


pemikiranmu. Sampai tiba masanya engkau menanyakan hal yang belum pernah seorang
pun menanyakan itu kepadaku. Petir yang kau ciptakan ini menyambar kesombonganku
dan membuka topeng keangkuhanku. Yaa, pertanyaanmu tentang hal apa yang kutakuti
dalam hidup?. Aku tidak mengerti kenapa engkau menanyakan ini, namun aku merasa
kagum akan jiwa-jiwa psikologmu yang mengagumkan sekaligus menggelikan.
Kuceritakan dengan perasaan jujur akan apa yang menjadi kegusaranku dalam hidup.
Dan kurasa kau begitu kaget atas semua ketakutanku dalam hidup yang begitu subtil
ditutupi oleh rasa jumawaku dan sikap beraniku menatap dunia. Kemudian kau lanjutkan
bercerita tentang apa-apa yang ingin kau peroleh dan ingin lakukan di masa depanmu.
Setelah begitu banyak lara yang tanpa pelipur dan kau masih ingin tetap tegak berdiri
menyongsong derai ombak kehidupan tanpa rasa takut yang kekanak-kanakakan. Dan
disinilah aku mulai mengagumi kecantikan pikiranmu, yang mengalir elok menyusuri
sungai keabadian. Sepertinya aku mulai menghasrati dirimu untuk menjadi teman
ceritaku sampai masaku disingkirkan dunia. Namun keinginan ini mengurungkan niatnya
karena akan menghancurkan istana yang sudah kita bangun bersama selama sepuluh
tahun. Yaa, memang begitu adanya.
Kubutuhkan beberapa minggu untuk selalu meraba dan memikirkan atas apa yang
kumau dan apa yang kuinginkan. Tak peduli berapa lembar buku yang kulahap hanya
untuk memberikan pegangan atas apa yang tengah kurasakan. Yaa, kadang memang
terkesan berlebihan melahap kata demi kata hanya untuk memaknai apa yang sedang
terjadi. Sungguh lucu jika dilihat sepintas, tapi ini memang terjadi. Dan pada akhirnya aku
menyerah untuk tunduk pada apa yang kurasa dan apa yang kuhasrati.

Seperti puisi yang pernah kubaca....


Apabila cinta memanggilmu ikutilah dia, walau terjal berliku jalannya.
Dan apabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah, walau pedang
tersembunyi di sela sayap itu melukaimu.
Dan jika dia bicara kepadamu, percayalah.
Walau ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara melantakkan taman kita.

Yaa, aku telah menyerahkan semuanya, namun yang masih tersisa hanya
keotentikanku. Sebuah identitas diri yang bersembah sujud pada ketunggalannya. Aku
ingin tegak berjajar bersamamu, namun tidak terlalu dekat,
bukankah tiang-tiang candi dibangun tidak terlalu rapat? Dan pohon jati dan pohon
cemara, tiada tumbuh dalam bayangan masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai