Daftar Isi,
3. Melukis Harapan
Dengan sayang,
Berpisah?
Bahkan itu jauh lebih mudah dibanding tuntutan laki-laki yang menjadi ayah dua
orang anak itu.
Tanya ibu tegas. Namun semakin keras ibu memohon, semakin kuat cengkeraman tangan
kekar yang menarik rambut hitam ibu.
Tak berhenti disana, lelaki itu membanting pintu dengan sangat keras dan pergi
menggunakan kuda besi kebanggan keluarga kami saat itu. Masih kuingat, kaca jendela pun ikut
retak saking kerasnya.
Wanita itu tersungkur di atas lantai. Belum ada gerakan, hanya terdengar suara rintihan
antara kesakitan dan kekecewaan.
Saat itu aku dan kakak laki-lakiku, Mas Said. Kami baru pulang mengaji dari rumah Mbah
Saji. Saat tiba di rumah, aku dan Mas Said diminta untuk masuk ke kamar. Aku merasa ada yang
tidak seperti biasanya antara ibu dan ayah. Dugaanku benar. Ibu dan ayah bertengkar dengan alas
an yang tidak kuketahui sama sekali. Aku dan Mas Said mengintip semua pertengkaran antara
ayah dan ibu dari pintu yang tidak ditutup rapat.
Suatu ketika, ayah pulang dengan sebuah sedan silver dan membawa sebuah dus besar
berisi Tamiya dan lintasannya kesukaan Mas Said, dan 5 pasang boneka Barbie lengkap dengan
baju dan rumah-rumahan Barbie yang merupakan keinginanku sejak aku berusia 4 tahun. Ayah
juga membelikan aku dan Mas Said sepatu dan baju-baju anak yang tidak semua anak
seumuranku memilikinnya. Ayah memberikan ibu sebuah oven baru dimana hobi ibu adalah
membuat kue. Ayah juga memberikan ibu sejumlah perhiasan. Kebahagiaan terpancar jelas dari
wajah ibu. Seolah-olah luka yang ia dapatkan dari ayah terlupakan begitu saja.
Sejak saat itu, aku merasa kebahagiaan tiada habisnya. Ayah membeli rumah baru, membeli
sebuah ruko di Malioboro untuk bisnis kue kesukaan ibu. Aku dan Mas Said yang bisa bepergian
kemanapun sesuka hati tanpa mengganggu ayah yang bekerja. Hanya dengan meminta Pak Parno
mengantar kami dengan sebuah city car baru berwarna hitam keluaran terbaru tahun 2000.
Sangat bahagia.
“Tidak!, aku lebih memilih hidup miskin dari pada bersanding dengan wanita binal itu!!!”
Teriakan ibu terdengar di rumah yang baru kutinggali 2 bulan ini. Aku dan Mas Said
langsung menuju ruang tamu yang disana ada seorang wanita asing yang tidak kukenal.
Haruskah wajah manis dan pipi lembut itu menjadi korban dari tangan kekar itu? Semata
membela diri dan mempertahankan harga diri. Wanita itu tersungkur di atas lantai. Belum ada
gerakan, hanya terdengar suara rintihan antara kesakitan dan kekecewaan.
Dan dua anak yang baru dua bulan lalu merasa sebagai anak yang paling beruntung di
dunia, semua sirna oleh sikap ayah yang seperti itu.
Aku dan Mas Said kemudian dihadapkan oleh dua pilihan, hidup bersama ayah, atau ibu.
Tak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa aku akan berada dalam keadaan seperti itu.
Di peristiwa sedemikian pelik, ibu mencoba tetap bertahan.
Demi anak-anak katanya.
Seorang laki-laki yang ia percaya seutuhnya, baru saja membawa wanita lain di tempat yang
kusebut ‘istana’ tanpa penjelasan. Istanaku , berada di kawasan Bantul, Yogyakarta.
Lelaki itulah matahariku. Sosok tegar yang kuharapkan menjadi penggerak mimpi. Mimpi-
mimpi yang sering kuceritakan padanya bersama Mas Said setiap malam.
Tapi kejadian malam itu? Tak sanggup kuterima. Kejadian yang tidak diinginkan oleh anak
manapun. Terlebih saat itu adalah hari lahirku yang ke-6 tahun, membuat matahariku satu-
satunya tenggelam, terenggut gelapnya malam.
Ya. Malam.
Malam adalah saksi dari semua peristiwa dihidupku. Itu sebabnya aku tak suka malam sejak
kecil. Ditambah beberapa kejadian yang tidak menyenangkan yang kualami saat duduk di
bangku SMP juga terjadi saat malam hari. Membuatku sedikit menghindari malam.
Ditandai dengan adanya kantung di bawah mata karena terlalu lelah menangisi semua hal yang
telah terjadi.
Aku heran, mengapa harus selalu berakhir dengan tidak menyenangkan.
Bahkan di antara rasa patah tersebut mampu membuatku meniadakan rasa percaya kepada siapa
pun di muka bumi.
Di saat dunia terasa tak bersahabat.
Semoga kesedihanku menemui sebuah ujung yang menyadarkanku bahwa diri ini harus bangkit
dan tegak kembali.
Semoga segala patah membuatku semakin pandai untuk tahu di mana meletakkan hati.
Untuk Bapak,
Ada jemari yang tiba-tiba kaku ketika harus menuliskan kembali tentang rasa yang pernah
hinggap pada tubuhku.
Rasa yang pada setiap malamnya bisa membuat tubuh jadi menggigil, pikiran yang kalut, dan
hati yang semrawut.
Mengingat dengan jelas setiap inci pertemuan yang dipenuhi dengan percakapan tak penting,
keusilan seperti anak-anak, hingga kehabisan topik yang membuat kita sama-sama berdiam diri.
Hingga kini.
Masih teringat perihal ucapannya yang bisa membuatku begitu merasa hangat.
Seolah-olah aku sedang didekapnya sangat erat. Tak pernah mengizinkanku terlepas, apalagi
sampai membiarkanku berjalan seorang diri.
Dulu, pernah rasanya sehangat itu, hingga akhirnya aku merasakan sedingin ini
Hingga kini.
Aku telah berusaha menerima, ketika bapak telah berbahagia saat aku melihat ibu menderita.
Aku telah rela ketika bapak sudah mengkhianati ibu, aku belajar menerima tanpa membencimu.
Wahai bapakku.
Tentang perpisahan
Percayalah tak akan ada hati yang baik-baik saja setelah perpisahan.
Yang sebenarnya keduanya memiliki sisi sama baik, walau saat itu perpisahan terlihat lebih
menyakitkan.
Tak perlu menyalahkan siapa-siapa dalam sebuah hubungan yang berakhir pisah. Karena baik
perempuan maupun laki-laki memiliki potensi yang sama untuk meninggalkan dan melukai.
Hanya tak bisa ditebak siapa yang akan mendahului.
Aku sering bertanya-tanya, apakah ibu mencintai bapak? Apakah bapak mencintai ibu? Ataukah
mereka sekadar saling berkompromi hidup bersama demi menjaga kami anak-anaknya. Sebesar
apakah cinta dibutuhkan untuk membuat dua anak manusia bisa bertahan hingga saat ini?
Pernah aku mendapati ibu menangis di kamar sendirian. Air matanya jatuh dengan napas
tersengal sesenggukan. Aku bertanya, “Ibu kenapa?” Ibu bilang bapak membuatnya luka. Aku
tanya lagi, “Sudah berapa kali?”, ibu bilang berkali-kali.
Di lain waktu, aku melihat bapak sedang merokok di teras rumah dengan mata merah dan dada
naik turun menahan amarah. Di dapur ibu marah-marah. Aku bertanya, “Bapak kenapa?”, bapak
bilang ibu membuatnya luka. Aku tanya lagi, “Sudah berapa kali?”, bapak bilang berkali-kali.
Namun, keesokan harinya bapak bangun lebih dulu dari mentari, diambilnya sajadah dan
berangkat ke musholla di ujung komplek. Aku mengikuti di belakang sambil terkantuk. Dalam
doa selepas salam aku mendengar lirih ayah berucap agar Tuhan menjaga keluarganya dan
memberi rezeki berlimpah.
Selepas itu aku bertanya dalam hati, bagaimanakah cinta bekerja? Jika sudah berkali-kali dibuat
terluka kenapa tidak saling berpisah saja dari dulu? Menepuk pundak masing-masing dan
berkata, sebaiknya kita sudahi saja, karena luka hanya membuat perih dan derita.
Meski begitu kuat keinginanku untuk bertanya, aku urungkan niat untuk mencari tahu jawaban
dari lisan mereka.
Sebab, seiring bertambahnya usia, aku semakin mengerti, mungkin begitulah cinta bekerja, suatu
kali membuatmu terluka, di lain waktu, cinta pula yang menyembuhkannya.
Bagi ibu dan bapak, cinta terbesar mereka adalah kami: anak-anaknya.
Hingga akhirnya aku bisa mengambil kesimpulan bahwa: cinta tak perlulah besar dan mewah.
Keistimewaannya adalah ketika cinta itu selalu ada, hadir dengan kesetiannya yang sempurna.
Sebab bagi ibu dan bapak, cinta mereka lebih nyata dari kata cinta itu sendiri.
Dulu iya...
Untuk bapak:
Sebagai anak, kadang aku berpikir. Apa guna menjadi seperti apa yang engkau pinta, menyeka
air mata yang jatuh itu, mematuhi segala keinginanmu, memeluk kesepianmu, bahkan rela
memperjuangkanmu yang perasannya masih utuh pada seseorang setelah ibu.
Bapak.. selalu seperti ini setiap malam. Kebingungan, kelimpungan. Karena semenjak kau tak di
rumah, aku bingung harus rindu siapa. Di dadaku terkubur banyak peti mati. Ada yang satu
mulai menua dan membusuk, tapi tak juga kuburkan, yaitu
rindu untukmu.