Anda di halaman 1dari 5

BUNGA DARI IBU

Oleh Puthut EA

Karena jarak, kami hanya saling mengirim tanda lewat bunga. Ibu yang memulai dulu,
waktu itu aku baru menempati rumah kecil yang sampai sekarang uang cicilannya masih
menempati daftar potongan pertama di slip gajiku. Waktu itu ibu bilang, Kamu tidak mungkin
sering-sering mengunjungiku, kalau mau melihat keadaanku, lihat saja bunga ini. Sambil
berkata seperti itu, ibu menunjukkan padaku sebuah pot dengan tanaman bunga yang mungil dan
indah. Lalu, aku meletakkannya di samping jendela kamarku. Begitu bangun pagi, tumbuhan itu
yang pertama kulihat untuk memastikan keadaan ibu, baru kemudian aku menyiramnya ketika
hendak berangkat bekerja.
Dalam perjalanannya, tanaman bunga itu memang bisa mengatakan keadaan ibu
kepadaku. Suatu saat aku melihat beberapa kuntum bunga jatuh, dengan segera aku mengangkat
telepon, memastikan keadaan ibu. Ternyata ibu sedang sakit flu. Ketika suatu pagi kulihat
beberapa daunnya yang masih hijau rontok, aku mendapati kabar bahwa ibu sedang bersedih
karena seorang pencuri telah memasuki rumahnya dan membawa lari televisi kesayangannya.
Dan ketika suatu saat aku melihat pohon itu dipenuhi oleh bunga- bunga yang bermekaran,
teleponku berdering, ibu mengatakan bahwa kemarin ia mendapat hadiah dari bank tempatnya
menabung. Aku pernah lupa memeriksa pohon itu, ketika ibu tiba-tiba meneleponku memintaku
untuk pulang, aku sangat kaget. Ibu waktu itu hanya bilang. Kamu tidak memeriksa bunga dari
ibu, ya? Dengan agak rikuh aku menjawab hari ini aku lupa. Lalu, ibu bilang. Pulanglah, ibu
sedang bersiap untuk naik haji tahun ini. Tentu saja aku sangat gembira. Begitu telepon
kututup, aku berlari membuka jendela, pohon bunga yang ditanam ibu seperti dikerudungi
cahaya.
Belajar dari itu semua, ketika aku pulang, aku menanam sebatang tanaman bunga tepat
di samping jendela kamar ibu. Ibu tersenyum saat aku bilang, Bu, pohon ini akan mengatakan
kepada ibu bagaimana keadaanku.
Di luar dugaanku, pohon bunga yang kutanam itu benar-benar memberi isyarat pada ibu
tentang apa yang sedang kuhadapi. Sewaktu aku sedang dipromosikan naik jabatan, ibu
menelepon untuk menanyakan keadaanku. Lalu, aku pura-pura bertanya mengapa ibu bisa
meneleponku pagi-pagi benar. Ibu bilang, pohon bunga yang kutanam terlihat segar dan banyak
bunga yang sedang mekar. Sewaktu aku diputus cinta oleh Randy, ibu juga meneleponku, ada
banyak bunga dan daun yang rontok sehingga ibu resah. Terakhir, ketika aku sedang berpikir
keras untuk memutuskan apakah aku harus menggugurkan kandunganku karena Mas Rustam,

kekasihku yang baru, ternyata sedang mendapatkan tugas ke luar kota dalam waktu yang agak
lama dan dia terganggu dengan keadaanku yang sedang mengandung, ibu juga menelepon. Ibu
bertanya, Kamu sedang tertimpa masalah? Pohon yang kamu tanam terlihat layu.
Ketika aku sudah mengambil keputusan untuk menggugurkan bayiku dan di sebuah
malam Mas Rustam menelepon dari luar kota dengan membawa kabar buruk, ia harus menikahi
anak bosnya karena hamil, pagi harinya ibu datang dengan pesawat paling pagi. Ibu khawatir
sekali, pohon bungamu tadi terlihat seperti mau mati.
Hubunganku dengan ibu sangat unik. Aku anak tunggal. Bapakku bercerai dengan ibu
ketika aku baru saja lulus dari SMA. Mereka bercerai dengan baik-baik. Ibu pernah bercerita
bahwa dulu ia diusir oleh keluarganya karena berpacaran dengan laki- laki yang berbeda agama.
Dasar ibu, ia pergi saja dari rumah bersama laki-laki itu. Lalu, mereka menikah dan ibu
melahirkanku. Ibu juga pernah bercerita, ia anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adik lakilakinya juga pergi dari rumah, yang satu pergi dari rumah karena membobol gudang pertanian,
menjual alat-alat pertanian dan hasil panen, serta membakar rumah penggilingan padi orangtua
mereka. Ibu bilang, adiknya yang satu itu memang kiri. Alat-alat pertanian dan hasil panen
orangtua mereka dijual untuk membiayai aktivitas organisasinya untuk melawan Orde Baru.
Sedangkan penggilingan pagi orangtuanya dibakar oleh adiknya karena ia kecewa melihat cara
pengupahan orangtua mereka terhadap orang-orang yang bekerja di lahan pertanian orangtua
mereka, dan puncaknya pembakaran itu terjadi ketika adiknya ibu diusir dari rumah. Bapaknya
ibuku bilang, Di rumah ini tidak boleh ada komunis. Adiknya ibuku marah, paginya, rumah
penggilingan padi itu dibakarnya.
Adik satunya lagi, yang paling kecil, juga diusir dari rumah orangtuanya ibuku. Sejak
kecil, adiknya yang paling kecil itu memang sudah suka yang aneh-aneh. Ia biasa tidak pulang
ke rumah hanya karena pergi memancing di sebuah tempat selama berhari-hari. Ia juga sering
tidur di kuburan tokoh-tokoh tertentu. Ia pergi begitu saja dari rumah tanpa membawa apa-apa
selain alat memancing ikan, ketika bapaknya ibuku bilang, Di rumah ini tidak boleh ada orang
yang belajar klenik dan menganut ilmu hitam.
Ibuku, sekalipun anak pertama, adalah orang yang terakhir pergi dari rumah
orangtuanya. Kadang-kadang ibu bilang kepadaku. Kamu seharusnya mengenal kedua
pamanmu, mereka berdua menyenangkan sekalipun kadang-kadang memang agak brengsek. Di
mana mereka berdua sekarang, ibu tidak pernah tahu dan sepertinya tidak pernah mau tahu.
Ibuku memang agak aneh, tapi baik hati dan membanggakan. Aku mengalami masamasa kecil yang menyenangkan dan mendebarkan. Ibuku rajin shalat dan pergi ke pengajian,
bapakku rajin ke gereja, tapi aku tidak pernah disuruh untuk masuk ke salah satu agama, baik
agama ibuku maupun agama bapakku. Ketika bulan puasa tiba, dan teman-temanku berpuasa,

aku tidak puasa. Mereka mengira aku beragama sama dengan bapakku. Tapi ketika Lebaran tiba,
aku ikut Lebaran, dan jika teman-temanku bertanya, aku menjawab kalau aku baru saja pindah
agama. Kedua orangtuaku hanya tersenyum melihat tingkahku.
Ibuku marah pada sesuatu yang dulu menurutku aneh. Ia pernah marah ketika aku
pulang sekolah dan memamerkan hasil tes bahwa aku mendapat nilai terbaik. Lalu, ibuku
bertanya, berapa nilai teman-temanku? Aku menjawab dengan nada bangga kalau sebagian besar
nilai temanku di bawah lima. Ibu langsung marah dan berkata, Lain kali jangan pamerkan
kehebatanmu jika temanmu tidak mendapatkan nilai yang sama baiknya denganmu! Aku
langsung mengadukan itu ke bapak dan bapak bilang, maksud ibuku lain kali menjadi tugasku
untuk membuat teman-teman sekelasku bisa mengerjakan sepertiku atau bahkan memberi
contekan. Tentu saja aku kaget.
Aku juga pernah dimarahi ibu ketika suatu saat kami berlibur dan jalan-jalan ke luar
kota. Di sebuah trotoar, ada seorang pengemis dan ibu bilang. Beri dengan uangmu. Lalu, ibu
melenggang pergi. Aku memeriksa sakuku dan tidak kutemukan uang receh, lalu aku menyusul
ibu dan mengatakan bahwa aku tidak punya uang receh. Ia langsung menghentikan langkahnya
dan bersuara marah, Apakah ibu mengajarimu memberi uang hanya dengan recehan?! Dengan
segera aku balik karena kesal dan memberikan semua uangku pada pengemis itu. Aku berharap
nanti ibu akan bertanya dan marah padaku karena aku memberikan semua uangku. Dan aku
ingin membalas marah padanya, Lho katanya tidak boleh uang receh?! Tapi sayang, ibu tidak
pernah menanyakannya.
Pernah sewaktu aku kecil, sepulang sekolah, teman-teman laki-lakiku sepanjang jalan
menggodaku. Mereka bilang, kelak aku akan masuk neraka. Aku lalu teringat komentar ibuku
saat menonton televisi, Ah, mereka sok tahu tentang surga dan neraka. Aku lalu mengutip
kalimat ibuku, Ah, kamu sok tahu tentang surga dan neraka. Mereka marah, tas dan jepit
rambutku ditariknya. Aku pulang dan menangis. Sampai di rumah, aku mengadu sama ibu yang
sedang membaca buku. Ibu lalu bertanya, Kamu merasa perlu melawan mereka atau tidak?
Aku menjawab perlu. Lalu ibu bilang. Kamu berani atau tidak? Aku menjawab, aku berani,
tapi aku kan perempuan dan jumlah mereka banyak. Ibu menutup buku yang dibacanya. Lalu,
kenapa kalau perempuan? Aku bilang, ya aku akan kalah. Ibu bilang, Bagaimana kamu tahu
kalau kamu akan kalah jika kamu tidak pernah mencoba melawan mereka. Aku diam. Lalu, ibu
berkata, Bagaimana kalau kamu datangi lagi mereka karena mereka banyak, kamu pakai saja
batu atau sapu. Aku segera bangkit mengambil sapu, di tengah jalan aku mengumpulkan batu.
Dari jauh aku sudah melempari mereka dengan batu dan ketika dekat aku menggerak-gerakkan
sapu untuk memukuli mereka. Mereka lari, dan tidak pernah berani lagi menggangguku.
Hubunganku dengan ibu dan bapakku tetap hangat sekalipun mereka berdua telah cerai.
Anehnya, ibuku tidak menikah lagi dan bapakku juga tidak menikah lagi. Dan, aku tidak ambil

pusing dengan sebab-musabab kenapa mereka bisa cerai. Hubungan kami bertiga kurasakan
sangat hangat saat-saat aku hampir putus kuliah dan saat itu sebagaimana banyak mahasiswa aku
terlihat demonstrasi menentang rezim Orde Baru.
Hampir setiap hari, ibuku dan teman-temannya, baik tetangga kami maupun temanteman pengajian ibuku, menyuplai kami dengan makanan bungkus dan air minum. Bahkan, ibu
selalu menelepon bapakku untuk ikut membantu lewat teman-teman sekantornya. Di saat-saat
seperti itu, ibu sering berkata, Semoga kamu ketemu dengan pamanmu.
Aku tidak pernah bermasalah dengan masa kecilku di mana aku dibesarkan oleh
orangtua yang berbeda agamanya dan masing-masing menjalankan keyakinannya. Aku bisa
tumbuh dengan keyakinanku sendiri tanpa pernah dipaksa. Aku juga tidak pernah bermasalah
dengan orangtuaku yang bercerai, hubunganku dengan ibu maupun bapakku tidak bisa dihalanghalangi oleh perbedaan hubungan mereka sekarang. Aku mempunyai hubungan yang manis
dengan mereka, masa lalu yang memberi lahan bagi rasa rindu, dan masa sekarang yang
bergerak tidak untuk menjauhi perasaan-perasaan masa laluku.
Mereka berdua masih tetap memberi semangat, juga ketika tahun-tahun kecewa
menderaku. Tahun-tahun di mana aku menjadi saksi ketika banyak aktivis mahasiswa yang dulu
heroik kini lembek di tangan-tangan elit politik untuk mendukung langkah- langkah elit mereka.
Kami bertiga juga melewatkan masa-masa menyenangkan ketika kami berkumpul di saat orangorang sibuk melakukan coblosan pemilu. Kami makan bersama, menonton televisi, membaca
koran, bercengkerama, memberi komentar sambil melihat monitor-monitor televisi yang
bergerak menyampaikan angka-angka perolehan suara. Dua kali pemilu kami lewati dengan
hangat tanpa ada keinginan untuk membohongi perasaan kami masing-masing, perasaan yang
tidak kunjung mengerti mengapa banyak orang yang berbondong-bondong mengantre di kotakkotak suara, memberikan suara mereka tanpa jelas lagi di mana arah perubahan. Kami menjadi
saksi yang mencoba untuk tetap hangat menerima kenyataan politik yang sesungguhnya tidak
pernah berubah.
Di antara kami, aku dan ibuku, jarang sekali saling menyimpan rahasia. Terutama aku.
Ibu hampir tahu semua kisahku, baik dalam hal percintaan maupun urusan kantor. Aku tidak
butuh bantuan untuk semua hal yang kulalui, hanya saja bercerita pada ibu adalah sesuatu yang
sudah kuanggap menyelesaikan banyak hal. Namun, sampai sekarang, aku tidak pernah berani
bercerita pada ibu kalau aku pernah menggugurkan bayi dalam kandunganku, aku takut ibu akan
marah. Sekalipun aku tidak yakin kalau ibu akan marah.
Kemarin pagi, aku kaget sekali. Saat aku membuka jendela, aku mendapati bunga yang
ditanam ibu seperti akan mati. Tiba-tiba rantingnya seperti mengering dan daun-daun serta
bunganya rontok berjatuhan di sekitarnya. Dengan segera aku menelepon ibu. Agak lama

telepon tidak diangkat dan itu semakin membuat hatiku berdebar khawatir. Untunglah setelah
beberapa kali tidak diangkat, kudengar suara ibu menyahut. Dengan segera aku menanyakan
kabar ibuku. Anehnya, ibu menjawab tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa? Lalu, aku bilang
tidak mungkin, bunga yang ditanam ibu seperti sekarat. Ibu tetap bilang bahwa tidak ada apaapa. Rasa kesal, marah, kecewa, tiba-tiba memuncak di diriku. Aku membanting telepon, lalu
pergi ke tempatku bekerja.
Di kantor, perasaanku semakin tidak enak. Akhirnya aku bilang ke atasanku untuk
minta izin menengok ibuku dengan alasan ibuku sakit. Esoknya, dengan pesawat paling pagi,
aku berangkat.
Tentu saja ibu kaget melihat kedatanganku. Setelah kami sarapan berdua, aku mencoba
dengan berbagai cara agar ibu mau berterus terang tentang masalahnya. Tapi, ibu tetap
bersikukuh untuk mengatakan bahwa hidupnya baik-baik saja. Tapi, aku juga ngotot, aku bilang,
tidak mungkin, sebab bunga yang ditanam ibu mengatakan sebaliknya. Dengan tenang ibu
menjawab, Bunga itu ternyata tidak bisa dibuat patokan keadaanku.
Aku diam. Dalam hatiku, aku merasa sangat kecewa. Aku bangkit, lalu berjalan-jalan di
dalam rumah dan di sekitar rumah. Segalanya memang tampak baik-baik saja, ruang tamu, ruang
keluarga, kamar-kamar, dapur, halaman belakang, semua baik-baik saja. Tapi aku kaget ketika
melewati tempat di samping kamar ibu. Aku tidak melihat tanaman bungaku. Dengan segera aku
mendatangi ibu yang sedang membereskan piring-piring di meja makan.
Bunga yang kutanam di mana, Bu? Ibu menoleh, meletakkan piring-piring di atas
meja, lalu duduk. Kan sudah ibu bilang, bunga itu sudah tidak bisa mengatakan keadaan kita
masing-masing. Kamu ingat, kan ketika ibu datang pagi-pagi karena melihat bunga yang
kamu tanam terlihat mau mati? Ternyata kamu tidak sedang ada masalah apa-apa. Pulang dari
rumahmu, aku mencabut bunga itu.
Aku kembali diam. Esok harinya, aku langsung pulang. Sampai di rumahku, tanpa
berpikir panjang, aku mencabut bunga yang ditanam ibu. Dalam hati aku berkata, setiap orang
boleh punya rahasia.
Dikutip dari https://cerpenkompas.wordpress.com/2004/08/29/bunga-dari-ibu/

Anda mungkin juga menyukai