Anda di halaman 1dari 6

Kenalan

Pada siang hari itu, di saat air sungai berkilauan tersentuh sinar mentari. Aku tidak
sengaja berpapasan dengan seorang anak perempuan yang manis seumuranku. Berpakaian
gaun biru yang pantas untuk kulit putih langsatnya. Dia sedang berjongkok di pinggir sungai,
memberikan dendeng ikan pada kucing. Aku ingin mengenalnya, berharap kami bisa menjadi
teman dekat.

“Hai, aku Desi. Siapa namamu?” Aku mendekati dan menyapa.

Menunggu beberapa saat, dia tetap menghiraukan keberadaanku.

“Apa kamu menyukai kucing?” Aku bertanya padanya karena dia tidak membalas
sapaan.

Dia malah pergi tanpa memandangku sekalipun. Aku tidak akan biarkan dia pergi
begitu saja tanpa mengucap sepatah kata sekalipun.

“Tunggu!” Aku berteriak dan mengejarnya.

Dia kabur dan berlari sekencang mungkin. Aku tidak mengerti apa yang salah sampai
dia harus kabur dariku, padahal aku bukanlah hantu yang semengerikan itu. Sepertinya
dimata orang lain kami adalah teman dekat yang sedang bermain kejar-kejaran. Kejar-
kejaran dengan semangat penuh di siang hari yang terik. Napasku semakin tersendat-sendat,
ingin sekali berhenti berlari. Namun, aku tidak menyerah sekalipun sampai menangkap
bahunya. Aku akhirnya dapat menghela napas lega.

Tetapi entah kenapa, tiba-tiba kaki kiri ku terkilir sehingga tubuhku tidak kuat
menahan untuk tidak jatuh menimpanya. Aku menutup mata untuk pasrah apapun terjadi
selanjutnya.

Bruk..!
Aku membuka mata perlahan dan merasa seluruh badanku tidak sakit. Aku bersyukur
karena tidak mengalami luka sekalipun. Kemudian, aku mendengar suara seseorang yang
berteriak marah.

“Minggir!”

Tiba-tiba saja aku menyadari bahwa ada orang lain yang jatuh bersamaan denganku.
Aku langsung berdiri dan sangat merasa bersalah kepadanya. “Maafkan aku, sungguh aku
tidak sengaja tadi.”

“Pergilah!”

Dia, yang aku sebut anak perempuan manis menyuruhku pergi. Aku masih diam
berdiri. Menatapnya yang membersihkan gaun biru yang dipakai karena kotor terkena tanah.
Bersamaan dengan itu, aku tidak sengaja melihat dahi kirinya yang sedikit berdarah.

Aku teringat tentang hal yang akan dilakukan Mamaku jika aku terluka, sehingga
akupun mulai mendekatinya lalu berjinjit dan meniup dahi kiri anak perempuan tersebut,
tempat lukanya berada. Tetapi, dia menepisnya.

“Apa yang kamu lakukan!?” Dia mengeluarkan nada tinggi dan mundur beberapa
langkah dariku.

Aku melihat tanganku yang memerah karena tepisan tangannya. Kemudian,


meniupnya juga. Aku merasa perih di tanganku sedikit berkurang.

“Aku hanya membantu meringankan sakit dari lukamu dan sebagai permohonan
minta maafku.” Ujarku kepadanya setelah meniup tanganku yang memerah.

Dia tertegun, lalu menghardik. “Siapa yang peduli atas hal bodoh yang telah kamu
lakukan itu!?”

2
“Tentu saja beberapa orang yang percaya.” Lanjutku, “lagipula apa kamu tidak
menyadari meniup tempat luka itu sedikit meringankan rasa sakit? Bahkan Mamaku sering
melakukannya ketika aku terluka sebelum diobati dengan obat.”

“Aku bukan membahas itu!” Bentaknya.

“Lalu?”

“Jangan mencoba mendekati ku!”

Aku memiringkan kepala, heran. “Kenapa?”

“Ke-kenapa..,” Dia masih bingung ingin menjawab seperti apa. “Te-tentu saja kamu
tidak boleh terlalu dekat dengan orang aneh.”

Aku menundukkan kepala, kembali minta maaf dan terus terang mengenai
identitasku. “Aku minta maaf kepadamu sebanyak mungkin. Walaupun menurutmu aku ini
orang aneh, tetapi kamu tenang saja. Aku anak perempuan yang bersekolah tidak jauh dari
sini, di SD Kemara kelas 3-A. Kalau perlu aku juga tunjukkan dimana aku tinggal sehingga
kamu tidak menganggap aku ini orang aneh. Dan hal yang terpenting, kalau kamu tidak
terima permohonan maafku, aku bisa membalas dengan hal lain.”

Kemudian aku mengangkat kepala untuk menatapnya yang masih kebingungan. Aku
mengajukan permohonan kepadanya.“ Lalu aku ingin kita menjadi teman, bisakah?”

Butuh beberapa detik sebelum dia membuka mulutnya dan menjawab dingin.
“Tidak.”

“Kenapa?”

“Karena aku tidak suka denganmu.”

“Apa yang harus aku lakukan agar aku disukai olehmu?” Tanyaku sambil
mendekatinya.

3
“Jangan mendekatiku!” Pekiknya.

Aku tersenyum dan melangkah mundur. Melihat wajahnya yang terlihat geram, takut,
dan khawatir membuatku terpikir sebuah ide. Ide untuk awal pertemanan atas larangan yang
diucapkannya. Mungkin terdengar keterlaluan, namun aku berharap ini berhasil. “Baiklah,
kalau begitu mulai sekarang kita teman. Dengan syarat aku tidak terlalu mendekatimu.”
Cetusku dengan mudah.

Dia menundukkan kepala seperti berpikir keras sebelum memutuskan. “Baiklah.”

Di dalam hati aku bersorak, akhirnya dia yang ingin aku jadikan teman menerima
pertemanan kami. Kemudian, aku dengan santai bertanya padanya. “Lalu siapa namamu? Oh,
dan di mana kamu bersekolah?”

“Aku Alia, dari SD Kemara kelas 3-D.” Ungkap Alia

“Wah, kita sekolah di tempat yang sama. Akan tetapi herannya aku tidak pernah
melihat kamu, Alia.” Tanggapku kepadanya dengan penuh senyum.

“Sebenarnya aku jarang masuk sekolah.” Jawab Alia dengan suara rendah.

Aku mengangguk-angguk kepala, berpikir bahwa mungkin Alia punya hal yang
menyebabkan jarang masuk sekolah. Mungkin akan menjadi hal sensitif jika aku bertanya
padanya. Jadi, aku tidak akan penasaran dan lebih baik menunggu sampai Alia sendiri yang
bercerita.

“Kalau begitu ayo kita cari toko untuk pergi beli minum dan plester untuk lukamu.”
Saranku.

Alia mengangguk dan berjalan mendahului.

Aku kembali tersenyum dan memikirkan bahwa pertemanan kami pasti bertahan lama
karena diawali kecelakaan. Bodohnya aku berpikir seperti itu. Akan tetapi, inilah aku yang
menjadi teman barunya Alia.

4
Tiba-tiba dalam perjalanan, Alia berhenti berjalan. Sontak aku ikut berhenti.

“Ada apa?” Tanyaku.

“Kamu belum aku maafkan sepenuhnya.”

Aku kebingungan menjawab. Apa Alia akan mengajukan sesuatu yang mustahil?
Kuharap aku masih dapat melakukannya dan kita tidak memiliki permusuhan.

Kemudian Alia memberi syarat, “kalau kamu menjadi temanku selamanya maka
permohonan maafmu akan aku terima.”

Aku mendesah lega, ternyata hanya itu. Aku pikir dia akan mengatakan apa. Aku
menjawab perkataan Alia dengan mengangguk-angguk kepala seperti burung beo. Kami
melanjutkan perjalanan dengan kali ini bergandengan tangan. Mungkin memang benar
ucapan Alia bahwa kami bisa menjadi teman selamanya. Itu menjadi harapan kami yang
tidak tergantikan.

Lalu, sesampainya di toko serba ada. Aku dengan Alia membeli dua minuman dingin
dan plester. Aku memasangkan plester di dahi kiri Alia yang terluka. Awalnya memang Alia
takut dan ragu, tetapi aku terus membujuknya dengan mengatakan tidak apa-apa. Kemudian,
kami minum minuman dingin yang beli. Di saat itu, kami saling berbincang mengenai
kehidupanku dan kehidupannya. Aku baru tahu bahwa Alia takut dengan pendekatan orang
lain yang tiba-tiba, apalagi jika seseorang menyentuhnya. Dan hal itu disebabkan Alia yang
takut berinteraksi orang lain sebab tubuhnya mudah sakit-sakitan dan dapat menyusahkan
orang lain.

“Alia, kamu tidak perlu takut menyusahkan orang lain karena kondisimu. Jika hal itu
yang menyebabkan kamu takut dekat dengan orang lain maka dengarkan aku baik-baik.
Kehidupan itu indah jika kamu berpikir itu indah. Kamu harus berpikir bahwa semuanya
baik-baik saja untuk mendapat hal terbaik.” Ungkapku kepadanya sambil diakhiri senyum
bahagia.

5
Aku berharap ungkapan yang aku keluarkan dapat meringankan beban yang selalu
dipikirkan bahkan ditakutkan Alia. Lalu benar saja, Alia kembali tersenyum. Kali ini dia
tersenyum lebar sehingga menular padaku.

“Terima kasih Desi.”

Identitas penulis Cerpen ‘Kenangan':

Nama : Saskia Bunga Anjani

Absen : 29

Kelas : 9-6

Anda mungkin juga menyukai