Anda di halaman 1dari 8

Nama: Caroline Lydia Fulbertus

Kelas: XI ALAM 3

Happy or Sad
Banyak orang yang menyukai malam, katanya… karena malam itu indah. Tapi
bagiku, malam tak pernah seindah itu. Aku membenci malam, karena… malam menjadi
saksi penderitaanku. Malam juga adalah saksi... saksi pertahananku runtuh. Malam
juga tahu, bahwa bahagia dan sedihku sudah diatur. Bahagia memang sederhana,
tapi… aku tak pernah mendapat bahagiaku. Sedangkan sedih… tak pernah diinginkan,
tapi selalu datang tanpa permisih. Bahagia atau sedih, bukan pilihan untukku.

PRANG!!! Semua barang ibu lempar tepat di depanku.

Flashback beberapa jam sebelum kejadian

Kukuruyuk…bunyi ayam jantan yang membangunkanku dari tidur indahku. Naura


Zanna Pramadita, itu namaku. Umurku 21 tahun, aku tinggal berdua bersama ibu
sejak lahir, karena aku tak pernah tahu keberadaan ayahku. Ada yang bilang kalau
aku anak pembawa sial hingga ayah pergi meninggalkanku, ada juga yang bilang kalau
aku anak haram yang tak pernah diinginkan. Walau begitu aku tak pernah meladeni
ucapan orang-orang, ibu dan ayah merupakan alasan aku bertahan dari ucapan
mereka. Aku mungkin tak tahu keberadaan ayahku, tapi… aku sangat menyayanginya.
Aku bangun dari tempat tidur dan keluar untuk mandi.

“hahhh… ibu belum pulang lagi” gumamku dengan nada sedih, saat melihat
rumah yang nampak sepi. Aku tak ingin berlama-lama melamun dan bergagas mandi.
Setelah mandi, aku bergegas untuk berkerja. Aku memang bekerja part time untuk
memenuhi kebutuhan hidupku dan ibu sehari-hari, karena ibu tak bekerja dan
bergantung padaku. Walau begitu aku sangat menyayanginya, aku rela tidak makan
untuk ibu bisa makan. Bahkan aku rela memberikan semua uangku kepada ibu asal ibu
bahagia.

Saat jam menunjukkan pukul 15.15, aku berjalan keluar dari restoran tempat
kerjaku. Di depan, aku melihat seorang pemuda pemilik mata abu abu yang mirip
denganku dan yang beberapa bulan lalu menjadi pewarna dihidupku, serta selalu ada
dalam suka dukaku dan sekarang berstatus sebagai pacarku. Ia Arga, Arga Reyghan
Dirgantara.

“Hai” sapa Arga, ketika melihat aku yang muncul dari balik pintu

“Hai juga, udah lama ya kamu nunggu?”


“Ngak kok, aku juga baru sampai”

“Ohhhhh…”

“yaudah, yuk pulang” ucap Arga. Lalu, aku menaiki motor Arga dan pergi
meninggalkan restoran. Saat sampai dirumah, aku mengajak Arga untuk masuk,
namun Arga menolak karena ada urusan. Setelah Arga pergi, aku masuk ke dalam
rumah. Namun lagi dan lagi aku hanya mendapatkan rumah yang sepi dan sunyi. Aku
langsung bergegas masuk ke kamar, karena tak ingin memikirkannya lagi.

Jam demi jam terlewati, langit yang tadinya cerah telah berganti menjadi
malam yang gelap. Tepat pukul 00.00 terdegar suara ketukan di pintu, aku heran
mengapa ada tamu di tengah malam, tapi aku tetap bergegas kearah pintu. KLIK
suara kunci yang diputar olehku, setelah itu pintupun terbuka. Tampak seorang
wanita yang sudah berumur namun masih terlihat cantik. Wanita itu dalam keadaan
yang mabuk, dengan baju yang lusuh, rambut yang acak-acakkan. Wanita itu masuk
tanpa permisih, dia adalah Aseila Carissa Pramadita, ibuku.

“Ibu?! Ibu dari mana saja beberapa hari ini? Ibu kenapa tidak pulang? Aku
khwatir dengan ibu. Aku takut ibu kenapa-kenapa, ibu selama ini tinggal di mana?
Ibu, sudah makan?” tanyaku bertubi-tubi, saat sudah masuk kedalam rumah.

PLAK!!

“Huhhh, itu pantas untukmu!! Kau terlalu berisik! Jika kau berbicara lagi, aku
akan memukulmu lebih dari itu!”.

Wajahku tertoreh ke samping karena tamparan ibu dan mulutku terdiam


karena ucapan ibu. Mataku sudah berkaca-kaca karena hal tersebut. Agar
menghilangkan rasa sakit itu, aku pergi kedapur menggambil air untuk ibu. Namun
ketika aku hendak kembali ke sofa tempat ibu duduk. Aku melihat sebuah kotak
dengan ukiran yang indah berada tepat di atas lemari dekat kamar ibu.

Sebelumnya tak pernah ku lihat kotak itu. Karena rasa penasaranku. Aku
mengambil kotak itu dan membukanya terdapat 2 foto dan 1 kertas kecil. Aku
melihat foto pertama tersebut yang terdapat ibu waktu muda di dalamnya dan ada
seorang pria yang takku kenal, namun wajahnya sudah dicoret. Lalu difoto kedua aku
melihat seorang pria lagi dan dibelakang foto itu terdapat tulisan “I Love You
Always”.

Kemudian, aku mengambil kertas kecil tersebut dan membukanya. Aku kaget, di
dalm kertas itu akhirnya aku tahu bahwa salah satu dari pria dalam foto itu adalah
ayahku. Dan satu lagi…adalah SUAMI IBUKU. Dimana ternyata ibu berselingkuh
dengan ayah kamdungku. Aku binggung yang mana ayahku dan yang mana suami ibu.
Foto pertama wajahnya sudah dicoret dan foto kedua sedikit buram. Aku berjalan
kea rah ibu dengan kebinggungan dan kekecewaan yang melanda di hatiku.

“Ibu, apa maksud dari kertas ini?” aku menunjukan foto-foto itu dan kerta
yang kubaca tadi kepada ibu, namun ibu tak menjawab.

“Ibu, apa ini?... Apakah benar aku anak Haram? Apa benar ibu berselingkuh
dengan ayah kadungku? Ibu dimana suamimu? Bu…y-yang mana aya-ayahku?
Jawabbu, aku ingin mendengar jawabanmu bu?” aku bertanya sekali lagi bertubi-tubi
dengan nada sedikit dinaikan dan air mata yang telah membajir dipipiku.

PLAK!! Ibu kembali menamparku. Tak lama setelah itu, ibu mengeluarkan
suaranya.

“iya!!... kamu itu anak HARAM. Anak yang tak pernah diinginkan di dunia ini.
Kamu tahu… karena kamu ada, suamiku bercerai dariku. Tapi aku tak mau, lalu
bersama kekasihku, aku merencanakan pembunuhan agar suamiku Mati!! Dan aku
akan mendapat hartanya dan hidup bahagia bersama kekasihku. Kami berhasil
membunuh suamiku”. hatiku sakit mendegar ucapan ibu, ayah yang selama iniku
dambakan ternyata begitu kejam. Aku kecewa, sedih, hatiku sesak dan begitu
hancur mendengar hal ini. Ibu kembali mengeluarkan suaranya

“Tapi… ternyata suamiku tak punya uang lagi. Setelah mendengar hal itu
kekasihku menjauh. Awalnya, aku mengira itu hanya sementara jadi aku tak
mengugurkanmu. Kekasihku tetap memperhatikanku saat aku sedang megandungmu.
9 bulan berlalu, saat aku berada di taman, aku melihat kekasihku bersama wanita
lain, ternyata ia berselingkuh dibelakangku karena aku sudah jatuh miskin. Saat ia
pulang rumah, aku langsung bertanya kepadanya dan ia berkata, bahwa selama ini dia
hanya memanfaatkanku, ia hanya mengincar harta suamiku. Karena terbawah emosi
aku mengambil vas bunga lalu melemparkan vas itu tepat dibelakang kepalanya.
Kemudian karena merasa belum puas aku mengambil pisau lalu menusuknya, hingga ia
Mati!!”.

Deg…deg…deg

Hatiku rasanya sesak, saat mendegar kematian ayah kandungku. Rasa kecewa
langsung berubah menjadi rasa sedih yang mendalam. Aku binggung, haruskah aku
marah kepada ayahku itu atau… haruskah aku bersedih atas kepergiannya yang
selaluku tunggu-tunggu. Ku lihat ibu mulai berbicara lagi.
“Sesaat setelah itu perutku sakit karena ingin melahirkan, tak lama kemudain
ada warga yang datang dan melihat kami dalam keadaan yang kacau dimana
kekasihku yang telah mati dan aku yang mengalami pendarahan. Kupikir karena
pendarahan itu kamu Mati!! Ternyata tidak. Kamu masih hidup, saat aku kembali ke
rumah itu taka da satupun warga yang melaporkanku ke polisi. Karena meraka
mengira pencuri masuk ke dalam rumah kami, lalu membunuh kekasihku dan
meninggalkanku dalam keadaan sekarat. Tapi aku ingin pindah, karena takut
ketahuan. Awalnya aku ingin meninggalkanmu, namun aku bertemu seorang wanita
tua yang memberikan rumah ini atas namamu, sebagai hadia karena aku
menyelamatkannya. Jadi aku membiarkanmu hidup, karena saat umurmu 18 tahun aku
akan mengambil rumah ini. Dan akhrinya aku berhasil mengambil rumah ini darimu.
Namun, aku tak mengusirmu, kau tau kenapa?” ucap ibu dengan terseyum smrik
menatap kearahku. Lalu aku mengeleng pelan dengan kepalah yang ditundukkan,
kerena aura ibu yang sangat berbeda dan menakutkan.

Aku melihat ibu berjalan kearahku lalu berbisik tepat ditelingaku, “karena
kau… adalah ATMKU” mendegar ucapan ibu tadi, membuat aku terdiam membeku
ditempat. Setelah mengatakan itu ibu perlahan mundur dan mulai berbicara lagi.

“setelah aku berhenti bekerja tak ada cukup uang untuk memenuhi
kehidupanku, ditambah lagi ada kamu. Awalnya aku ingin mengusirmu, namun setelah
kau bekerja part time. Aku megurungkan niatku. Aku tetap mengizinkanmu tinggal
disini agar kau bisa memberikanku uang” aku tak mengerti dengan jalan pikiran ibu.
Megapa ibu begitu tega denganku yang berstatus anak kandungnya.

“A-apa maksud ibu? Ibu berbohongkan?! Aku bukan anak h-ha-ramkan?! Aku
bu-bukan anak pembawa sial seperti yang orang bilangkan?! Jawabbu, jawab?!!”.
Dengan air mata yang masih membajir dipipiku. Aku bertanya dengan nada yang
mengebu-gebu sambal mengoyangkan lengan ibu.

“IYA!! Kamu itu anak haram, anak pembawa sial. Aku tak pernah
menginginkanmu. Kalua saja dari awal aku sudah mengugurkanmu, mungkin hidupku
tak menderita lagi”. Aku terdiam di tempat mencerna apa yang baru ibu katakana.

“Ibu tega berkata seperti itu kepadaku? Aku ini anak kandung ibu… i-bu, ib…”
ucapku ketika tersadar. Namun belum selesai ucapanku sudah terpotong.

PRANG!!! Semua barang ibu lempar tepat di depanku. Aku terdiam tak lagi
bertanya kepada ibu. Ku pikir, ibu akan berhenti disitu saja. Tapi… ternyata aku
salah, ibu dengan teganya memukulku, menedangku dan menamparku membuat aku
terduduk dengan pipi serta kaki yang sedikit mengeluarkan darah. Bukan hanya itu
saja, ibu seolah belum puas dengan penderitaanku, ia mengambil ikat pinggang yang
begitu tebal dari pinggangnya lalu mencambukku.

Setelah puas menyiksaku, ibu kembali berkata “kamu anak pembawa sial, tak
saharusnya kamu hidup!!” aku terdiam tak menagis lagi, kemudian ibu masuk ke
kamarku. Tak berselang lama, ibu kembali keluar dengan membawah semua koper.
Aku tahu itu koperku, tapi… aku tak megerti apa yang ibu akan lakukan. Aku diam
menatap ibu yang melangkah ke arahku. Ibu menarik lenganku, namun aku tetap
diam.

“Ayo, kau ikut aku!!” Aku tak bergerak mendengar ucapan ibu.

“I-ibu, ibu mau bawah aku kemana?” tanyaku dengan pelan dan takut.

“Aku akan menjualmu!” jawab ibu dengan keras.

“Untuk mendapat uang...ahhh...rasanya senang sekali memegang banyak uang”


ibu berucap lagi dengan nada senangnya, namun menakutkan dimataku. Aku
menghempaskan tangan ibu.

“I-i-ibu, i-bu tega menjualku” ucapku terbata-bata.

“IYA!!” jawabnya, membuatku terdiam. Aku melihat ibu mendekat ke arahku,


ingin menarikku lagi. Namun aku segerah menghempaskan tangan ibu dengan kuat.

“Aku tak ingin pergi!!” ucapku lantang. Mendengar itu, ibu menjambakku dengan
kuat, kemudian meyeretku untuk dijual. Tapi karna aku tak mau dijual aku
mendorong ibu, hingga ibu mundur beberapa langkah ke belakang.

“Ibu, aku capebu, aku cape… Aku selama ini sabra menghadapi ibu. Aku
bertahan dari hinaan semua orang demi ibu. Aku hanya diam, saat ibu membentakku,
aku tak melawan. Aku pikir ibu cape berkerja, cape mengurusku, itu sebabnya ibu
membentakku. Saat mendegar tentang ibu, ayah kandungku dan suamimu hatiku
begitu sakit. Orang yang selama ini ku kagumi bagaikan superhero diluar sana yang
siap menyelamatkanku ketika aku dalam bahaya, tapi…tapi… aku salah ibu dengan
kejamnya membunuh seseorang hanya untuk harta dan… dan ayah kandungku ber-
berseling-kuh. Aku tak ingin percaya dengan hal ini tapi melihat ibu yang begitu
membenciku, aku sadar… bawah semua omongan ibu benar. Aku tak…tak bisa
membenci ibu walau ibu telah mem-membu-nuh orang. Aku kecewa dan hatiku sakit.
Tapi hati ini begitu menyayangimu. Namun hatiku tambah hancur saat mendengar i-
ibu dengan tega mau men-menju-alku. Dimana hati nurani ibu?! Aku ini anak
kandungmu bu” aku terdiam sesaat karena air mata yang tak mau berhenti keluar.
“A-aku seudah terlalu kecewa denganmu, hatiku begitu sakit tapi ibu tetap
kekeh mau men-jualku. Aku sudah menyerah, aku akan pergi dari sini. Aku tak mau
bertemu lagi denganmu!” lanjutku, menarik koper yang tadi ibu keluarkan dan
bergegas keluar rumah, dengan masih mengeluarkan air mata. Aku menelpon Arga
untuk menjemputku di halte dekat rumah. Aku terduduk di halte dekat ramah
dengan masih mengeluarkan air mata.

“suit…suit, cewek”

“sendirian aja ni”

“mau kemana neng?”

“temani abang aja yuk”

“cantic-cantik kok nagis sih, mending heppy-heppy sama kita”

Aku mendonggakan kepalaku keatas dan melihat ada 5 orang preman. Aku takut
dengan keadaan masih bersedih dan di malam yang gelap dan sepi, siapa yang bisa
menolongku.

“Ya Tuhan ku mohon bantu aku” doaku dalam hati.

“Kalian pergi dariku!!” ucapku dengan ketakutan. Ku lihat preman itu semkin
mendekat ke arahku dan aku semakin mundur karena ketakutan. Saat preman itu
akan memegang tanganku, tiba-tiba ada seorang pria tu yang mungkin umurnya sama
seperti ibu.

Dia melawan semua preman itu dibantu oleh anak buahnya. Aku tak bisa melihat
orang yang membantuku karena dia memakai masker yang menutup wajahnya. Tapi
aku bisa menilai bahwa pria tua itu orang yang berkuasa dan kalua di teliti walau
lewat matanya, tampak begitu tampan. Matanya yang berwarna abu-abu gelap mirip
sepertiku dan Arga.

“Ter-terima kasih pak” ucapku dan mendapat anggukan dari pria tersebut yang
langsung pergi meninggalkanku. Dan aku… aku kembali menagis karena sakit pada
fisik dan mentalku. Tak berapa lama, Arga datang menanyakan keadaanku yang
nampak kacau.

“Hei, are you okey? Hmm….?”

“Aku-aku….” Uacapku menjawab Arga dengan nada terbata-bata.

“Hei, tenang okey… Ayo kita ke rumahku” aku hanya mengangguk dan menaiki
motor Arga. Saat sampai di rumah Arga, aku disambut oleh Bunda Nata, orang yang
menyayangiku seperti anak kandungnya, yang tak pernah menmedakan kasih sayang
antara aku dan Arga. Bunda juga sudah tahu tentang kondisiku dan ibu.

“Hei, kamu kenapa nagis sayang?” Tanya bunda dengan lembut, saat aku muncul
dari balik pintu dengan air mata yang masih mengalir bebas dipipiku. Aku terdiam
sesaat, lalu menceritakan semuanya kepada bunda dan Arga. Mendengar itu, Arga
sempat marah karena melihat keadaanku yang parah. Tapi bunda mencegah Arga
yang ingin pergi ke polisi.

“Sudahlah, besok kita berangkat” ucap bunda dengan tegas. Aku binggung
maksud bunda.

“Berangkat? Berangkat ke mana bunda?” tanyaku binggung

“Kita akan berangkat ke luar negri. Di sana kamu akan hidup lebih baik bersama
bunda dan Arga”. Aku kaget mendengar ucapan bunda, tapi… ada benarnya. Aku
takut ibu nekat mencariku di sini lalu menjualku, oleh sebab itu aku menyetujui
ucapan bunda.

Tok…tok…tok…kamarku diketuk tepat jam 04.30 dini hari, aku melihat


sekeliling yang nampak kosong dengan lampu yang dimatikan membuatku menggingat
kembali hal yang terjadi malam tadi. Ketakutanku tiba-tiba masuk dalam hati dan
pikiranku. Aku menekuk dan memeluk kedua lutut, karena masih takut.

Tok...tok…tok… pintu kembali diketuk dengan tak sabaran yang menyadarkanku,


buru-buru aku turun dari tempat tidur dan mendekat kearah pintu. Setelah di buka,
nampak seseorang pria dengan gagah didepan pintuku.

“Pagi… Are you okey?” sapa Arga dengan manis dan agak cemas.

“Pagi juga, eum… ngak papa kok” jawabku

“Yaudah kalua gitu… oh iya kamu pergi mandi gih, buanya kecium tau”

“ihhhh”

“nggak… canda sayang, udah sana mandi soalnya kita bakal berangkat” setelah
mengucapkan itu, Arga langsung turun ke bawah dan aku bergegas untuk mandi. Jam
demi jam sudah terlewati, sekarang aku berada di bandara Soekarno Hatta tepat
pukul 06.00 pagi. Sebentar lagi aku akan pergi dari tempat kelahiranku, tempat yang
paling indah sekaligus nerakaku, saksi penderitaanku.

Aku memperhatikan sekeliling bandara ini, namun tanpa segaja aku melihat Dia.
Binggung, sedih dan takut datang bersamaan. Aku melihatnya dari kejauhan sambal
tersenyum, aku bahagia melihat seyumannya. Tapi…disaat yang sama aku takut iya
datang dan menyeretku untuk dijual. Aku tersadar saat bahuku ditepuk oleh
seseorang. Aku menoleh mendapat Arga di belakangku.

“Hei, kenapa melamun?” Tanya Arga yang tahu kalua aku sedang melamun.

“Tidak, hanya…memikirkannya saja”

“Sudahlah buat apa kamu memikirkannya, lebih baik kita bergegas ke pintu
pesawat karena sebentar lagi akan take off” ucap Arga menyudahi lamunanku. Aku
kembali berbalik untuk memastikan keberadaannya. Tapi…ia sudah tidak ada lagi.

“hanya halusinasi…hahhh” gumamku begitu pelan dan sedih. Aku memang


kecewa kepadanya, tapi… hatiku masih menharapkan kehadirannya di saat terakhir
ini.

Aku, Arga dan bunda langsung bergegas ke pintu pesawat. Di pesawat, aku
termenung saat melihat keluar jendela pesawat yang mulai naik ke langit.

“Haruskah aku bahadia atau bersedih? Ia mungkin membentak dan meyiksaku.


Namun… ia yang merawatku selama 9 bulan, memberikanku makan saat aku lapar”
gumamku dengan sedih.

“Selamat tinggal Indonesia, selamat tinggal penderitaan, aku sudah terbebas


dari belenggu besar itu”.

Anda mungkin juga menyukai