Anda di halaman 1dari 5

Nama : Radif Zaidan Saputra

Kelas : 9D

Aku Rindu Ayah

Aku adalah seorang anak yang terlahir dari sebuah keluarga kecil yang sederhana.
Keluargaku terdiri dari enam orang, yaitu Ayah, Ibu, aku dan tiga orang adikku. Aku sangat
bahagia, mempunyai keluarga yang harmonis dan sangat sayang kepadaku dan adik-
adikku. Kebahagiaan selalu menghiasi hari-hari kami walaupun terkadang terjadi
keributan kecil antara aku dan adikku, tapi kedua orangtuaku bisa memakluminya dan
selalu menasehati kami tanpa amarahnya.

Ayahku adalah seorang pekerja swasta yang memiliki pekerjaan tidak tetap. Upah yang
diterima kadang kala kurang memenuhi kebutuhan keluarga kami, seperti biaya
sekolahku, susu untuk adik-adikku dan keperluan rumah tangga lainnya. Namun dengan
keadaan ini ibuku tak pernah mengeluh, selalu memahami dan tidak pernah menuntut
sesuatu yang lebih dari ayahku, Ibu selalu menyambut kedatangan ayahku dengan
senyum yang indah ketika Ayah pulang kerja.

Ayahku sangat menyayangi anak-anaknya, Ayah tidak pernah marah jika kami melakukan
kesalahan, hanya nasehat-nasehat bijak yang membuat kami malu untuk melakukan lagi
kesalahan yang sama.

Aku sangat menghormati dan menyayangi ayahku, bahkan rasa ini terasa masih kurang
bila dibandingkan dengan perjuangan keras yang dilakukannya demi menghidupi
keluarga kecilnya. Sampai suatu ketika, tanpa alasan yang bisa dimengerti, Ayah berubah
sikap kepada kami. Ayah menjadi mudah marah, kesalahan yang kecil yang kami lakukan
berubah menjadi masalah yang besar, sepertinya aku dan Ibu adalah musuh terbesarnya.
Kebahagiaan yang dulu kami rasakan telah berubah menjadi hari-hari yang menakutkan
jika Ayah marah, dia selalu membentak kami dengan suara yang keras. Pada saat Ibu
menyiapkan makan malam kami, Ayah datang dengan wajah tidak ramah seperti sedang
menahan amarahnya. Aku dan adik-adikku takut melihat wajah Ayah yang seperti itu.
Kami hanya menunduk dan duduk terdiam tanpa kata, sampai akhirnya dengan suara
yang lembut ibu membuka pembicaraan menanyakan keadaan ayahku hari ini. “Ayah
kenapa, kok wajahnya seperti itu?” sapa Ibu. Ayah hanya diam. Tidak ada sepatah kata
pun terucap dari bibirnya.
Dengan penuh kesabaran Ibu lantas bertanya lagi. “Ayah kenapa, kecapekan ya yah?
kok pertanyaan Ibu tidak Ayah jawab?”, Kali ini Ayah menjawab, namun bukan jawaban
kelembutan yang kami dengar melainkan sebuah kalimat kasar dengan nada keras yang
mengagetkan kami. “Kamu ini tidak melihat apa, aku sedang makan, malah bertanya
terus, jadi hilang selera makanku melihat kamu!” ujar Ayah.
Ayah melempar piring yang masih berisi nasi itu ke lantai, hingga nasi dan pecahan piring
berhamburan kemana-mana. Melihat ini membuat Ibu sedih dan menangis. Kudekap
adik-adikku dan kubawa masuk ke kamar untuk mengurangi rasa ketakutan mereka.
Setelah itu kuhampiri Ibu untuk menenangkannya, tetapi Ibu menolak dan memintaku
pergi, mungkin untuk saat ini Ibu lebih memilih untuk sendiri. Kemudian aku tinggalkan
Ibu di ruang makan dan kembali kuhampiri adik-adikku di dalam kamar. Sedih hatiku
melihat wajah ketakutan mereka. Aku sangat kaget terhadap perubahan sikap Ayah yang
kuhormati dan kubanggakan selama ini, yang semula bagaikan malaikat, kini tiba-tiba
seperti monster yang menghantui hari-hari kami.
Aku masih tidak percaya dengan kejadian itu, dan perubahan sikap Ayah. Aku bertanya-
tanya apa yang salah dari Ibu, aku, dan adik-adikku? Selalu kubertanya dalam hati dan
selalu saja tak bisa kutemukan jawabannya. Hingga kudapati telepon genggam ayah
tertinggal saat beliau pergi bekerja. Tidak lama kemudian telepon Ayah berbunyi, ternyata
sebuah pesan singkat masuk, takut ada yang penting, kuberanikan diri untuk membaca
pesan masuk di telepon genggam Ayah, saat kubaca pesan singkat yang ternyata dari
seorang wanita itu membuat aku terkejut dan tidak percaya. Sebuah pesan mesra dari
seorang wanita yang sepertinya sedang dekat dengan Ayah membuatku kecewa pada
Ayah yang kukagumi dan kubanggakan selama ini. Rasa ingin bercerita kepada Ibu mulai
menyeruak dalam hatiku, namun perasaan tidak tega dan membayangkan wajah sedih
ibu membuatku mengurungkan niat itu, aku lebih memilih untuk menyembunyikannya.
Siang itu, kucari dan kupanggil Ibu dan adik-adikku seperti biasa kulakukan sepulang
sekolah. Kali ini kutemui Ibu sedang menangis di ruang makan. “Ibu mengapa menangis?”
tanyaku. “Ibu mendapat kabar dari tetangga kalau Ayah kemarin pergi bersama seorang
wanita”, jawab ibu yang membuat aku kaget mendengarnya. “Ternyata sampai juga berita
ini kepada ibu”, gumamku.
“Ibu, mungkin tetangga kita salah lihat, siapa tahu yag dia lihat itu bukan Ayah, tapi orang
lain” ujarku. “Tidak, itu benar ayahmu”, sahut Ibu kembali.
Aku hanya terdiam saat mendengar perkataan Ibu. Kupeluk Ibu sekedar untuk
menenangkannya. Kuajak ibu masuk ke dalam kamar untuk segera beristirahat.
Keesokan harinya, aku pergi bersama temanku untuk mencari sebuah buku. Di tengah
perjalanan kulihat Ayah sedang berboncengan motor dengan seorang wanita, betapa
kagetnya aku melihat pemandangan itu. Aku tidak habis pikir kenapa Ayah bisa tega
seperti itu, “Apa salah kami kepada Ayah? kenapa Ayah tega berbuat seperti ini kepada
kami?” ujarku dalam hati. Kuurungkan niat membeli buku dan kuajak temanku segera
pulang.

Sesampainya di rumah, aku berlari menuju kamar, kuhempaskan saja tas bawaanku ke
sudut kamar, perasaan marah, kecewa dan emosi mulai mendera dalam hatiku, entah
berapa lama aku menangis hingga membuatku tertidur. Aku terbangun saat mendengar
suara keributan, ternyata Ibu dan Ayah sedang bertengkar. Aku takut mendengarnya.
Kuhampiri dan segera kulerai mereka. Aku melihat Ibu menangis, ketika Ayah ingin
mendaratkan tangannya ke pipi Ibu, aku langsung menarik dan memeluk Ibu. Ayah
membentak Ibu dengan suara yang sangat keras dan langsung meninggalkan kami.
Semenjak kejadian itu, Ayah tidak pernah pulang ke rumah, tapi kali ini terasa aneh, Ibu
sama sekali tidak perduli, bahkan terkesan Ibu membiarkan saja keadaan ini. Mungkin
kekecewaan yang teramat sangat membuat Ibu bersikap seperti ini.

Hari-hari kami sekarang dilalui tanpa Ayah. Menjelang tiga minggu Ayah tidak bersama
kami, aku mulai merasa ada yang hilang dalam kehidupan kami, perasaan rindu akan
kehadiran dan kehangatan seorang Ayah mulai menggangguku. Aku rindu sosok yang
selalu menjaga keluarga kami. Aku rindu sosok yang selalu membuat kami bahagia. Aku
rindu sosok yang selalu tersenyum dan pelukan hangat nasehatnya. Aku tidak tahu
kemana harus mencari Ayah. Hanya seuntai doa yang kupanjatkan semoga Ayah cepat
pulang ke rumah dan hari-hari kami kembali seperti dulu.

Hari ini tepat tanggal 27 Maret 2013 adalah hari ulang tahunku. Ibu, adik-adikku dan
kerabat dekatku merayakannya dengan gembira, meskipun hanya acara kecil-kecilan
namun terasa khidmat dipenuhi rasa syukur kepada-Nya. Namun kebahagiaan hari ini
masih terasa kurang tanpa kehadiran ayah. Kembali perasaan rindu itu menggangguku.
Aku berdoa dan berharap Ayah bisa hadir hari ini. Aku yakin Ayah pasti ingat hari
spesialku ini. Semoga Tuhan menjawab doaku dan membawa Ayah kembali bersama
kami.

Di tengah kebahagiaan yang aku rasakan, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dan
ucapan salam yang membuat kami terkejut. Tampak wajah yang kami kenal dengan
berpakaian rapi hadir di hadapan kami. Senyum itu, tatapan itu membuatku segera berlari
memeluknya. “Aayaahhh!” teriakku gembira.
Seakan tak percaya, Ayah benar-benar hadir di hari ulang tahunku. Terimakasih Tuhan,
Kau telah menjawab semua doa kami. Kemudian disusul oleh Ibu dan adik-adikku ikut
memeluk Ayah. Suasana gembira dan haru meliputi keluarga kami saat itu.
“Ayah pulang, kamu jangan menangis lagi sayang, Ayah kembali untuk kamu, adik-adik
dan ibu, maafkan Ayah ya” ucap ayah.
“Ibu, maafkan Ayah, Ayah sudah salah, Ayah sangat menyesal,” lanjut Ayah.
“Maaf untuk apa? Ayah enggak salah,” jawab Ibu.
“Ayah tahu, pasti Ibu sangat marah pada Ayah,” jawab Ayah lagi.
“Ibu gak marah sama Ayah, tapi Ibu hanya benci dengan perlakuan Ayah”
Melihat perdebatan Ibu dan Ayah membuatku sedih, apalagi saat kulihat guratan wajah
lelah Ayah terlihat kecewa melihat sikap Ibu yang seperti itu. Ketika Ayah hendak pergi,
aku langsung mengejar Ayah dan meminta Ayah untuk tidak pergi meninggalkan kami
lagi. Tiba-tiba Ibu berkata, “Maafkan Ibu yah, Ibu sudah egois tidak memaafkan kesalahan
Ayah”.
“Iya bu, ayah minta maaf karena sudah sia-siakan kalian”, jawab ayah. Akhirnya kami
semua berpelukan dan saling melepas rindu. Kini Ayah telah kembali bersama kami.
Semoga Tuhan menjaga keutuhan dan kebahagiaan keluarga kami. Aamiin.

Anda mungkin juga menyukai