Anda di halaman 1dari 4

MAHASISWA (MASA RAWAN BUNUH DIRI?

)
-Widiawati-

Sore ini terasa begitu sunyi. Cahaya jingga matahari bersinar dengan terang menembus
jendela kaca kamar kost ku. Kicauan burung yang entah sejak kapan hadir membuat
suasananya menjadi sangat tenang. “Apakah sudah waktunya, aku kembali kepada Tuhan?”

Tali bersimpul gantung itu, sudah tergantung di sana sejak beberapa minggu yang lalu
namun, kesempatan untuk benar-benar mempergunakannya belum tiba. Seperti selalu saja ada
halangan untuk melakukannya. Namun kini, semuanya terasa sangat mendukung. Tak ada
seorang pun disini, hanya aku dengan kicauan burung dan hangatnya sore hari. “Apakah ini
waktunya? Ini terlalu mendukung untuk dikatakan ‘tidak’.”

Aku menghela nafas berat, memandang ke sekeliling kamar yang berantakan. Perlahan,
ku gerakkan badan ini untuk membereskan satu persatu kekacauan ini. Setidaknya, aku harus
pergi tanpa prasangka berlebihan yang akan orang lain bangun tentang ku.

Setelah semuanya selesai, sembari mempersiapkan bangku yang akan membantuku,


sebaiknya kuceritakan sedikit identitas diriku sekarang. Halo namaku adalah Anila Freka,
mahasiswa kedokteran semester tujuh di salah satu universitas bergengsi yang ada di kotaku.
Aku tidak terlalu pintar, aku berhasil masuk jurusan ini lewat jalur mandiri. Jurusan yang
menjadi impian orang tuaku yang tak bisa mereka capai. Kedua orang tuaku sudah berpisah
sejak lama, lebih tepatnya Ayah berpulang ke Yang Maha Kuasa sejak aku berumur 17 tahun.
Aku memiliki seorang Adik perempuan yang masih TK, Adik kesayangan ku yang selalu
menangis jika kutinggalkan ketika hendak pulang dari kampung halaman.

Baik, menurut ku sudah cukup. Mari kita kembali fokus pada tujuan utama kita, eh
maksud ku, “aku” sore ini. Didepan mataku sudah jelas terlihat tali itu, tersadar bahwa kini
benar-benar aku akan berhasil melakukannya. Kutatap sebuah pena dan kertas kosong yang
sudah kusiapkan sejak lama. Sebenarnya, aku ingin menuliskan beberapa kalimat untuk sang
Mama dan Adikku tapi, terlalu sulit untuk menjelaskan semuanya, terlalu rumit jika hanya
mengatakan bahwa aku sangat lelah. Ku tinggalkan saja semua prasangka yang akan orang lain
ciptakan tentang ku, intinya hari ini aku hanya ingin pergi dengan tenang.

Saat tali ini sudah benar-benar melingkar ke leherku, bersamaan dengan suara dengung
yang menyeruak ke dalam telingaku, Anila kau berhasil. Sekarang kau hanya perlu melompat
dari kursi ini dan semuanya akan selesai.
“Bruk...” suara kursi jatuh berdengung kencang di ruangan yang hening itu. Nafasku
tersengal, kepalaku berdenyut hebat, dan leherku yang semakin menegang. Ternyata begini
rasa sakit nya ya, begitu hebat hingga membuat air mataku terus berjatuhan. Dalam kesakitan
itu juga aku mengingat semuanya, seakan benar bahwa saat kita akan meninggalkan dunia
segala kenangan indah akan menghampiri. Dalam waktu tidak hampir 5 detik itu aku dapat
mengingat bahkan melihat semuanya. Kini aku merasa telah di tarik kembali saat pertama kali
aku dilahirkan di dunia.

Aku mengingat dengan jelas, saat Mamaku menangis di atas ranjang rumah sakit sesaat
setelah aku berhasil terlahir ke dunia. Aku melihat dengan jelas, tangisannya yang mengalir
deras, nafasnya yang tak stabil, dan dokter yang bernafas lega. Aku melihat semuanya, diriku
yang rapuh itu menangis pertama kalinya di atas pangkuan sang Dokter. Berganti lagi, aku kini
di lempar ke kenangan saat kedua orang tuaku saling berseru senang ketika aku pertama kali
mengeluarkan kata “Mama” dari suara mungilku.

Semuanya kembali bergulir, aku kini melihat dengan jelas kenangan saat aku pertama
kali menginjak bangku sekolah, hari itu aku terlihat sangat mungil berlari ke dalam kelas yang
dipenuhi oleh anak seusiaku. Aku berdiri di sudut kenangan itu, menatap diriku sendiri yang
sedang tersenyum manis.

Selanjutnya, kini aku dibawa oleh sang kenangan melihat diriku sendiri yang telah
beranjak remaja. Masa dimana aku mulai membangkang pada kedua orang tuaku. Masa suram
itu perlahan mengalihkan dunia yang orang tuaku bangun untukku. Aku melihat dengan jelas
gadis nakal itu sering tidak masuk kelas hanya untuk pergi berduaan dengan kekasihnya. Aku
menghela nafas berat, ternyata aku benar-benar seburuk itu. Hingga saat pertengahan malam,
saat dunia sedang beristirahat sejenak, disana aku melihat wajah Mama sedang menangis di
pertengahan malam, meminta diriku agar kembali menjadi gadis kecilnya yang baik hati,
menurut kepada kedua orang tuanya, dan tidak tersesat pada jalannya sekarang.

Waktu berlalu begitu cepat dan kini, aku terlempar kembali pada masa yang membuat
duniaku hancur seketika yakni saat Ayahku pergi untuk selama-lamanya. Sekali lagi aku
merasakan sakit yang begitu hebat, gadis yang menyerupai diriku di sana tengah menangis di
samping jasad Ayahnya yang sudah tidak bernafas. “Halo Ayah” lirihku dalam hati dari sudut
kenangan.

Aku berjalan lagi, ke waktu saat Mama memaksa ku untuk masuk ke jurusan
Kedokteran padahal aku tahu bahwa kami sangat kesulitan uang pada waktu itu. Aku melihat
dengan jelas betapa aku menentang keputusannya, tapi Mama selalu berkata bahwa itu adalah
impian Ayah dan dirinya yang tidak terwujud.

Aku berpindah lagi ke masa-masa dalam ingatan dengan cepat. Kini, aku melihat
dengan jelas bahwa aku benar-benar sudah berada di fakultas Kedokteran melalui jalur mandiri.
Aku berjuang di sana menghadapi dunia dengan tangis dan keluh kesah. Jauh dari Mama yang
menjadi satu-satunya tempatku bersandar. Di sana, aku melihat diriku yang berjuang mati-
matian untuk tidak meminta uang lebih dari yang seharusnya pada Mama. Di sana, aku melihat
diriku yang bekerja paruh waktu sembari menjalani kuliah yang padat. Di sana, aku melihat
diriku yang selalu menangis di tengah malam, bangun sangat pagi, dan beristirahat di larut
malam. Aku melihat semuanya, betapa kerasnya diriku berjuang untuk hidup yang diinginkan
oleh orang tuaku dan untuk diriku sendiri.

Hingga, satu persatu menjadi berantakan, aku tak lelah dengan semuanya, tapi aku ingin
menyerah. Aku tak ingin terus menjadi beban lagi bagi Mama. Karena kini, aku dihadapkan
dengan kenyataan pahit bahwa saat semester tujuh, aku dinyatakan terkena penyakit kanker
hati stadium dua, penyakit yang telah merenggut Ayahku dari dunia. Bagaimana aku bisa
menghadapi semua kenyataan pahitnya. Di sana, aku melihat dengan jelas betapa rapuhnya
gadis kecil itu, terisak di bangku lobi rumah sakit yang ramai. Bukankah sosoknya akan jadi
penyelamat? Tapi mengapa ia mungkin ditakdirkan pergi sebelum mampu melakukannya.

Sekarang, lihatlah sosok yang tengah sekarat ini, berdiri di sudut kenangan, menatap
dirinya sendiri dengan tangis yang sangat panjang. “Wahai diriku yang rapuh, aku tahu kamu
lelah, aku tahu kamu berjuang sangat keras dan untuk itu, aku mengucapkan terima kasih. Tapi,
dari sini aku menyadari bahwa sebenarnya kamu ingin hidup. Bolehkah kamu berjuang sedikit
lebih lama lagi? Siapa tahu Tuhan ingin kamu sembuh,” lirih sang sosok yang tengah sekarat.
Kini, sosok ini sudah kembali ke dunia nyata, aku menangis dalam nafasku yang hampir putus,
di sekejap detik saat nafasku yang masih bisa di hembuskan, aku menangis dan berkata,
“Tuhan, aku mau hidup.”

Kukira aku sudah benar-benar dibiarkan mati oleh Tuhan tapi ternyata, kini aku berhasil
hidup setelah aku dinyatakan telah meninggal. Kini, kulihat Adik dan Mamaku tengah
menangis di samping ranjang rumah sakit. “Mama, maafkan Anila” lirihku dalam tangis.

Satu hal yang ingin aku sampaikan kepada kalian. Meski nyatanya hidup ini akan selalu
berat dan kita mungkin akan merasa kalah. Ingatlah bahwa, setidaknya masih ada satu dari
berjuta orang yang ingin kamu hidup. Tolong, jika ada masalah ceritakan lah pada yang lain,
jangan di pendam, kamu akan makin kesakitan.

Kemudian, untuk sosok yang sering menganggap bahwa seseorang yang bunuh diri
hanya karena depresi tentang cinta, kalian tidak sepenuhnya benar. Hidup ini terlalu pahit untuk
dijadikan alasan melakukannya, ketimbang rasa cinta yang dijadikan patokan dalam
mengambil keputusan besar tersebut.

Untuk para Mahasiswa, kalian kuat, kalau tidak bunuh diri.

-SELESAI-

Anda mungkin juga menyukai