subur dan bersemi setiap wakti di kebun jiwaku untukmu. Apabila kau hadir
dengan senyuman yang senantiasa aku rindu, senyummu menjelma pupuk
yang kian menyuburkan tumbuh cinta di tanahku yang gambur. Aku
terlampau sungguh menitip separuh hatiku untukmu. Entah bagaimana
mulanya. Engkau begitu cepat hadir dan menyelinap tanpa aku tahu. Kau
sudah aku temukan bermukim di ruang istirahku yang sunyi dan gelap.
Kedua bola matamu mencipta cahaya yang tak pernah padam. Aku bahagia
meski kau tak hadir dalam nyata.
Adikku, sejak pertama dan entah untuk yang keberapa pertemuan asing itu
terjadi. Persis wahyu dan mukjizat para nabi bentuk kehadiranmu kepadaku.
Aku menjadi bisu dan kehilangan kata-kata untuk mensyukurinya. Bahkan
aku tak mengerti sekian isyarat dan tandanya. Aku hanya yakin jika yang
hadir melingkupi hidupku adalah kebahagiaan yang Tuhan limpahkan
kepadaku melalui hadirmu.
Malam ini, aku tulis surat sederhana ini padamu. Surat tanpa harapan dan
impian yang mesti kau kabulkan setiap isinya. Surat ini tak lain dari
ungkapan kesedihan yang menyekap siang-malamku setelah peristiwa
terburuk itu terjadi. Betapa bodohnya aku, betapa rapuhnya hatiku dan
betapa aku telah melukai kebersamaan kita yang damai. Sungguh, jika ada
penyesalan terbesar dalam sejarah peradaban manusia, maka tak akan
sebesar penyesalanku kini.
Adikku, sesungguhnya aku sudah bahagia memilikimu cukup di hatiku. Meski
tanpa harus ada pertemuan. Bahkan dengan hanya mengenangmu,
kesejukan dan kedamaian sudah tercipata di lubuk jiwaku. Tetapi, entah
kenapa, aku salalu saja ingin menjalin pertemuan rahasia denganmu. Jika
akhirnya, aku harus melakukan kebodohan yang tiada dapat kuampuni kini.
Ketahuilah, karena kerapuhanku sendiri, aku kini tersiksa setiap bayangbayang air matamu menetes dari kelopak mataku.
Adikku, entah dengan kata dan kalimat semacam apa, aku dapat
menyampaikan maksud dari hatiku padamu kini. Setelah engkau tak lagi
dapat mempercayai setiap ungkapa-ungkapan dari bibirku yang kotor dan
munafik ini.
Adikku yang santun dan bijaksana, selain kebahagiaanmu, tiada yang dapat
menghibur kesedihan hatiku. Kedukaan hidup akan aku jalani sebagai bagian
dari kebodohan dan kerapuhan perasaanku sendiri. Aku tidak akan meminta
apapun darimu. Selain kebahagiaanmu yang tanpa air mata.
Adikku, tak perlu kau bingung, karena itu hanya akan membuatmu semakin
terpuruk. Biarlah aku saja yang menjalani kesakitan hidup yang aku perbuat
sendiri. Dan aku akan berdoa kepada Tuhan, jika masih ada kata-kata yang
dapat Tuhan dengar dari bibirku:
Surat Kedua
Sejak kealpaan menghitamkan hatiku di lingkaran kefanaan dunia ini. Aku
lupa caranya menemuimu dengan santun bahkan hampir tak mengerti lagi
hakikat sekian ungkapan biar bisa aku bicara sopan denganmu. Kemudian
peristiwa mengerikan terjadi di seperempat malam. Kita tak sanggup
mencipta lelap. Hingga pagi menggambar kedua kelopakmu lebam oleh
sesungguk tangis sesal. Sedang tubuhku mendingin di kamar yang tak
terbekahi janji. Aku menjadi malas keluar untuk menyapa terbitnya matahari.
Sekedar sedikit mengintipmu yang duduk dengan kekosongan penuh
sesalnya pertemuan di bibir pintu sembari makan roti kacang rasa nanas
alas dengan malas mungkin juga terpaksa.
Aku lupa di menit keberapa aku tertidur dan masuk ke dalam gelap mimpi
yang membiarkanmu pergi dengan sisa lebam di kedua kelopakmu. Tanpa
sadar, kesendirian melemparkanku dari kelelakianku yang binal. Aku rapuh
dalam lenguhan panjang di lubukku. Adakah suara yang kau dengar dari
ketersiksaan pikir dan rasaku.
Berjam-jam aku bertahan dari kemuakan dan mual yang menerjang ususku.
Udara menyesakkanku. Potretmu yang tergores kecup-ciumku menjelma
lukisan trauma dan melankolis di batinku. Lagi, aku menerimanya sebagai
cengkraman tangan iblis yang mengebiri sisa cinta yang tak hatam
didoakan. Apa keningmu masih seterang hari kemarin, dimana rindu
mengantarmu padaku yang lebih rindu dari puisi dan prosa-prosa kerinduan
milik para penyair, pemusik dan mistikus cinta.
Kembalilah wahai engkau kecantikan langit dan bumi yang merekahkan
bunga-bunga ladang dan hutan. Cipratan sinar yang menciptakan riak-riak
cahaya di permukaan lautan samudra, dimana ikan-ikan saling memuji
keindahan satu sama lain. Lihatlah cakrawala yang selalu membentangkan
dada bidangnya, ia menuliskan maknamu dan tak sampai aku pahami.
Kembalikanlah perempuan santun dan kebijaksanaan matanya memandang
dunia penuh makna.
Kini telah kupilihkan sepasang soneta cinta buatmu. Sebab setiap puja-puji
yang lahir dariku jua berupa api yang terasa akan membakarmu. Aku tak
ingin kau terbakar oleh setiap sanjunganku. Sunguh. Semoga sepasang
soneta yang kucinta dapat menggirangkan hatimu yang pedih oleh irisan
belati keburukanku.
Soneta 34 (Sore)
Kaulah anak kandung laut itu, sepupu pertama daun rica
seperti perenang, tubuhmu bening seperti air;
pun