Anda di halaman 1dari 6

Yang Selalu Ku Rindukan

Namaku Lintang Putri Hadikusuma. Aku mmasih menginjak sekolah


menengah pertama. Aku merupakan anak tunggal dari pasangan Wiranto
Hadikusuma dan Denia Purwanti. Aku memang berasal dari keluarga yang
bisa dibilang semua berkecukupan. Ayahku adalah seorang pemimpin
perusahaan sukses yang beriorentasi pada bidang interior. Ibuku seorang
desainer terkenal. Aku memang berasal dari keluarga yang sangat
berkecukupan bukan. Tapi ada satu hal yang menurut kurang dalam hidupku
yaitu perhatian dan rasa kasih sayang orang tuaku yang mengubah hidupku
menjadi terasa memuakan dan menyeksakan.
“ Non sarapan dulu, “, kata bi Iyam yang merupakan asisten rumah
tanggaku. Aku segera turun kebawah untuk sarapan. Aku menanyakan
kebaradaan ayah dan ibuku pada bi Iyam, “ Bi ayah dan ibu dimana? “,
ucapku. Ayah dan ibu sedang keluar kota , ucap bi Iyam sambil menyiapkan
segala hidangan di meja makan. Selalu saja begini. Saat aku bangun dan
tidur mereka selalu saja tidak ada. Aku hanya melanjutkan makan tanpa
ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku lagi.
Setelah selesai sarapan aku pamit pada bi Iyam untuk berangkat
sekolah. Setelah sampai di sekolah aku langsung menuju tempat dudukku.
Aku memang seseorang yang tidak suka membaur dengan orang-orang. Aku
lebih suka menyendiri karena menurutku, tidak ada orang yang akan
berteman tanpa memandang ekonomi maupun kedudukan seseorang.
Bel masuk pun berbunyi, aku pun langsung mengeluarkan buku
matematika. Tak berselang lama bu Nia pun memasuki kelasku. Selama bu
Nia menerangkan aku tidak dapat fokus. Pikiranku melayang pada kejadian
saat aku sarapan. Aku mengingat saat aku masih berumur 5 tahun saat
dimana aku dan keluargaku sedang menyantap sarapan seperti dulu dengan
susana ceria dan diiringi dengan obralan hangat. Mengingat kenangan itu,
aku berasa ingin kembali pada waktu dimana kedua orang tuaku tidak
sesibuk sekarang.
Lamunanku pun terhenti saat bel istirahat terdengar. Ternyata sudah
istirahat. Saat bu Nia sedang membereskan barang-barang bawaannya, bu
Nia memanggilku dan menyuruhku untuk mendatanginya di ruang guru
setelah pulang sekolah. Aku hanya mengiyakannya dan segera menuju
kantin untuk mengisi perutku.
Saat bel pulang berbunyi aku segera menuju ruang guru untuk
menghadap bu Nia. Mengetuk pintu terlebih dan akupun lansung menuju
meja bu nia berada. “ Oh Lintang sudah datang ya, sini nak ayo duduk dulu
”, ucap bu nia padaku. Akupun mengangguk dan segera duduk dikursi yang
berada di depan meja bu nia.
“ Begini Lintang ibu perhatikan kamu selalu murung didalam kelas dan
tidak pernah fokus selama pelajaran ibu, apakah kamu selalu begini juga
selain pelajaran ibu? “, ucap bu nia. Aku hanya menunduk dan tak berniat
untuk menjawab pertanyaan dari bu Nia. “ Ada apa nak? Kamu sedang ada
masalah? Ayo cerita pada ibu, barangkali ibu bisa membantu “, bu Nia
berucap dengan nada membujuk agar aku mau bercerita. Karena aku
memang bukan anak yang dengan mudah membuka diri terhadap orang lain,
mungkin lebih tepatnya aku itu introvert. “ Tidak apa-apa Lintang cerita
saja, ibu janji tidak akan memberitahukan pada siapapun, ibu hanya ingin
membantu “, ucap bu Nia sambil terus membujukku. Akupun mengangkat
kepalaku dan melihat bu Nia sedang menatapku dengan tatapan hangat dan
tulus. Aku dapat membuka diriku sedikit dan menceritakan bahwa aku
merasa bahwa kedua orang tuaku sudah tidak menyayangiku lagi. Bu Nia
menyimak ceritaku dengan serius dan dia mengucapkan bahwa tidak
mungkin kedua orang tuaku tidak menyayangiku, mana ada orang tua yang
tidak menyayangi anaknya terlebih anak kandung. Mereka hanya sibuk
untuk mencari uang untuk aku dan aku kedepannya.
Saat bu nia mengatakan seperti itu cara pandangku terhadap orang
tuaku mulai sedikit berubah, namun hanya sedikit. Kenapa, karena
menurutku bukan hanya uang yang aku butuhkan. Jika memang benar
mereka peduli padaku maka mereka pasti akan dapat meluangkan waktu
dan sedikit perhatian padaku. Aku hanya ingin diperhatikan dan berkumpul
bersama mereka setiap hari, hanya itu. Tapi mereka hanya memikirkan
uang dan karier mereka, tidak pernah memikirkan bagaimana keadaanku
dan kondisiku.
Setelah selesai berbincang dengan bu Nia. Aku meninggalkan ruang
guru dan langsung menuju rumah. Aku hanya ingin mengistirahatkan tubuh
ini aku sudah lelah dengan semua ini. Aku ingin segera tidur dan melupakan
segala kejadian yang ada dalam hidupku.
Saat diperjalanan pulang tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.
Handphoneku berdering ternyata yang menelpon mang Eman yang
merupakan supir pribadi keluargaku. Aku hanya memencet tombol merah
pada layar handphoneku. Kukira yang menelpon adalah orang tuaku. Apa
mereka sudah tidak peduli lagi padaku, aku bertanya-tanya dalam hati.
Menyusuri trotoar jalan ditengah hujan deras adalah hal yang sedang
aku lakukan. Aku sudah tidak peduli lagi bajuku akan basah atau aku akan
sakit. Aku hanya muak dengan semua ini.
Setelah 30 menit menyusuri jalanan sepi, akhirnya aku sampai di depan
rumahku. Saat setelah aku membuka pintu dan masuk bi Iyam dan mang
Eman melihatku dengan tatapan khawatir. “ aduh Non, kenapa basah gini?
“, ucap bi Iyam dengan nada yang khawatir. Aku hanya melewati bi Iyam
dan mang Eman tanpa menjawab pertanyaan bi Iyam.
Aku menaiki tangga dan segera menuju kamarku lalu bergegas untuk
membersihkan tubuhku. Setelah selesai membersihkan tubuh, aku segera
menuju tempat tidurku dan membungkus tubuhku dengan selimut hangat.
Aku mulai merasakan dingin dan tubuhku mulai bergetar karena kedinginan.
Terdengar ketukan pintu dan suara bi Iyam yang meminta izin untuk
masuk. Aku hanya mengeluarkan suara untuk mempersilahkan masuk.
Ternyata bi Iyam datang dengan membawa nampan makanan untukku
makan dan terdapat obat beserta segelas air putih hangat. Melihat itu
tiba-tiba air mataku keluar dengan sendirinya tanpa kusadari, dan
kuizinkan untuk keluar. Bi Iyam selalu perhatian dan selalu memberikan
rasa kasih sayang seperti ibu kandungku. Kemana ayah dan ibuku, mereka
selalu tidak ada saat aku membutuhkan mereka.
Bi Iyam mendekat dan memelukku dengan erat. Air mataku keluar
semakin desar dan sulit untukku hentikan. Bi Iyam hanya memeluk dan
mengelus rambutku.
Setelah dirasa air mataku berhenti, aku mengangkat kepalaku dan
melepas pelukan hangat yang diberikan bi Iyam. Bi Iyam hanya diam sambil
terus megelus kepalaku. “ ada apa non? “, tanya bi Iyam memulai
pembicaraan. Aku hanya menggelengkan kepalaku. “ ada apa non? Cerita
sama bibi “,ucap bi Iyam sambil terus mengelus kepalaku. Aku mulai
membuka suaraku, “ Bi, kenapa ayah dan ibu selalu tidak perhatian pada
Lintang? “, ucapku. “ Tidak non, ayah dan ibu non hanya sedang sibuk. Ayah
dan ibu non sibuk juga untuk non kedepannya kan? “, jawab bi Iyam. “ Tapi
bi, Lintang tidak ingin harta yang berlimpah, Lintang juga ngga pernah
ngelarang ayah dan ibu untuk sesibuk apapun. Yang Lintang mau ayah dan
ibu sedikit aja perhatian sama Lintang, cuman itu bi ”, ucapku megeluarkan
segala keluh kesahku pada bi Iyam. Bi Iyam hanya mengangguk-anggukan
kepala sambil terus megelus rambutku agar aku sedikit lebih tenang.
Perasaanku pun sudah lebih tenang dan aku mulai memakan makanan
dan meminum obat yang dibawakan bi Iyam. Setelah selesai aku mulai
memposisikan tubuhku dan bersiap menuju alam mimpiku. Bi Iyam
menjagaku hingga aku benar-benar terlarut dalam alam mimpiku.
Sinar mentari telah muncul dan memaksa masuk melalui celah jendela
kamarku. Memaksa mataku untuk terbuka padahal sebenarnya mata ini
malas untuk terbuka. Aku mulai menyadari bahwa aku telah kembali pada
alam yang sebenarnya. Alam yang menurutku benar-benar kejam. Saat aku
mencoba untuk menggerakan tubuhku, aku langsung merasa lemas dan
seluruh tubuhku terasa sakit.
Terdengar suara pintu diketuk dan knop pintu diputar. Memunculkan
kedua orang yang selama ini selalu aku rindukan. Aku memaksa tubuhku
untuk bangun. Terkejut adalah hal yang pertama kali kurasakan saat
melihat kedua orang tuaku.
“ Lintang kamu kenapa nak? “, ucap ibuku sambil berusaha menyentuh
kepalaku. Aku tidak menjawab dan hanya berusaha menghindar agar
kepalaku tidak disentuh. “ Lintang ayah dan ibu khawatir mendengar bahwa
kamu sakit. “, ucap ayahku. “ Ayah dan ibu bisa khawatir juga padaku
ternyata “, ucapku dengan nada sinis. Jujur aku masih sangat marah pada
kedua orang tuaku ini. “ Tentu saja kami khawatir nak, kamu kan anak kami
“, ucap ibuku. “ Kalau kalian khawatir dan peduli padaku, kenapa baru
sekarang? Kemarin-kemarin kemana saja? “, ucapku menimpali perkataan
kedua orang tuaku. Aku menjawab dengan perkataan dan nada yang kurang
sopan. Karena aku sudah benar-benar kesal.
“ Maafkan kami nak, kami sibuk karena untuk kepentingan kamu juga. “,
ucap ayahku. “ Kalau benar untuk kepentinganku kenapa kalian tidak pernah
punya sedikit pun waktu untukku? Kalian hanya mementingkan karir kalian.
Aku juga butuh perhatian dari kalian. “, ucapku dengan suara yang tinggi.
Kedua orang tuaku hanya bisa diam dan diam.
Ayah dan ibuku mulai mendekatiku dengan perlahan. Ibu mulai
memelukku dan aku tidak menghindar. Pelukan yang sangat dan benar-
benar kurindukan. Begitu pun juga dengan ayahku yang memelukku dan
ibuku.
Ibu dan ayah mulai membisikan kata maaf padaku secara bergantian.
Aku hanya bisa menganggukan kepalaku. Pada hari itu kami mencurahkan
apa yang segala aku dan kedua orang tuaku rasakan. Hari dimana aku
merasakan kembali arti sebuah keluarga yang hangat dan harmonis.
Biodata Penulis

Nama Lengkap : Liani Alia Rosdia


Nama Panggilan : Lia
TTL : Bandung, 19 Juli 2002
Alamat : Jln. Rancabentang Rt03 Rw25 no. 468
Hobi : Nonton drakor dan membaca
Cita-cita : Seseorang yang sukses dunia dan akhirat dan handal
dalam segala hal
Moto Hidup : Menjadi no.1

Anda mungkin juga menyukai