Anda di halaman 1dari 9

Celestia

Karya: Ilyas Saputra Arsyad


Matahari seperti membakar kulit dan retinaku, dan bulanlah yang
memadamkannya, sedangkan hujan hanyalah dekorasi pelengkap yang
mewarnai hidup manusia. Kau dan aku berjalan menelusuri hutan-hutan
yang gelap, melewati lumbung padi dan hamparan tanah yang dipenuhi
pohon pinus yang rimbun. Disitulah kau berbaring menyaksikan langit
dan awan, mendengarkan jangkrik dikala malam dan angin dikala pagi.
Terlihat pula sepasang matamu yang begitu menenangkan, seperti
gugusan galaksi yang mendekat menghampiri jiwa-jiwa manusia yang
malang. Sebagai seorang manusia, kau pantaslah menjadi separuh
bagian bumi ini, karena rupa dan suaramu mampu membuat kedamaian
pada hati orang-orang, membawa setiap manusia kepada indahnya bumi
dan damainya pegunungan yang sunyi. Hujan dan petir seolah
menyamarkan semua tangisan manusia, menyamarkan tangisanmu pula
yang hendak kau sembunyikan. Meski alam dan manusia tak menyadari
tangisan itu, tetapi aku beserta Tuhan paham akan hal itu, paham tentang
dirimu yang hendak kau sembunyikan, karena sejatinya diri ini adalah
bagian dari separuh jiwamu, melekat pada sel-sel darah yang menyatu
melapisi daging dan kulit, lalu membaur bersama kehidupanmu ini,
mencampuri segala urusan yang begitu penting bagimu. Terkadang kau
sebal akan campur tangan kehadiranku, tetapi tahun berlalu dan masa
berganti, kau menerima semuanya, menerima sepenuhnya kehadiran
yang asing ini.
Kini kau hilang seolah ditelan kesunyian abadi, hilang ditelan
kegelapan yang selalu menghampiri. Tiada jejak bagimu yang malang
itu, tiada jejak bagi gadis yang begitu menawan bagimu, dan hal itu
patutlah kusayangkan karena sejatinya aku sangat mencintaimu dan
merindukanmu sepanjang masa. Benua dan Samudra hanyalah tanah dan
air, kulewati demi melihat sepasang mata biru nan elok itu kembali,
kuarungi demi suara napasmu yang begitu lembut dan memikat hati,
demi segalanya tentang dirimu akanku lakukan tanpa terkecuali, tanpa
sedetikpun kata keluhan dan cacian kepada dunia yang telah
menghilangkanmu ini.
Pernah suatu kali kau hidup dengan damainya, dikelilingi berbagai
taman bunga yang berwarna-warni. Senyum yang tulus itu bagaikan
rembulan dikala langit tak berperan semestinya. Kau hidup seperti
seekor burung yang berpasang-pasangan, selalu terbang dan berjalan
denganku tak peduli dunia sedang panas membara ataupun beku
menyengat. Jika aku pandai melukis seperti Da Vinci ataupun Botticelli,
aku akan menggambarkan berbagai kenangan manusia, melukiskan
kenanganmu yang begitu berharganya sampai hari-hari tak ada pikiran
lain selain memikirkan segala hal tentang perjalanan waktu kita berdua.
Jika Tuhan mengizinkan, aku ingin melihat retina matamu yang begitu
elok itu, yang seperti berlian saat memantulkan cahaya.
“O, lihatkan. Bagaimana hubungan kita selalu berjalan damai,”
kata Celestia yang tengah kubonceng dengan sepeda tua ini.
Disebelahku terlihat Pegunungan Swiss yang berpuncakan salju putih
tebal.
“Jika demam menggugurkan perasaanku. Aku akan selalu berusaha
memadamkan demam itu, menumbuhkan kembali sel-sel perasaan yang
akan terus melekat ini. Ingatkah saat kita pertama kali bertemu,
Celestia?” tanyaku.
“Ya, aku ingat. Itu sudah sangat lama, tetapi ingatan itu akan selalu
terkenang.”
Celestia tersenyum mengingat itu semua, dirinya merasakan seolah
kembali lagi ke masa lalu, ke masa dimana dia hanyalah seorang gadis
kecil yang meminta gula-gula kepada tamunya. Kehidupan kecilnya
yang lugu dan polos seolah memperlihatkan kesenangan dunia yang bisa
didapatkan kapan saja, kesenangan yang hanya dimiliki seorang gadis
kecil dimasa lalu, dimana saat itu musim panas sangatlah
menghangatkan tubuh dan musim dingin seperti tempat bermain yang
begitu menyenangkan. Sekali lagi Celestia tersenyum sambil mendekap
badanku dari belakang. Aku terus melaju dengan senyuman pula.
“Musim semi ini begitu menyenangkan, betul begitu?” tanya
Celestia saat beberapa saat dirinya hanya terdiam sambil tersenyum.
“Ya, bagiku setiap musim selalu menyenangkan bila bersamamu.”
Celestia tertawa pelan, lalu berteriak sekencang mungkin.
“Kenapa kau berteriak?”
“Tak tahu kenapa, aku begitu senang dan menikmati dunia ini.
Setiap detik bagiku adalah sumber kenikmatan yang tiada tara, udara dan
angin seperti memberikanku seluruh kebahagiaan yang dimiliki bumi
ini. Aku begitu senang pula hidup denganmu, seperti dunia dan segala
isinya diberikan kepadaku.”
Kami berdua melewati berbagai pohon hijau yang rimbun, sungai
jernih yang mengalir, dan air terjun yang memberikan kesenangan
kepada para manusia yang menatapnya, mensyukuri bahwa setiap
manusia dilahirkan dengan keadaan sempurna tanpa sebuah cacat pada
raga dan jiwa sedikitpun. Cinta tak lain adalah sumber kehidupan
bagiku, tiadalah perempuan semanis Celestia, tiada perempuan yang bisa
selalu tersenyum tanpa awan ataupun tanpa langit diatasnya. Selalu ada
kehadiran sang malaikat disebelahku saat diri ini merasa sedih dan
kesepian, saat petir dan hujan menyamarkan wajah muramku, dan
malaikat itulah kekasihku. Tuhan mengirimkannya kepadaku dengan
indahnya, dengan sesuatu yang tak dapat ditawar dengan apapun.
Namun itu semua tak abadi, adakalanya malaikat itu harus membuka
dirinya yang nyata, menghilang dari hadapanku dan berlari menjauhi
kenyaman yang sudah disediakan bumi ini. Tak ada yang abadi
sekalipun seorang malaikat yang selalu berada disisimu.
Aku tersenyum mendengarkan dirinya yang terus berceloteh
sepanjang jalan. Namun itulah akhir dari semua kebahagiaan yang
sedang kurasai. Semuanya hilang begitu saja tanpa jejak, hilang tanpa
ada sesuatu yang nampak jelas bagi diriku. Keesokan harinya Celestia
tak bisa kutemukan dimanapun, dia hilang dan lenyap, hanya
menyisakan sebuah surat yang merusak hati dan jiwa, merusak pikiran
dan perasaan yang sudah kutanam demi dirinya. Aku menunduk begitu
saja dihadapan surat yang bagiku seperti sebuah timah panas itu, lalu
menangis sekencang-kencangnya menyalahkan dunia yang sudah
memberiku kehidupan ini. Semuanya nampak tak adil bagi diriku yang
sekarang, bahkan aku tak pernah merasai keadilan dunia ini. Tuhan telah
merenggutnya dariku, telah memberikanku sebuah harapan palsu yang
tak dapat bisa kutahan dan kuterima. Tak bisakah cahaya harapan
tumbuh kembali di dalam hatiku? Tumbuh seperti Celestia yang manis
itu, tumbuh seperti bunga-bunga diatas tanah yang subur? Jika tak bisa,
biarkan diri ini berjalan luntang-lantung melintasi berbagai masa tanpa
tujuan yang jelas.

Matahari yang tak nampak selama ini.


Hei, bagaimana kabarmu? Apakah kau baik-baik saja? Akankah
dunia yang selama ini kau tinggali layak kutinggali pula? Sepertinya
tidak, wahai kekasihku. Aku dirundung kegelapan yang bisu,
kenelangsaan yang selalu menyulut pada hari-hariku, sebuah kegelapan
yang datang tanpa ada undangan. Hari-hari yang kau lihat adalah
kebahagiaan, dan kau melihatku juga dengan kacamata kebahagiaan
semata. Namun aku tak tahu mengapa diriku seperti ini, aku tak
menyadari ketakutan hebat yang selama ini kusembunyikan, sesuatu
yang berusaha kubuang dihadapanmu, dan sesuatu itulah yang
membuat hidupku penuh dengan rasa bersalah hebat.
Aku harus berjalan, dan berjalan terus menghindari segala hal
yang memuakkan. Menghindari dunia ini yang sudah kering dan penuh
peperangan. Aku tak berniat melupakanmu, dan tak berniat pula untuk
menjadikanmu beban bagiku. Aku tak ingin kau harus menerima
kenyataan bahwa akulah yang telah membunuh semuanya dalam
dirimu, semuanya yang bagimu berharga. Orangtuamu, adikmu, dan
semuanya milikmu, sudah kurenggut dengan semena-mena tanpa alasan
yang jelas. Itu terjadi bertahun-tahun silam saat tiba-tiba mataku
menghitam dan pikiranku buyar begitu saja, lalu aku tak sadarkan diri
dan bangun dengan darah ditanganku. Saat itu kau tak ada, aku terus
memanggil namamu, dan memanggil nama semuanya. Namun tak ada
yang menjawab satupun.
Hei, aku begitu kosong, sepi dan gelap. Hatiku seolah ditanam
sebuah duri yang menyakitkan. Tak sepantasnya aku tinggal ditanah ini
lagi dengan sepasang tangan yang kotor akan darah, tak sepantasnya
aku berada disisimu yang memiliki hati sebaik malaikat itu, hati murni
yang begitu hangat dan tentram. Selama ini kau mencari pembunuhnya,
mencari apapun yang membuktikan bahwa ada seseorang yang dendam
terhadapmu, lalu membunuh semua yang kau punya. Namun kau tak
menemukannya, bahkan tak menemukan tulang-belulang appapun,
karena aku pun tak tahu dimana tulang-belulang itu untuk
membuktikannya padamu.
Tak perlu untuk dirimu yang baik itu mencariku dan meratapi
kepergianku, tetaplah menjalani hidup tanpaku seorang, tanpa
pembunuh semacam diriku. Kau pantas hidup dengan seorang gadis
yang bertangan bersih, hidup dengan seorang yang mulia.

Bunga yang layu,


Celestia Von Hindenburg.
“Aku tak pernah membencimu, Celestia. Tak ada sedikitpun
pikiran membencimu apalagi mencaci seolah dirimulah pembawa
malapetaka atas kehidupanku yang sudah sunyi ini.” Aku mendekap
surat yang ditulis Celestia, mendekapnya dengan erat layaknya selembar
kertas tersebut adalah dirinya.
“Kau sudah berjuang untuk hidup, berusaha menyembunyikan
ketakutan itu, berusahan untuk tetap tersenyum meski kau berada
dibawah titik terendah dalam hidupmu. Membunuh adalah perkara
menjijikan, tapi saat itu kau tak menyadari bahwa kau adalah
pembunuhnya, tubuhmu bergerak sendiri dan menikam semua orang
disekitarmu. Aku sudah mengetahuinya, tetapi aku diam dan hening, tak
ingin dirimu yang manis dan lembut itu merasakan neraka yang
diciptakan awan pikiran dunia ini. Namun aku tak menyadari sama
sekali bahwa kau sudah menyadari akan hal itu. Maafkan kau harus
menanggung beban ini sendirian, menanggung segala hal yang
berkecamuk dalam pikiranmu. Kau selalu tetap ceria meski awan itu
mengintai dan merusak jiwa yang jernih itu.” Aku bangkit berdiri,
menggenggam surat itu, lalu melipatnya dan memasukkan kedalam saku
mantelku.
Aku berjanji akan mencarinya, mendekapnya sambil mengucapkan
permintaan maaf karena dirinya harus menanggung semua ini sendirian.
Menanggung segenggam darah di telapak tangannya.
Kuarungi samudra Pasifik, kuarungi semua negeri yang penuh
dengan kebijaksanaan. Dari Paris sampai Berlin, dan dari Berlin sampai
Moskwa, kujelajahi segalanya tanpa kata lelah, kucari mata yang indah
dan menenangkan itu. Sungguhlah aku merindukanmu, suaramu yang
halus dan cerahnya rambutmu selalu terkenang dalam pikiranku yang
membisu ini, selalu hadir dikala aku hendak tertidur diatas atap
penginapan para Gipsi. Aku selalu bermimpi dengan kehadiranmu yang
tak kunjung nyata, memimpikan disaat hal-hal indah itu terulang
kembali. Lautan yang luas dengan pasirnya yang putih, pohon kelapa
berjajar disisinya seperti para prajurit yang hendak menyerang, dan para
nelayan silih-berganti memasang tali di pelabuhan, sedangkan kau
tengah tersenyum sambil mengubur sepasang kakimu dibawah pasir
putih itu, menatapku dengan tenangnya seolah tak pernah ada awan
kelabu yang hinggap dalam dirimu. Namun kini hanyalah ada kelabu
dalam ingatan, segalanya terhapus tanpa jejak, bahkan rupamu yang
menawan dan mengagumkan itupun seolah lenyap dari dataran otakku
ini.
Kini aku sedang terduduk dibawah pohon azalea yang rimbun,
beristirahat sejenak dari dunia yang entah akan seperti apa dimasa depan
kelak. Celestia, sungguhlah aku lelah mencarimu, sungguh tak pernah
kudapati raga dan jiwamu yang kusukai itu kembali lagi padaku.
Dimanapun kau berada, dimanapun kau makan dan minum serta
beristirahat, disitulah kau memiliki kehidupan kembali. Kau patut
menjalani kehidupan ini lagi untuk kesekian kalinya, tak perduli kau
adalah seorang yang berdosa ataupun tidak. Pantaslah kau hidup seperti
makhluk ciptaan Tuhan pada umumnya, karena kau sama-sama
menghirup napas dan berjalan diatas tanah yang lembab ini. Aku hampir
tak bisa merelakan kepergianmu yang seperti gagak dikala mayat
bertaburan itu, tiba-tiba menghilang dan lenyap tanpa sepengetahuanku.
Aku tak bisa melupakan segala hal tentangmu, tentang semua masa-
masa indah yang membuat kehidupanku bagaikan sekumpulan rusa yang
berlari melintasi pinggir danau dengan hati yang tenang dan tentram.
Jika ini kemauanmu, jika ini yang membuatmu bahagia, maka pantas
kau dapatkan dan miliki. Sedangkan aku hanyalah si Pria Pengharap
yang mencintai seorang perempuan jelita dimasa-masa perang
berkecamuk dan setiap hati manusia sedang tak menentu.
Kesalahan patutlah diratapi setiap manusia, patutlah diperbaiki dan
semoga tak akan terulang kembali kesalahan tersebut. Namun tak
sepantasnya kesalahan seperti itu membuat dirimu jatuh ke jurang yang
gelap dan kelam, berubah menjadi seorang manusia yang putus asa
dengan kepala selalu tertunduk menatap tanah ini. Kau harus mengingat
beberapa hal yang harus dilakukan diatas dunia ini, kawanku. Kau patut
menjadi seorang yang hidup dengan kebahagiaan, dengan pikiran yang
bercahaya dan tentram, tanpa ada sebuah kegelapan yang selalu
mengikuti seiring zaman berganti. Sepatutnya setiap manusia
berbahagia, dan wajar pula jika manusia berbuat kesalahan. Karena
sejatinya seorang manusia tiada yang sempurna, tiada pula yang luput
dari berbagai dosa.
Kini kau hidup bersama makhluk-makhluk yang diciptakan Tuhan,
begitupun denganku dan Celestia. Kami berdua adalah sepasang
manusia yang menjalani hidup ditengah-tengah angin yang labil,
terkadang lembut dan terkadang keras. Namun inilah sebuah perjalanan
hidup, perjalanan kita di dunia yang haruslah mencapai garis akhir. Dan
garis akhir itu adalah kemenangan yang berbalut kematian.

Anda mungkin juga menyukai