Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil
memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.
Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.
Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin kurang
dari itu.
“Itu?”
Ia menunjuk ke sebuah rangkaian bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang sudah beberapa
kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.
Mendadak bunga yang aku lihat dengan sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak menyambarnya.
Langsung aku mengangguk.
Ia kelihatan bimbang.
“Berapa duit?”
“Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau, nanti saya bikinkan lagi.”
“Tidak. Ini!”
“Kenapa?”
Aku ketawa.
“Dua.”
Aku melongo. Mana mungkin ada bunga seharga dua juta. Dan bunga itu jadi makin indah. Aku mulai
penasaran.
“Tidak.”
Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk bunga lagi yang lain.
Aku sama sekali tidak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Ku keluarkan semua.
Isinya 900 ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.
Dia tercengang.
“Ya, tapi aku hanya punya uang 900 ribu. Itu juga berarti aku harus berjalan kaki pulang. Aku tidak
mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan kelembutannya,
tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga yang tak dijual di sini.”
“Ya, sudah bapak ambil saja. Bapak perlu berapa duit untuk pulang?”
“Cirendeu.”
“Tapi, angkot?”
“Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”
“Buka begitu.”
“O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.”
“Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 ribu untuk ongkos taksi.”
Aku tercengang.
“Kurang.”
“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik blue bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di BK PIM.”
“Tidak.”
Dia berpikir.
“Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan pada seseorang.”
“Ya. Jelas.”
“Sebaiknya bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan ucapan. Diambil
dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”
“Tidak. Kamu.”
Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku menolak.
“Semuanya.”
Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hafal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia menunjukan
tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak. Di Beranda Itu
Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:
Aku terharu. Pantas Nielson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama 26 tahun di
penjara Robben karena puisi.
“Bagus?”
Aku tiba – tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat –
cepat kuhapus.
“Ya?”
“Ya. Memang.”
Ia bingung.
“Makanya!”
Ia kembali bingung.
Dia bengong.
“Ya”
“Ya.”
“Kenapa?”
“Mereka siapa?”
“Ya, keluarga Bapak, teman – teman Bapak. Anak Bapak. istri Bapak, atau pacar Bapak …”
Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.
“Terimakasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”
Aku tersenyum untuk meyakinkan dia kalau aku tidak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah. Bunga
itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapatkan hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.
“Ini uang Bapak,” katanya memasukan uang ke kantong bajuku, sambil meraih bunga dari tanganku,
“Bapak simpan saja.”
“Tidak perlu dibeli. Ini hadiah bagiku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja
jalannya. Itu mobilku.”
Unsur unsur :
1. Tema : keluarga
2. Setting
Tempat
*Toko bunga : Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku
belum berhasil memilih.
*Jalan : "Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang.
Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku."Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di
depan toko.
Suasana
*Bahagia : Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi terlalu
indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.
*Kesal : "Bapak yang ulang tahun?""Ya.""Kenapa?""Mestinya mereka yang yang mengirimkan bunga
untuk Bapak."Mereka siapa?"Ya, keluarga Bapak, Teman-teman Bapak, Anak Bapak, istri Bapak, atau
pacar Bapak" "Mereka terlalu sibuk."Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan."
*Penasaran : "Ya, ini yang aku cari.''"Mau diantar atau dibawa sendiri?""Bawa sendiri saja. Tapi berapa
duit?""Berapa duit.""Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan
lagi.""Tidak, aku mau ini.""Bagaimana kalau itu?""Tidak. Ini!""Tapi itu tak dijual.""Karena dibuat bukan
untuk dijual""Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?""Dua.""Dua apa?""Dua juta."Aku melongo.
Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran.
3. Alur : *Maju
* Aku: Tirtagonis
5. Penokohan
*Aku : baik,ramah,sopan
6. Sudut Pandang :
* orang pertama (utama) : "Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka ". "Mana mungkin
ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran". "Aku sama sekali
tak menoleh. Aku keluarkan dompetku"
* orang pertama (Sampingan) : Itu saya sendiri yang merangkainya." Aku tersenyum untuk meyakinkan
dia bahwa aku tak marah". "Aku raih bunga itu lagi". "Dan aku mau ngantar Bapak pulang". ""Aku pemilik
toko ini."
* Orang Ketiga : "Dia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel". "
7. Amanat : meskipun berada di lingkungan yang serba indah dan nyaman, hanya ada satu yang
membuatnya merasa bahagia, nyaman dan semangat menjalani hidup.
8. Kesimpulan : betapa besarnya pengaruh setitik perhatian dari satu orang untuk semangat hidup
seseorang.