mata melihat. Tetapi tidak untukku, Adinata. Kecerahan ini seakan hambar.
Duniaku kini terasa mendung, bak tiada sang penyinar hari. Mungkin ini karena
dia. Iya! Dia yang telah pergi dari hidupku, yang telah meninggalkanku. Dia
bukan seperti pria lain, dia pria yang jujur. Cara dia meninggalkanku pun sangat
jujur, namun.....menyakitkan!
Dua hari yang lalu, tepat hari jadi kita yang ke dua tahun. Kekasihku,
Sandi mengajak makan malam di Abhayagiri dimana pertama kali kita bertemu.
Hatiku berdegup kencang, kaki pun bergetar hebat. “Oh Tuhan! Begitu
romantisnya pujuaan hatiku ini”, ucapku dalam hati. Aku berhias secantik
mungkin, lebih cantik dari sang ratu istana negeri demi sang pangeran hati. Aku
pun bergegas menuju restoran itu. Ternyata, Sandi belum ada disana. Aku pun
menunggunya, dan berfikir Sandi akan memberi sebuah kejutan untukku. Seketika
menghampiriku dan berkata,”Maaf, Adinata. Aku mencintai Dara, aku harap kau
menerima keputusan ini”. Dia pergi bersama wanita lain. Tubuhku kaku. Aku tak
hadapan ku. Ia berkata lagi,”Aku lupa, hanya ini yang bisa ku beri. Sebuah surat
Adinata”.
Bila hati ini terlihat, mungkin semua orang akan mengetahui betapa
sakitnya menjadi aku. Hati ini memar, teriris, tersayat, retak, patah, bahkan hancur
...
Seperti biasa, hari ini aku pergi ke kampus dimana aku kuliah. Tepatnya di
Universitas Gajah Mada. Meskipun hatiku hancur, aku tetap tegar. Selalu
tersenyum seakan semua baik-baik saja, sejenak menyembunyikan rasa sakit ini
menyakitkan ini.
“Yaampun, Adinata. Betapa jahatnya Sandi. Gue gak nyangka dia bakal
ngelakuin hal ini ke lo. Lo gak boleh nangis! Lo harus bangkit. Masih banyak di
luar sana yang jauh lebih baik dari dia. Gue paham apa yang lo rasain, Nat” Ujar
Vania, sahabatku.
“Gue gak segampang itu Van ngelupain orang yang bener-bener gue
sayang. Dua tahun itu gak sebentar untuk ngejalanin waktu sama Sandi. Itu cukup
lama Van. Itu berat buat gue. Lo gak tau rasanya ini gimana. Lo gak tau seberapa
tau lo gak mau pisah sama dia. Tapi lo harus inget, kita sebagai wanita hidup
bukan untuk dijajah pria. Bukan untuk jadi mainan mereka. Lo udah diperlakuin
segini kejamnya. Pokoknya Lo harus move on! Lo gak boleh gini-gini terus. Buat
apa lo mikirin orang yang udah jelas-jelas gak mikirin lo. Gak guna! Mending lo
lupain dia. Sekarang biar lo seneng, lo ikut gue ke Malioboro. Kita refreshing
sebentar meskipun gue tau lo masih sedih. Ini demi kebaikan lo, Adinata” Jelas
...
mendung, orang yang ku anggap sebagai mentariku telah pergi menyinari dunia
Kini aku putuskan untuk menghadirinya. Karena aku masih tak sanggup untuk
memutuskanku.
Ijab kabul itu telah terlaksana. Mereka sah menjadi sejoli sehidup semati.
Sandi menatapku dari kejauhan, ia tampak sangat bahagia. Aku turut bersuka cita
meskipun pada kenyataannya, hatiku menderita. Tak ada air mata yang ku
teteskan saat itu, sekalipun saat bersalaman memberi selamat atas kemenangan
mereka menjadi sebuah keluarga. Karena aku tahu dan percaya, Sandi akan sedih
Aku tak mengenal siapa dirinya. “Kamu temannya Sandi?” sambung lelaki itu.
“Teman?” Aku terdiam, berfikir kini aku hanyalah seorang teman bagi
Sandi. Tiada lagi kata spesial untukku. “kok ngelamun lagi? Aku lagi ngomong
“kamu gak usah sok tau deh” Aku menjawab dengan juteknya. Dino terus
menggodaku. Aku lelah menanggapinya, akhirnya aku pun langsung pulang. Dari
tentunya, namun sudah seharusnya aku kurungkan perasaan itu. Karena Sandi
...
Sore ini Aku pergi ke taman kota. Mencari udara segar, menyegarkan otak
sepertinya Aku tak asing dengan suara itu. Ketika ku coba tuk mengingatnya,
orang itu menutup mataku dari belakang. Entah mengapa aku terfikir oleh Dino,
lelaki yang menyebalkan namun membuatku nyaman. Tangan itu perlahan
terlepas dari mataku. “Hey” Dino mengucap kata yang sama seperti awal
“Kamu lagi sedih ya? Kok kamu sedih terus sih?” Tanya Dino.
“Adinata, kamu jangan bohongi perasaan kamu. Semua itu terlihat dari
wajahmu, terutama matamu. Matamu tak pernah bohong, Adinata” Dino berkata
Adinata tak berkutik. Ini baru pertemuan kedua, tapi berhasil menyinari
hatinya. Ada apa ini sebenarnya? Bisakah ini disebut cinta? Mungkin kah itu
terjadi? “gak gak gak! Gak mungkin, Adinata. Ini gak mungkin” batinku dalam
hati.
“Apasih? Kita baru kenal. Kita baru dua kali ketemu. Kamu jangan sok tau
deh.jangan sok kenal sok deket gitu!” Aku mencoba menjawabnya dengan acuh.
“Emang salah? Aku Cuma mau jadi teman kamu kok. Aku gak tega
lihatkamu selalu sendiri. Tapi, kalau kamu anggap aku salah karena aku sok tahu.
Aku minta maaf, kita bisa mulai dari awal deh” Dino mulai menjelaskan dan
mencairkan suasana. “Aku minta maaf ya, Adinata. Sebagai permintaan maafku,
nanti malam datang ya ke alun-alun kota. Ini kan malam minggu, pasti ramai. Biar
baik lho nolak permintaan maaf orang”. Dino tersenyum dengan wajah manisnya.
Aku tak dapat menolak ajakan itu, terluluhkan oleh kata-katanya. Dan aku pun
tentunya.
...
Pukul 19.00. Dino telah menungguku di depan rumah. Aku tak mengira ia
akan menjemputku malam ini. Ia sangat tampan meskipun memakai baju biasa.
Bukan seperti kencan bila dilihat dari pakaiannya. Namun aku tetap nyaman
bersamanya.
Tatanannya sama, bahkan ramainya pun sama. Mungkin yang membuatnya beda
adalah ada Dino di sisiku. Meskipun hanya makan jagung bakar dengan
memandang langit, aku sangat merasa bahagia. Hatiku mulai bangkit, mulai
“Aku sebenarnya gak marah kok sama kamu. Jadi kamu gak perlu minta
maaf. Tapi aku juga senang, aku tak merasa sepi lagi” jawabku.
“Kamu kalau ada masalah, cerita aja ke aku. Aku siap jadi pendenfar yang
budiman untukmu. Apasih yang enggak untuk kamu?” Lagi-lagi Dino mulai
...
satu sama lain. Senang rasanya Vania merestuiku dengan Dino. Tapi, apa yang
direstui? Aku tak memiliki status dengan Dino. Teman? Bukan, ini lebih dari
teman. Pacar? Bukan juga, Dino tak pernah menembakku. Enam bulan aku
“Jadi, lo belum pacaran sama Dino?” tanya Vania terkejut. Aku hanya
menggelengkan kepala.
“Adinata, lo itu harus minta kejelasan dari Dino. Lo gak bisa digantungin