Anda di halaman 1dari 8

Buku Catatan Merah

Oleh : Recha Mega Puspita S. Pd.


***
Usai membersihkan diri dan beribadah, kurebahakan diri ini di tempat favoritku. Aku
tatap langit-langit kamarku sambil mengingat ucapan si gadis manis berambut ikal yang tak
lain sahabatku Kaila, “Selama ini kamu pikir aku ini temanmu? Jangan mimpi kamu ya!
Orang seperti kamu takkan pernah layak menjadi temanku!”
Ucapannya penuh amarah. Aku tak mampu berkata–kata, terkejut dengan yang di
ucapkannya, apalagi di depan orang banyak. Teganya dia melakukan hal ini padaku, tanpa
aku tahu apa sebabnya. Entah apa yang terjadi padanya sebelum menemuiku tadi siang di
perpustakaan sekolah. Kuembuskan napas dengan kasar sembari mendekap erat gulingku dan
berharap segera terlelap dan melupakan hal memalukan itu.
Drrtt! Drrtt!
Getaran dari ponselku membangunkanku dan kuraih ponsel itu. Tama, kudapati nama
itu tertera dalam layar ponselku. Kubuka pesan darinya yang menayakan keadaanku.
“Aku baik–baik saja,” gumamku tanpa niat untuk membalasnya. Kubuka salah satu
aplikasi media sosialku, setelah menggulir beberapa postingan, tak sengaja kulihat postingan
dari Kaila, dia mengunggah sebuah gambar separuh dari sebuah buku berwarna merah yang
aku yakini itu adalah bukuku. Dia menulis sebuah kalimat yang sangat melukai hatiku.
“Tak Tahu Malu.”
Begitulah isi postingan itu. Tanpa sadar aku meneteskan air mata, aku menangis
sejadinya saat membaca postingan yang kupikir dia sahabatku.
***
Keesaokan harinya, aku mencari Kaila untuk meminta kembali bukuku yang
dipostingnya kemarin. Setelah hampir mengelilingi lingkungan sekolah kedapati dia di ruang
Saserkam dan menghampirinya. Beberapa orang disamping Kaila memberi kode pada Kaila
akan keberadaanku dan membuatnya menoleh padaku. Kaila langsung terdiam saat
menyadari keberadaanku. Saat berada didekat mereka,
“Kaila, tolong kembalikan buku catatan merahku.” Pintaku padanya.
Kaila menatapku sinis sekali dan membuatnya segera mengambil sesuatu dari dalam
ranselnya. Kemudian dia memberikan buku itu padaku tanpa mengatakan apapun. Kemudian
dia hendak pergi tetapi aku mulai bertanya,
“Kenapa buku ini bisa berada padamu? Bukankah kau lancang sekali mengambilnya
tanpa izin?” Kaila menghentikan langkahnya dan mendekatiku dengan tatapan marah.
“Dengar Ita, bukankah kau lebih lancang dengan mengoda Tama?” bisiknya padaku.
Kemudian dia memberi jarak, “Padahal kau tahu dengan jelas bahwa aku menyukainya dan
selalu berusaha mendekatinya, tanpa curiga aku padamu ternyata kau juga mendekatinya
dengan dalih menolongku?” katanya dengan nada marah.
Kemudian dia menatapku dengan lekat, “Jangan asal mengataiku, jika kamu tidak
lebih baik dariku!” bentaknya dan meninggalkanku. Aku menatap beberapa orang yang
berada diruangan Saserkam itu dengan tatapan seolah merendahkanku. Aku segera keluar
dari ruangan tersebut dan berlari ke kamar mandi terdekat. Kumasuki salah satu biliknya dan
menangis sejadinya disana.
Setelah aku pahami amarahnya, Kaila salah paham akan kedekatanku dengan Tama.
Tidak! Dia tidak salah paham. Pasti Kaila telah membaca isi dari buku catatan merahku ini.
Sulit rasanya untuk menjelaskan semua ini. Sungguh aku tidak seperti yang dipikirkan oleh
Kaila. Aku sungguh tidak pernah menggoda Tama. Setelah puas rasaku menangis, aku keluar
dari bilik toilet ini dan menuju wastafel untuk membasuh wajahku.
Kemudian kutatap wajah yang telahku basuh dikaca.
“Astagfirullahhulazin, astagfirullahhulazim, astagfirullahhulazim, ya Allah tenangkan
hatiku. Jauhkan dari rasa benci dan amarah. Bantulah aku untuk menjelaskan keadaan ini dan
memperbaikinya.” Ungkapku pasrah.
Setelah merasa lebih tenang, kulangkahkan kakiku menuju ruang kesehatan. Enggan
rasanya harus kembali ke kelas dan mendapat tatapan penuh tanya dari semua orang, lebih
baik aku beristrahat di ruang kesehatan. Kubuka pintu ruang kesehatan, kudapati Mbak Tanti,
petugas kesehatan sekolah. Ia berada di balik mejanya dan menatapku penuh tanya. Aku
mendekatinya dan duduk dihadapanya.
“Mba Tanti izinkan saya untuk beristirahat disini.”
“Kamu baik-baik saja Ita?” tanya Mbak Tanti. Aku hanya menatapnya sendu, rasa
ingin kucurahkan semua didepannya tapi dia tidak akan mengerti.
“Baiklah, istrahatlah sejenak. Biar aku buatkan surat izinmu,” ucap Mbak Tanti
memberi izin. Lalu ia membuatkan surat izin untukku dan mengantarnya ke kelas. Aku
terbaring dengan pikiran yang terus berkecamuk dalam kepalaku, membuat rasa lelah
menjalar keseluruh tubuh hingga tanpa sadar aku terlelap.
***
Aku terbangun dan merasa aku tiba-tiba berada ditaman bersama seorang laki-laki
yang sudah kukenal sejak aku masih berusia lima tahun. Laki-laki itu membelakangi diriku
sambil berkata, “Semua bukan salahmu. Berhentilah menyalahkan diri sendiri. Ini sudah
menjadi takdirnya. Aku rasa diapun tidak ingin kau larut dalam rasa bersalah dan sedih.
Tidakkah kau tahu bahwa dirinya sangat menyayangi dirimu Ita. Dia tidak akan tenang jika
kau terus bersikap seperti ini,” ujarnya. Entah mengapa dia membelakangi aku. Kutatap
punggungnya. Inginku menepuk punggungnya agar dia tak memungguiku.
“Berhenti! Jangan mendekat. Nanti aku hilang kendali,” ujarnya mendengar langkah
kakiku hendak mendekat padanya. Akupun menghentikan langkahku.
“Bolehkah aku menghilang saja. Aku tak mampu untuk mengatakan hal ini pada
Kaila. Dan mengapa kau mengatakan itu? Jangan! Tolong jangan melewati batas dan
membuat semuanya menjadi sulit,” ujarku lirih dan tangisku tak terbendung lagi. Tama diam
sesaat sebelum akhirnya dia benar-benar meninggalkanku sendirian. Kudengar seseorang
memanggilku.
“Ita, Ita. Ita!”
“Ita bangun!” dengan nada yang sangat khawatir. Perlahan kubuka mataku dan
kudapati MbaK TaNti berada disampingku. Digengamnya tanganku dengan erat. Mungkin ini
caranya untuk membantu aku untuk tenang.
“Astaga aku menangis saat tidur.”
Sedikit tenang, aku mulai memberikan senyuman pada Mbak Tanti, tanda bahwa aku
baik-baik saja. Ternyata aku bermimpi.
***
“Assalammualaikum, aku pulang.” Aku membuka pintu rumahku. Salah satu
kebiasaanku saat pulang sekolah. Meskipun aku tahu tidak ada Nini dan Tita yang merespons
salamku, aku tetap melakukannya.
Aku menghela napas gusar bila tersadar akan hal itu. Kemudian melangkah gontai
hendak menuju kamar tidurku. Sebelum sampai kekamar, aku mampir ke kulkas sebentar
untuk menenguk air dingin dengan harapan mampu mendinginkan hati dan kepalaku yang
terasa begitu terbakar. Aku menatap ruang keluarga yang begitu lega dengan sofa yang begitu
nyaman, menerbangkan kembali kenanganku bersama Nini dan Tita.
“Kembalikan!” bentak Tita padaku saat dengan paksa aku merampas buku catatan
merahnya. Aku hanya meledeknya dengan segera menghindar. Ditengah – tengah kami ada
Nini yang hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Nini! Ita ngerampas diaryku
Ni!” teriaknya lagi. Nini hanya berdehem sambil tersenyum dan berlalu meninggalkan
keriuhan yang kami perbuat.
“Assalammualaikum,” terdengar salam, ternyata Ayah datang dan membuyarkankan
lamunanku. Namun, aku masih diam mematung di depan kulkas. Ayah tahu betul apa yang
sedang aku rasakan saat ini.
“Kamu baik-baik saja, Nduk?” tanyanya padaku sambil menaruh tas kerjanya di sofa
yang tadi kupandangi.
Aku menggelengkan kepala dan meletakkan botol air dingin yang tadi telah aku
minum di meja dapur. Samar kudengar Ayah menghela napasnya.
Perlahan aku menutup pintu kamar. Aku meletakkan tas di atas meja belajar dan
duduk bersandar di lantai sembari memeluk erat tubuhku sendiri. Merasa sesak, bahkan entah
berapa kali dan berapa lama aku menangis. Tanpa kusadari, ternyata hari berubah menjadi
gelap. Sepertinya aku sempat tertidur. Aku duduk di samping tempat tidurku.
Bahkan kamarku masih gelap, jendela kamarpun masih terbuka. Segera aku
menghidupkan lampu dan menutup jendela. Kulihat jam menunjukkan pukul 19:35 WIB.
“Astagfirullah. Aku melewatkan magrib!” Segera Aku melepas pakaian sekolahku
dan menuju kamar mandi. Membersihkan diri, kemudian salat. Menumpahkan segala isi
hatiku pada-Nya. Selepas itu, aku memutuskan untuk istirahat kembali, melupakan tugas dan
memilih untuk tidur. Rasanya hari ini sangat melelahkan
***
Seseorang memanggilku saat aku melewati gerbang sekolah, aku menoleh dan
mencari tahu siapa yang memanggilku. Ternyata Jamal. Ada perlu apa dia memanggilku?
“Ada apa?” tanyaku padanya. Lelaki itu memberikan sebuah map berwarna hijau
transparan. Ku mencoba membaca sesuatu yang berada didalam map tersebut.
Terima kasih dan sampai jumpa disana.
Itulah isi dari map tersebut. Aku diam dan Jamal penuh tanya.
Merasa tak nyaman dengan tatapanku, Jamal tersenyum, “Ini barang-barang dari loker
Tita. Maaf harus kuberikan sekarang. Karena loker tersebut hendak digunakan oleh yang
lain,” jelasnya padaku.
Aku menerima map tersebut dan mencoba untuk tetap bisa tenang. “Terima kasih
Jamal,” ujarku tanpa menatapnya, lalu hendak pergi meninggalkannya.
Namun, Jamal menahanku. “Dengar Ita. Semua sudah terlalu lama jika kau tetap
seperti ini. Bahkan toleransi guru-guru padamu saat ini sudah tidak seperti sebelumnya.
Cepatlah kembali. Jangan terlalu terlarut dengan yang sudah terjadi. Sudah setahun Ita.
Setahun! Jika kau terus begini. Hidupmu juga akan hancur Ita,” jelas Jamal. Aku menatapnya
dengan padangan kosong.
Kutepis tangannya dengan pelan. Kutatap mata Jamal, “Baiklah.”
Hanya itu yang bisa kujawab. Aku bergegass pergi ke kelas, menyimpan map
pemberian Jamal, lalu aku menelungkupkan wajahku dengan kedua tangan.
“Baiklah, aku harus mulai dengan berdamai denganmu Tita,” ujarku pada diriku
sendiri.
***
Sepulang sekolah aku tidak langsung pulang kerumah, melainkan menuju ke
Pemakaman Umum dimana Nini dan Tita dimakamkan. Aku membawa buket mawar merah
kesukaan Nini dan Tita. Sesampai dipusara mereka aku mulai berjongkok dan membelai
nisan nama Nini dan Tita secara bergantian. Kupejamkan untuk mendoakan keduanya.
Kemudian pandanganku menuju pada pusara Tita.
“Ta, hari ini Jamal mengosongkan lokermu. Katanya lokermu mau dipakai anggota
lainnya. ‘Kan sudah kubilang dari dulu sama kamu, kalau Jamal bukan teman yang setia.
Kamunya aja yang bego!” ujarku.
“Baik dari mana coba!” kataku lagi dengan nada kesal dan mengejek.
“Ta, tolong lepaskan aku. Sungguh sesak rasanya jika begini terus. Tama juga
mengatakan hal yang sama padaku berkali-kali. Aku saja yang mendengarnya sampai bosan,
apa lagi dia ya, Ta?” tanyaku pada batu nisan bertuliskan Tita Purnamasari.
“ Ta, kamu benar tentang Tama. Tapi aku tidak. Tidak ada hati sama sekali, meskipun
kamu yang minta Ta. Karena diary sialanmu itu! Kaila ikut-ikut menyudutkanku. Sudah aku
yang belum bisa move on dengan keadaan ini eh, diarymu malah nambah-nambahin
masalah.”
Aku lelah berjongkok. Kemudian kuputuskan melepas sepatuku untuk di pakai
sebagai alas duduk.
“Kamu tahu Ta, aku merasa ini karma atas seringnya aku merampas diarymu dulu.
Makanya aku mendapatkan masalah karenanya sekarang. Apa sudah impas sekarang?” kini
aku menatap langit. Langit terlihat mulai mendung.
“Aku rasa sebentar lagi akan hujan Ta. Aku pulang dulu ya. Mulai hari ini aku ingin
menata kembali semuanya. Aku tidak mau mengacaukan masa depan dan mimpiku. Bye Ta,
bye Nini.”
***
Di sekolah, aku memutuskan untuk menemui Kaila terlebih dahulu. Aku harus segera
meluruskan ini. Aku menuju ruang Saserkam dan ketemukan dia disana. Aku hanya berdiri di
depan pintu membuat dia dan beberapa temanya menoleh padaku.
“Kaila kita perlu bicara,” kataku padanya. Tanpa bertanya dia meraih tasnya dan
menghampiriku.
Saat berada dihadapanku dia berkata, “Aku lapar, kita bisa bicara di sana sekalian.”
Aku mengikuti langkahnya menuju kantin sekolah.
Aku membeli sebotol teh dan langsung duduk di salah satu bangku yang berada di
sana. Sedangkan Kaila masih menunggu makanan yang dipesan olehnya. Beberapa saat
kemudian dia menghampiriku dengan membawa nampan yang berisi semangkuk soto daging
dan segelas es teh. Dia melahap makanannya langsung, sedangkan aku masih diam
menunggu dia selesai menyantap makanannya. Setelah dia selesai meminum es tehnya aku
langsung menaruh buku catatan merah milik Tita dihadapan Kaila.
“Kamu salah paham. Buku ini bukan milikku. Aku hanya menyimpannya untuk
kenang-kenangan saja,” aku membuka pembicaraan terlebih dahulu.
Kaila yang baru saja selesai makan, mencerna setiap perkataanku. Terbukti dia hanya
diam seolah menanti penjelasan lainnya. Aku menatap lekat pada buku catatan merah,
“Buku ini milik Tita, saudara kembarku. Dia meninggal setahun yang lalu.” Kaila
langsung merubah mimik wajahnya. Mengkin dia sedikit kaget akan kesalahpahaman yang
dialaminya.
“Tita sangat menyukai Tama sejak kami di TK. Kami berteman begitu lama, membuat
Tita takut mengungkapkan perasaannya pada Tama. Kurasa, sebenarnya Tama mengetahui
perasaan Tita, hanya saja dia takut untuk menolaknya. Jadilah semuanya menjadi diam tanpa
ada yang membuatnya jelas. Sampai, hari naas itu tiba. Semuanya terhenti dan membuatku
merasa terpukul sekali. Selang beberapa hari kepergian Tita, Niniku juga menyusul. Hal ini
membuatku merasa berjalan diruang hampa,” jelasku padanya.
Aku menatap Kaila, “Saat kamu datang dan mengangguku. aku mulai merasa tertarik
kembali dari ruang yang gelap. Tetapi setiap kamu membahas tentang Tama dan mulai
berkontak dengannya kembali membuatku tiba-tiba melihat seolah kamu itu Tita.
Mmebuatku merasa kembali ke ruang gelap itu. Aku mengalami ganguan emosional kembali.
Itulah alasan aku selalu meminum obat-obatan ini,” saku menunjukkan obat penenangku.
Aku merasa lebih lega setelah mengatakan semuanya. Seolah semua beban di
pungungku terasa lenyap tak bersisa. Aku menyenderkan pungungku disenderan kursi yang
kududuki sedari tadi. Aku menunggu respon dari Kaila.
Kaila mulai berdehem, “Jadi foto itu Tita?”
Aku hanya menganguk menjawab pertanyaannya.
“Baiklah. Maafkan aku.” Kaila tertunduk malu. Entah apa isi pikirannya saat ini.
Namun, kurasa Kaila menerima apa yang kujelaskan atas kesalahpaham ini.
“Apa itu terasa menyakitkan? Ganguan emosionalmu?” tanyanya lagi. Dan lagi-lagi
aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya. Masih banyak lagi pertanyaan Kaila untuk
memastikan keadaanku. Aku menjawabnya perlahan dan kami mulai bercanda lagi. Begitulah
berakhirnya kesalahpahamanku dengan Kaila. Walaupun semuanya sudah jelas, namun untuk
ganguan emosionalku masih perlu konseling lanjutan. Dan buku catatan merah milikku itu
adalah kenang-kenangan dari seseorang yang membuatku mengalami keadaan ini.
***
Biodata Penulis

Anda mungkin juga menyukai