Anda di halaman 1dari 16

AIR MATA REMAJA

Catatan Seorang Pelacur Cerpen Akidah Gauzillah

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=233788&kat_id=364
Sejak kau pergi, kekasih, bunga-bunga berguguran dari tangkainya. Aku menemui pagi di serambi kedukaan, melihat daun berserakan di tanah retak. Kabut dingin menyelusup ke dalam pintu. Dan aku lihat matahari perlahan-lahan ingin kembali tertidur. Kuturunkan kain yang menyelimuti tubuh, mencari-cari udara di antara serpihan gersang. Tapi tak ada yang terdengar. Bahkan suara hatiku sendiri. Sedikit demi sedikit, kerapuhan merayap menjelajahi nuansa. Tak ada kata yang terbendung, ketika aku mencoba memadukan luka, rindu, dan kebebasan. Sangat bias salah satu rasa itu pergi, lalu kembali. Berputar-putar. Bertukar tempat. Kadang-kadang, yang tinggal di dalam dada adalah sepotong wajahmu yang tergores dendam. Lembut, aku menusuk-nusuknya dengan rindu yang telah menjelma ranting kering. Kutelusuri setiap indera, berharap ada denyut yang tersisa kemudian sampai ke kisi konsentrasimu. Ada aku di sini, bisikku di permukaanmu. Ada cinta yang menggenang, seperti sungai darah dari sedimen-sedimen kesedihan yang mencair. Dan, akhirnya, pertama kali aku memberhentikan sebuah wajah, sepasang mata yang liar dan napas yang berhembuskan hasrat, di jalan yang coba aku hadapi. Aku tertegun melihat diriku sendiri. Berharap-harap cemas, tubuh dan jiwa ini masih seirama. Senada. Dalam pelukan yang hangat dan menggigil. Sebab tidak mudah membaginya, dengan segumpal perih yang sederhana. Apa pun aku tahu, bukan ini yang diinginkan pikiran dan kebebasan. Setiap detak jantung, setiap desah napas, setiap denyut nadi, dan semua yang berhubungan dengan logika dan nurani, menolaknya. Hanya sebuah ketidakmengertian yang mampu menjawabnya, menyambutnya. Dan hanya sedikit kegilaan, atas nama apa pun, yang membawanya mengembara. Aku mencoba merasakannya perlahan-lahan. Ketika setiap lembar pakaian kulepaskan di kamar mandi, lalu dengan sehelai handuk kecil penutup kemaluan aku menemuinya. Membiarkan matanya menyelusuri dadaku, hingga akhirnya debar itu datang. Menggelayuti akar-akar gantung kenekatanku. Dan, aku mulai takut. Berenang dalam kegamangan. Aku berharap mata itu berganti matamu. Aku ingin bayanganmu melekat padanya. Namun, kesadaranku menepisnya. Aku teringat apa yang sedang harus aku lakukan. Seiring dengan itu, getar-getar keraguan kian mengencang, meresap ke pori-poriku dan jauh merasuk ke dalam jantung, serta menggentarkan paru-paruku. Aku mendekat, namun mulai sesak. Ketika hampir mencapai pangkuannya, aku merasa tidak lagi memiliki tubuh ini. Aku jatuh, tanpa mengenali perasaanku, dan hanya tinggal mengetahui tubuhku terbetot tangan-tangan asing. Langit-langit ruang, temperatur AC, tirai yang diam, lampulampu padam, semua berputar mengelilingi dua tubuh yang mencoba bertemu. Tidak ada yang berpagut kecuali asing itu sendiri. Mereka berupaya meninggalkan atribut jiwa. Magnet-magnet organ yang mencari pertautan rasa dan permainan. Jeritan-jeritan dari naluri yang bergesek. Dan kesakitan yang mencapai pangkal-pangkal terminal rasa. Tangan-tangan mungil itu berjatuhan ke samping, ke sisi bawah tempat tidur. Menggantung pasrah dan kelelahan. Aku mengurai garis-garis air mata di bentangan tak karuan, kehangatan yang mengalir pada rasa pengenalan bahwa itu adalah bagian-bagian tubuhku yang tersentuh

tubuh lain selain tubuhmu. Dan menyadari hal itu, mengenang yang barusan terjadi, dadaku sesak oleh ledakan-ledakan emosi yang tak boleh melompat dari ranah fisik ini. Hanya jiwaku berayun-ayun menghentak sebagian tubuh, sebegitu sulitnya melewati batas-batas pagar kenyataan yang membelenggu pemberontakan. Garis frontal telah terpasang di depan selongsong ketidakmengertian ego, sementara buncahan-buncahan pembelaan diri mengibarkan kepasrahan dan ketidakberdayaan yang bergerak. Aku meronta di antara keduanya, seperti seekor duyung melewati perbatasan laut dan darat di musim matahari menunggu cinta. Luka ini menutup dan terbuka berganti-ganti. Setiap keliaran nafsu berjajar di muka hati, aku memaksa diri menjadi anggur minuman itu sendiri. Merah anggun dan membara. Membakar jiwaku yang berdesingan dalam kesadaran mencapai luluh lantak dalam ketidaktahuan yang dibiuskan ke tiap daya staminanya. Ingatan-ingatan tentang kesempurnaan rasa padamu berguguran, tak lagi diiringi air mata remaja. Dan bibir-bibirku mulai bergincu terhiasi tawa, menyanyi, sekedar menyanyi di hadapan cermin yang menampakkan visualisasi tubuh yang takkan kau kenali lagi bila bertemu di penghujung waktu tak terkira. Dada ini telah mekar melebihi mawar, dengan puting-putingnya yang padat mengencang dan membusur di antara gua-gua menganga. Senyum malu-malu itu telah lama pergi dari barisan karakter yang kau kira abadi, melengkingkan nyanyian-nyanyian mesum yang biasa kau nikmati dari bibir-bibir selain bibir ini. Datanglah kemari dan akan kau lihat, sepasang kaki putih yang selalu terbuka dan tiada jeritan penghalang yang dulu membuat kau bersumpah atas nama Tuhan untuk tidak memasukinya. Kita tidak akan lagi menyebut nama itu, karena yang transenden tinggal segala kepekaan dari kemurnian cinta dan rindu. Di gurun juga pada oasenya, kau bahkan takkan menemukan lagi secara konkret, atau mungkin juga sekedar tingkatan abstraksi. Pada akhirnya aku tahu, dan mengerti, apa yang terjadi seputar transendental kebebasan itu berpuluh-puluh ribu abad yang lalu, dalam gelora relijius bersama, sensualitas dari bunga-bunga perawan yang dikuak secara massal atas nama Tuhan dan kenikmatan, sekarang pun menjadi substansi yang melebihi morfin di setiap sel-sel pikiranku, membebaskan substansi lain yang mengandung namamu. Tangis dan keperihan yang mengalir di setiap adukan peristiwa, putus sambung, membeku mencair, meledak menghampar dan secara alamiah menemui titik evolusinya sebagai lautan baru yang setiap orang tak menginginkannya sebagai teori terpercaya di dunia kesadaran. Apakah aku telah berlari dari realitas kesadaranku, jiwa-jiwa ini berlayar di lautan yang telah terbentuk itu, mengembara mencari penyatuannya-yang kau, Tuhan, dan aku, mungkin tak mengenali sebagai sesuatu yang dimiliki. Ia akan terhempas keras. Ia, Tuhan, dan mungkin juga nuranimu (bila kau masih merasakan eksistensi nurani), kalian menggeliat dalam tangisan seperti tinta-tinta secara tertata merangkai gelombang perasaan dan logika yang bermetamorfosa. Mengapa, mengapa? Kau akan bertanya, seperti semula aku bertanya. Mengapa mesti berada di rangkaian ini-mungkin Tuhan pun akan melihat kembali ke dalam catatannya, namun suratan-suratan itu telah putih kosong terhapus air mata. Takkan ada lagi yang tertinggal kecuali yang tertera di kehidupan itu sendiri, di roda-roda yang berputar melewati gelap dan terang, atau diam seperti matahari diam-diam mengintip bulan. Pesonaku tak terbayar kebebasan itu sendiri, tapi setidaknya aku tahu jejak-jejak langkah yang tak tertempuh rasa kemanusiaan di dalam cadar-cadar penghormatan cahaya. Wajahku segelap cadar hitam, melindungi keabadian tertinggi rasa asing yang tak ingin menjamahnya atas nama cinta dan kebersamaan surgawi. Jiwaku terlelap dalam kedamaian yang tersembunyi pada sampah-sampah di setiap sela kebusukan, debu-debu di balik kain, dan sobekan-sobekan kecil

penderitaan bersalah. Sedikit saja aku menggeliat, angin menghampar yang ada sebagaimana apa adanya-dunia dan orang-orang di balik kesalehannya. Di sinilah di antara percik-percik cahaya, aku kadang-kadang terbangun sebagai gelap yang berlekuk, memberi panorama keindahan pada terang yang membentang dan menunggu warnawarni noda keabadian. Tak seabadi sejarah yang selalu berulang tahun. Silih bergantinya diri ini, takkan terhapus kenangan mereka yang menatapnya.

============================================================

Randy Prawira

'Tiap Detik, Tubuhku Dirajam Rasa Sakit'


http://www.tabloid-wanita-indonesia.com/933/kisahsejati.htm Setelah menjalani pengang-katan tumor otak, penyakit Randy Prawira semakin parah. Penglihatannya semakin kabur. Tubuhnya semakin tinggi. Dengan sekuat tenaga Randy Prawira, 20, bangkit dari pembaringannya, terlihat begitu susah hingga harus dibantu bapaknya, M Islahudin HK, dan ibunya, Sri Hartati. Kemudian Randy duduk di kursi roda yang terlihat nyaris usang di ruang tamu.

Air mata remaja ini tak lama menetes satu persatu, tubuhnya yang memiliki tinggi 2 meter lebih 20 sentimeter itu kini lumpuh dan dirajam rasa sakit terus menerus. Tak hanya itu, beberapa tahun terakhir ini, penglihatanya sudah tak sempurna. Ia tak bisa lagi melihat.
Di rumahnya yang berada di gang berkelok di RT 03/01 Kampung Melayu Barat, Teluk Naga, Tangerang, Randy mencoba menyibak penderitaannya dengan mendengar lagu-lagu Peter Pan. Ia sangat menyukai suara Ariel Peter Pan. Inilah satu-satunya hiburanku, ucapnya lirih. Radio kaset satu satunya barang berharga yang ada di rumah sederhananya. Tak ada televisi, apalagi kulkas. Setiap malam, Randy dan orangtuanya tidur di tikar. Pada tabloid Wanita Indonesia, Randy mencurahkan kisah hidupnya yang pedih.

Kejang Selama 2 Tahun Aku anak nomor dua dari 4 bersaudara, Kakakku Shelvi Agustine, 23, adik-adikku, Rika Mandasari, 14, dan Muhammad Rafly, 6 Aku lahir normal, dua puluh tahun yang lalu. Bedanya aku jadi bayi yang ringkih, sakit-sakitan. Aku sering sakit panas. Bahkan di usia 8 bulan aku terserang step, kejang-kejang, karena badanku tak kuat menahan panas. Ibuku histeris, melihat mataku melotot-lotot, tubuhku berkelojotan. Ayah dan ibuku ketakutan kehilangan aku. Syukur, aku bisa melewati masa kejang yang mengerikan ini.

Namun, beberapa hari kemudian aku kembali sakit panas dan kejang. Sepanjang 2 tahun, aku berpuluh kali kejang. Ayah dan ibu punya banyak hutang di tetangga dan saudara, untuk mengurus pengobatanku. Syukur setelah usiaku 3 tahun, aku tak lagi step. Bagi ayah dan ibuku, ini sebuah keajaiban. Doa mereka dikabulkan Allah. Sejak itu, aku merasakan betapa hangat dan bahagianya keluargaku. Walau kami keluarga yang pas-pasan. Pekerjaan ayahku berjualan di warung di depan kelurahan. Sedangkan ibuku, seorang ibu rumah tangga. Masa SD dan SMP adalah detik-detik terindah dalam hidupku. Aku merasa tubuhku sehat. Aku bisa bernafas dengan lega, berlari, menikmati makanan, bernyanyi, melihat indahnya dunia, termasuk jatuh hati, dan naksir pada lawan jenis. Kata teman-temanku, aku beruntung memilih wajah tampan dan bertubuh tinggi, aku paling tinggi di kelas. Bahkan mereka bilang, kenapa aku tak jadi bintang film saja. Sekarang itu semua tinggal kenangan.

Berbeda dari Teman-teman Waktu terus berjalan, sampai akhirnya, aku tiba ke takdir terpahit dalam hidupku. Di Saat duduk di kelas tiga SMP, aku mulai merasakan awal dari penyakitku. Tubuhku terasa lemas, terutama di bagian dengkul. Aku jadi jarang bergaul, lebih banyak berdiam diri di rumah, karena merasakan tubuhku sakit. Saat itu, aku sebenarnya sudah mulai minder. Karena merasa berbeda dengan teman-temanku. Tubuhku menjulang 170 cm, padahal usiaku baru 15 tahun, sedangkan teman-temanku cuma 150 cm. Beberapa teman meledekku, jerapah, eh ada jerapah lewat. Sebagai remaja, aku ingin memiliki tinggi yang sama dengan teman-temanku. Namun yang ada tubuhku terus menjulang tinggi, tinggi badanku tiap bulan bertambah 8 cm. Aku jadi minder. Tiap berjalan ke luar rumah, aku selalu membungkukkan badanku, agar tubuhku lebih pendek. Dengkulku yang lemas yang tak putus-putusnya, cukup mengganggu kosentrasi belajarku di kelas, dan membuat aku tak lagi bergerak lincah seperti dulu. Aku tak lagi bisa berlari, apalagi main bola. Kebahagiaanku satu persatu mulai tercabut. Bila malam hari, aku sering menangis, bertanya pada Allah, kenapa kakiku lemas, kenapa tubuhku tinggi? Kenapa aku yang orang miskin ini harus didera derita ini? Bapak dan ibuku membawaku ke dokter di Puskesmas, dokter cuma memberikan vitamin dan obat ringan anti sakit. Aku minum obat dan vitamin itu hingga habis. Tak ada hasilnya, kakiku tetap lemas. Kembali lagi, ke puskesmas, kembali diberi obat yang sama. Aku patuh minum obat, karena aku berharap ada hasilnya. Namun stelah berkali-kali ke puskesmas tapi tak ada hasilnya. Aku mulai frustasi, ibu mungkin penyakitku ini tak ada obatnya. Yang sabar nak. Nggak boleh ngomong seperti itu. Semua penyakit itu pasti ada obatnya, jawa ibu. Ibu mencoba dengan cara tradisional dengan memborehi kakiku, terutama bagian dengkul dengan cem-ceman, yang terbuat dari rempah-rempah. Sedikit membantu.. Aku merasakan hangat cem-ceman itu membuat aku tenang. Terutama belaian lembut ibuku yang penuh kasih dan doa mengolesi cem-ceman di kakiku.

Kaki Makin Melebar

Beberapa bulan kemudian, aku lulus SMP. Meski dengan nilai pas-pasan. Saat memasuki dunia SMA. Kondisiku tak membaik, kakiku masih lemas, tinggiku makin bertambah, bahkan mencapai 191 cm. Tak cuma tubuhku yang berkembang dan bertambah tinggi. Telapak kakiku pun berkembang melebar dan memanjang. Sepatu yang baru dibelikan bapak cuma cukup dipakai satu minggu. Pak sepatunya sudah nggak cukup, kataku suatu hari. Aduh, Randy, sepatu itu ukuran paling besar. Tak ada lagi ukuran yang di atas itu, jawab bapak sambil mengelus kepalaku. Aku terdiam. Keesokan harinya, aku berangkat sekolah tanpa alas kaki. Karena sandal ukuran terbesarpun tak bisa masuk ke kakiku. Begitu juga dengan sepatu. Saat masuk ke kelas, Pak guru mengetahui dan marah besar melihat aku tak bersepatu. Aku sudah jelaskan, kalau tak ada lagi ukuran yang tepat denganku. Tapi pak guru tak mau tahu. Aku benar-benar malu. Apalagi teman-teman menertawakan kakiku yang lebar dan besar seperti perahu ini. Yang menyakitkan, pak guru mengusirku, keluar! bentak pak guru. Diiringi suara tawa teman-temanku. Ya Tuhan. Hatiku terasa sakit dan malu. Siapa sih yang mau didera penyakit aneh seperti aku ini? Badan tinggi, kaki lemas. Aku keluar dengan terseok-seok. Tubuhku waktu itu sudah terasa makin melemah. Aku berusaha tak menangis. Sebagai laki-laki aku tak mau air mataku jatuh di depan orang banyak. Sampai di rumah, aku masuk kamar lalu menangis sepuas-puasnya. Bapak dan ibuku ikut menangis begitu tahu, apa yang terjadi pada diriku di sekolah.

Terserang Tumor Otak Esok harinya, aku tak mau masuk sekolah. Aku tak mau mengulang peristiwa itu lagi. Bapak dan ibu berusaha merayu. Aku berkeras tak mau sekolah. Akhirnya, bapak dan ibu ke sekolah menemui kepala sekolah dan para guru, menjelaskan pada mereka, penyakit yang kuderita. Akhirnya pak guru yang mengusirku itu minta maaf, dan meminta aku agar segera masuk kelas. Keesokan harinya, agak ragu aku masuk kelas, teman-teman menyalami tanganku, mereka minta maaf. Begitu juga pak guru yang mengusirku. Ada perasaan lega di hatiku. Terima kasih Tuhan, mereka akhirnya mengerti. Kelas II SMA, penyakitku belum juga sembuh. Bahkan sudah menyatu dalam badanku. Aku tak lagi mengeluh dengkulku lemas. Aku hibur diri ini dengan dzikir. Namun masalah baru timbul, kepalaku mendadak sakit sekali. Penglihatanku pun mulai kabur. Aku berobat ke puskesmas lagi, namun tak sanggup menghilangkan rasa sakit. Akhirnya puskemas memberikan rujukan ke rumah sakit lebih besar. Deg! Perasaan tak enak menari-nari di hatiku. Jika mereka merujukku ke rumah sakit besar. Artinya, ada penyakit lain yang mereka tak tahu, dan mungkin penyakit ini berbahaya.

Di rumah sakit, aku menjalani rontgen di kepala. Hasilnya membuat, aku, bapak, dan ibuku hampir mati. Ada tumor otak di kepala Randy, kata dokter. Tumor itu menekan urat saraf mata, maka itu penghlihatanku terganggu. Kata dokter jika tak segera dioperasi, tumor ini akan mengganggu urat saraf mata, dan akan membuat aku buta. Aku, bapak dan ibu, ketakutan aku buta. Aku tak mungkin bisa bekerja kalau aku buta. Ah, bagaimana dengan masa depanku? Itulah yang ada dibenakku. Untuk sementara rasa ngilu di dengkul dan lemas di tubuhku, kulupakan dulu.

Tak Bisa Melihat Tahun 2004, aku menjalani operasi otak. Uang tabungan bapak dan ibu ludes. Padahal mereka menabung bertahun-tahun, bahkan mereka juga utang kanan kiri. Usai operasi, penglihatanku yang kabur belum juga pulih. Bahkan dari hari ke hari mataku semakin gelap. Aku putus asa. Ya Allah, uang jutaan rupiah telah habis dalam waktu sekejap. Namun tak ada hasilnya. Kasihan bapak dan ibuk, pasti mereka kecewa. Lama kelamaan aku tak lagi masuk sekolah. Karena selama di sekolah, aku cuma bisa bengong. Karena aku tak bisa membaca dan menulis. Dan yang mengerikan, aku harus sangat hati-hati untuk berjalan di pinggir jalan raya, juga menyeberang, karena penglihatanku semakin tak jelas. Sedangkan badanku semakin menjulang tinggi. Tahun 2005, kakiku semakin tak kuat menahan beban tubuhku semakin tinggi. Aku sulit bergerak. Kakiku terasa lumpuh. Tiap aku berdiri, apalagi melangkah, seluruh kakiku terasa sakit. Aku juga pernah terkena serangan sesak nafas. Melihat kondisiku yang makin memprihatinkan, kakiku lumpuh, aku dibawa ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan diketahui aku terkena penyakit langka yaitu : Marvan Syndrome. Aku kelebihan hormon yang membuat aku semakin tinggi. Dampak penyakit ini, tubuhku akan ngilu terus menerus. Bahkan kalau aku kelamaan duduk, pinggangku terasa sakit. Posisi yang paling enak hanyala tidur. Karena tubuhku tak perlu menahan beban tubuh yang lainnya. Aku juga merasakan sakit pinggang yang bukan main, otot dan tulangku melemah. Kata dokter kondisi tulangku seperti penderita osteoporosis. Ya Allah, aku buta, lumpuh dan tak berdaya, padahal usiaku baru 20 tahun. Terkadang aku putus asa, ingin segera dipanggil Allah saja. Daripada di dunia aku menderita dan membebani bapak dan ibuku. Namun sebagai makhluk Allah, aku berusaha kuat. Ini semua cobaan dari Allah, jika aku sabar, tabah dan ikhlas menerima cobaan ini, Insya Allah kelak aku akan mendapatkan surga, amin.

Tak Ada Lagi Biaya Operasi Sebagai remaja umumnya, aku juga merasakan gejolak remaja. Aku suka mendengarkan musik, terutama grup band Peterpan. Karena inilah satu-satunya hiburanku. Aku tak mungkin bisa menikmati televisi karena aku buta. Selain itu, di rumah tak ada televisi.

Hanya dengan radio tape di kamar, aku bisa mendendangkan seluruh lagu-lagu Peterpan. Aku sangat mengidolakan grup musik satu itu. Aku ingin sekali bertemu dengan semua personilnya. Suatu ketika, impian itu jadi kenyataan. Melalui Yayasan Last Wish, aku dipertemukan dengan Peterpan. Aku dibawa ke Serpong Square, dima band tersebut manggung. Ya ampun, kudengar suara riuh rendah ribuan orang memenuhi jalan dan mengelu-ngelukan Peterpan. Ah, aku merasa beruntung, begitu banyak yang ingin bertemu dengan Peter pan. Aku malah begitu mudah bertemu mereka. Kami bertemu di sebuah restauran. Ariel, Uky dan yang lainnya menyalamiku satu persatu. Mereka membesarkan hatiku, dengan kata-kata bijak. Aku sendiri waktu itu gemetaran, sampai lupa mau ngomong apa. Tak hanya Peterpan, beberapa waktu lalu aku juga bisa bertemu langsung dengan Miss Universe. Sayang, aku tak bisa melihat wajahnya. Namun dari tutur katanya yang lembut dan anggun, juga tangannya yang lembut, aku yakin Miss Universe sangat cantik dan pintar. Pertemuanku dengan Peterpan dan Miss Universe, sedikit membuat aku lupa dengan penyakitku. Aku sudah lama tak berobat. Orang tuaku sudah tak punya uang. Warung bapak juga mulai sepi, jarang pembeli. Aku hanya pasrah dengan apa yang kurasakan saat ini. Aku pernah medengar dari dokter yang pernah memeriksaku, katanya penyakitku ini bisa diobati dengan cara operasi yang bisa dilakukan di Singapura. Aku juga harus terus menerus kontrol ke dokter, karena penyakitku ini semakin parah. Ditakutkan pembuluh darahku di jantung melebar. Jika ukuran pembuluh darah ini lebih dari 4 cm, aku harus menjalani operasi, jika tidak aku bisa mendadak mati. Marvan Syndrome ini membuat otot-ototku terlepas. Pantas saja, aku sulit menegakkan badan. Akhir-akhir ini, aku sering merasakan jantungku berdebar, pusing kepala, juga muntahmuntah. Bahkan aku sering pingsan selama 10 menit. Sehingga bapak dan ibu takut. Terakhir, aku empat kali mengalami kejang-kejang, sesak nafas, aku seperti orang yang sekarat. Bahkan jantungku sempat berhenti selama beberapa detik. Bapak dan ibu tak berdaya. Mereka tak membawaku ke dokter karena tak ada lagi biaya. Mereka hanya mengobatiku dengan cara memborehkan minyak angin di tubuh sambil berdoa. Ya Tuhan, aku tak tahu sampai kapan ini terus berlanjut. Yang kulakukan sekarang ini adalah selalu mengingatMu. Karena hanya dengan itu, seluruh penderitaanku, terasa ringan.

=============================================================

Kisah Jilbab Hacer dan Zeliha


Kamis, 22 November 2007

Muslimah Turki masih belum bebas menggunakan jilbab. Bincang-bincang www.hidayatullah.com dengan dua mahasiswi Turki di Istanbul

Santi Soekanto

Hidayatullah.com--Dua mahasiswi dari Istanbul ini, Zeliha Odabas dan Hacer Cavus, sedih karena harus melepas jilbab setiap kali masuk kuliah. Jilbab memang pakaian terlarang di di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Republik Turki sekular. ''Rasanya seperti kepala saya disiram air panas,'' tutur Zeliha. Mereka minta didoakan agar suatu saat Muslimah Turki bebas menutup aurat seperti saudari-saudari mereka di Indonesia. Turki masih tetap menyulitkan wanita-wanita yang ingin melaksanakan perintah Allah Ta'ala untuk menutup aurat. Presidennya sudah baru, bernama Abdullah Gul dan berasal dari Partai Keadilan dan Pembangunan pula. Istri Presiden bernama Khairunnisa Gul dan juga berjilbab. Namun Muslimah-muslimah yang ingin berjilbab harus ''bongkar-pasang'' kerudung mereka bila hendak masuk sekolah, pergi kuliah atau masuk kantor. Hacer dan Zeliha adalah dua diantara ribuan mahasiswi yang harus melepas jilbabnya jika hendak memasuki kampus mereka di Fakultas Psikologi Fatih University, Istanbul. Hacer (ejaan Turki untuk Hajar) dan Zeliha mulai mengenakan kerudung saat mereka berumur 14 tahun di Sekolah Menengah. Mereka kini berusia 19 tahun. ''Kakak saya yang mendorong saya melaksanakan perintah agama ini. Tapi saya ikhlas melaksanakannya. Pada tahun pertama, saya mengenakan hijab 'begitu-begitu' saja, tapi pada tahu kedua saya betul-betul sadar dan mempelajari ketentuan Allah ini. Kakak saya yang menunjukkan ayat Al Quran tentang berhijab ini. Saya merasa mudah saja mengerjakannya dan menyesuaikan diri dengan pakaian baru ini karena keluarga saya mendukung,'' cerita Hacer yang saat jumpa kami mengenakan kerudung berwarna ungu tua dan mantel musim dingin ungu muda. Zeliha yang berkerudung merah menyala seperti bendera Turki dan bermantel wool putih mengiyakan. ''Semuanya bermula karena saya membaca Al-Qur'an terjemahan bahasa Turki, mulai dari awal, Surah Al Fatihah, sampai Surah An-Nur dan saya menemukan ayat yang memerintahkan berhijab. Begitu membacanya, saya fikir ' Oops Kalau memang ini perintah Allah dan tertulis dalam Al Quran, berarti saya harus melaksanakannya,kisahnya. Tidak ada orang yang menyuruhnya. Beberapa hari kemudian, ia pergi ke pasar dan membeli kerudung berwarna biru, yang sama dengan warna seragam sekolah. Ia mulai mengenakannya. Ibunya sangat terkejut karena tidak pernah menyuruh atau memaksa. Ayahya bilang begini, Kalau kamu mengenakan ini maka kamu harus juga melaksanakan semua yang diperintah Allah. Jadi memang memakai jilbab penting, tapi yang juga penting adalah perubahan dalam diri kita. Saya harus mulai berfikir secara Islami.'' Kedua gadis ini menyadari bahwa mereka berada dalam masyarakat yang tidak mementingkan menutup aurat. Sembilan puluh persen penduduk Turki mengaku Muslim

tapi tidak banyak yang menutup aurat, tutur Zeliha. Namun baik Hacer maupun Zeliha tidak takut pada kemungkinan masalah yang timbul. ''Karena hati saya tenang, saya merasa mudah saja melaksanakannya,'' kata Hacer. ''Saya tidak memikirkan masalah yangt timbul, karena bagi saya yang terpenting itu peraturan Allah. Dengan iman, kita bisa melakukan apa saja. Dalam banyak hal keduanya mengaku belum sempurna melaksanakan Islam, tapi mereka bersyukur bisa melaksanakan dengan baik. Meskipun Turki negara sekular, tidak ada orang yang mengganggu mereka di jalan-jalan karena mereka berhijab. Kedua gadis ini terpaksa ''bongkar-pasang'' alias menutup aurat di luar kampus dan membukanya begitu berada di depan pagar kampus. Ada larangan keras memakai jilbab di sekolah. Ancamannya dikeluarkan atau entah apa, meski sebenarnya tidak ada undangundang yang resmi melarang hijab. Hati saya merasa berat sekali. Karena ini masalah penting. Saya jadi susah berkonsentrasi waktu masih di SMA,'' tutur Hacer. Untunglah mereka punya kegiatan pengajian sepekan sekali; pada saat-saat itulah para Muslimah berhijab di Istanbul saling mendorong dan membantu meringankan kesedihan karena harus ''bongkar pasang'' kerudung. ''Setiap kali harus melepas jilbab, saya sedih sekali dan kepala saya rasanya seperti disiram orang dengan air panas,'' tutur Zeliha. Beberapa waktu lalu kedua gadis itu ''melawan'' dengan cara melepas kerudung namun memakai topi yang rapat-rapat menutup rambut mereka. ''Harus diakui, masyarakat dunia, juga Turki, memang masih menindas kaum wanita. Misalnya ya dalam soal berjilbab ini,'' kata Zeliha yang memiliki satu orang kakak perempuan yang tidak berjilbab ini. Baik Hacer maupun Zeliha optimis bahwa suatu saat nanti insya Allah tidak akan ada lagi kesulitan dan larangan berjilbab bagi para Muslimah di Turki. ''Sampaikan salam kami kepada saudari-saudari kami di Indonesia, dan mintakan doa mereka agar Allah menolong kami di Turki,'' kata Zeliha. ''Doakan agar Presiden Abdullah Gul dan Perdana Menteri Erdogan mau dan bisa melakukan sesuatu untuk menolong kami Muslimah yang berhijab di Turki. Namun kami tidak tinggal diam. Kami berdakwah dengan menceritakan kepada sebanyak mungkin orang tentang indahnya Islam dan indahnya berjilbab. Kami punya sesuatu yang indah, kami tidak boleh mementingkan diri sendiri. Kami harus bagikan kepada orang lain,'' tutur Hacer. Zeliha beranggapan, pada waktunya, dengan pendidikan, akan semakin banyak Muslimah di Turki yang 'bebas' dari kungkungan masyarakat dalam melaksanakan perintah Allah Ta'ala. Menurut Zeliha, Turki butuh wanita-wanita berprestasi, yang menjadi dokter, pengacara dan sebagainya, namun tetap melaksanakan perintah Allah mengenai berhijab. Kalau sudah demikian, mau tidak mau, masyarakat akan mendengarkan apa yang kami sampaikan mengenai Islam, katanya menutup obrolan.[www.hidayatullah.com]

============================================================

Hijrah Dari Kubangan Hitam


Dikirim Oleh Redaksi || 27-09-2007 19:32 Tampilkan : 853 Hidayah hanya milik Allah semata. Hidayah dapat menghampiri setiap orang, meskipun bagaimanapun kondisi orang tersebut. Maka mohonlah selalu hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala agar kita termasuk orang-orang yang selamat di dunia dan akhirat. Inilah sepenggal kisah dari seorang akhwat yang awalnya termasuk anggota cheerleaders di SMAnya, sampai akhirnya berhijrah menjadi akhwat yang memakai jilbab syar'i. Mari kita simak penuturannya.

Sejak kelas satu SMA, aku termasuk salah satu ahggota cheerleaders. Ya! Seorang perempuan dengan pakaian minim nyaris telanjang yang menari-nari di hadapan ratusan penonton di tengah-tengah lapangan basket. Tidak hanya itu, aku juga menari di kafekafe. Dengan pakaian ketat dan minim, kami meliuk-liukkan badan di hadapan pengunjung. Tetapi, kesesatan itu tidaklah nampak bagiku waktu itu. Bahkan menjadi suatu kebanggaan bagi kami jika dapat tampil seseksi mungkin. Pergaulanku yang seperti itu memudahkan bagiku untuk tergoda dalam melakukan kemaksiatan lain. Merokok. Tentu saja ini tidak diketahui oleh pihak sekolah dan keluargaku. Tetapi hidayah datang sesuai kehendak-Nya tanpa memandang kedudukan atau pangkat. Kelas tiga SMA, aku masuk ke kelas yang dikatakan kelas alim karena banyaknya anggota ROHIS dikelasku itu. Saat cawu I berakhir (dulu adalah sistem cawu), nampak beberapa teman laki-laki yang dulunya masih bergaul bebas mulai "berubah" ke arah yang baik. Aku bahkan menyukai salah satu di antara ikhwan tersebut. Tidak tahu diri ya aku ini. Tetapi dari situlah mulai berawal rasa ingin tahuku tentang agama ini. Aku sempat bertanya-tanya dengan Juan yang duduk di depanku. Aku berharap pembicaraan ini adalah pembicaraan yang dibolehkan, karena saat itu aku tidak dekat dengah temanteman perempuan yang "baik" mengingat statusku yang cheerleader dan bandel itu. Juan membicarakan masalah aurat. la mengatakan bahwa memperlihatkan aurat itu dosa bahkan bisa ikut menanggung dosa yang melihatnya. Maklum, saat itu aku masih memakai rok SMA pendek dan baju yang juga pendek bahkan dikatakan jungkies. Aku yang ceplas-ceplos langsung menjawab, "Berarti aku dosanya banyak dong!".
Akhirnya, aku mulai membaca-baca buku agama. Dipinjamkan oleh Juan dan sahabatku Ezi. Waktu itu, mulai muncul keinginan memakai jilbab. Aku banyak berpikir dan menangis. Keraguanku adalah bagaimana nanti tanggapan teman-temanku, bagaimana nanti dengan pergaulanku, keluargaku. Semua seakan-akan sangat sulit untuk dijalankan. Tetapi beberapa kejadian seakan menguatkanku. Terutama ketika mengingat masalah kematian. Di akherat nanti, tidak akan ada yang menemani, semua dipertanggungjawabkan sendiri. Aku membayangkan

10

kalau aku dipadang mahsyar, aku bahkan lebih sendirian lagi daripada di dunia ini kalau teman-temanku yang dulu tidak mau bermain lagi denganku. Sempat di rumahku terjadi gempa kecil. Yang terpikir saat semua telah berhasil keluar rumah adalah, "Ya Allah... .bagaimana kalau aku meninggal tadi.. ..aku belum memakai jilbab.." Aku sempat menceritakan ke salah satu sahabatku tentang keinginanku. Dia mengatakan "Kamu pakai jilbab bukan karena dia kan?". Maksud temanku adalah dia yang tadinya sempat aku sukai. Aku menjawabnya bukan. Sulit sekali menjelaskannya. Keputusan ini sangat jauh dari masalah percintaan dan bagiku adalah keputusan yang besar. Apalagi setelah aku mengetahui dalil-dalil Al-Qur'an yang mewajibkannya. Akhirnya aku menemui temanku yang bernama Ezi yang telah lebih dulu mendapatkan hidayah dan mengenakan jilbab sejak kelas dua SMA.

Aku menemuinya dan cuma bisa berkata, "Zi...eng...Zi...". Ezi memang orang yang sangat dewasa dan pengertian, dia langsung menjawab, "Kenapa Sis...?" . Aku hanya menatapnya tanpa bisa berkata-kata. Akhirnya Ezi berkata, "Sis... kamu mau pakai jilbab ya?". Aku langsung spontan menjawab, "Iyaa...". Tepatnya hari Sabtu bulan Januari 2000, aku memakai jilbab ke sekolah. Aku sudah memberitahukan keinginanku ke keluargaku dan alhamdulillah mereka tidak melarang walaupun tidak berarti mendukung sepenuhnya.Karena aku membeli pakaian panjang dengan bantuan teman-teman ROHIS. Aku cuma punya satu kaos lengan panjang untuk dipakai keluar saat itu. Papaku hanya berkata, "Nanti kalau sudah lulus dibuka saja". Tapi aku jawab, "Tapi ini diwajibin di Al-Qur'an, Pi". Papa hanya terdiam mendengar jawabanku. Mama alhamdulillah kali ini menyetujui saja. Teman-teman SMA-ku jelas heboh. Reaksi mereka macam-macam. Adik-adik anggota cheerleader hanya mengatakan, "Mba.....?!" Aku hanya tersenyum sambil berkata, "Mba ga bisa ikutan lagi ya.." Bahkan ada seorang teman perempuan yang biasa nongkrong di warung depan sekolahku menghampiriku sambil bertanya, "Sis, kamu ada apa. Ada masalah apa?". Dalam hati sebenarnya aku menjawab, "Aku takut sama Allah...", tetapi yang keluar hanya senyuman sambil berkata, "Ga apa-apa". Rasanya sulit sekali menjelaskan alasanku, apalagi kelihatannya klasik sekali jawaban itu untuk mereka. Teman-teman sekelas yang perempuan menyelamati aku sambil mengucapkan, "Selamat berhijrah". Aku menangis saat itu. Bagiku waktu itu adalah sebuah batu loncatan besar dalam hidupku. Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. Rasanya masa laluku hitam sekali. Tetapi manusia tidak lepas dari kesalahan, dan sebaik-baik manusia adalah yang bertaubat atas kesalahan yang ia buat. Aku meninggalkan semua kebiasaan burukku. Aku memakai pakaian panjang, menutup jilbabku sampai menutupi dadaku dan aku tidak merokok lagi. Aku teringat ucapan Ezi yang menemaniku saat membeli jilbab, "Yang ini ya Sis?", ia memilihkan salah satu jilbab putih yang ada. "Ha?... kependekan, Zi", aku tidak puas dengan pilihan yang ia berikan. "Kamu mau pakai yang panjang kaya temen-temen?" "Iya...", jawabku. Alhamdulillah, sejak pertama kali aku pakai jilbab, aku langsung menutupi dadaku. Waktu itu aku cuma tahu dalil "Tutupilah dadamu". Aku juga

11

diajarkan oleh Ezi untuk memakai "Daleman" sebelum memakai jilbab yang kini aku tahu namanya adalah khimar yang artinya menutupi. Setelah dua tahun berlalu, aku kuliah di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Di kota ini, alhamdulillah aku mendapat hidayah lagi yang kali ini memantapkanku dalam menjalankan agama ini. dari mulai mengikuti bedah buku yang tadinya hanya ikut-ikutan dan mengikuti program belajar bahasa Arab, aku mulai mengenal manhaj yang ditempuh oleh para sahabat. Aku semakin menyadari bahwa apa yang aku lakukan dulu bukanlah lompatan besar seperti yang aku kira. Masih banyak kesalahan-kesalahan yang aku buat, baik dalam pergaulan, perkataan, perbuatan dan pakaian yang aku kenakan. Aku jadi tersadar bahwa ilmuku ternyata sangat minim sekali sehingga seperti dulu ketika belum memakai jilbab, aku menganggap apa yang aku lakukan benar-benar saja. Kali ini dalil yang aku ketahui bertambah mengenai jilbab, yaitu surat Al-Ahzab ayat 59. Sekali lagi aku membuat heboh, baik di kampus dan di keluargaku karena "kebesaran" jilbabku dan warnanya yang gelap. Aku merasa seperti pertama kali memakai jilbab. kali ini aku mendapatkan doa, "Libas jadiid, wa 'isy hamiid, wa mut syahiid" (berpakaianlah yang baru, hiduplah yang terpuji dan matilah dalam keadaan syahid) dari mba-mba yang telah mendahului memakai pakaian yang syar'i. Aku hanya mengucapkan aamiin saja tanpa tahu artinya waktu itu. Ternyata setelah aku cari, itu adalah doa yang diajarkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam untuk orang yang mengenakan pakaian baru. Keluargaku sampai sekarang masih berkomentar, "Besar sekali jilbabnya" dan mengira aku adalah bagian dari sebuah organisasi Islam. Aku sempat menjawab bahwa aku tidak mengikuti organisasi apapun, karena Islam itu satu. Semoga Allah memberikan kemudahan dan kesabaran bagiku dalam menjelaskan. Untuk itulah aku harus terus menuntut ilmu din ini. Supaya amal yang aku lakukan juga didasarkan ilmu dan aku bisa menyampaikan hujjah (alasan) dalam melakukan ibadah tersebut. Dalam pencarian ilmu dan menjalankan perintah Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, banyak ujian yang aku hadapi, baik dari keluarga, teman, dosen atau lingkungan sekitar. Kalau tidak ada ujian itu, maka sepertinya memang tidak tepat dikatakan kita beriman. Karena mudah sekali untuk beriman kalau begitu dan semua orang mestinya sudah mudah melaksanakannya dari dulu. Kesalahan sering tidak nampak saat kita berkubang di kesalahan tersebut. Cobalah untuk berusaha melangkah keluar, membersihkan kotoran yang ada. Maka insyaa Allah kita enggan menceburkan diri ke kubangan itu lagi. Apabila ada pengaruh yang membuat kita terdorong ke kubangan itu, peganglah kuat-kuat tali penjaga di dekat kita, yaitu AlQur'an dan As-Sunnah. Tidak henti-hentinya aku berdoa untuk dikuatkan dan diberi kesabaran dalam menghadapi semua itu. Sumber: Elfata vol.5 no 9 tahun 2005

12

http://www.kisahislam.com/i/content/category/2/11/9/

Brandy Korman: Serangan 11 September Jadi Inspirasi untuk Masuk Islam Publikasi: 21/12/2004 10:11 WIB eramuslim - Seorang wanita muda bermata biru dan mengenakan jilbab warna merah terang nampak tekun mengikuti pembicaraan tentang Al-Quran di sebuah perkumpulan warga Muslim, Islamic Society di Michiana. Wanita itu, terkadang terlihat tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya mendengarkan tiga orang wanita lain yang bersamanya sedang berdiskusi tentang Al-Qur'an. Di sela-sela kalimat bahasa Inggris yang mereka gunakan, terkadang terdengar kata 'Insha Allah', yang artinya 'Jika Allah Mengizinkan.' Wanita muda berkerudung merah itu bernama Brandy Korman. Namun tak lama lagi, orang akan mengenalnya dengan nama Zahra Abaza. Korman yang baru berusia 21 tahun itu, menggunakan nama Islam, karena memang ia baru saja masuk Islam, pada musim semi yang lalu. Kini Korman tidak lagi mengenakan setelan jeans dan sweaternya. Ia mengganti pakaiannya itu dengan baju Muslimah berupa baju panjang dan tentu saja jilbab yang kini dikenakannya. Korman bahkan berani memutuskan untuk menjadi istri laki-laki asal Mesir, yang selama ini belum pernah dikenalnya. Kehidupan yang dijalani Brandy Korman atau Zahra Abaza sekarang benar-benar sebuah kehidupan baru dengan keimanannya yang baru. Peristiwa serangan 11 September yang menggegerkan rakyat Amerika bahkan dunia, menjadi titik awal kehidupan baru Korman. Saat itu, ia masih berusia 18 tahun dan seorang pemeluk agama Katolik yang taat. Peristiwa 11 September itu mendorongnya pergi ke Penn State University, di sana ia mulai mencari tahu tentang agama Islam dan kitab suci Al-quran Lewat mesin pencari google di internet, Korman mengetik kata 'Islam' dan 'Quran' dan mulai mencari informasi tentang dua kata itu. "Saat itu, saya bukan hanya sekedar ingin tahu. Apa yang ada di kepala saya, 'agama macam apa yang memerintahkan pemeluknya untuk membunuh orang," kata Korman saat ditanya asal-muasal ia ingin mengenal Islam. Dari situs internet, Korman beralih ke perpustakaan dan membaca buku-buku yang memberikan informasi tentang Islam. Korman pun mulai membaca isi Al-Quran, 'Ribuan halaman saya baca,' katanya. Setelah membaca isinya, anggapan Korman bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan orang untuk membunuh, justru pudar. Korman mulai memahami Islam ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk berserah diri pada Allah, yang melarang membunuh orang yang tidak berdosa meski atas nama agama, ujar Korman. "Ketika saya membaca isi Al-Quran, saya tidak menemukan hal-hal yang tidak saya saya setujui seperti ketika saya membaca Injil," tambah Korman. Misalnya soal prinsip Trinitas yang selama ini selalu menjadi pertanyaan Korman. Kegiatan Korman mencari informasi sebanyak-banyaknya soal Islam sempat

13

terhambat, karena kesibukan sekolahnya. Dalam seminggu, paling hanya beberapa jam saja, Korman kembali menggali informasi tentang Islam lewat internet. Apalagi setelah itu, Korman pindah bersama ibunya dari Pennsylvania ke South Bend. Di South Bend inilah, Korman kembali giat mempelajari Islam, tepatnya sejak akhir Januari kemarin. Korman pun sering bertanya pada sejumlah teman kuliahnya yang Muslim di Jurusan Bisnis, Universita Indiana, South Bend (IUSB). Saat musim semi, Korman mengirimkan email pada teman kuliahnya Osama Abaza, 24 tahun, asal Alexandria, Mesir dan menyatakan keinginannya untuk ke masjid. Korman pun mendatangi sebuah masjid milik komunitas Muslim, Islamic Society of Michiana di South Bend yang terletak di 3310 Hepler St. Di belakang mesjid, Korman berdiri mengamati warga Muslim, laki-laki dan perempuan sholat, berdiri, ruku dan sujud. Karena sudah mengetahui tentang Islam, Korman merasa nyaman berada di masjid, ia tidak melihat atau mendengar ucapan-ucapan yang tidak enak atas keberadaannya di sana dari para pengunjung masjid. Setelah itu, Korman pun rutin datang ke masjid setiap seminggu sekali bersama Abaza dan ia menanyakan banyak hal tentang Islam pada teman kuliahnya itu. Abaza sendiri, sedang mempelajari kembali agamanya itu. Sebelum ia meninggalkan Mesir menuju AS sekitar 4,5 tahun lalu, Abaza boleh dibilang bukan seorang Muslim yang taat. Baru, pada saat tinggal di AS, Abaza kembali sering ke masjid. "Saya merasa membutuhkan sesuatu di tengah-tengah masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis ini. Tidak perasaan lain yang lebih baik, selain perasaan memiliki Tuhan," kata Abaza. Sementara itu, Korman, setelah banyak mencari tahu soal Islam dan berdiskusi dengan Abaza, sekitar 3 bulan setelah melakukan kunjungan ke masjid, ia menyatakan masuk Islam di hadapan 2 saksi. Awal Kehidupan Baru Tak lama setelah Korman masuk Islam, Abaza mengundangnya makan siang di restaurant Olive Garden. Saat itu Korman sama sekali tidak berfikir bahwa ia sedang kencan, karena Abaza sudah menikah, meski dalam proses perceraian. Namun sepanjang makan siang itu, pembicaraan Abaza sudah mengarah untuk mengajaknya menikah. Dan itu terbukti keesokan harinya, Abaza melamarnya. Korman hanya bisa tercengang dan terlihat sedikit takut, biar bagaimanapun ia belum begitu mengenal Abaza. Abaza mengatakan, lamarannya adalah hal yang sangat rasional. Dengan menikah, ia bisa membantu Korman menjadi seorang Muslimah yang diinginkannya sekaligus bisa menjadi pendamping hidupnya, jelas Abaza. Korman dan Abaza pun akhirnya menyiapkan pernikahan hanya dalam waktu dua minggu. "Kami menginginkan hal yang sama dan kami menuju ke arah yang sama," ujar Korman. Korman merasa Abaza bisa membimbingnya menjadi Muslimah yang baik. Dia, Abaza, kata Norman, juga punya tujuan hidup yang sama, punya anak, membesarkan dan mendidiknya sebagai Muslim dan tinggal di luar AS. Korman dan Abaza pun menikah dengan cara Islam, tepat satu minggu setelah Korman masuk Islam. Mereka menyebut pernikahan mereka sebagai 'awal' dari hubungan mereka. Mereka memang belum mendaftarkan perkawinan mereka secara resmi berdasarkan undang-undang negara bagian AS. Rencananya mereka

14

akan mendaftarkannya segera ke Las Vegas, namun belum menentukan tanggalnya. Korman dan Abaza kini tinggal di sebuah apartemen di Mishawaka. Meski sudah menjadi muslimah, awalnya Korman masih takut mengenakan jilbab ke sekolah atau ke tempat kuliahnya. Korman hanya mengenakannya kalau pergi ke masjid. Tapi sekarang, Korman mengenakan jilbab ke manapun ia pergi. Ia mengaku kadang merasa tidak nyaman melihat orang-orang memandang ke arahnya. Ditanya apakah ia senang mengenakan jilbab, Korman hanya menjawab,"Saya tidak tahu, tapi Al-Qur'an mengatakan sebagai Muslimah saya seharusnya mengenakan jilbab." "Jilbab memotivasi anda untuk menjauhi hal-hal yang seharusnya dijauhi," tambah Korman. Karena sudah mengenakan jilbab, Korman sekarang tidak bisa sembarangan ngobrol dengan laki-laki atau pergi ke bar. "Aneh rasanya, pakai jilbab tapi pergi ke bar," ujar Korman sambil tertawa. Keputusan Korman masuk Islam, bukan tanpa hambatan. Korman harus memberikan banyak penjelasan terutama pada keluarganya. "Ibu saya menanyakan, bagaimana bisa saya masuk Islam karena saya bukan berasal dari Timur Tengah," kisahnya sambil tersenyum. Ceritanya lainnya, saat ia pergi ke toko kelontong, kasir di toko itu melirik foto di kartu kredit lalu melihat penampilannya yang berjilbab. Kasir itu bertanya, "Bagaimana nama anda bisa jadi Brandy?" Korman kini sedang memproses pergantian nama depannya dari Brandy menjadi Zahra yang dalam bahasa Arab artinya 'Bunga.' Mengomentari soal agama Islam yang kini menjadi keyakinannya, Korman mengatakan,"Buat saya Islam bukan hanya sekedar agama, tapi sudah menjadi cara hidup saya. Saya harus mengubah gaya hidup saya, cara berpakaian saya." Korman kini tidak lagi merayakan hari Thanksgiving, "Berat memang, ketika keluarga saya menghubungi saya tapi saya tidak bisa berkumpul bersama mereka. Bukan pesta Thanksgivingnya yang saya rindukan, tapi suasana berkumpul bersama keluarga," ujar Korman. Problem Klasik para Mualaf Bagi para mualaf di manapun, perubahan gaya hidup setelah masuk Islam masih menjadi persoalan klasik. Biar bagaimanapun, seorang mualaf butuh waktu untuk beradaptasi mengikuti ajaran agama barunya dan meninggalkan kebiasaan lamanya. Korman juga mengalaminya. Ia mengatakan, tetap akan mengunjungi keluarganya yang kini sudah pindah ke Florida, hari Natal ini. "Saya datang bukan untuk merayakan Natal, tapi untuk menjaga tali ikatan kekeluargaan," kata Korman. Buat Korman, persoalannya bukan hanya harus meninggalkan kebiasaan lamanya. Ia juga merasa perjalanan masih sangat panjang untuk menjadi seorang Muslim. Untuk itu, setiap hari Kamis ia belajar studi Al-Qur'an dan minta suaminya Abaza menggunakan bahasa Arab sehari-hari sesering mungkin. Korman tetap meyakini bahwa Islam tidak mengajarkan umatnya untuk membunuh orang yang tidak berdosa. Di sisi lain, Korman juga menyatakan ketidaksetujuannya dengan kebijakan pemerintah AS yang memborbardir orang di seluruh dunia atas nama kebebasan dan demokrasi, tulis Korman dalam emailnya. (ln/southbend tribune)

15

http://groups.yahoo.com/group/masjid_annahl/message/817 =============================================================

16

Anda mungkin juga menyukai