Anda di halaman 1dari 4

ADA SENDU, YANG BERSEMAYAM DICERUK KALBU

Sore yang temaram dan murung. Tak ada bianglala di cakrawala yang membentang
berpendar. Aku terduduk diam di bangku taman di bawah pohon rindang. Tak terasa buih kesedihan
itu jatuh dari pelupuk mataku, mengalir deras membasahi pipiku. Mengingat kembali sendu yang
telah lama bersemayam diceruk kalbu.

Kala itu, hidupku mengalun merdu. Bersama orang-orang yang aku cintai dan mencintai aku
kembali. Sampai suatu ketika, rentetan kisah yang menyedihkan dan menyebalkan itu berlalu-lalang
silih berganti di alur hidupku. Perpisahan demi perpisahan yang menyakitkan terus berdatangan.

Aku terlahir dari keluarga: Ibu yang penuh akan kasih sayang, Bapa yang baik serta
meneduhkan dan seorang Kakak perempuan yang penuh kelembutan. Keluarga yang hangat. Aku
hadir dari Rahim seorang ibu yang kuat. Aku diberi nama Bima. Seakan itu adalah sebuah doa
untukku, sebuah pusaka yang diberikan oleh Bapa dan Ibuku agar Aku menjadi seorang lelaki yang
tangguh, lelaki yang dapat menjadi Bima dalam hidupnya. Kakakku yang jelita, bernama Alma.
Wanita tabah dan hebat yang menjagaku selepas kepergian Ibu dan Bapa. Kepergian yang sangat
menyakitkan dalam hidup kami. Karena sebuah kecelakaan itu; Kecelakaan yang disebabkan oleh
pengendara yang sedang mabuk, lalu oleng dan menghantam mobil orang tuaku hingga akhirnya
masuk ke dalam jurang yang maha dalam. Itu membuatku sangat marah; marah ingin menghajar si
pemabuk bajingan itu; marah ingin memukulinya; mencabik-cabiknya; mengoyak-ngoyak tubuhnya
hingga hancur berkeping-keping tak tersisa. Tapi kurasa itu percuma, pun nanti si bajingan itu akan
mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatan bodohnya itu. Karena Aku yakin bahwa Tuhan
adalah yang maha adil.

Selepas kepergian itu, Aku bersama Kakak bertahan di detik kehidupan yang terus berdetak,
merangkak maju dan berjalan bersama kenangan yang pahit. Kakak bekerja serabutan serta
mengorbankan kuliahnya demi memenuhi kebutuhan hidup kami. Aku di paksanya untuk tetap
melanjutkan sekolah. Walau terkadang Aku sering merengek tak mau sekolah karena ingin
membantunya mencari nafkah. Namun Dia menolak, Katanya Aku harus tetap sekolah supaya
menjadi manusia yang berilmu.

“De, kamu harus tetap sekolah, sampe nanti kuliah. Belajar yang bener, jangan sia-siain
perjuangan Kaka, jangan ngecewain Kaka, Kaka sayang sama kamu.” Nasihatnya yang penuh kasih
sayang.

Semenjak itu Aku mulai serius kembali belajar dan mulai menghapus sedikit demi sedikit pilu
kesedihan itu. Aku tak ingin membuatnya kecewa; Aku tak ingin membuatnya merasa bersalah
karena harus menjadi yang tidak sesuai dengan harapan yang Ibu dan Bapa inginkan. “Yaitu: menjadi
manusia yang baik dan bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Waktu berlalu, masalah demi masalah yang menghantam dan menghujam dapat kami lalui
dan nikmati bersama. Sampai suatu ketika, di bawah naungan atap kelabu dan cahaya remang-
remang lampu, kakak tergeletak kaku.

“Ka, Kaka kenapa? Kaka nggapapa kan?!” Tanyaku. Sambil ku angkat tubuhnya, untuk Aku
baringkan di atas tempat tidur. Lalu dengan penuh cemas Aku bertanya kepadanya.

Napasnya yang sudah terengah-engah, kemudian bibirnya yang kelu berucap

“Kaka nggapapa de, cuma cape doang. Soalnya tadi kaka kerjanya lembur.” Jawabnya, lemas.

Sudah beberapa hari ini, dia kulihat seperti kurang baik. Jam pulang kerjanya yang selalu
pulang larut malam itu, selalu membuatku cemas dan khawatir ke padanya.

“Udah lah ka, jangan terlalu diporsir kerjanya. Liat, Kaka sampe kaya ginikan! Lagiankan Aku
juga sering bilang ke Kaka, Aku juga mau bantu Kaka kerja!” Tegasku ke padanya. Namun tetap saja
dia bersikeras dengan tidak memperbolehkan Aku untuk membantunya bekerja.

“Ngga! pokonya Kamu ngga boleh ikut bantu Kaka kerja, biar Kaka aja yang cari uang,
tugasmu cuma satu Bima, ‘Belajar’. Biar Kamu bisa jadi manusia yang berguna dan buat bangga Ibu
dan Bapa di surga.” Jawabnya yang penuh penekanan.

Aku terdiam, bibirku membisu. Lalu …

“Yaudah, sekarang Kaka istirahat aja ya, biar cepet sembuh.” Jawabku setelah beberapa saat
terdiam. Sebelum Aku pergi, ku kecup keningnya dengan penuh cinta. Lekas pulih dan membaik
malaikatku.

Malam itu resah dan gundah melumut, menjelma menjadi sahutan penuh rasa takut. Resah
memikirkan keselamatan, kesehatan, yang sedang dialami Kakak. Gundah bagaimana melanjutkan
hidup dengan keadaan yang susah seperti ini. Sempat terlintas juga di benakku, apa mungkin
penyebab Kakak terkulai sakit adalah karena Aku? Apa mungkin Aku hanyalah beban baginya? Jika
ya, maafkan Aku yang belum bisa meringankan bebanmu. Maafkan Aku, jika Aku harus menjadi
prioritas utamamu, sampai-sampai Kau menelantarkan dirimu sendiri hanya untuk Adikmu yang
menyusahkan ini. Mungkin juga sebaliknya, di dalam hati kecilmu, Aku adalah harta yang paling
berharga untukmu, harta satu-satunya yang kini Kau miliki. Dan untuk kesekian kalinya, maafkan
Aku. Maafkan Aku. Lagi dan lagi. Yang belum bisa berbuat apa-apa. Setelah berperang dengan nalar
dan naluriku, Aku memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhku.

Malam berganti dengan pagi. Aku mengintip dari balik pintu kamar Kakak. Kulihat Dia masih
terbaring diatas ranjangnya. Lalu Aku masuk mencoba untuk membangunkannya dan mengajaknya
berobat ke rumah sakit. Ku usap keningnya, Ku belai rambutnya.

“Ka, Ka, Ka bangun Ka, udah pagi. Ayo ke dokter.” Aneh, keningnya terasa dingin. Bibirnya
memucat. Kemudian, kuletakan jari telunjukku di kedua lubang hidungnya, tak ada napas yang
keluar dari celah lubangnya. Kupegang nadinya lalu kutekan dadanya. Kakak tak kunjung sadar. Aku
pasrah dengan semua keadaan yang Aku alami sekarang. Tak percaya setelah kehilangan yang
menyakitkan dimasa lalu, kini Aku kembali mengalami sakit yang dulu ku alami. Hatiku seperti di
tusuk pedang panas yang di tancapkan oleh setan dari neraka. Tubuhku seperti di iris-iris oleh pisau
yang tajam menjadi sayatan penuh derita; yang seakan tak kunjung usai; tak kunjung reda. Kakak
yang sangat Aku sayangi, Kakak yang selalu berkorban untukku; kakak yang menjagaku selama ini;
pergi untuk selamanya meninggalkan Aku sebatangkara di dunia yang Aku rasa tak pernah adil ke
padaku. Dunia yang seakan terus-menerus memberikan Aku kepergian dan kehilangan tanpa henti.
Sekarang, Aku hanya bisa berharap serta berdoa, Kau bertemu Ibu dan Bapa di surga. Semoga
tenang kalian semua.

Beberapa waktu setelah pemakaman Kakak. Aku masuk ke kamarnya, hanya sekedar untuk
melepas rindu padanya. Tanganku meraih bingkai foto, kulihat wajahnya yang cantik, yang manis.
Tak sengaja jemariku menyinggung tas miliknya dan menjatuhakannya. Tas yang sedikit terbuka;
terlihat ada sepucuk surat yang sudah usang di dalamnya. Kubuka surat itu, dan tertulis bahwa itu
adalah surat dari sebuah hasil pemeriksaan dokter, yang menyatakan bahwa ternyata Kakak
mengalami sakit Asma akut yang selama ini ia sembunyikan dariku.

Dan pada akhirnya, Aku harus pasrah terhadap ketentuanya. Walau sering terbesit bahwa
semua ini serasa sangat tidak adil untukku. Aku sering mendengar dari ocehan orang-orang, katanya:
orang yang baik biasanya tidak berumur panjang. Lantas, sebegitu jahatnyakah Aku; Sampai-sampai
Aku tetap di biarkannya hidup selama ini dengan kepedihan yang bertubi-tubi datang; menerjang
seperti ombak yang membuat kapal karam ditengah lautan. Tapi itu juga membuat Aku sadar,
bahwa pada dasarnya hidup adalah tentang soal keikhlasan; keikhlasan akan sebuah kehadiran yang
berujung kepergian; keikhlasan atas sebuah ketentuan yang terkadang berakhir menyakitkan; serta
keikhlasan-keikhlasan lainnya yang akan datang, untuk Aku jadikan pelajaran dan akan Aku usahakan
untuk menerimanya dengan hati yang lapang.
Pada sebuah kala yang sudah ditentukan

takdir berjalan sesuai kehendaknya.

Pada sebuah kala yang terus berdetak tanpa henti

terima kasih atas semua kejutan-kejutan yang telah diberikan.

Pada sebuah kala yang tak mungkin bisa ku ubah

Aku belajar tentang hal-hal yang walau pun sakit, namun tetap harus ku syukuri.

Karena semua itu sudah menjadi garis yang Tuhan tetapkan.

Dan Aku yakin, bahwa Tuhan memberikan ujian tak melebihi batas kemampuan Hambanya.

Anda mungkin juga menyukai