Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ni Kadek Suarmini

NIM : 1812011017

Kelas : 6A

Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

TUJUH BELAS TAHUN

“Anna, aku minta maaf..” Ucapnya kala itu. Sembari menggamit lengan
perempuan tersebut. Perempuan yang ia temukan entah dari antah-berantah mana,

Seiring dengan langkahnya, perempuan tersebut hanya sesekali melihatku,


bukan dengan tatapan sinis, melainkan lebih mengarah pada pandangan iba. Aku
pun tidak serta-merta membencinya. Perasaanku waktu itu campur-aduk.
Seharusnya aku bisa saja menjambaknya kala itu, namun tentu hal tersebut
bukanlah tindakan wanita terhormat sepertiku. Ah, Pria yang dulu menyerahkan
hidup dan matinya kepadaku, kini berpaling tanpa mengindahkan hal-hal yang
pernah kita lalui bersama. Aku masih tidak percaya.

Lantas setelah hari berganti, aku disibukkan dengan tangisan serta


lamunanku. Sedikit merindukan tutur katanya yang jujur dan apa adanya, perilaku
baik yang membuatku akhirnya memutuskan untuk mau menerimanya, namun
dari keseluruhan itu, hal yang sulit untuk kulupakan yakni aroma wangi saat ia
berada di sekitarku. Alangkah baiknya Ibu yang tidak sampai hati menanyai
tentang sakit hati ini. Coba saja hal yang sedang menimpaku ini hanyalah sebuah
mimpi, pasti tanpa dipaksa, aku akan memilih buru-buru bangun.

Inilah ceritaku, ditinggal oleh sosok laki-laki yang telah bersamaku


bertahun lamanya, sedangkan di penggal hanya dengan 1 hari saja, ia ternyata
lebih memilih perempuan lain. Aku bahkan tidak memahami berapa lama ia
mengenal perempuan tersebut, memang kuakui parasnya lebih cantik daripada
aku. Badan tinggi semampai, kulit putih, dan rambut hitam legamnya terkesan
misterius.

“Ann, apakah kamu ingin menemui teman-temanmu? Sepertinya ia sudah


lama menunggu di luar.” Gumam Ibu pelan-pelan dari balik pintu kamar. Aku tak
berencana mengisolasikan diri, hanya saja semuanya melaju begitu cepat, hingga
tak ada ruang bagiku untuk bernafas dengan lega.

“Annn…. Aku membawakan Nasi Goreng kesukaanmu nih..” Pekik suara


yang tak asing lagi, Amanda. Salah satu teman dekatku dan pria itu. Ia merupakan
saksi cinta kami berdua.

Dengan langkah gontai, aku membuka pintu kamar pelan-pelan, Amanda


dengan tawa ceria yang ia paksakan, dan Ibu dengan beberapa guratan di samping
bibir kini tersenyum lega.

Di muka rumah ternyata sudah ada Amanda, Cika, dan juga Sindi, teman-
temanku yang ternyata sangat setia, melebihi kesetiaan pria itu.

“Bukan jodoh Ann, jangan terlalu dipikirkan.” Celetuk Sindi, sontak Cika
dan Amanda menyenggol sikutnya, nampaknya mereka takut menyinggung
perasaanku. Aku hanya tersenyum kecut, tak ingin pula tersinggung dengan
ucapan Sindi, karena memang perkataannya ada benarnya juga.

Memiliki mereka di sampingku, seakan-akan membuat beban hatiku


sedikit ringan. Aku masih ingat Cika dengan kesukarelaannya membantu acara
ulang tahunku, Sindi yang mengatur dekorasi, dan Amanda yang mengoreksi
dandananku. Aku bukan malu atau pun tersinggung, hanya saja kalau pria itu
bukanlah jodohku, dengan cara ia berlabuh ke perempuan lain, tentu saja situasi
ini teramat menyakitkan.

“Aku hanya tak menyangka kalau begini akhirnya..” Pungkasku pelan.


Sembari melirik Nasi Goreng favorit yang terkesan dingin dan membosankan.

Amanda menghela napas dalam-dalam. “Kami pun tak menyangka kalau


Andi seperti itu, ya karna kau tahu sendiri, kami bertiga pun sempat iri kepadamu
Ann. Andi sangat menyayangimu, segala apa yang kamu katakan, ia selalu
menuruti, ia bak pria sejati yang rasanya tidak mungkin akan berpindah ke lain
hati, apalagi dengan kemiripan nama panggilan kalian.” Gumam Amanda hati-
hati.

Cika dan Sindi mengangguk tanda setuju.


Benar, aku pun tak menyangka. Perilakunya, tutur-katanya, kebaikannya
selama itu, membutakan hati kecilku. Diam-diam aku merindukan moment-
moment bahagia bersamanya, selama aku memiliki hubungan, ia tak pernah sekali
pun marah kepadaku, bahkan ketika aku sedang dalam suasana hati yang buruk, ia
selalu menghibur dan sukarela menjadi pelampiasan amarahku.

Sebetulnya, aku mendapati perempuan tersebut mendatangiku 1 minggu


sebelum acara ulang tahun ke-17 ku yang disebut sweet seventeen merupakan
angka yang dianggap spesial bagi para remaja. Ketika aku pertanyakan kepada
Andi, Andi membenarkan dan mengembalikan segala keputusan kepadaku. Aku
tentu saja marah kala itu, aku tak terima kalau ia seperti itu, aku yang
memutuskan tali percintaan itu, dengan harapan bahwa sosok sepertiku ini pasti
masih berpeluang mendapatkan pria yang jauh lebih baik darinya. Andi pasrah,
bahkan ia sama sekali tak terlihat sedang berusaha.

Aku tak habis pikir kalau kisah asmaraku akan seironis ini.

“Sebetulnya kenapa sih Andi seperti itu? Apa dia dipelet ya?” Ucap Cika
sambil mulai menyendokkan nasi goring favorit ke dalam mulutnya. Amanda
dengan keheranan lantas mengernyit,

“Masa iya sih dipelet?” Celetuk Sindi tak percaya.

“Apa mungkin Andi memang menemukan sesuatu dari diri perempuan


tersebut yang tidak dimiliki oleh Anni.” Tambah Sindi pelan. Aku tahu pasti
maksudnya hanya ingin beropini realita dan menyanggah dugaan Cika. Namun
perkataan tersebut kembali membuat sikunya kini disenggol keras oleh Cika dan
Amanda.

“Ssttt.. Apa sih kalian..” kepada Cika dan Amanda. Amanda hanya
memelototinya.

Aku terdiam. Tak ingin membenarkan ucapannya, namun tentunya ucapan


tersebut membuat diriku introspeksi sejenak. Selama aku berpacaran dengannya,
aku lah yang mendominasi, Andi seakan-akan mengikuti kemana arahku berhenti,
ia tak pernah komplain. Aku yang mulai mengutuk badanku yang membesar,
membuat Andi serta-merta membelikanku berbagai obat diet yang kudapati
iklannya di media sosial, ia juga tak henti-hentinya memujiku dan membesarkan
hatiku. “Anna, kau cantik apa adanya.” Ucapnya kala itu. Aku menjadi pribadi
yang pemurung. Secara tidak sadar, aku mulai memahami bahwa sifatku yang
pemarah dan kerap membentak, Andi lah korbannya. Seperti yang diucapkan oleh,
Amanda, Cika bahkan Sindi, semuanya iri kepadaku karena aku memiliki pria
yang tahan banting, mencintaiku, dan juga mengharapkanku.

Bahkan Andi dengan sikap bijaksananya itu, selalu melindungiku dari


segala mara-bahaya. Aku rindu dengan kebaikannya. Bahkan saat mendapatinya
sedang berselingkuh dengan perempuan lain, aku sama sekali tak merasa dia
merebut Andi dariku. Aku hanya merasa bahwa kini Andi mulai menyadari
kekuranganku. Sontak air mataku menetes, Amanda menyadarinya, segera ia
mengambil tissue dan mengusapnya. Cika dan Sindi sedikit menenangkan.
Tangisanku semakin terisak, kini aku merasakan bahwa aku tak hanya kehilangan
sosok pria, namun aku juga kehilangan sosok yang benar-benar mencintaiku apa
adanya, seperti apa yang ia ujarkan kala itu.

“Ann… maafin aku, apa karna ucapanku?” Sindi merasa bersalah. Tidak.
Aku sama sekali tak tersinggung dengan ucapannya, aku hanya sedang marah
dengan diriku sendiri. Sontak aku memeluk Sindi sambil tersedu-sedu. Hatiku
lara, kini aku mulai menyesal.

Angin sore bersama senja keungu-unguan itu semakin membuatku merasa


sendu.

Mungkin saja saat itu, Andi merasa ragu-ragu. Ragu-ragu apakah ia harus
selalu mengalah di sepanjang hidupku. Karna untuk pria seperti Andi, aku yakin
bahwa dirinya mencari yang terbaik sejak remaja. Sayangnya, ternyata bukanlah
aku orangnya. Kini ia tak lagi melabuhkan cinta itu kepadaku. Baginya,
mencintaiku adalah sebuah kesalahan.

Ia meninggalkanku.

Karena ketidakmampuanku untuk memahaminya.

Karna ada sosok yang lebih peduli terhadapnya dibandingkanku.


Diam-diam aku merasa rindu padanya. Ia hanya berujar maaf dan kalau
memang tak dapat diperbaiki, ia pun ingin pergi. Singkat, padat, dan sangat jelas.
Ia tak membela diri dan menumpahkan segala kesalahan kepadaku.

Dadaku semakin sesak, sayup-sayup aroma tubuhnya kembali tengiang-


ngiang.

Ku nikmati kerinduanku padanya. Memang benar apa kata mereka di luar


sana, manusia tidak akan pernah tahu cara menghargai sebelum ia merasakan
sebuah kehilangan.

Anda mungkin juga menyukai