Anda di halaman 1dari 4

1

SALAH SANGKAH
Sampai kapan bayangan itu mengikuti setiap langkahku? Menyeberang lautan dan
bahkan benua pun telah kulalui, namun ternyata bayangan itu tetap bersamaku. Padahal
kutahu, tak pernah ada perhatian tertuju kepadaku, apalagi isyarat kasih. Kalau toh ada itu
tertuju untuk puspa, adikku, bukan untukku.Telah kusadari itu sejak lama. Telah kucoba
mengubur benih simpatik yang ternyata justru makin bersemi. Tak ada gunanya aku
menyalahkan adikku puspa yang laksana bunga mekar nan indah. Tak salah jika setiap
kumbang menengok ke arahnya. Juga tak bisa kusalahkan jika matadensi berpaling
kearahnya. Entah ini untuk yang ke berapa kalinya, tapi kali ini aku merasa tersakiti. Namun,
bagaimana aku bisa protes, sedang kata cinta belum pernah terucapkan untukku. Mungkin aku
terlalu cepat menangkap sinyal yang terlontar dari mata Dendi, yang sesungguhnya hanya
ingin berteman denganmu.
Aku bersama Puspa bertemunya di sebuah café. Saat itu diia memang belum mantap
kerja, meski pendidikan kelautan telah diselesaikannya. Kehangatan pribadinya menawan
hatiku dan kesungguhan sikapnya member nilai lebih pesona pribadinya. Tetapi, nyatanya
Puspa-lah yang lebih menarik perhatiannya***Kukemasi alat-alat lab dan begegas untuk
pulang. Kusambar mantel tebalku karena udara diluar membeku. Masih kulihat tumpukkan
salju di sana sini. Ranting-ranting pohon pun masih tertutup salju. Kukayuh sepeda dengan
hati hati. Salju yang telah mencair membuat jalanan menjadi licin. Suasan yang redup
menambah senduhnya suasana hatiku. Betapa aku meras sebatang kara di sebuah negara
maju, tempatku belajar. Alam jepang memang menambat hatiku, tetapi kesepian tak bisa
terusir pergi.
“Empat tahun?” tanya Dendi menatapku. Pasti Puspa sudah menceritakan rencanaku
meraih S-3 di jepang.“ Itu kalau lancer, mungin bisa lebih lama, “kataku tertahan. Memang
lebih baik aku pergi, daripada menyaksikan Puspa bersanding denganm Dendi. Aku tak
sanggup menatap kenyataan itu. Harusnya aku berani menagatakan pada Puspa bahawa aku
mencintai Dendi, dan rasanya bukan persoalan yang sulit jika Puspa mencari laki-laki lain.
Tapi tak pernah bisa keluar dari mulutku, hingga keberangkatanku ke Nagoya.
Anehnya, kabar pernikahan mereka tak pernah tersiar. Sudah tahun kedua aku berada
di Nagoya, tanpa pernah sekalu pun pulang ke tanah air. Telah kucoba membuka diri, tapi
bayangan Dendi selalu berdiri di samping setiap laki-laki mendekati. Aku mungkin telah gila,
mencintai kekasih adikku secara membabi buta. Kurang apakah Ridwan, yang sebentar lagi
menjadi hikase (doctor) di bidang pertenakan? Adakah yang salah pada Budiman yang tak
jemu-jemu mendekatiku? Terus terang dengan lelaki jepang, aku sama sekali tak tertarik.
Mereka hanya berteman berdiskusi, yang mampu membuka cakrawala pemikiranku. **Aku
memutuskan untuk menikah. Kumohon izin melangkahi Mbak Citra dan kutunggu
kepulangannya. “sebuah pesan singkat kubaca lewat e-mailku. Kupelototi kata demi kata
2

untuk meyakinkan. Akhirnya berita itu datang. Puspa menikah dengan Dendi dan aku akan
selalu bertemu dengannya adik iparku. Duh, Tuhan biarlah aku membenamkan diri di Negeri
Sakura ini, Jika hamparan pulang hanya menorah luka di hati.
“Ibu rindu padamu. Pulanglah Citra, sekalian menyaksikan pernikahan Puspa,” suara
ibu tersendat sendat di telepon.“Bagaimana kalau kesibukan di sin tak bisa kutinggalkan,”
kataku beralasan.“Kerjakan mulai sekarang sehingga saatnya nanti bisa selesai dan kamu bisa
pulang. Ibu benar-benar mengharapkan kehadiranmu,” kata Ibu membujukku. Sejak Ayah
meninggal, Ibu menjadi rapuh. Tegakah menolak itu, hanya karena persoalan hati dan
perasaan semata? “Akan aku usahakan,” akhirnya perkataan itu keluar dari mulutku.
Penerbangan yang terasa mentiksa kuakiri dengan menginjakkkan kakiku di kota kelahiranku.
Namun, siksaan yang lebih berat masih harus kuhadapi, aku dating pula dua hari sebelum hari
H-Nya. Tuhan, Kuatkan hatiku demi ibuku, demi kasih sayangnya yang tulus kepdadaku.
Demi menghargai rasa bangganyaa padaku. Ternyata pelukan dan lelehan airmatanya
menguatkan hatiku.
Aku memilih berada dikamar, ketika pengantin pria datang dan ijab akan segera
dilaksanakan. Kucoba berbincang dengan hatiku, agar mau menerima kenyataan ini.
Bagaimana harus kusapa Dendi yang sekarang menjadi adik Iparku? Ucapan selamat macam
apa yang akan kuberikan? Dan ekspresi wajah apa yang akan kutampilkan untuk menyaksikan
kebahagiaan Puspa dan Dendi? “Upacara Ijab Kabul sudah selesai, tidaklah engkau ingin
mengucapkan selamat pada pasangan pengantinnya?” tanya Ibu Sareh.“Percayalah, tak ada
orang yang akan melecehkanmu. Orang justru akan menghargai kebesaran hatimu.” Kata Ibu
membimbingku ke luar. Ternyata di luar kamar, suasana bahagia justru menyeruak. Aku bagai
seorang pesakitan yang dibimbing ketiang pancungan. Kupeluk Puspa yang tampil sangat
cantik. Dan kukuatkan hatiku untuk menatap wajah suaminya…. Mataku terbelak tak percaya.
Laki-laki muda tampan itu tersenyum dan hormat kepadaku dan dia bukan…. Dendi.
“ini mbak Citra,” kudengar suara Puspa berkata kepada laki-laki disampingnya itu.
Aku masih terpana, ketika tangan itu menjabatku. Jadi Puspa bukan menikah dengan
Dendi.“Lantas hubungan dengan Dendi …..? akhirnya perkataan itu berani kutarakian.“Dia
sudah seperti kakakku sendiri. Sayangku padanya seperti adik terhadap kakak. Mbak piker
aku pacaran sama Mas Dendi?”“Jadi….?”“Mbak Citra sih terlalu dingin, sehingga Mas Dendi
selalu ragu. Rasanya hanya pencapaian prestasi belaka yang ada di benak Mbak,” kata Puspa
seperti menohokku. Aku tak ingin memperpanjang perdebatan dengannya, karena
demikianlah adanya.
“Lantas di mana dia sekarang?” tanyaku setengah mungkin“Dia merasa tidak dihargai,
begitu Mbak berangkat dulu. Setahun lalu dia dating untuk pamitan,” kata Puspa seperti
mempermainkan perasaanku.“Kemana dia?” tanyaku gagap“Mengelilingi dunia.”“Untuk
apa?”“Dia bekerja di kapal pesiar asing,” Penjelasan akhir Puspa memendamkan
3

harapanku.“Puspa mengapa kau tak pernah menjelaskan semua ini padamu?” sesalku
menghantam dinding hatiku.“Perlukah itu?”
“Jangan menghakimi, Puspa.”“Habis Mbak Citralah yang selalu menuduhku merebut
teman laki-laki Mbak. Padahal aku punya selera yang lain.“tak pernah aku menuduhmu
seperti itu,” sanggahku cepat.“Mata Mbak tak bisa berbohong,” kata Puspa lirih.“Betulkah?”
Puspa tak sempat menjawabnya, karena tiba-tiba Burhan, Suaminya masuk. Aku cukup tahu
diri. Kupeluk Puspa dengan ketulusan seorang kakak, ada kesal yang hanya terucap dalam
hati. Ternyata Puspa tak seburuk yang kubayang*** Aku di terpa perasaan sepi di tengah
keramaian pesta pernikan Puspa. Kucoba m enyunggikan senyum dan bergurau bersama
sanak saudaraku. Namun, betapa susahnya membohongi hati. Ada penyesalan yang diam-
diam bagai merajami hati, betapa aku telah menyia-nyiakan sebuah hati dan kesempatan.
Kuputuskan untuk menyelinap pergi.
Semilir angin malam semakin memberi kesejukan di hatiku, sedikit memberiku
ketenangan. Ah ….. kubayangkan hari-hari mendatang yang pasti akan terbalut oleh sepi.
Andai waktu bisa kuputar ulang, andai mata batinku buta, pastilah saat ini Dendi ada di
sampingku.“Aku mencemaskanmu,” Kata Puspa mendekatiku. Kuhela nafas
panjang.“Mengapa Mbak tinggalkan ruang pesta? Ada yang ingin kusampaikan pada Mbak,”
katanya hati-hati.“Bukankah masih ada hari esok. Nikmatilah pesta pernikahaanmu,” kataku
mencoba mengalihkan pembicaraan. “Esok aku berangkat bulan madu ke Bali. Katanya
singkat, “Aku …. Bisa merasakan galau hati Mbak Citra. Maafkan, jika aku terlambat untuk
berterus terang,” kata Puspa br=erdiri di sampingku. Aroma untaian bunga melati semerbak
tertiup sepoi angin.
“Maaf jika aku terlalu centil waktu itu. Kuakui betapa aku merindukan seorang figur
kakak laki-laki pada diri teman-teman Mbak Citra. Rasa iru juga mempereratkan aku dengan
Mas Dendi. Namun akhrinya aku sadar, tak selamanya aku boleh bersikap seperti itu. Burhan
yang menyadarkanku,” kata Puspa membuatku menoleh ke arahnya.“Aku senang mendengar
pengakuanmu,” kataku menggenggam tangannya.“Mungkin bukan Dendi yang akan menjadi
jodohku,” lirih suaraku bergema dalam hati.“Itukah yang Mbak inginkan?”“Apalagi….?
Bukankah dia selalu berpindah dan tak terlacak keberadaannnya?”“Cinta tak mengenal jarak.
Dia dekat dengan kita,” kata Puspa meyakinkan.“Maksudmu…?”“Aku manikah dengan
saudara Mas Dendi.,” begitu pasti suara Puspa di telingaku.“Puspa… benarkah?”
“Jika tak percaya, carilah laki-laki yang berpakaian adat Jawa yang duduk di samping
seorang inu yang mengenakan baju biru. Mata Mbak Citra telah kabur oleh kegalauan
sehingga tak melihat laki-laki yang Mbak cinta itu,” katanya seraya menyeret tanganku
memasuki ruang pestalagi. Kuikuti pandangan Puspa ke arah besan duduk. Kutajamkan
mataku untuk mengamati laki-laki yang duduk di samping wanita sepuh berbaju biru. “Yang
di samping itu adalah ibunya. Kapalnya sedang merapat di Boston dan Mas Dendi terbang
4

dari sana untuk mengahdiri pernikahanku saat kukatakan Mbak Citra pulang,” kata Puspa
samar di telingaku. Pandanganku nanar melihat kea rah laki-laki itu. Dendi duduk tenang
dalam balutan pakaian daerah, pantas aku tak mengenalinya. Berdegup jantung kursakan.“
akan kupanggilkan di kemari,” kata puspa tanpa tanpa mengindahkanku. Tak sempat aku
mencegahnya. Dan dengan tenangnya pengantin itu lepas berjalan sendiri menghampiri
Dendi. Sungguh dan bukan pemandangan yang lazim. Puspa melakukan itu demi untukku.
Maka ketika Dendi berdiri dan melangkah ke arahku, aku merasakan betapa Puspa telah
melakukan yang terbaik untukku. Kasih sayang telah menghapus salah sanka yang selama ini
telah meraja di hatiku.

Anda mungkin juga menyukai