Anda di halaman 1dari 7

Labirin Selalu Ada Jalan Keluar

Joanna XIA1 / 17

Mengapa hidup sungguh begitu rumit?

Panas merajalela tubuhku. Keping-keping hatiku berjatuhan satu per satu. Butir-butir tangisan
dan jerih keringat yang kukeluarkan setiap harinya... sepertinya tidak bermakna apa-apa.
Berjuta-juta emosi yang kualami saat itu, tetapi bagaimana halnya, aku tak bisa memproduksi
kalimat-kalimat yang dapat mendeskripsikan perasaanku secara sempurna saat itu. Tahukah
kamu betapa sakitnya perasaan-perasaan ini yang membuatku menjerit kesakitan?

Lelah, sakit, dan penyesalan. Hanya itulah yang melintas di pikiranku saat itu.

“Setya, maaf, kamu dinyatakan tidak lulus.”

Mudah sekali bagimu untuk meludahi kata-kata itu pada mukaku. Semudah itukah, kau berbicara
tanpa ada rasa empati? Tidak sedikit pun engkau merasa bersalah? Merasa kasihan? Bisa-bisanya
engkau menghancurkan segala jerih payahku hanya dengan segudang kata. Malu rasanya. Aku
dapat merasakan mata-mata sinis melirik di sekitarku.

“Setya, kamu mau jadi apa nanti?”

Nggak tahu, Ma. Tolong hentikan ini. Berhenti menanyakan aku pertanyaan yang diulang-ulang
setiap kalinya kepadaku. Aku sendiri saja nggak mengenal diriku dengan baik.

“Setya…”

Setya ini, dan setya ono. Aku muak. Aku muak mendengar kalian semua. Aku muak dengan
seluruh kata-kata yang berusaha menasehati diriku. Yang berusaha memperbaiki diriku.
Seolah-olah, aku yang salah dan bukan mereka.

Atau mungkin… memang akulah yang salah.

Apakah aku yang salah selama ini?

Sial sekali hidupku. Aku merasa tidak ada satupun hal yang berjalan dengan mulus di hidupku.
Meskipun itu, aku masih merasa bersalah, terutama kepada orang tuaku. Sepertinya mereka ingin
sekali aku menjadi seseorang yang sukses, atau semacamnya. Malangnya, aku yang begitu bodoh
ini tidak berbakat apa-apa. Benar kata orang-orang, ternyata kenyataan memang sungguh
berbeda dari ekspektasi manusia.
Meskipun aku hanyalah seorang siswa, aku sudah merasa seluruh hidupku hancur dalam sekejap.
Semua hal yang telah diorganisir olehku bertaburan dimana-mana. Hidupku menjadi berantakan.

Sekarang, setiap pagi jam 05.30 pada hari senin hingga jumat, aku sudah mulai lagi menginjak
pedal sepeda tuaku ke sekolah, masa SMA kelas 12 yang menghampiriku untuk kedua kalinya.

Waktu sepagi ini, matahari masih belum begitu terlihat. Langit masih redup dan aku masih bisa
mencium sekilas bau hujan semalam. Sunyi sekali suasana jalan raya. Entah mengapa, aku
menikmati ketenangan ini ketika berada di dalam kesunyian jalan raya.

Sesaat kutiba di depan gerbang sekolah, napasku terengah-engah dan terhambat oleh masker
yang mencekik seluruh sisa udara yang kupunya. Jam tanganku menunjukkan pukul 05.50,
ternyata masih pagi ya.

Sinar matahari mulai muncul menembus gorden jendela di ruang kelasku, membuat ruangan
terlihat agak jingga kekuningan. Ruang kelasku juga sunyi, dan tidak ada bunyi lain selain suara
detak jam dinding pada setiap detiknya dan juga suara burung-burung yang berkicau di luar
jendela. Biasalah, aku memang selalu menjadi orang pertama yang datang ke ruang kelas.

Sekarang, aku berubah.


Aku nggak mau menjadi pribadi yang sama.
Aku nggak mau mengulangi kesalahan yang sama.
Aku nggak mau merasa tersesat lagi.
Aku ingin berjuang lagi.

Ini adalah awal yang baru bagiku untuk berubah.

Aku mengaku, tahun lalu aku termasuk anak yang cukup bandel.
Tugas-tugas kukerjakan dan aku sering belajar, tetapi sikap aku memang sangat buruk tahun lalu.
Aku sadar bahwa aku dulu keras kepala sekali orangnya. Aku nggak pernah mau mendengarkan
omongan orang lain dan telingaku kututup rapat-rapat.

Mungkin itu salah satu alasan aku nggak lulus. Aku juga sering bolos, hampir setiap hari.
Sekarang, setelah aku memperkecil layar penglihatanku dan melihat situasi di perspektif yang
berbeda, aku sadar akan kesalahanku. Kebenaran yang pahit ini memang susah untuk ditelan,
tetapi mau nggak mau harus kuterima.

Tok. Tok. Tok. Tok.


Satu bunyi yang selalu membuat seisi kelas terdiam dengan muka pucat, bunyi sepatu hak Bu
Eni.

Bu Eni, guru mata pelajaran bimbingan konseling yang paling ditakuti oleh seluruh pelosok
bumi, nggak begitu ketat, nggak santai-santai juga. Tetapi, Beliau bisa masuk kategori guru
killer. Sekali Bu Eni marah, Beliau meledak layaknya seperti balon yang sudah menahan-nahan
udara untuk tidak keluar, tetapi akhirnya keluar juga hingga meletus. Tatapan kalemnya langsung
berubah dalam sekejap menjadi sepasang mata elang yang siap mencengkram siapapun yang ada
di depannya. Senyuman dan ekspresi wajahnya yang datar dan intonasi suara yang menggelegar
membuat Beliau menjadi lebih ditakuti lagi. Jadi, cukup masuk akal jika seisi kelasku segera
menjahit mulutnya masing-masing dan merinding ketakutan seketika terdengar bunyi sepatu hak
Everbest 6cm yang selalu Beliau pakai di sekolah.

Wajah menor yang Beliau rias dengan begitu banyak lapisan foundation dan blush-on. Potongan
rambut barunya itu yang bermodel bob kurang cocok dengan wajah V-shape yang Beliau miliki,
potongan itu membuat ilusi bahwa wajahnya menjadi agak lebih lebar. Warna lipstik merah di
bibirnya yang dilapiskan terlalu tebal, itu terlihat agak belepotan di sekitar bibir dan dagunya.
Kancing jas seragamnya pun belum selesai dikancing dengan benar. Rambut semi-basah yang
Beliau tak sengaja kibaskan menciprati murid-murid yang duduk di paling depan ketika berlari
masuk ke kelas kami terburu-buru.

“Maaf Nak, Ibu telat,” ucapnya sambil menyisir rambutnya dengan sisir pink mini yang Beliau
selalu bawa di tasnya. “Ibu akan mulai mengecek absensi ya.”

Warna pink memang warna favoritnya Beliau dari dulu. Aku menyadarinya karena tema warna
template presentasinya Beliau 90% pink semua, dan aksesoris-aksesoris yang Beliau pakai setiap
harinya juga 90% pink semua. Mungkin sudah bukan lagi jadi warna favorit Beliau, melainkan
sudah menjadi warna yang Beliau obsesikan sekarang.

“Setya?”

Lipstik bibirnya hari ini juga seharusnya berwarna pink juga, seperti biasa. Tetapi kali ini Beliau
menggunakan warna merah karena beberapa hari yang lalu salah satu murid di kelas sebelah
nggak sengaja menjatuhkan lipstik pink favoritnya dan langsung pecah. Awalnya aku nggak
percaya, ya karena, masa sih lipstik bisa langsung pecah semudah itu? Tetapi memang beneran
terjadi. Ya, aku pasti sudah bisa menebak reaksi Bu Eni ketika hal itu terjadi, mengerikan.
Bukannya takut Bu Eni marah-marah, seisi kelas sebelah malah tertawa terbahak-bahak.

“Setya? Apakah Setya hadir?”


Aduh, aku jadi tenggelam terlalu dalam di pikiranku sampai-sampai aku nggak mendengar Bu
Eni memanggilku untuk memeriksa absensi. Satu meter lebih dalam lagi aku tenggelam, aku
nggak mau membayangkan reaksi Bu Eni bagaimana.

“Hadir, Bu.”

Bu Eni menatap wajahku selama beberapa detik, sebelum Beliau bertanya,


“Eh, ini Setya yang tidak lulus kah?”

Aku berteriak.
Disimpan dalam tenggorokanku saja tapi.

Apabila aku bisa mengendalikan segala sesuatu yang ada di dunia, hal pertama yang akan
kulakukan adalah membuat semua orang lupa bahwa aku nggak lulus.

“Setya, saya harap nanti pulang sekolah kamu bertemu dengan saya di ruang BK. Ada sepatah
dua kata yang ingin saya ucapkan.”

Mata seisi kelas terbelalak menatapku. Bukan hanya aku yang deg deg-an, tetapi seisi kelas juga
ikut deg deg-an.

Sepulang sekolah, aku hampir saja lupa untuk bertemu dengan Bu Eni di ruang BK, untungnya
ada salah satu siswa di kelasku yang mengingatkanku.

Aku hanya berharap Beliau tidak mengobar-kobarkan amarahnya kepadaku di sana.

Ku menanti kehadiran sang guru BK yang paling menakutkan di ruang habitatnya, tetapi Beliau
nggak datang-datang. Heran.

Dan akhirnya ku bisa mendengar bunyi sepatu hak khasnya, melangkah ke arah pintu ruang BK.
Langkah-langkah sepatu haknya terdengar lembut dan kecepatan langkahnya pelan, polanya
persis seperti seseorang yang sedang menggunakan mesin ketik. Pola langkah Beliau berbeda
dari yang biasanya, mungkin Beliau lagi tenang sekarang, aku pikir.

“Selamat siang Nak—” Gubrak!!!


Bu Eni terbentur keras pada kaca di ruang BK. Ow. Pasti sakit.

Aku bisa melihat bekas lipstik miliknya yang membekas pada kaca ruang BK. Aku terkikik
sedikit.
Satu percakapan di ruang BK inilah yang tidak kuduga akan mengubah alur kisah hidupku secara
total.

“Jadi, apa kesulitannya yang membuatmu nggak naik kelas, Setya?”

Mendengar nada suaranya yang begitu tenang saat ini, membuat beban batinku terangkat untuk
sejenak.

Perasaan ini…
Ternyata Beliau benar-benar khawatir kepadaku.

“Saya sadar kalau tahun lalu sikap saya terlalu buruk untuk diluluskan, Bu. Maaf. Saya akan
bersikap lebih baik tahun ini.”

Peristiwa ini membuatku merasa aku sedang berada di dalam sebuah drama cerpen atau
semacamnya. Dramatis sekali ya, diriku ini.

“Justru itu, Setya. Saya bersamamu di sini untuk membantumu.” ucapnya.

Selama 17 tahun aku hidup sebagai seorang manusia, tidak sekali pun aku menduga ada sisi lain
yang akan kulihat dari Bu Eni yang jarang dilihat orang-orang.

Dan tentu saja aku langsung mengutarakan seluruh perasaan dan seluruh keganjalan hatiku
kepadanya. Setelah Beliau mengeluarkan kata-kata itu dari mulutnya, bagaimana hatiku tidak
terlulur?

Semenjak hari itu, aku tidak pernah berhenti berjuang menggapai mimpi yang aku mau.

Termasuk nilai-nilaiku yang meningkat drastis karena itu.

Tetapi…
Apa gunanya nilai yang bagus apabila tidak tahu mau dipakai buat apa kelak?

Apa keinginanku yang sesungguhnya dalam hidup? Mau jadi apa aku nanti? Kedua pertanyaan
ini terngiang-ngiang di dalam kepalaku pada setiap hembusan napas yang kuambil setiap
detiknya semenjak ketidaklulusan aku tahun lalu.

Tak terduga, akhirnya aku mengetahui jawaban dari kedua pertanyaan ini saat pelajaran seni.
Awalnya, aku hanya ditugaskan untuk membuat analisis seni dari sebuah video yang diputar oleh
guru seniku. Dari dulu, aku memang hampir tidak pernah memperhatikan guru di kelas. Tetapi,
kali ini bangunlah niat bagiku untuk berusaha lebih keras di tahun ajaran ini.

Video itu berisi tentang proses pembuatan sebuah karya lukisan. Mulai dari pencarian inspirasi
hingga menambahkan detail-detail pada lukisan, sang seniman membuat karya seni ini dengan
senang hati meskipun membutuhkan waktu yang sangat panjang.

Sang seniman mulai menyemai bibit-bibit keajaibannya menggunakan keelokan rambut-rambut


sang kuas. Elusan halus kuas itu mewarnai kanvas yang awalnya putih lesu, kemudian mulai
menjadi terang dan bersinar dengan berbagai macam kombinasi warna. Tetapi yang menjadi poin
utamanya, teknik sihir-sihir seni sang senimanlah yang membuat lukisan ini menjadi unik. Dan
ketika aku memandangi hasil lukisan yang telah jadi, aku bisa merasakan

Sungguh, sungguh, sungguh terkagum. Itulah perasaanku ketika selesai menonton video itu. Aku
bertanya-tanya kepada diriku, bagaimana seniman itu dapat mengkreasikan sesuatu yang begitu
indah dan dapat memproyeksikan perasaannya secara detail dan sangat tepat sasaran hanya
dalam sebuah lukisan?

Sepulang sekolah, aku merasa aku perlu mencoba apa yang dilakukan seniman itu di dalam
video siang tadi. Tetapi aku akan hanya menggunakan alat dan bahan sederhana, yaitu pensil
warna dan selembar kertas.

Aku bisa merasakan jantungku yang berdetak lebih cepat dan semakin cepat dan lebih cepat lagi
sehingga menimbulkan semacam api yang menyala-nyala di dalam hatiku. Tetapi api yang
kurasakan bukanlah perasaan api hangat di dalam hati, melainkan api yang berkobar panas yang
menyemangati. Aku juga bisa merasakan adrenalinku yang menjadi semakin cepat setiap
detiknya, sehingga mempercepat seluruh mesin yang ada di tubuhku. Perasaan ini tak akan aku
lupakan, yaitu perasaan ketika aku menyebarkan warna-warni pensil warnaku pada kertas ini,
persis seperti akar tumbuhan yang menyebarkan nutrisi dan zat hara ke seluruh bagian tumbuhan.

Mungkin hanya sepele, tetapi rasanya ada sebuah lubang di hatiku yang terisi oleh hal ini.

Memang hasilnya tidak seindah lukisan seniman itu, tetapi aku tetap bangga terhadap selembar
kertas yang berwarna-warni ini.

Dan begitulah isi uneg-uneg hati dan prosesku menemukan diri serta prosesku untuk naik kelas
12 beberapa tahun yang lalu.
Karena, dengan adanya passion dan jati diri inilah yang membuatku ingin berjuang lagi ketika ku
terjatuh beratus-ratus kali.

Tersesat dalam sebuah labirin permasalahan bukan berarti tidak bisa keluar.

Karena,
Serumit-rumitnya sebuah labirin, selalu ada jalan keluar, kata Beliau.

-TAMAT-

Anda mungkin juga menyukai