Anda di halaman 1dari 7

Sang Mentari Yogyakarta

Cerah. Kata pembuka yang tepat untuk orang-orang mengucap setelah

mata melihat. Tetapi tidak untukku, Adinata. Kecerahan ini seakan hambar.

Duniaku kini terasa mendung, bak tiada sang penyinar hari. Mungkin ini karena

dia. Iya! Dia yang telah pergi dari hidupku, yang telah meninggalkanku. Dia

bukan seperti pria lain, dia pria yang jujur. Cara dia meninggalkanku pun sangat

jujur, namun.....menyakitkan!

Dua hari yang lalu, tepat hari jadi kita yang ke dua tahun. Kekasihku,

Sandi mengajak makan malam di Abhayagiri dimana pertama kali kita bertemu.

Hatiku berdegup kencang, kaki pun bergetar hebat. “Oh Tuhan! Begitu

romantisnya pujuaan hatiku ini”, ucapku dalam hati. Aku berhias secantik

mungkin, lebih cantik dari sang ratu istana negeri demi sang pangeran hati. Aku

pun bergegas menuju restoran itu. Ternyata, Sandi belum ada disana. Aku pun

menunggunya, dan berfikir Sandi akan memberi sebuah kejutan untukku. Seketika

harapan itu meredup. Sandi datang dengan seorang wanita cantik. Ia

menghampiriku dan berkata,”Maaf, Adinata. Aku mencintai Dara, aku harap kau

menerima keputusan ini”. Dia pergi bersama wanita lain. Tubuhku kaku. Aku tak

sanggup berkata. Hanya berharap, ia akan menghampiriku dan menjelaskan

bahwa ini hanya gurauan semata.

Dalam hati ku menghitung. Satu.. Dua.. Tiga. Iya! Sandi kembali di

hadapan ku. Ia berkata lagi,”Aku lupa, hanya ini yang bisa ku beri. Sebuah surat

untukmu. Surat undangan pernikahanku bersama Dara. Sampai bertemu satu


minggu yang akan datang. Aku sangat mengharap kehadiranmu. Sampai jumpa

Adinata”.

Bila hati ini terlihat, mungkin semua orang akan mengetahui betapa

sakitnya menjadi aku. Hati ini memar, teriris, tersayat, retak, patah, bahkan hancur

berantakan dibuatnya. Tak ku sangka, kesetiaan ku selama ini tak dianggapnya.

Rasa sayang ku terabaikan olehnya, bagaikan sebatas angin lalu.

...

Seperti biasa, hari ini aku pergi ke kampus dimana aku kuliah. Tepatnya di

Universitas Gajah Mada. Meskipun hatiku hancur, aku tetap tegar. Selalu

tersenyum seakan semua baik-baik saja, sejenak menyembunyikan rasa sakit ini

dihadapan teman-teman. Namun sahabatku mengetahui bahwa aku sedang

menyembunyikan sesuatu. Aku tak dapat membohonginya. Air mata seketika

menetes, aku luapkan segala amarah ku padanya. Aku jelaskan peristiwa

menyakitkan ini.

“Yaampun, Adinata. Betapa jahatnya Sandi. Gue gak nyangka dia bakal

ngelakuin hal ini ke lo. Lo gak boleh nangis! Lo harus bangkit. Masih banyak di

luar sana yang jauh lebih baik dari dia. Gue paham apa yang lo rasain, Nat” Ujar

Vania, sahabatku.

“Gue gak segampang itu Van ngelupain orang yang bener-bener gue

sayang. Dua tahun itu gak sebentar untuk ngejalanin waktu sama Sandi. Itu cukup

lama Van. Itu berat buat gue. Lo gak tau rasanya ini gimana. Lo gak tau seberapa

besar sayang gue ke dia” Jawabku sambil menangis.


“Adinata, dengerin gue. Gue tau lo sayaaaaaang banget sama Sandi. Gue

tau lo gak mau pisah sama dia. Tapi lo harus inget, kita sebagai wanita hidup

bukan untuk dijajah pria. Bukan untuk jadi mainan mereka. Lo udah diperlakuin

segini kejamnya. Pokoknya Lo harus move on! Lo gak boleh gini-gini terus. Buat

apa lo mikirin orang yang udah jelas-jelas gak mikirin lo. Gak guna! Mending lo

lupain dia. Sekarang biar lo seneng, lo ikut gue ke Malioboro. Kita refreshing

sebentar meskipun gue tau lo masih sedih. Ini demi kebaikan lo, Adinata” Jelas

Vania guna menyemangatkanku.

...

14 Februari 2013. Pernikahan Sandi dengan Dara digelar. Hati ini

mendung, orang yang ku anggap sebagai mentariku telah pergi menyinari dunia

yang lain. Mungkin itulah dunia ia sebenarnya, dunianya bukanlah bersamaku.

Kini aku putuskan untuk menghadirinya. Karena aku masih tak sanggup untuk

menolah permintaannya, termasuk permintaan terakhirnya setelah ia

memutuskanku.

Ijab kabul itu telah terlaksana. Mereka sah menjadi sejoli sehidup semati.

Sandi menatapku dari kejauhan, ia tampak sangat bahagia. Aku turut bersuka cita

meskipun pada kenyataannya, hatiku menderita. Tak ada air mata yang ku

teteskan saat itu, sekalipun saat bersalaman memberi selamat atas kemenangan

mereka menjadi sebuah keluarga. Karena aku tahu dan percaya, Sandi akan sedih

bila melihat air mata membasahi pipi.


“Hey” terdengar mengagetkan. Ternyata seorang lelaki berdiri di dekatku.

Aku tak mengenal siapa dirinya. “Kamu temannya Sandi?” sambung lelaki itu.

“Teman?” Aku terdiam, berfikir kini aku hanyalah seorang teman bagi

Sandi. Tiada lagi kata spesial untukku. “kok ngelamun lagi? Aku lagi ngomong

sama kamu lho. Aku Dino, sahabat Sandi” katanya.

“Eh, maaf. Iya, aku Adinata temannya Sandi” jawab ku singkat.

“Namanya cantik, secantik pemiliknya” Kata Dino. Aku hanya tersenyum,

menganggap itu hannya sebuah pujian biasa.

“Inikan hari berbahagianya Sandi. Kok kelihatannya kamu sedih ya?

Harusnya turut bahagia dong” Sandi melanjutkan.

“kamu gak usah sok tau deh” Aku menjawab dengan juteknya. Dino terus

menggodaku. Aku lelah menanggapinya, akhirnya aku pun langsung pulang. Dari

kejauhan Sandi melihatku sambil melambaikan tangannya. Senang sekali

tentunya, namun sudah seharusnya aku kurungkan perasaan itu. Karena Sandi

sudah memiliki pendamping hidupnya. Aku tak bisa mengusiknya.

...

Sore ini Aku pergi ke taman kota. Mencari udara segar, menyegarkan otak

yang penuh kepenatan. Tiba-tiba terdengar seseorang memanggilku. Namun, tak

menampakkan batang hidungnya. Aku mengabaikannya. Tetapi terulang lagi,

sepertinya Aku tak asing dengan suara itu. Ketika ku coba tuk mengingatnya,

orang itu menutup mataku dari belakang. Entah mengapa aku terfikir oleh Dino,
lelaki yang menyebalkan namun membuatku nyaman. Tangan itu perlahan

terlepas dari mataku. “Hey” Dino mengucap kata yang sama seperti awal

pertemuan itu. “Kamu!” Aku tekejut melihatnya. Aku hanya membayangkannya,

bukan mengharapkannya berada di sisiku. Aku benci dia!

“Kamu lagi sedih ya? Kok kamu sedih terus sih?” Tanya Dino.

“Kamu itu sok tau banget sih!” Jawaabku kesal.

“Adinata, kamu jangan bohongi perasaan kamu. Semua itu terlihat dari

wajahmu, terutama matamu. Matamu tak pernah bohong, Adinata” Dino berkata

penuh perhatian. Ia melanjutkan perkataannya,”Kamu kenapa? Kamu bisa cerita

sama aku kok”.

Adinata tak berkutik. Ini baru pertemuan kedua, tapi berhasil menyinari

hatinya. Ada apa ini sebenarnya? Bisakah ini disebut cinta? Mungkin kah itu

terjadi? “gak gak gak! Gak mungkin, Adinata. Ini gak mungkin” batinku dalam

hati.

“Adinata? Kok ngelamun terus sih? Dulu ngelamun, sekarang ngelamun”

Kata Dino menyadarkanku.

“Apasih? Kita baru kenal. Kita baru dua kali ketemu. Kamu jangan sok tau

deh.jangan sok kenal sok deket gitu!” Aku mencoba menjawabnya dengan acuh.

“Emang salah? Aku Cuma mau jadi teman kamu kok. Aku gak tega

lihatkamu selalu sendiri. Tapi, kalau kamu anggap aku salah karena aku sok tahu.

Aku minta maaf, kita bisa mulai dari awal deh” Dino mulai menjelaskan dan
mencairkan suasana. “Aku minta maaf ya, Adinata. Sebagai permintaan maafku,

nanti malam datang ya ke alun-alun kota. Ini kan malam minggu, pasti ramai. Biar

kamu gak kesepian” Dino melanjutkan dengan lembutnya.

“aku....” perkataanku tersendat. Dino memotong perkataanku,”sssst. Gak

baik lho nolak permintaan maaf orang”. Dino tersenyum dengan wajah manisnya.

Aku tak dapat menolak ajakan itu, terluluhkan oleh kata-katanya. Dan aku pun

mengiyakannya. Tak lama kemudian, aku beranjak pulang. Ditemani Dino

tentunya.

...

Pukul 19.00. Dino telah menungguku di depan rumah. Aku tak mengira ia

akan menjemputku malam ini. Ia sangat tampan meskipun memakai baju biasa.

Bukan seperti kencan bila dilihat dari pakaiannya. Namun aku tetap nyaman

bersamanya.

Alun-alun kota malam ini berbeda. Tak seperti malam-malam sebelumnya.

Tatanannya sama, bahkan ramainya pun sama. Mungkin yang membuatnya beda

adalah ada Dino di sisiku. Meskipun hanya makan jagung bakar dengan

memandang langit, aku sangat merasa bahagia. Hatiku mulai bangkit, mulai

terang, dan bernyawa. Dino benar-benar sang mentari bagiku.

“Adinata?” suara lembut itu meyapaku.

“Iya, Dino?” aku menjawabnya dengan lembut. Sama halnya ia

mengatakan itu padaku.


“oh kirain ngelamun lagi” Dino tertawa kecil. “Aku senang kamu mau

memaafkanku dan menemaniku malam ini”.

“Aku sebenarnya gak marah kok sama kamu. Jadi kamu gak perlu minta

maaf. Tapi aku juga senang, aku tak merasa sepi lagi” jawabku.

“Kamu kalau ada masalah, cerita aja ke aku. Aku siap jadi pendenfar yang

budiman untukmu. Apasih yang enggak untuk kamu?” Lagi-lagi Dino mulai

menggodaku. Ia tak kehabisan kata untuk membuatku tertawa. Nyaman. Itulah

yang aku rasa ketika bersamanya.

...

Vania turut bahagia dengan suasana hatiku. Aku telah mengenalkannya

satu sama lain. Senang rasanya Vania merestuiku dengan Dino. Tapi, apa yang

direstui? Aku tak memiliki status dengan Dino. Teman? Bukan, ini lebih dari

teman. Pacar? Bukan juga, Dino tak pernah menembakku. Enam bulan aku

bersamanya, tapi belum ada kejelasan status.

“Jadi, lo belum pacaran sama Dino?” tanya Vania terkejut. Aku hanya

menggelengkan kepala.

“Adinata, lo itu harus minta kejelasan dari Dino. Lo gak bisa digantungin

gini. Ini namanya lo di-PHP-in sama dia” Lanjut Vania menegaskan.

Anda mungkin juga menyukai