Anda di halaman 1dari 7

“ Goresan Mimpi”

Nama: Sherlita Maharani

Kelas: IX. 3

Namaku, Dyra. Lengkapnya Anisa Nadyra, disini aku berdiri sekarang, tepat didepan rak
buku yang diatasnya terdapat papan bertuliskan “Best Seller”. Ya, aku sedang berada di salah
satu Gramedia ternama di kota ini. Bukan pertama kalinya aku pergi kesini, hampir setiap hari
sepulang sekolah aku menyempatkan diri datang kesini, melihat – lihat buku dan menghabiskan
sisa waktu dua jam untuk membaca buku – buku yang segelnya telah dibuka oleh tangan –
tangan manusia yang tidak bertanggung jawab, sebelum akhirnya aku pergi kembali untuk
bekerja part time di salah satu restoran yang letaknya tidak terlalu jauh dari sini. Mungkin kalian
berfikir sikapku sangat tidak baik, karena aku hanya dengan mudahnya membaca tanpa mau
membeli. Bukan aku tidak mau, aku sangat ingin, tetapi uang jajan ku sebulan pun tidak akan
cukup untuk membeli salah satu novel disini. Walaupun aku bekerja part time, gajiku aku
serahkan untuk ibuku dan untuk menghidupi dua adik kecilku.

Jika kalian bertanya dimana sosok yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga itu?
ayah pasti menjaga kami dari atas sana. Ya, ayahku telah tiada sejak aku berumur 12 tahun.
Maka, akulah yang harus menggantikan tugas beliau. Aku tak bisa membebani ini pada ibuku,
ibu sudah cukup terpukul dengan kepergian ayah, karena ayah dan ibu dulunya adalah anak
yatim piatu tidak memiliki kerabat ataupun saudara lain. Jadi, mungkin karena itu ibu merasa
tidak memiliki siapapun lagi selain ayah. Aku tidak buta, tidak juga tuli, aku sadar bahwa akulah
penyebab meninggalnya ayahku. Aku yang dulu tidak mau menuruti perkataan ayah dan ibu, aku
yang dengan nakalnya tetap saja mengikuti teman – teman untuk bermain di Bukit Sunset
padahal ayah dan ibu selalu melarangku bermain disana. Bukit ini indah namun lumayan curam,
dari atasnya kita bisa menikmati pemandangan sunrise maupun sunset yang benar – benar
memesona, hingga disuatu hari saat perjalanan menuju bukit bersama teman – temanku tiba –
tiba saja kakiku kehilangan arah dan terpleset kedalam jurang, namun aku masih bertahan
dengan memegang ranting pohon dipinggiran jurang. Teman – temanku panik dan tidak bisa
membantu apa – apa. Merekapun takut akan celaka. Namun tiba – tiba sosok pahlawan datang,
ayahku datang, ternyata beliau mengikutiku sedari tadi, beliapun langsung turun dan
membantuku naik namun naas, ayah salah berpijak akhirnya ayah jatuh kedasar jurang tanpa
dapat kucegah. Aku menyaksikan kematian ayah tepat dihadapanku, dan mulai saat itu ibu
berubah menjadi sosok yang pendiam dan tidak banyak bicara padaku. Aku sadar ini semua
kesalahanku, maka biarlah aku mencoba menebusnya dengan menggantikan tugas ayah untuk
mencari nafkah.

Aku masih duduk dibangku kelas 11 SMA, tidak ada yang spesial dariku kehidupankupun
biasa saja, jangan tanyakan perihal teman, tidak ada yang mau berteman denganku mereka
semua menganggapku hanya anak kumal miskin yang masuk dengan mengandalkan beasiswa.
Ya, aku memang masuk ke SMA favorit ternama dengan beasiswa yang kuraih, aku mati –
matian memperjuangkannya karena aku sadar ibu sudah tidak perduli padaku, bahkan ibu
menyuruhku berhenti sekolah dan fokus mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang untuk
hidup kami berempat. Namun aku menentang semua itu, aku juga ingin bersekolah, aku juga
ingin meraih mimpiku. Mimpiku adalah menjadi seorang penulis. Jujur, sebenarnya aku telah
banyak mengirim cerpen – cerpen ke majalah sekolah namun tidak pernah sekalipun diterbitkan.
Aku cukup paham alasannya, sering kali aku melihat mereka yang pada akhirnya membuang
karanganku tanpa membacanya sedikitpun. Mereka beranggapan bahwa karyaku sangat
menjijikkan seperti itulah mereka memandangku, namun tak apa aku memakluminya. Dan
disinilah aku sekarang, di tempat yang aku anggap sebagai surga untukku. Gramedia, ntah
kenapa aroma buku – buku disini seperti aroma theraphy yang sangat menenangkan bagiku.

Aku mengambil salah satu buku yang terletak di rak kedua Best Seller. Buku yang berjudul
“Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini”. Buku karya kak Marchella ini adalah buku yang sangat
menginspirasi bahkan filmnya sudah dirilis beberapa bulan yang lalu, sayang sekali aku tidak
bisa menontonnya. “kemarin, aku udah baca sampai halaman 19 ya” gumamku pelan sambil
membuka notes kecil yang memang aku sediakan untuk mencatat sudah sampai halaman berapa
aku membaca buku di Gramedia ini. Akupun membawa buku itu dan membacanya ditempat
favoritku tepat di rak pojok yang sepi dan jarang dilewati orang – orang. Aku duduk berselonjor
sambil menyenderkan tubuhku ke rak buku. “Kamu hampir setiap hari datang dan dengan
enaknya membaca buku – buku yang sudah terbuka tanpa mau membeli, ga mau rugi banget ya
jadi orang” suara laki – laki tiba – tiba menyadarkanku dari asiknya dunia membaca. Aku
mendongak dan melihat seorang laki – laki yang sepertinya sepantaran denganku dengan baju
yang sangat rapi tengah berdiri dan menatapku dingin. Aku tidak tahu harus berkata apa,
canggung rasanya, karena sebelumnya jarang ada yang berbicara denganku kecuali kedua adik
kecilku dan guru ku. “Kamu tahu tidak perbuatanmu sangat tidak layak dicontoh, itu sama saja
artinya kamu tidak bisa menghargai karya para penulis” ucap lelaki itu lagi. Hatiku sakit
mendengarnya, akupun berdiri memberanikan diri menatap matanya yang masih saja menatapku
dengan tatapan dingin. “ Maaf, a…a…aku akan mengembalikannya” ucapku sedikit terbata. Aku
segera mengembalikan buku itu persis ditempatnya semula, dengan berat hati aku melangkah
pergi keluar dari tempat indah ini.

Namun baru beberapa langkah, tiba – tiba saja ada yang menarik pergelangan tanganku.
“Tunggu, bolehkah kita bicara sebentar” ucap lelaki itu, lelaki yang menegurku tadi. Aku melirik
jam tangan usangku, masih ada waktu 1 jam lagi untuk bekerja part time, namun aku benar –
benar tidak ingin berurusan dengan siapapun apalagi orang yang tidak kukenal. “Maaf saya
sibuk” elakku sambil mencoba melepaskan tangannya yang menahan tanganku. “Ohh baiklah,
maaf atas kejadian tadi” ucapnya melembut. Aku tak menghiraukannya aku terus saja berjalan
keluar. Sepanjang jalan menuju restoran aku terus saja menunduk, hatiku rasanya seperti disayat
– sayat, apakah teguran tadi berarti aku tidak bisa lagi membaca buku disana batinku. Tanpa
sadar air mataku mengalir. Sedih rasanya, Gramedia telah kuanggap seperti rumah keduaku,
rumah ternyaman yang pernah kurasakan, apa aku tidak bisa lagi singgah sebentar didalamnya
untuk mencari ketenangan.

Keesokan harinya, bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi. Hatiku bimbang, biasanya aku
akan langsung menuju Gramedia dengan semangat, namun setelah kejadian kemarin ada rasa
takut yang menyelimuti hatiku. Setelah melewati banyak pertimbangan akupun memutuskan
untuk tidak pergi ke sana, mungkin lebih baik aku pulang, mengganti baju sebentar lalu pergi
kembali ke restoran untuk bekerja. Sesampainya dirumah, aku terkejut melihat kondisi rumahku
yang berantakan. “Chila, ini ada apa, kenapa rumah seperti ini?” tanyaku pada Chila salah satu
adik kecilku yang kudapati tengah duduk terdiam di depan kamarku. “Kak Dyra, Chila minta
maaf, tadi ibu tiba – tiba berteriak lalu masuk kekamar kakak mengambil buku biru kesayangan
kakak, terus ibu juga memecahkan tabungan kakak”. Jatuh, remuk, redam, hatiku mencelos
mendengarnya buku biru kesayangan yang Chila maksud adalah buku tempat aku menulis karya
– karyaku, tempatku menuangkan imajinasi – imajinasi yang kurangkai sedemikian rupa. Dan
uang tabungan itu, adalah tabungan yang sengaja aku rahasiakan dari ibuku, karena nantinya
uang itu akan kupakai untuk membeli laptop agar aku mudah mengetik cerita. Aku tak perduli
jika uang itu ibu gunakan, namun buku itu, ia bagai separuh hatiku. “Kak Dyra jangan marah,
Chila minta maaf, Chila gabisa nahan ibu huaaaaa….” tangis Chila. “Chila, kakak ga marah kok
sayang, sudah jangan nangis engga papa, lebih baik Chila tidur, Cilo juga pasti sudah tidurkan,
sana tidur siang, pasti capek tadi sekolahnya” ucapku sambil memeluk Chila yang masih saja
menangis.

Setelah memastikan Chila dan Cilo tidur nyenyak, aku memberanikan diri ke kamar ibu. “Bu,
dimana buku Dyra” tanyaku to the point pada ibu yang tengah duduk diatas kasur menghitung
uang yang aku yakini adalah uang tabunganku selama 4 tahun ini. “Sudah ibu bakar, kenapa?”
ucap ibu santai. Hatiku hancur mendengarnya, kakiku lemas, aku terjatuh tidak percaya, air
mataku mengalir tanpa aba – aba. “Buat apa menangis, ibukan sudah sering peringatkan padamu,
berhenti mengejar mimpi khayalanmu itu, ibu dan adik – adik mu ini butuh kehidupan yang
layak fokuslah bekerja, kau tidak bisa mendapatkan apa – apa jika hanya terus menulis kata –
kata yang tidak ada artinya itu” ucap ibu. Emosiku memuncak mendengarnya “TULISAN ITU
HIDUPKU BU!, IBU TIDAK AKAN PERNAH MENGERTI MAKNA INDAH DIBALIK
SETIAP GORESAN ITU, AKU SUDAH BERSUSAH PAYAH BEKERJA PART TIME APA
ITU TIDAK CUKUP?! AKU HANYA INGIN MERAIH MIMPIKU APA ITU SALAH?”
teriakku, emosi dan amarah ku selama ini tidak bisa ku kendalikan lagi. “BERANINYA KAMU
MEMBENTAK IBUMU” “Plakk!” ibu menamparku dengan kuat. Aku terkejut bukan main,
baru kali ini ibu bertindak kasar secara fisik padaku. Nyeri yang sangat hebat menjalar di pipiku,
tapi tidak sebanding dengan nyeri di hatiku. Darah segar mengalir di sudut bibirku. Aku menatap
ibu yang kini menatapku penuh kebencian “Silahkan bu, tampar aku semau ibu, tapi tolong
jangan pernah hancurkan mimpiku” ucapku sendu. Aku keluar dengan perasaan hancur, aku
berjalan menuju pekarangan rumah, tempat dimana ibu sering membakar beberapa karanganku.
Ya, ini memang bukan pertama kalinya, ibu sudah sangat sering membakar semua kertas – kertas
ku. Namun hari ini berbeda, buku yang telah aku tulis dengan sepenuh hati, buku yang
rencananya akan aku berikan kepada penerbit, buku yang menjadi harapanku meraih mimpi kini
lenyap. Aku bersimpuh, memandangi buku biruku yang kini kertas – kertasnya telah berubah
menjadi abu. Aku menangis lagi, harapanku hancur, semuanya lenyap. mimpiku hilang tanpa
sempat kuraih.

Keesokan harinya, sepulang sekolah aku memutuskan untuk memberanikan diri pergi ke
Gramedia. Hatiku butuh ketenangan, dan hanya disana aku bisa mendapatkannya. Kali ini aku
mengambil asal buku yang sudah terbuka segelnya dan langsung duduk di tempat favoritku. Aku
tidak ingin membaca, aku hanya ingin menangis meluapkan semua perasaan yang sudah aku
tahan sejak pagi tadi. Aku menangis sepuasku sambil menutup wajahku dengan buku yang tadi
aku ambil. “Kamu baik – baik saja?” tiba – tiba suara lelaki mengagetkanku. Aku cepat – cepat
mengusap air mataku dan menurunkan buku yang aku jadikan topeng sejak tadi. Laki – laki ini
lagi, laki – laki yang menegurku dan membuat aku takut kembali ke sini. “Ma…ma…maaf aku
akan segera mengembalikannya” ucapku bersiap mengembalikan buku yang aku pegang. “Tidak,
ikut aku sekarang” ucapnya yang langsung menarikku pergi, ia membawaku ke rooftop
Gramedia.

Aku baru sadar bahwa Gramedia punya roftoop seindah ini, benar – benar indah aku terkesan
dibuatnya. “Duduklah disini” ucap lelaki itu mempersilahkan aku duduk di satu – satu nya
bangku yang ada disini. Akupun menurutinya. “Maaf lancang membawamu kesini, aku hanya
ingin menanyakan sesuatu, kemarin kamu tidak datang kesini aku takut hari ini kamu malah
kabur seperti yang kamu lakukan dua hari lalu, dan maafkan aku juga telah berbicara terlalu
kasar padamu saat itu” ucap lelaki itu. Hening menerpa, aku tidak berniat menjawab
perkataannya, suasana disini lebih menarik bagiku. “Namaku Rian, boleh aku bertanya satu hal?
Apakah benar mengenai mimpimu yang ingin menjadi seorang penulis?”. Darahku seperti
berhenti mengalir, aku kaget bukan main dan langsung menatapnya bingung “Maaf, aku tidak
bermaksud sok tahu hanya saja aku menemukan notes ini dan tidak sengaja membacanya, lebih
tepatnya sengaja sih” ucapnya sambil menunjukkan notes biru kecilku. “Kamu mengambilnya?”
ketusku. “Tidak…tidak, saat pertama kali aku menegurmu lalu kamu beranjak mengembalikan
buku yang kamu baca notes ini terjatuh dari tasmu”. Aku segera merampas notes kecil itu.
“Terimakasih” ucapku singkat. “ Hehe iya sama – sama, boleh tahu siapa namamu?”tanyanya
lagi. Kali ini aku menoleh padanya “Dyra” jawabku sambil memaksakan senyumanku. “Wah
nama yang bagus, apa kamu tidak berkeinginan mewujudkan mimpi mu Dyra?”. Aku menunduk
mendengarnya ”Tidak” bohongku. “Tapi, kenapa? Tulisan – tulisan motivasimu di notes itu
benar – benar indah” ucapnya lagi. Ya, aku memang menulis sedikit kata - kata motivasi singkat
di notes itu. “Lalu, apa yang kamu lakukan ketika mimpimu dihancurkan oleh orang yang ingin
kamu banggakan?” ucapku sambil memandangnya dengan air mata yang sudah diujung kelopak.
Rian terkejut menatapku, tiba – tiba saja Rian memelukku “Menangislah jika itu membuatmu
tenang”. Dan begitulah terjadi, aku menangis sepuasnya dalam pelukan Rian, di sore hari itu juga
pertama kalinya aku menceritakan kisah hidupku pada seseorang. Rian jugalah yang mengobati
luka memar di pipiku bekas tamparan ibu semalam. Kalian tahu? Dia sangat bersemangat
menyemangatiku untuk menulis cerita kembali. Dan akhirnya setiap hari di rooftop ini, Rian
menemaniku menggoreskan garisan - garisan huruf yang aku ikat dengan makna - makna tersirat.

3 bulan berlalu, dan hari ini adalah hari dimana penerbit akan mengumumkan layak atau
tidaknya bukuku untuk diterbitkan. Namun, semesta berkata lain, penerbit mengembalikan
karanganku. Ini bukan pertama kalinya, selama 3 bulan ini akupun aktif ikut lomba menulis
namun tidak pernah sekalipun aku memenangkannya. “Rian, aku berhenti saja ya” ucapku lirih.
“Seharusnya aku menuruti perkataan ibu saat itu, aku tidak akan pernah bisa menjadi seorang
penulis, aku tidak memiliki kemampuan seimbang seperti kak Marchella atau penulis lainnya”
ucapku lagi dengan suara bergetar menahan tangis. Tiba – tiba Rian pergi begitu saja. “Apa Rian
marah padaku? Ya, sudah pasti begitu, dia sudah menghabiskan waktunya selama 3 bulan ini
untuk menemani aku yang masih bodohnya memaksakan mimpiku ini” batinku.

Tiba – tiba Rian kembali dengan membawa sebuah botol air mineral kosong. “Dyra coba
kamu perhatikan botol bekas air mineral ini. Aku menatap sekilas botol itu lalu kembali menatap
Rian dengan tatapan bingung. “Coba kamu ibaratkan botol ini adalah kamu, jika botol ini diisi
dengan air mineral pasti akan dijual seharga 3-5 ribuan, jika botol ini diisi jus mangga mungkin
akan dijual seharga 10 ribuan, jika diisi madu harganya bisa 100 ribuan, jika diisi minyak wangi
terkenal harganya bisa mencapai jutaan, namun jika diisi dengan air got tidak akan berharga
sama sekali. Dengan botol yang sama, namun bernilai beda karena isinya. Sama seperti kamu
dan para penulis lainnya kalian dan kita semua ini sama – sama manusia, yang membedakan
kesuksesan kita adalah tingkat usaha dan kerja keras kita. Kamu tau, penulis – penulis yang
bukunya dipajang di rak – rak Best Seller itu, sebelum itu mereka berjuang keras menulisnya,
pasti banyak tantangan yang mereka hadapi, lihat buku Konspirasi Alam Semesta karya kak
Fiersa Besari, ia harus melewati fase – fase patah hati terdalam dulu untuk akhirnya bisa
merangkai kata dalam aksara yang indah. Semua orang memiliki keunikan dan kelebihan masing
– masing. Jangan putus asa Dyra, jangan menyerah, Tuhan saja tidak melihat kita berdasarkan
kemampuan kita, tetapi Tuhan melihat kita dari bagaimana akhlak kita. Lalu sekarang, kamu
yang tentukan, Dyra ingin jadi yang mana?”. Aku terpaku mendengarnya, “Aku ingin menjadi
minyak wangi” ucapku tegas. “Kalau begitu ayo berusaha lebih keras lagi” ucap Rian
menyemangati, aku mengangguk antusias dan kembali menggoreskan mimpi – mimpiku.

3 bulan berlalu, buku ku dinyatakan layak untuk diterbitkan. Aku senang sekali, mimpiku
terwujud, hubunganku dengan ibu membaik, perekonomian keluarga juga semakin membaik.
Bukuku terbit dengan judul “ Goresan Mimpi “.

Jadi, dari cerita ini aku hanya ingin menyampaikan bahwa kita semua berhak bermimpi,
begitu pula untuk meraihnya. Jangan selalu merendah diri, membanding – bandingkan diri
sendiri dengan orang lain, jangan mudah pula berputus asa. Yang membedakan sukses atau
tidaknya manusia dilihat dari seberapa kuatnya kamu untuk tidak menyerah, seberapa jauhnya
kakimu melangkah, seberapa fokusnya matamu menuju, seberapa banyaknya tanganmu meminta
kemudahan pada-Nya disepertiga malammu, karena kamu yang menentukan sendiri nilai dirimu
ingin menjadi minyak wangi atau air got yang tak bernilai? Semua itu balik lagi pada dirimu.
Karena, kamu yang tentukan. 

“ Gak sedikit yang berhasil sampai ke mimpinya karena beruntung. Tapi beruntung bukan untuk
semua orang. Beberapa harus bangun lebih pagi, kerja lebih keras, gagal lebih sering dan
mencari lebih lama untuk dapat porsinya.” – Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini.

“TAMAT”

Anda mungkin juga menyukai