Anda di halaman 1dari 5

INSIDE THE WHITE BOX

“Flying in a dream, stars by the pocketful”

Begitulah lirik musik Taylor Swift yang sedang ku dengar. Namun aku tak begitu fokus
kepada musik yang di putar saat ini. Kelopak mata ku bersusah payah untuk bertahan agar
tidak tertutup. Kepala ku masih berusaha untuk tetap tegak. Aku masih berusaha fokus untuk
belajar, walau harus menahan kantuk.

Fisik ku lelah, batin ku juga lelah. Belajar 12 jam sehari adalah makanan sehari hari ku. Ingin
rasanya terbang kedalam mimpi, melakukan banyak hal tanpa dipaksa. Atau menjadi
tumbuhan, yang tumbuh perlahan, menikmati proses demi proses dan tidak dipaksakan harus
tumbuh besok harinya.

Namun semua harapan itu sirna ketika aku teringat ‘dia’. Semua ini salahnya. Karena dia lah
yang membuat ku seperti ini. Rasa dendam yang masih ku simpan, hingga saat ini. Buku dan
kertas latihan soal berserakan di atas meja ku. Jam sudah menunjukkan pukul 02.16 dini hari.
Aku memutuskan menyudahi sesi belajar, lalu menyusun kembali buku buku dan kertas soal
dan memasukan barang yang akan ku bawa kesekolah besok.

Setelah semua selesai, aku pergi ke kamar mandi untuk melakukan “ritual malam” yang
hampir semua remaja perempuan melakukannya. Setelah dirasa cukup, aku berjalan menuju
kasur, tetapi atensi ku beralih kepada kotak antik bewarna putih di atas nakas. “Sejak kapan
aku memiliki kotak ini?” Aku duduk di pinggir kasur dan tangan ku terlatur mengambil kotak
tersebut.

Aku meneliti kotak ini, tidak ada tulisan atau surat dari luar. Baiklah, mari kita buka kotak
ini. Cahaya menyilaukan keluar dari kotak itu. Mata ku reflek tertutup. Perlahan aku
membuka mata. Tenpat apa ini? Mengapa tempat ini ganjil sekali?. Mataku meneliti tiap
sudut ruangan ini. Sepertinya ini kamar? Terdapat kasur yang tak begitu empuk saat
diduduki. Ada meja belajar di sudut kanan. Terdapat bola lampu yang pecah di bawah meja
itu. Lemari baju yang sudah lapuk. Tidak ada cermin di kamar ini. “Serem banget kamarnya.
Kayaknya sudah lama ga dihuni” Cahaya ramang remang yang masuk ke kamar ini
menambah kesan horrornya.

Kepala ku penuh dengan pertanyaan. Namun sepertinya aku harus segera menepis semua
pertanyaan itu terlebih dahulu. Ada yang lebih penting. Sembunyi! Aku mendengar suara
teriakan yang semakin mendekat dan suara tapak kaki menuju kamar ini. Aku memilih
bersembunyi di bawah kasur, hanya itu yang terbesit di otak ku. Pintu terbuka dan terdapat
seseorang sedang menyeret seorang anak perempuan dan memaksanya masuk kedalam kamar
ini.

Bugh!

1
Gadis kecil itu tersungkur kelantai. Sungguh tidak tega melihatnya. Namun aku bisa berbuat
apa?

“Dasar anak tidak berguna! Sudah saya katakan, harus menjadi yang pertama! Tapi ini apa
hah?” Suara bariton itu menggema diseliruh ruangan.

Isak tangisnya pun tak kunjung henti. Kata maaf selalu diucapkannya walau terdengar samar.
Terdengar suara kertas jatuh, dan jatuhnya tepat di berada di samping ku. Aku meraihnya,
lalu membukanya perlahan agar suara ku tidak terdengar. “Sertifikat penghargaan Science
Junior National Competition Juara 2, Kepada Rinjani Athala.”

Deg!

Mataku melotot, dan hampir saja teriak. Jani? Sungguh? Apakah mungkin? Aku tidak
percaya apa yang baru saja terjadi. Kakak ku, yang merupakan kebanggaan Papa dan Mama
mendapat perlakuan seperti ini? Tidak mungkin.

Tiba tiba di otak ku terbesit sebuah pernyataan. Aku kembali kemasa lampau. Saat dimana
aku berumur 10 tahun dan kakak ku berumur 12 tahun. Aku selalu mendapat perlakuan tidak
adil. Kakak selalu mendapat apapun yang dia inginkan. Perhatian, pujian, serta kepintarannya
yang membuat ku semakin terlupakan. Namun, disini semuanya terlihat berbanding terbalik
180 derajat.

Suara bantingan pintu mengejutkan ku sehingga aku tersadar dari lamunan ku. Sepertinya
orang tadi adalah papa ku. Dan papa sepertinya baru saja keluar. Masalah nilai, papa ku
sangat ambisius. Kami harus mau melaksanakan apapun yang disuruhnya. Awalnya aku
memang tidak diperlakukan seketat itu. Tetapi semenjak kakak sudah tidak ada, papa mulai
memaksaku menjadi seperti kakak. Dan aku sangat membenci hal itu.

Aku memberanikan diri untuk keluar dari bawah kasur. Terlihat kakak sedang duduk di sudut
belakang pintu. Saat tubuh aku berdiri sempurna dihadapannya, aneh. Dia seperti tidak
mempedulikan keberadaan ku. Aku berusaha menepuk pundaknya. Nihil, tangan ku tembus
ke badannya. Sepertinya aku memang tidak terlihat.

Baiklah, apa yang harus aku lakukan? Dia menangis. Tetapi aku tidak bisa menenangkannya.
Sekitar 15 menit berlalu, dan tidak ada perubahan. Aku tetap tidak tahu solusinya. Aku nuga
ingin kembali kemasa asli ku. Besok adalah ujian terakhir ku di kelas 11 SMA. Aku bisa
dimarahi habis habisan jika Papa tahu aku tidak di kamar.

Lamunan ku lagi lagi tehenti ketika gadis itu mengangkat kepalanya, lalu berjalan melewati
ku kearah meja belajar. Matanya sembab. Terdapat bekas tamparan di pipi kirinya. Hampir
saja ia terjatuh jika tidak menumpu pada kursi. Mejanya berantakan sekali. Buku paket,
kertas kertas soal, alat tulis, sumuanya berserakan. Ia menatap kosong semua itu. Aku
berjalan mendekatinya. aku meneliti setiap soal soal itu. Bahkan aku yang sudah biasa belajar
dari latihan soal ternganga melihat soal soal itu.

“Pantes saja aku tetap nggak bisa nandingin kepintaran dia.” Soal soal ini terlihat samgat
rumit. Dan dia dapat menyelesaikannya, dan mendapat nilai 100. Aku masih penasaran
dengan semua hal yang ada disini. Aku memutuskan untuk keluar kamar ini. Aku berjalan
melewati pintu dan menemukan tangga. Aku turun perlahan, bersiap dengan apa yang terjadi
selanjutnya.

2
Saat tiba di ujung tangga, terdapat pintu lagi, aku menatap heran kearah pintu. Tanpa berpikir
lama aku melewati pintu itu. Aku sangat terkejut dengan aoa yang aku lihat sekarang. Pintu
yang selama ini aku pikir adalah tempat kakak ku tidur dengan segala kemewahan karena
menjadi anak kesayangan papa. Kamar yang selalu aku terka terka seperti semewah dan
sebagus apa kamar kakak, dan kini aku tahu jawaban atas pertanyaan itu. Hati ku tergores
saat mengingat aku yang pernah membentak kakak ku saat kami dalam pertengkaran. Aku
tidak sadar, senyuman yang selalu ia kembangkan untuk ku, semua perhatiannya kepada ku,
itu semua memiliki makna lain. Aku selalu iri karena dia mendapatkan segalanya, namun
ternyata tidak. Mata ku berlinang air mata, namun segera aku tepis. Aku harus tahu apa
alasan aku kembali ke masa lalu.

Aku mulai menyusuri ruang tamu, melihat semua foto foto dan figura yang hanya
menampilkan foto prestasi kakak ku. Hanya ada satu foto aku, dan itupun di foto keluarga.
Aku tertawa miris. Mengapa kakak sebagai anak kesayangan diperlakukan seperti tadi?

Aku menatap kalender. Badan ku membeku seketika. Deg! 16 agustus 2016. Tepat pada
tanggal sial itu. Tanggal dimana aku bertengkar hebat dengan kakak ku, dan hari dimana aku
mulai di perlakukan secara kasar. Bagaimana ini? Aku tidak ingin kembali ke tanggal sial itu.

Saat masih membeku di tempat, aku terdengar suara langkah sepatu menuju kearah ku. Aku
memberanika diri untuk berbalik badan, dan ya, terdapat laki laki paruh baya menatap ke arah
ku secara intens. Tentu dia bukan melihat ku, mungkin?

Benar saja, dia tidak melihat ku, namun melihat apa yang ada dibelakang ku. Kalender.
Terlihat sorot kemarahan dari matanya. Aku kebingungan dan melihat kembali kearah
kalender. Perasaan tidak ada yang aneh. Eh, tunggu dulu. Kenangan kembali teringat saat
membaca catatan dikalender itu. Dulu, aku iseng menulis jadwal ku untuk melukis. Dan itu di
setiap di tanggal 16, agar tidak ketahuan papa. Namun entah kenapa aku menulisnya sehingga
membuat ku ketahuan. Aku yang tidak berada dirumah tidak menyadari hal itu.

Papa melangkah menunu kamar ku dan aku dengan cepat mengikutinya. Mata ku melebar
melihat papa langsung menobrak pintu. Tidak, jangan bilang kalau… papa yang menbuat
semua nya seperti ini?

Papa mengobrak abrik seluruh kamar ku, dan menemukan alat lukis dan kanvas kanvas hasil
karya terbaikku. Papa mengambil semua nya dan menghancurkan semuanya. Aku menangis
saat itu juga, teringat betapa susahnya melakukan hobi ini, dan semua hancur?

Entah mengapa, kakak tiba tiba berada di sepan pintu kamar ku. Keadaannya masih sama
dengan yang tadi.

“Apa yang papa lakukan?” tanya kakak.

“HEH! Siapa yang menyuruh mu keluar hah?” Papa balas menatap kakak dengan tatapan
tajam. “Kenapa papa hancurkan semua lukisan adek? Cukup aku saja yang papa paksa ini itu
pa, adek jangan.” kakak menangis dan berjalan kearah papa sambil bersujud. Papa menepis
semua itu.

“Bukan urusan kamu anak sialan! Pergi ke kamar mu sekarang dan perbaiki semua nilai nilai
mu itu!” papa membentak kakak. Kakak perlahan mulai berdiri, dan mengatakan sesuatu hal
yang tidak pernah aku sangka.

3
“Papa tu pernah nggak sih? Peduli ke kami sedikit pun? Jani capek pah, Jani capek. Tapi Jani
tetap lakuin semua pa, SEMUA yang papa minta. Ranking satu, juara satu, semuanya aku
kasih pa! Aku rela ninggalin ballet ku hanya untuk menuruti kemauan papa, apa itu nggak
cukup? Jani cuma anak kelas 6 SD yang ingin hidup normal seperti teman teman Jani. Tapi
demi Renja, Jani mau melakukan semuanya pa, supaya Renja nggak merasakan hal yang
sama kayak Jani. Dan Ja-“

Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi yang membuatnya tersungkur kelantai. Kaki ku
lemas mendengar penuturan kakak. Jadi ini kebernarannya. Semuanya terungkap.

“BERANI KAMU MELAWAN SAYA? SAYA MENYESAL MEMILIKI ANAK SEPERTI


KAMU!” Papa berjalan melewati ku dan pergi entah kemana. Kakak masih terkulai lemas
dibawah sambil terisak. Aku juga menangis sejadi jadinya. Namun tidak lama, ada seseorang
yang lain datang.

“KAKAK?!” itu adalah aku. Aku masih ingat semuanya. Saat itu aku marah sekali dengan
kakak. Aku kira, dia yang nenghancurkan lukisan ku dan memberantakan kamar ku.
Sangking marahnya, terlontar dimulut ku kalimat yang sangat tidak mengenakkan.

“Kakak memang egois! Kakak sudah dapat semuanya, menapa kakak hancurin punya adek?”
Terlihat aku melempar tas ku sembarang arah.

“Dek, bukan kayak begitu, tapi.”

“STOP! Aku sudah muak sama kakak. Pergi dari kamar aku! Aku nggak mau lihat muka
kakak lagi!” aku kecil menarik tangan kakak dan menyeretnya keluar. Dan membanting
pintu.

Masa bodo dengan diri ku kecil, aku keluar mengikuti kakak. Kakak menangis. “Apa aku se
nggak berguna itu ya?” kata yang terlontar itu sukses membuat hati ku tergores. Perlahan,
kakak mulai berdiri. Dan berjalan entah kemana. Aku mengikutinya dari belakang.

Yang bisa aku rasakan sekarang hanya menyesal. Anadaikan waktu itu aku tidak emosi, pasti
semuanya tidak akan terjadi seperti ini. Selama ini aku salah. Semuanya gara gara aku. Aku
ingin sekali memeluk kakak, dan mengucapkan ribuan kata maaf kepadanya. Tapi semuanya
terlambat.

Kakak berjalan masuk ke pintu kamarnya. Namun ada yang ganjal. Saat aku mengikutinya
masuk, kakak tidak berada di tangga. Lalu kemana perginya? Aku berlari menuju kamarnya,
namun nihil. Tidak ada dia disana. Aku panik setengah mati. Aku turun kembali dan berhenti
di depan pintu. Aku menatap sekeliling. Ada cermin besar di sisi kanan ku, dan ada hiasan
dinnding beserta lampu pajangan. Tidak ada yang aneh. Kemana perginya kakak? Aku takut
terjadi hal yang aneh kepadanya.

Ah! aku teringat trik lama itu. Aku menghadapkan diri ke arah cermin. Memegang dan
memeriksa dengan seksama. Bagaimana cara membukanya tanpa bersuara? Tak lama aku
tertawa pelan. Aku kan bisa tembus. Langsung saja aku masuk ke kaca itu. Dan benar saja,
ada ruangan lagi di sini.

Ternyata, semua yang papa ucapkan itu adalah kebohongan. Katanya, kakak meninggal
karena keracunan. Lagi lagi, papa membohongiku. Aku berteriak keras. Kaki ku merosot

4
kebawah, seperti gaya gratifasi diruangan ini hilang. Oksigen terasa menipis. Apa yang baru
saja aku lihat? Kakak berada di tengah ruangan, dengan kaki nya yang menggantung,
lehernya terikat oleh tali yang sepertinya sudah disiapkannya dari jauh hari. Pandangan ku
mulai kabur, dan setelahnya, aku tidak melihat apapun. Semuanya gelap

***

“Lah? gimana sih. Katanya happy ending, kok malah serem gini sih!” sahabat ku memukul
pundak ku pelan. Aku tertawa pelan.

“Santai aja dong, kan itu belum tentu asli.” Aku tertawa cengengesan. “Ya tapi kan tetap aja
serem Renjaaaa, lihat orang gantung diri? Hihhh ga kebayang deh!” Aku tertawa melihat
ekspresi mukanya yang jijik membayangkannya. Dia memang kadang suka melebih lebih kan
sesuatu, hiperbola.

“Tapi itu bukan cerita asli kan?” Ekspresinya berubah menjadi ketakutan.

“Ya enggak lah, mana ada orang sejahat itu” Aku melanjutkan perkataan ku didalam hati
mungkin? aku tersenyum penuh arti. Aku tahu persis cerita itu. Aku tahu bahkan apa yang
terjadi setelah itu. Aku tahu. Karena itu merupakan kisah yang aku jalani minggu kemarin.
Semua rasa benci yang aku taruh padanya, berubah menjadi rasa penyesalan, dan mungkin,
aku akan hidup dibawah rasa bersalahku padanya.

“Hmm ya udah deh, aku ke kantin dulu ya, mau ikut ngga?” Tanya nya pada ku. “Nggak dulu
deh, lagi males.” Dia berjalan keluar sambil mengancungkan jempolnya. Setelah ia hilang
dari pandangan ku, aku melihat sekeliling. Kelas ku sepi. Aku mengambil sesuatu dari dalam
tas, dan ketemu! Aku melihat sekali lagi kearah kotak masa lalu itu. Entah apa nama
kotaknya. Namun yang jelas, kotak ini lah yang membawa ku ke masa lalu, dan mengetahui
kebenarannya.

Kotaknya cantik, berbentuk persegi panjang, dengan tinggi tidak lebih 5 cm. Ukrannya, yaa
tidak besar dan tidak kecil. Kira kira ukurannya sebesar handphone. Bewarna putih dengan
motif antik bewarna emas dibeberapa bagian.

Aku tidak mau menyimpan kotak ini. Bahkan untuk sekedar menjadikannya pajangan aku
tidak mau. Maka dari itu, aku menaruh kotak itu kedalam tas sahabat ku. Barang kali itu akan
membantunya. Karena aku tahu, dia juga memiliki permasahan keluarga, jauh lebih rumit
dari pada masalah ku.

Anda mungkin juga menyukai