Anda di halaman 1dari 5

DENDAM

Oleh: Ramun Suhadi. (LPKA Klas I Martapura)

Malam itu aku melihat ibu menangis dikamar. Air mata membuat
kecantikannya sedikit memudar. Meski keriput merayapi beberapa
bagian kulitnya, tapi bagiku ibu tetap perempuan tercantik di dunia.
“Ada apa ini?” gumamku. Pemandangan yang sangat jarang kulihat
karena ibu adalah sosok wanita kuat dan ceria bahkan tiada hari
tanpa canda tawanya. Aku memberanikan diri untuk menghampiri
ibu. “Ibu.. kenapa menangis? Baru kali ini aku melihat tangisanmu”.
Ibu menoleh dan langsung memelukku. Tidak lama, adik kecilku
yang berumur 2 tahun pun ikut menangis. Beberapa hari ini ibu
hanya tidur bersama adik karena ayah sedang keluar kota. Tidak
biasanya ayah pergi keluar kota lebih dari satu bulan. Apa mungkin
ibu membohongiku? Sambil terus memeluk ibu, aku bertanya lagi
“Ada apa sebenarnya bu?” Lalu ibu menjawab, “Ayahmu menikah
lagi, nak..” Sontak aku pun terkejut mengetahui kabar itu. Rasanya
bagai disambar petir dan tanpa sadar air mataku pun ikut menetes.
Ibu adalah perempuan yang sempurna dan baik hatinya, apa
kekurangan ibu sampai ayah harus menikah lagi? Pertanyaan-
pertanyaan itu terus memenuhi pikiranku. “Tidurlah nak.. ini sudah
malam. Tidak baik tidur terlalu larut.” Aku pun mengangguk
mengiyakan perintah ibu.

Kukuruyukkk.. Suara ayam jantan berkokok. Hari ini adalah hari


minggu, hari dimana aku bisa bermain sepanjang hari bersama
teman-teman. Aku punya sahabat yang bernama Rian, kebetulan
hari ini ia mau mengajakku ke pasar untuk membeli raket badminton
yang baru karena kami suka sekali olahraga itu. Jarak pasar dari
lingkungan kami tidak terlalu jauh, bisa ditempuh hanya dengan
berjalan kaki. “Aldy.. Aldy..” suara Rian memanggil namaku dari
depan rumah, aku pun sudah bersiap untuk pergi. Sepanjang jalan
kami bercanda dan tertawa sampai akhirnya terdengar suara anak-
anak perempuan yang berteriak dengan keras “Aldy.. ayahmu
menikah lagi ya? HAHAHAHA” kami terkejut dan menoleh kepada
mereka. Kulihat mereka terus mengolok-olok sembari tertawa. Aku
pun berlari menjauh dari gerombolan teman sekolah yang tidak
punya hati. “Aku malu! Aku sudah tahu kalau akan diejek-ejek seperti
ini. Aku benci ayahku!!!” ujarku pada Rian. “Sepertinya aku tidak bisa
menemanimu ke pasar, maaf aku harus pulang.” Tangisanku pun tak
bisa lagi dibendung hingga tiba di rumah. “Ibuuu.. dimana ayah
sebenarnya? Tolong beritahu aku bu!” Ibu masuk ke dalam kamar
lalu menulis sebuah alamat. “Temuilah ayahmu, nak.” Ibu
memberikan secarik kertas padaku.

Ayah adalah pemilik kebun pertanian. Lahan kami sangat luas di


Hutan Maratus, Kalimantan Selatan. Bisa dibilang ayah adalah salah
satu orang yang disegani di kampung. Mungkin karena itu pula
banyak yang menyukai ayah. Tidak bisa kuterima karena ayah telah
menyakiti hati ibu. Aku sangat marah kepadanya. Setelah bertanya
kepada setiap orang yang kutemui di jalan, akhirnya aku mendapat
petunjuk dimana rumah ayah dan istri barunya. Aku ke sana dengan
mengendarai sepeda baru hadiah ulang tahun ke-15 dari orang
tuaku.

Brukkk.. kujatuhkan sepeda merahku saat melihat ayah dan istri


barunya. Air mataku pun menetes lagi. Ini adalah pemandangan
yang paling menyakitkan di dalam hidupku. Kuhampiri ayah dan
menariknya. “Ayoo pulang yah!! Ibu dan adik menunggu kita di
rumah. Ayoo yah pulang..” Plakkk! Begitu suara tangan ayah
menyakiti pipi kananku. “Pulang kamu sana! Anak tidak punya sopan
santun. Seharusnya kamu salami dulu ayah dan ibu tirimu. Tolong
hargai ayah!” bentaknya. Lalu ibu tiriku berkata, “Kamu disuruh
ibumu kesini ya?! Bilang padanya, ayahmu lebih senang bersamaku
disini. Ibumu sudah tua dan jelek!”. Amarahku pun memuncak,
“DIAAAMMM!!!” teriakku padanya. Wanita itu mendekatiku dan
menjewer telingaku, “Dasar anak kurang ajar! Tidak kau dengar
ayahmu sudah mengusirmu? Sana pergi dan jangan pernah
menginjakkan kaki kemari lagi!” Hati ini sakit mendengar perkataan
ayah dan ibu tiri. Hujan deras pun datang menemaniku pulang ke
rumah, tubuhku basah bahkan air mataku pun tak bisa lagi
kurasakan. Aku berjanji akan membalas perbuatan jahat mereka
kepadaku dan ibu. Aku dendam.

Hari ini adalah hari ulang tahun adik kecilku yang ke-3 pada
tanggal 10 September, kami merayakannya hanya bertiga di rumah.
Kulihat ibu sudah membelikan kue berbentuk Love yang dilapisi
dengan cokelat dengan banyak buah Strawberry dan angka 3 di
atasnya. Tapi hari ini terasa ada yang kurang tanpa kehadiran ayah.
Ibu terlihat ceria di depan kami tapi aku tahu hatinya pasti sakit
ketika adik bertanya dimana ayah. Keadaan ini membuatku sangat
marah.

Keesokan harinya aku kembali ke rumah ibu tiri, aku


memata-matai area rumahnya. Kulihat ayah masuk ke dalam mobil
dan melaju pergi. “Saat yang tepat untuk membalas dendam
padanya yang sudah menghina ibu” gumamku. Aku memutar ke
belakang rumah bercat putih itu dan kulancarkan rencana jahatku.
Bruukkkk… suara ibu tiriku terjatuh. “Dendamku sudah terbalas..”
kataku dalam hati.

Aku tidak tenang akhir-akhir ini, tidur pun sulit. Besok pagi aku
akan pergi ke kantor polisi. Pagi pun tiba, hari ini tanggal 15
September. Aku bergegas ke Polsek mengendarai sepeda dan
sesampainya disana langsung kutemui bapak berseragam cokelat.
“Pak.. saya lah pelaku pembunuhan ibu tiri saya dan saya siap
mempertanggung jawabkannya.” Itulah kata-kata yang kusampaikan
kepada polisi atas perbuatanku 4 hari silam. Ya.. aku mengakuinya
karena telah melakukan perbuatan keji tanpa kusadari. Entah apa
yang merasuki jiwaku waktu itu, aku benar-benar tidak ingat. Mata ini
seperti buta karena naik pitam. “Ya Tuhan.. ampuni perbuatan
hamba, berikanlah hamba kesempatan kedua” doaku dalam hati.
Tak henti-hentinya aku memohon ampun kepada Tuhan.

Bapak polisi membawaku ke Polres untuk disidik dan ditahan.


Ada 6 orang di dalam sel dan akulah yang paling muda. Rasa takut
menghantuiku selama disini. Dua minggu pun berlalu, aku dibawa ke
Kantor Pengadilan. Pidana 7 tahun 6 bulan adalah vonis dari hakim
untukku. Ibu menangis tak henti-hentinya ketika hakim mengetuk
palu. Ibu… maafkan anakmu. Aku belum bisa membanggakan tapi
malah membuat ibu malu dan bersedih. Aku sangat menyesali
perbuatanku, tiada gunanya punya dendam. Itu hanya membawa kita
ke dalam jurang kejahatan dan kerugian. Andaikan waktu bisa
diulang, aku akan memilih untuk menenangkan diri di tempat yang
jauh sampai hatiku tenang. Maafkan hamba Tuhan..

Waktu berlalu, aku diantar ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak


atau disingkat LPKA di provinsi Kalimantan Selatan. Aku telah
menjadi anak didik pemasyarakatan. Aku merasa lebih aman karena
bertemu banyak teman-teman seumuranku. Mereka sangat baik dan
tulus dalam berteman, mungkin karena didikan dari bapak/ibu
pegawai kepada andikpas.

Setelah 1 minggu tinggal di LPKA kegiatanku menjadi semakin


banyak dan padat tapi aku senang melakukannya. Di pagi hari kami
harus mandi sebelum ke Musholla untuk menunaikan Sholat Subuh,
kami diwajibkan untuk Sholat 5 waktu lalu dilanjutkan Mengaji
membaca Al-Qur’an. Setelah itu aku bersama teman membersihkan
Musholla dan sekitarnya. Setiap hari pula diharuskan berolahraga
dan sekolah. Aku benar-benar dibina dan tetap bisa bersekolah
untuk menamatkan pendidikanku hingga SMA nanti di LPKA. Tuhan
pasti punya rencana untukku dan mungkin ini salah satu cara agar
aku bisa mendekatkan diri kepada-NYA.

Martapura, 23 November 2020


Biografi Penulis.

Nama saya Ramun Suhadi, andikpas pada LPKA Klas I


Martapura. Saya lahir di Desa Patikalain pada tanggal 18 Mei 2005.
Hobi saya menulis dan bermain badminton. Kisah yang saya tulis
adalah kisah nyata dengan nama samaran. Saya harap kisah ini bisa
menjadi pembelajaran agar tidak menyimpan dendam.

Anda mungkin juga menyukai