*** Usai membersihkan diri dan beribadah, kurebahakan diri ini di tempat favoritku. Aku tatap langit-langit kamarku sambil mengingat ucapan si gadis manis berambut ikal yang tak lain sahabatku Kaila, “Selama ini kamu pikir aku ini temanmu? Jangan mimpi kamu ya! Orang seperti kamu takkan pernah layak menjadi temanku!” Ucapannya penuh amarah. Aku tak mampu berkata–kata, terkejut dengan yang di ucapkannya, apalagi di depan orang banyak. Teganya dia melakukan hal ini padaku, tanpa aku tahu apa sebabnya. Entah apa yang terjadi padanya sebelum menemuiku tadi siang di perpustakaan sekolah. Kuembuskan napas dengan kasar sembari mendekap erat gulingku dan berharap segera terlelap dan melupakan hal memalukan itu. Drrtt! Drrtt! Getaran dari ponselku membangunkanku dan kuraih ponsel itu. Tama, kudapati nama itu tertera dalam layar ponselku. Kubuka pesan darinya yang menayakan keadaanku. “Aku baik–baik saja,” gumamku tanpa niat untuk membalasnya. Kubuka salah satu aplikasi media sosialku, setelah menggulir beberapa postingan, tak sengaja kulihat postingan dari Kaila, dia mengunggah sebuah gambar separuh dari sebuah buku berwarna merah yang aku yakini itu adalah bukuku. Dia menulis sebuah kalimat yang sangat melukai hatiku. “Tak Tahu Malu.” Begitulah isi postingan itu. Tanpa sadar aku meneteskan air mata, aku menangis sejadinya saat membaca postingan yang kupikir dia sahabatku. *** Keesaokan harinya, aku mencari Kaila untuk meminta kembali bukuku yang dipostingnya kemarin. Setelah hampir mengelilingi lingkungan sekolah kedapati dia di ruang Saserkam dan menghampirinya. Beberapa orang disamping Kaila memberi kode pada Kaila akan keberadaanku dan membuatnya menoleh padaku. Kaila langsung terdiam saat menyadari keberadaanku. Saat berada didekat mereka, “Kaila, tolong kembalikan buku catatan merahku.” Pintaku padanya. Kaila menatapku sinis sekali dan membuatnya segera mengambil sesuatu dari dalam ranselnya. Kemudian dia memberikan buku itu padaku tanpa mengatakan apapun. Kemudian dia hendak pergi tetapi aku mulai bertanya, “Kenapa buku ini bisa berada padamu? Bukankah kau lancang sekali mengambilnya tanpa izin?” Kaila menghentikan langkahnya dan mendekatiku dengan tatapan marah. “Dengar Ita, bukankah kau lebih lancang dengan mengoda Tama?” bisiknya padaku. Kemudian dia memberi jarak, “Padahal kau tahu dengan jelas bahwa aku menyukainya dan selalu berusaha mendekatinya, tanpa curiga aku padamu ternyata kau juga mendekatinya dengan dalih menolongku?” katanya dengan nada marah. Kemudian dia menatapku dengan lekat, “Jangan asal mengataiku, jika kamu tidak lebih baik dariku!” bentaknya dan meninggalkanku. Aku menatap beberapa orang yang berada diruangan Saserkam itu dengan tatapan seolah merendahkanku. Aku segera keluar dari ruangan tersebut dan berlari ke kamar mandi terdekat. Kumasuki salah satu biliknya dan menangis sejadinya disana. Setelah aku pahami amarahnya, Kaila salah paham akan kedekatanku dengan Tama. Tidak! Dia tidak salah paham. Pasti Kaila telah membaca isi dari buku catatan merahku ini. Sulit rasanya untuk menjelaskan semua ini. Sungguh aku tidak seperti yang dipikirkan oleh Kaila. Aku sungguh tidak pernah menggoda Tama. Setelah puas rasaku menangis, aku keluar dari bilik toilet ini dan menuju wastafel untuk membasuh wajahku. Kemudian kutatap wajah yang telahku basuh dikaca. “Astagfirullahhulazin, astagfirullahhulazim, astagfirullahhulazim, ya Allah tenangkan hatiku. Jauhkan dari rasa benci dan amarah. Bantulah aku untuk menjelaskan keadaan ini dan memperbaikinya.” Ungkapku pasrah. Setelah merasa lebih tenang, kulangkahkan kakiku menuju ruang kesehatan. Enggan rasanya harus kembali ke kelas dan mendapat tatapan penuh tanya dari semua orang, lebih baik aku beristrahat di ruang kesehatan. Kubuka pintu ruang kesehatan, kudapati Mbak Tanti, petugas kesehatan sekolah. Ia berada di balik mejanya dan menatapku penuh tanya. Aku mendekatinya dan duduk dihadapanya. “Mba Tanti izinkan saya untuk beristirahat disini.” “Kamu baik-baik saja Ita?” tanya Mbak Tanti. Aku hanya menatapnya sendu, rasa ingin kucurahkan semua didepannya tapi dia tidak akan mengerti. “Baiklah, istrahatlah sejenak. Biar aku buatkan surat izinmu,” ucap Mbak Tanti memberi izin. Lalu ia membuatkan surat izin untukku dan mengantarnya ke kelas. Aku terbaring dengan pikiran yang terus berkecamuk dalam kepalaku, membuat rasa lelah menjalar keseluruh tubuh hingga tanpa sadar aku terlelap. *** Aku terbangun dan merasa aku tiba-tiba berada ditaman bersama seorang laki-laki yang sudah kukenal sejak aku masih berusia lima tahun. Laki-laki itu membelakangi diriku sambil berkata, “Semua bukan salahmu. Berhentilah menyalahkan diri sendiri. Ini sudah menjadi takdirnya. Aku rasa diapun tidak ingin kau larut dalam rasa bersalah dan sedih. Tidakkah kau tahu bahwa dirinya sangat menyayangi dirimu Ita. Dia tidak akan tenang jika kau terus bersikap seperti ini,” ujarnya. Entah mengapa dia membelakangi aku. Kutatap punggungnya. Inginku menepuk punggungnya agar dia tak memungguiku. “Berhenti! Jangan mendekat. Nanti aku hilang kendali,” ujarnya mendengar langkah kakiku hendak mendekat padanya. Akupun menghentikan langkahku. “Bolehkah aku menghilang saja. Aku tak mampu untuk mengatakan hal ini pada Kaila. Dan mengapa kau mengatakan itu? Jangan! Tolong jangan melewati batas dan membuat semuanya menjadi sulit,” ujarku lirih dan tangisku tak terbendung lagi. Tama diam sesaat sebelum akhirnya dia benar-benar meninggalkanku sendirian. Kudengar seseorang memanggilku. “Ita, Ita. Ita!” “Ita bangun!” dengan nada yang sangat khawatir. Perlahan kubuka mataku dan kudapati MbaK TaNti berada disampingku. Digengamnya tanganku dengan erat. Mungkin ini caranya untuk membantu aku untuk tenang. “Astaga aku menangis saat tidur.” Sedikit tenang, aku mulai memberikan senyuman pada Mbak Tanti, tanda bahwa aku baik-baik saja. Ternyata aku bermimpi. *** “Assalammualaikum, aku pulang.” Aku membuka pintu rumahku. Salah satu kebiasaanku saat pulang sekolah. Meskipun aku tahu tidak ada Nini dan Tita yang merespons salamku, aku tetap melakukannya. Aku menghela napas gusar bila tersadar akan hal itu. Kemudian melangkah gontai hendak menuju kamar tidurku. Sebelum sampai kekamar, aku mampir ke kulkas sebentar untuk menenguk air dingin dengan harapan mampu mendinginkan hati dan kepalaku yang terasa begitu terbakar. Aku menatap ruang keluarga yang begitu lega dengan sofa yang begitu nyaman, menerbangkan kembali kenanganku bersama Nini dan Tita. “Kembalikan!” bentak Tita padaku saat dengan paksa aku merampas buku catatan merahnya. Aku hanya meledeknya dengan segera menghindar. Ditengah – tengah kami ada Nini yang hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Nini! Ita ngerampas diaryku Ni!” teriaknya lagi. Nini hanya berdehem sambil tersenyum dan berlalu meninggalkan keriuhan yang kami perbuat. “Assalammualaikum,” terdengar salam, ternyata Ayah datang dan membuyarkankan lamunanku. Namun, aku masih diam mematung di depan kulkas. Ayah tahu betul apa yang sedang aku rasakan saat ini. “Kamu baik-baik saja, Nduk?” tanyanya padaku sambil menaruh tas kerjanya di sofa yang tadi kupandangi. Aku menggelengkan kepala dan meletakkan botol air dingin yang tadi telah aku minum di meja dapur. Samar kudengar Ayah menghela napasnya. Perlahan aku menutup pintu kamar. Aku meletakkan tas di atas meja belajar dan duduk bersandar di lantai sembari memeluk erat tubuhku sendiri. Merasa sesak, bahkan entah berapa kali dan berapa lama aku menangis. Tanpa kusadari, ternyata hari berubah menjadi gelap. Sepertinya aku sempat tertidur. Aku duduk di samping tempat tidurku. Bahkan kamarku masih gelap, jendela kamarpun masih terbuka. Segera aku menghidupkan lampu dan menutup jendela. Kulihat jam menunjukkan pukul 19:35 WIB. “Astagfirullah. Aku melewatkan magrib!” Segera Aku melepas pakaian sekolahku dan menuju kamar mandi. Membersihkan diri, kemudian salat. Menumpahkan segala isi hatiku pada-Nya. Selepas itu, aku memutuskan untuk istirahat kembali, melupakan tugas dan memilih untuk tidur. Rasanya hari ini sangat melelahkan *** Seseorang memanggilku saat aku melewati gerbang sekolah, aku menoleh dan mencari tahu siapa yang memanggilku. Ternyata Jamal. Ada perlu apa dia memanggilku? “Ada apa?” tanyaku padanya. Lelaki itu memberikan sebuah map berwarna hijau transparan. Ku mencoba membaca sesuatu yang berada didalam map tersebut. Terima kasih dan sampai jumpa disana. Itulah isi dari map tersebut. Aku diam dan Jamal penuh tanya. Merasa tak nyaman dengan tatapanku, Jamal tersenyum, “Ini barang-barang dari loker Tita. Maaf harus kuberikan sekarang. Karena loker tersebut hendak digunakan oleh yang lain,” jelasnya padaku. Aku menerima map tersebut dan mencoba untuk tetap bisa tenang. “Terima kasih Jamal,” ujarku tanpa menatapnya, lalu hendak pergi meninggalkannya. Namun, Jamal menahanku. “Dengar Ita. Semua sudah terlalu lama jika kau tetap seperti ini. Bahkan toleransi guru-guru padamu saat ini sudah tidak seperti sebelumnya. Cepatlah kembali. Jangan terlalu terlarut dengan yang sudah terjadi. Sudah setahun Ita. Setahun! Jika kau terus begini. Hidupmu juga akan hancur Ita,” jelas Jamal. Aku menatapnya dengan padangan kosong. Kutepis tangannya dengan pelan. Kutatap mata Jamal, “Baiklah.” Hanya itu yang bisa kujawab. Aku bergegass pergi ke kelas, menyimpan map pemberian Jamal, lalu aku menelungkupkan wajahku dengan kedua tangan. “Baiklah, aku harus mulai dengan berdamai denganmu Tita,” ujarku pada diriku sendiri. *** Sepulang sekolah aku tidak langsung pulang kerumah, melainkan menuju ke Pemakaman Umum dimana Nini dan Tita dimakamkan. Aku membawa buket mawar merah kesukaan Nini dan Tita. Sesampai dipusara mereka aku mulai berjongkok dan membelai nisan nama Nini dan Tita secara bergantian. Kupejamkan untuk mendoakan keduanya. Kemudian pandanganku menuju pada pusara Tita. “Ta, hari ini Jamal mengosongkan lokermu. Katanya lokermu mau dipakai anggota lainnya. ‘Kan sudah kubilang dari dulu sama kamu, kalau Jamal bukan teman yang setia. Kamunya aja yang bego!” ujarku. “Baik dari mana coba!” kataku lagi dengan nada kesal dan mengejek. “Ta, tolong lepaskan aku. Sungguh sesak rasanya jika begini terus. Tama juga mengatakan hal yang sama padaku berkali-kali. Aku saja yang mendengarnya sampai bosan, apa lagi dia ya, Ta?” tanyaku pada batu nisan bertuliskan Tita Purnamasari. “ Ta, kamu benar tentang Tama. Tapi aku tidak. Tidak ada hati sama sekali, meskipun kamu yang minta Ta. Karena diary sialanmu itu! Kaila ikut-ikut menyudutkanku. Sudah aku yang belum bisa move on dengan keadaan ini eh, diarymu malah nambah-nambahin masalah.” Aku lelah berjongkok. Kemudian kuputuskan melepas sepatuku untuk di pakai sebagai alas duduk. “Kamu tahu Ta, aku merasa ini karma atas seringnya aku merampas diarymu dulu. Makanya aku mendapatkan masalah karenanya sekarang. Apa sudah impas sekarang?” kini aku menatap langit. Langit terlihat mulai mendung. “Aku rasa sebentar lagi akan hujan Ta. Aku pulang dulu ya. Mulai hari ini aku ingin menata kembali semuanya. Aku tidak mau mengacaukan masa depan dan mimpiku. Bye Ta, bye Nini.” *** Di sekolah, aku memutuskan untuk menemui Kaila terlebih dahulu. Aku harus segera meluruskan ini. Aku menuju ruang Saserkam dan ketemukan dia disana. Aku hanya berdiri di depan pintu membuat dia dan beberapa temanya menoleh padaku. “Kaila kita perlu bicara,” kataku padanya. Tanpa bertanya dia meraih tasnya dan menghampiriku. Saat berada dihadapanku dia berkata, “Aku lapar, kita bisa bicara di sana sekalian.” Aku mengikuti langkahnya menuju kantin sekolah. Aku membeli sebotol teh dan langsung duduk di salah satu bangku yang berada di sana. Sedangkan Kaila masih menunggu makanan yang dipesan olehnya. Beberapa saat kemudian dia menghampiriku dengan membawa nampan yang berisi semangkuk soto daging dan segelas es teh. Dia melahap makanannya langsung, sedangkan aku masih diam menunggu dia selesai menyantap makanannya. Setelah dia selesai meminum es tehnya aku langsung menaruh buku catatan merah milik Tita dihadapan Kaila. “Kamu salah paham. Buku ini bukan milikku. Aku hanya menyimpannya untuk kenang-kenangan saja,” aku membuka pembicaraan terlebih dahulu. Kaila yang baru saja selesai makan, mencerna setiap perkataanku. Terbukti dia hanya diam seolah menanti penjelasan lainnya. Aku menatap lekat pada buku catatan merah, “Buku ini milik Tita, saudara kembarku. Dia meninggal setahun yang lalu.” Kaila langsung merubah mimik wajahnya. Mengkin dia sedikit kaget akan kesalahpahaman yang dialaminya. “Tita sangat menyukai Tama sejak kami di TK. Kami berteman begitu lama, membuat Tita takut mengungkapkan perasaannya pada Tama. Kurasa, sebenarnya Tama mengetahui perasaan Tita, hanya saja dia takut untuk menolaknya. Jadilah semuanya menjadi diam tanpa ada yang membuatnya jelas. Sampai, hari naas itu tiba. Semuanya terhenti dan membuatku merasa terpukul sekali. Selang beberapa hari kepergian Tita, Niniku juga menyusul. Hal ini membuatku merasa berjalan diruang hampa,” jelasku padanya. Aku menatap Kaila, “Saat kamu datang dan mengangguku. aku mulai merasa tertarik kembali dari ruang yang gelap. Tetapi setiap kamu membahas tentang Tama dan mulai berkontak dengannya kembali membuatku tiba-tiba melihat seolah kamu itu Tita. Mmebuatku merasa kembali ke ruang gelap itu. Aku mengalami ganguan emosional kembali. Itulah alasan aku selalu meminum obat-obatan ini,” saku menunjukkan obat penenangku. Aku merasa lebih lega setelah mengatakan semuanya. Seolah semua beban di pungungku terasa lenyap tak bersisa. Aku menyenderkan pungungku disenderan kursi yang kududuki sedari tadi. Aku menunggu respon dari Kaila. Kaila mulai berdehem, “Jadi foto itu Tita?” Aku hanya menganguk menjawab pertanyaannya. “Baiklah. Maafkan aku.” Kaila tertunduk malu. Entah apa isi pikirannya saat ini. Namun, kurasa Kaila menerima apa yang kujelaskan atas kesalahpaham ini. “Apa itu terasa menyakitkan? Ganguan emosionalmu?” tanyanya lagi. Dan lagi-lagi aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya. Masih banyak lagi pertanyaan Kaila untuk memastikan keadaanku. Aku menjawabnya perlahan dan kami mulai bercanda lagi. Begitulah berakhirnya kesalahpahamanku dengan Kaila. Walaupun semuanya sudah jelas, namun untuk ganguan emosionalku masih perlu konseling lanjutan. Dan buku catatan merah milikku itu adalah kenang-kenangan dari seseorang yang membuatku mengalami keadaan ini. *** Biodata Penulis