Anda di halaman 1dari 3

TINTA EMAS UNTUK BAPAK

Siang itu, kulangkahkan kaki ini bergerak mengiring menuju hamparan luas sebuah
gundukan tanah perbukitan. Anganku mulai menyelinap polos memaksa berhenti kak, ketika aku
memandang sayu dari kedua mata ovalku, pada ranting-ranting kecil yang digeluti asap hitam
pekat mengepul berhias api yang melalap garang.

Matahari tersenyum dibalik bukit, sesekali meleleh dari sela-sela pohon. Aku
memandang dengan gamang. Angin bergegas pergi oleh kedatanganku. Makhluk-makhluk yang
lain pun ketakutan, sehingga aku benar-benar sendiri, ditempa hening daun-daun mandi cahaya.

Tiba-tiba jantung ini bergetar ketika pundakku tersentuh tangan berat dan kasar,
sepertinya sosok laki-laki. Ketika aku menoleh ternyata, sosok laki laki paruh baya berkumis
tebal dan berpeci putih, pertanda ia sudah berhaji.
“Kau memilih setia dengan rumput dan bukit ini?” tanya lelaki itu.
“Aku sedikit heran dan tak mengerti apa maksud perkataan lelaki tersebut, mulutku tak
mampu berkata karena dihimpit ketakutan dan sama sekali tak mengenal sosok lelaki
itu.” pikirku.
“Namamu siapa? Dan siapa orang tuamu? Tega benar memaksa anak perempuannya
bekerja dan berpanas-panasan!” seru lelaki itu kembali.
“Namaku Ani, bapakku Parman!” jawabku sambil berpura-pura sibuk menarik-narik
rumput.
“Kau anak perempuannya Parman! Seorang peghutang itu!” cetusnya.
Aku terperangah seolah tak menghiraukan, meskipun sedikit penasaran.
“Ah . . . kau tak boleh tau! Urusanku masih panjang dengan bapakmu.” jelas lelaki itu.
“Namamu tak seindah nasibmu!” protes lelaki itu.
“Apa kuasamu, menggariskan nasib orang!” sahutku sambil beranjak meninggalkan
lelaki itu.

Tak terasa matahari sedikit condong kebarat, memaksaku pulang kerumah setelah peluh-
peluh keringat membungkus tubuhku. Kudapan tersaji diruang tengah beralaskan tanah dengan
dinding anyaman bambu, sederhana namun menghangatkan. Begitu besar kasih sayang emak,
membuatku terharu dengan banyaknya kerutan diwajah emak dan deretan uban termakan usia.

Fajar menyapa, saatnya pergi ke sekolah. Kukenakan pakaian seragam, kupandangi


wajah bulat dengan alis tipis seperti semut beriring, kubelah dan kukepang rambutku menjadi
dua. Nampak cantik dan rapi

Aku berpamitan dengan kedua orang tuaku yang berada di kandang ayam peliharaan
kami. Bapak pun terdiam hanya menyodorkan tangan kanan. Beliau memang irit kata-kata,
bagaikan air yang mengalir tenang.
Sepulang sekolah, sejenak melenyapkan lelah. Wulan temanku, adalah gadis manis
bermuka terang seperti bulan, menyodorkan surat tentang kegiatan sedekah bumi yang akan
berlangsung di Desa Wiroto (nama desa kami). Sedekah bumi merupakan ritual tradisi taunan
sebagai wujud rasa syukur terhadap alam yang ada di bumi . Sebagai anugrah Tuhan YME.
Berbagai kegiatan seperti, kethoprak, silat, panjat pinang, lomba pidato, dan rebana. Berbagai
kesenian inilah menjadi tradisi turun temurun. Aku lebih tertarik mengikuti lomba berpidato.

Malam kembali bersua, saatnya menunaikan sholat terawih. Berjalan sendirian menuju
mushola, membuatku benar-benar ketakutan, hanya nampak beberapa cahaya titik obor milik
para pencari jangkrik. Sesampainya dirumah kumatikan lampu teplok yang berada dikamarku
berukuran dua kali dua meter.

Tiga hari berlalu sisa waktu penutup dibulan ramadhan. Takbir menggema, tak terkecuali
keluargaku menyambutnya dengan suka cita. Seperti biasa, tampak sibuk merangkai ketupat
untuk kami jual, dalam menyambut perayaan bulan awal syawal atau tradisi syawalan disebut
“Riyoyo kupat”. Tradisi ini turun temurun ditengah-tengah era globalisasi. Aku pakai ponselku
untuk memosting ketupat.

Tiba-tiba mataku berkunang-kunang, langkahku sempoyongan, dan tersungkur. Kepalaku


membentur pohon jati di sudut rumah. Melihat sosok Haji Komar berada di ruang tengah. Aku
benci dengan apa yang telah dilakukan Haji Komar kepada emak tentang hutang itu. Aku hanya
melihat rona kesalahan di wajah emak.

Malam itu emak terlihat melamun, lampu teplok sebagai penerang ruangan diletakkan
diatas meja hampir mendekat wajahnya, patut emak bersedih. Wajar kiranya ia kehilangan
senyum. Tiga hari ini bapak tidak pulang.

Hiruk pikuk warga termasuk keluargaku memperingati dan merayakan sedekah bumi,
kecuali bapak. Dengan berbagai tradisi kuliner berbahan dasar ketan, antara lain Dumbek, Bugis,
Gemblong, dan Jenang disajikan berarak-arak menuju ke masjid sebagai bentuk rasa syukur
kepada Tuhan.

Meskipun tanpa kehadiran orang tua, aku bergaya dan berekspresi tampil percaya diri,
dan mampu menyelesaikan pidato bertemakan “Bahasa Indonesia sebagai Pembentuk Karakter
Bangsa”. Tema ini berlatar belakang penggunaan bahasa saat ini banyak memakai bahasa alay
daripada bahasa Indonesia sendiri sebagai bahasa nasional. Sesaat pengumuman dari beberapa
peserta aku dan kelima peserta termasuk yang terbaik. Dan akulah pemenangnya. Piagam dan
uang binaan diserahkan Bapak Lurah Wiroto.

Aku tidak boleh bertahan di balai desa ini, tempat ini telah menjadi saksi perjuanganku.
Sepucuk surat bersandar di belakang figura foto bapak. Aku tak kuasa, sendiku terasa ngilu,
menggerutu, miris mengasah luka. Aku menahan kabar kemenanganku, dan hanya mampu
memajang piala berdiri membisu seolah tak mampu membelah batu kesedihan dan membendung
air mata kepedihan.

Hatiku remuk, mulutku menjerit, dan ototku lunglai tak berdaya, ketika emak
menjelaskan hutang-hutang itu, dulu aku terlahir prematur dan harus dirawat di inkubator selama
dua bulan. Haji Maksumlah yang harus membiayai. Emak juga terbaring kritis di rumah sakit.

Waktu berjalan dengan rotasinya, aku melirik celengan kendi yang kutaruh disudut
kamarku. Aku timbang-timbang penuh harap, lalu aku banting. “Prakk!” bunyi celengan
memanggil emak, kami hitung-hitung dengan semangat. Kami berdua bahagia akhirnya dapat
menutup hutang itu.

Kembali teringat kata-kata bapak yang tersimpan dalam memori androidku. Lembar-
lembar uang kertas dalam amplop coklat sebulan lalu hadiah dari lomba pidato, telah aku tukar
dengan mesin sawah traktor mini. Sesuai impian bapak selama ini.

Disaat bunga-bunga kebahagiaan menabur hidup kami, kembali sontak linangan air mata
kesedihan. Aku menjerit terpaku tak kuasa menahan ketidakberdayaan pada sosok bapak.

“Pak Lurah menjelaskan, bapak telah dipulangkan oleh KBRI di Malaysia, ditemukan
tergeletak di pinggir jalan, identifikasi sementara akibat korban kecelakaan dan mengalami
kelumpuhan.

Aku dan emak seolah tak percaya bahkan lemah menerima semua ini, doa selalu terpatri.
Aku percaya suatu saat bapak akan sembuh dan aku siap mempersembahkan kado terindah untuk
bapak. Aku menikmati hari-hariku dengan merawat bapak, aku berusaha untuk selalu tersenyum.
Secarik kertas bertinta emas aku rangkai dengan hiasan air mata berbungakan cinta dan kasih
sayang dari seorang bapak.

Anda mungkin juga menyukai