Anda di halaman 1dari 14

BHANU

Aku masih belum terbiasa dengan tatapan-tatapan yang mengatakan seolah-olah


aku adalah orang yang menjijikan. Bisikan-Bisikan yang tertuju padaku membuat
kepalaku serasa ingin pecah. Mereka menjauhiku, mengasingkanku, menertawakanku
dan masih banyak lagi hal yang mereka lakukan kepadaku yang ingin segera
kukeluarkan dari otak bodohku.

Kenapa mereka melakukan itu kepadaku? Apa salahku? Dipikirkan beribu-ribu


kali pun aku tidak menemukan jawaban atas pertanyaan itu.

Aku tidak masalah mereka melakukannya, tapi kenapa sampai Lisha juga
menjauhiku? Padahal ia satu-satunya sahabatku di dunia ini. Apa yang harus kulakukan
kalau tidak ada kamu, Lisha?

Belum lagi Ayah dan Ibu yang bertengkar setiap hari, bahkan hanya masalah
sepele diributkan. Ayah yang memukuli ibu dan aku adalah hal yang biasa. Yang
membuatku kesal dari semuanya adalah ibu yang hanya tersenyum dan mengatakan
kalau ayah akan segera berubah.

Aku lelah dengan semuanya. Aku ingin pergi dari sini. Aku ingin pergi ke tempat
yang jauh. Tapi ke mana aku harus pergi?

Rumput menggelitik telapak kakiku. Angin bertiup hangat menggoyangkan gaun


tidurku. Di hadapanku padang rumput luas terpampang jelas dan beberapa pohon besar
yang akarnya keluar tak semestinya bertebaran dimana-mana. Matahari menyinari
dengan lembut kulitku dan pemuda yang ada di hadapanku.

Aku bertaruh tingginya lebih dari 170 cm. Rambut hitamnya berkilau disinari
matahari, angin membuat rambut itu berantakan. Kulit sawo matangnya sangat cocok
dengan rambut hitamnya. Ia punya bola mata hitam bagai arang, rambutnya hampir
menutupi mata sayunya. Ia tersenyum menghadapku. Senyuman yang aku tekadkan
akan terus teringat di ingatanku.
Tubuh tingginya tertutupi jubah berwarna coklat yang menjuntai sampai ke
kakinya, jubah coklat itu di satukan oleh pin emas berbentuk seperti burung elang yang
terpasang tepat di tengah dada. Ia memakai sumping emas di telinga kirinya. Busur di
bawa di tangan kanannya, dan beberapa anak panah terdapat di tangan kirinya.

“Siapa?” suaraku terdengar di antara semilirnya angin kala itu. Kenapa Ia hanya
tersenyum? Kenapa senyumannya sangat manis?

“ Alrigh, Alright, whoa. Why you pointing with me at with that knife? I've been
cutting corners all may life girl. But terror doesn't blossom at the nigth no—“

Aku membuka mataku perlahan. Mendapati diriku terbaring di kasurku membuat


tubuhku merinding. Pasalnya belum lima menit berlalu aku sudah berpindah tempat ke sini.
Bukankah tadi aku berada di tempat yang dipenuhi pepohonan dan rumput hijau? Bukankah
di hadapanku ada anak itu? Ke mana perginya? Dan siapa anak itu? Apa semuanya hanya
mimpi? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di dalam kepalaku.
Aku menghentikan pikiranku sejenak dan segera mematikan alarm yang dan
sebelahku. Alarm itu terus berputar saat aku sedang berpikir. Sebelum beranjak dari tempat
tidurku, aku mengambil napas panjang dan mengeluarkannya untuk memulai hari yang
suram ini.
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah sambil memegang novel dan headphone
menggantung di leherku menuju tempat kesukaanku. Lampu-lampu tua menggantung di
sepanjang koridor. Pintu kelas dipasangi kayu jati yang tampak mahal. Semua interiornya
memang terlihat tua, pasalnya sekolahku sudah berdiri puluhan tahun yang lalu. Aku
menyukai interior-interior sekolahku yang terlihat klasik tapi aku tidak menyukai murid-
murid di sini.
Tepat di sana. Di bawah pohon beringin besar yang entah sudah berapa lamanya ia
berdiri kokoh di sana. Daun-daun dari pohon beringin membuat tempat tersebut semakin
sejuk. Sulur-sulur pohon beringin berlomba-lomba untuk menjuntai ke bawah. Akar-akarnya
keluar dari tanah mencari jalan keluar.

Aku duduk di atas akar pohon beringin. Badanku yang mungil tertutupi oleh semak-
semak yang tumbuh di sekeliling pohon beringin. Aku menyukai tempat ini karena jarang
dilalui para murid, sunyi.
Aku membaca novel yang kubawa. Lagu tahun 90-an terputar dari headphone yang
terpasang di telingaku. Jujur saja, aku tidak terlalu menyukai kegiatan membaca buku. Aku
melakukannya karena tidak ada yang bisa kulakukan lagi untuk menghabiskan waktu
istirahat. Tidak ada yang mengajakku berbicara atau bermain, semuanya menjauhiku.

“ Aku lelah. “ Aku melihat jam yang terpasang di tanganku, jam menunjukkan
istirahat sisa 35 menit. Aku pun memejamkan mataku sebentar untuk menghilangkan rasa
kantuk.

Aku mencium bau rumput yang basah, angin lembut menyapa tubuhku. Rasanya aku
pernah merasakan ini semua. Aku pun membuka mataku perlahan.

“Tempat ini lagi.” Tempat yang kulihat sekarang sama persis seperti sebelumnya,
yang membedakan adalah tidak ada dia di hadapanku. Ke mana ia pergi?

“Kau mencariku?” tiba-tiba muncul kepala dari sisi kananku. Aku tersentak kaget dan
refleks berbalik menghadap ke belakang yang membuatku kehilangan keseimbanganku. Aku
akan terjatuh. Ia dengan sigap memegang kedua tanganku agar aku tidak terjatuh.

“Maaf! Kau pasti kaget, tidak apa-apa?” Ia bertanya kepadaku dengan raut wajah
yang khawatir, masih dengan memegang tanganku.

“Tapi dari pada itu semua, aku sangat senang kau datang ke sini lagi.” Ia tersenyum
sambil mengatakan itu, mata sayunya berubah menjadi garis, manis. Kalau dilihat sedekat
ini, aku baru menyadari, ia punya tahi lalat tepat di bawah mata kirinya.

“Kau siapa?” Aku melepaskan kedua tanganku yang dari tadi masih digenggamnya.
Ini adalah sebuah pertanyaan yang mengganjal di dalam otakku sejak pertama kali bertemu
dengannya.

Ia tersentak lalu kembali tersenyum “Bhanu,” ia melanjutkan “Kau bisa panggil aku
Bhanu.” Semilir angin sejuk dengan lembut lewat di antara aku dan Bhanu.

“Tak” Aku terbangun dari tidurku karena seseorang melempari kepalaku dengan
batu kerikil.
“ Kau tahu kan kalau ini sekolah, bukan kamarmu?” Ia adalah Yumi, teman sekelasku,
dan salah satu dari banyak anak yang suka menggangguku. Setelah berbicara seperti itu
kepadaku ia langsung pergi seperti tidak ada yang terjadi apa-apa. Aku menghela napas dan
segera bangun dari tempat dudukku.

“Hilang.” Aku mengacak-acak isi tasku. Tetap tidak kutemukan. Apa yang harus
kulakukan? Baju olahragaku hilang! Kenapa hilang di saat-saat yang tidak tepat? Padahal
hari ini pengambilan nilai untuk ujian semester ke satu.

Dari belakangku terdengar suara tertawa sekelompok anak perempuan. Aku yakin,
mereka pasti pelakunya.

“Kau mencari apa? Baju olahraga ya?” Salah satu anak dari kelompok itu
mendekatiku, diikuti yang lainnya.

“Coba kau cari di tempat sampah, aku tadi lihat satu di sana, entah punya siapa”
Satu anak lainnya menyahut. Mereka terlihat menahan tawa.

Aku berjalan menghampiri tempat sampah yang ada di sudut belakang kelas. Terlihat
baju olahraga berwarna biru terdapat di dalam tempat sampah. Benar itu punyaku. Aku
segera mengambilnya dan mendapati baju olahragaku yang kotor dan basah. Tak cukup
mereka membuang baju olahragaku ke tempat sampah, mereka juga menuang minuman
kemasan di baju olahragaku.

Perhatian seisi kelas kini tertuju padaku yang sedang memegangi baju olahraga yang
kotor. Kini sekelompok anak tadi tertawa lebih keras, anak-anak lainnya juga ikut tertawa
melihatku.

Aku membaringkan tubuhku di tempat tidur berwarna putih polos itu. Sungguh hari
yang melelahkan. Memikirkan harus melalui hari yang berat lagi besok, sudah membuat
dadaku sesak.

“Aku harap aku bisa tidur selamanya” aku mengakhiri hari ini dengan menutup
mataku.
Bau rumput! Terasa angin sejuk menerpaku! Ini pasti tempat itu lagi! Aku membuka
mataku untuk melihat pemandangan hijau itu. Rasanya semua beban di pundakku hilang
setelah aku datang ke tempat ini. Aku menghirup napas yang panjang.

“Aku tidak menyangka kau akan datang lagi, eh t-tunggu bukannya aku merasa tidak
senang atas kedatanganmu, hanya saja aku—“ Bhanu terlihat gelagapan untuk
menjelaskannya, lucu.

“Bhanu.” Entah kenapa aku memanggil namanya, itu semua keluar langsung dari
mulutku tanpa persetujuanku.

“Ya.” Bhanu menjawabnya dengan senyuman yang membuatku menjadi hangat,


Entah aku juga bingung harus menjelaskan apa yang kurasa.

“Kau pasti mengalami hari yang berat hari ini, bagaimana kalau kita jalan-jalan
menelusuri hutan ini? Itu akan membuat perasaanmu lebih baik” Ia mengulurkan tangannya
kepadaku.

Ini pertama kalinya. Pertama kalinya seseorang mengulurkan tangannya kepadaku.


Aku bingung apa yang harus kulakukan. Apa aku harus menerima uluran tangannya?

“Oh astaga! Aku lupa hal yang paling penting!” Ia terlihat murung, mirip anjing
Golden retriever yang baru saja kehilangan mainan kesayangannya.

“Harusnya aku tanyakan ini dari awal kita bertemu. Jadi, kalau tidak keberatan, aku
harus memanggilmu apa?” Ia memiringkan kepalanya ke sebelah kanan sambil tersenyum.

“Nala.” Aku tersenyum menjawabnya, pasalnya ia sangat mirip dengan anjing


Golden retrieverku dulu.

“Nala, Nala, Nala.” Ia mengucapkan namaku sebanyak tiga kali sambil tersenyum,
entah apa alasannya.

Aku terbangun dari tidurku sebelum alarmku berbunyi. Aku tersenyum mengingat
hal yang barusan terjadi. Sepertinya hari ini aku bisa sedikit bersemangat untuk menjalani
hari ini.
“Nala! Ayo kita satu sekolah saat SMA! Nanti kita bisa berangkat dan pulang sekolah
bersama-sama seperti sekarang.” Lisha mengatakannya sambil memakan es krim rasa
strawberrynya.

“Haha tentu, tapi hapus dulu noda es krim di pipimu, kenapa makan es krim saja bisa
berantakan sih?” Aku mengusap pipinya dengan tisu.

“Nanti kalau beda kelas pun, kita harus sama-sama ya? Janji?” Belum puas dengan
jawabanku, Lisha berusaha menanyakan lagi.

“Iya, iya, janji. Memangnya sama siapa lagi kalau bukan kamu?” Aku menjawabnya
dengan penuh senyuman.

“Nala, jangan melamun. Cepat habiskan sarapanmu” Ibu membangunkanku dari


lamunanku. Kenapa tiba-tiba teringat kenangan saat masih kelas 9? Padahal dulu kita sangat
dekat, tapi kenapa sekarang seperti orang asing?

Aku merasakan mual dan pusing dari badanku. Apa aku harus izin untuk tidak
mengikuti pelajaran selanjutnya ya? Aku tidak kuat lagi.

Suasana ruang UKS disekolahku sangat damai. Makannya UKS juga merupakan
tempat favoritku yang ke-2 setelah pohon beringin itu. Apalagi di sini aku bisa merebahkan
badanku.

“Akan ada rasa kantuk setelah meminum obat itu, jadi istirahat saja jangan
dipaksakan ya.” Selain ada tempat tidur, yang membuatku menyukai UKS adalah Ibu Gina,
penjaga UKS. Ia sangat lembut kepada murid-murid.

Aku mengangguk tanda mengiyakan. Aku segera menutup mataku untuk


beristirahat.

“Bhanu.” Aku menyambut kedatangannya dengan senyuman. Hari ini pun dia terlihat
manis.

“Nala!” Ia setengah berlari menghampiriku. “ Bagaimana harimu hari ini? Kemarin


kita belum sempat jalan-jalannya, bagaimana kalau sekarang kita jalan-jalan” Ia menyerbuku
dengan pertanyaan. Ia juga mengulurkan tangannya kepadaku.
Aku pun membalas uluran tangannya dengan tanganku. Kami bersama-sama
menelusuri hutan. Bhanu banyak menjelaskan tentang tumbuh-tumbuhan, tumbuhan yang
bisa dijadikan obat, makanan, atau yang beracun. Aku tidak tahu ternyata ia pintar dalam
bidang itu. Bhanu juga bilang bahwa ia sangat menyukai alam.

Kami jadi sering bertemu. Awalnya Bhanu yang aktif berbicara. Ia menceritakan
tentang cerita kuno yang di ceritakan neneknya. Ia mengajariku cara memanah. Ia juga
mengajakku ke tempat-tempat yang indah, yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

Aku juga mulai membuka diriku pada Bhanu. Tentang keluargaku yang berantakan,
teman-teman yang menjauhiku. Saat ia pertama kali mendengar ceritaku, ia menangis.
Katanya aku tidak pantas dapat perlakuan seperti itu, ia juga mengajakku untuk tinggal di
sini, ia akan menjagaku dari orang-orang yang jahat.

“Bhanu itu apa artinya?” tanyaku penasaran kepada Bhanu yang sedang latihan
memanah.

“Cahaya,” ia menjawab sambil melepaskan beberapa anak panah, sinar matahari


menyinari tubuhnya yang tinggi. Bahkan arti namanya sangat cocok dengan dirinya.

“Nala itu artinya jantung hati” Ia beranjak dari tempatnya dan duduk di sebelahku.

“Bagaimana aku bisa mempercayaimu?” Tanyaku bercanda. Ia memiringkan kepala


ke arahku dan memasang wajah murung, lucu.

Hari demi hari hubungan kami semakin dekat. Bhanu menjadi tempat sandaranku
ketika aku mengalami hari yang buruk. Ia akan mengatakan semua akan baik-baik saja ketika
ia bersamaku. Kadang ia juga memelukku ketika aku menangis. Bhanu juga banyak berbicara
hal-hal baik tentang diriku, seperti aku terlihat cantik dengan gaun tidurku dan rambut
panjangku yang terurai.

Ia memiliki kebiasaan memegang dan memainkan rambutku, mengatakan aku cantik


dengan rambut panjangku. Ia sering memegang tanganku ketika kita berjalan-jalan
menyusuri hutan.
Tapi yang baru-baru ini kusadari adalah Bhanu tidak pernah menceritakan tentang
dirinya padaku. Menceritakan tentang asal-usul dirinya, bagaimana kehidupannya sehari
hari, apa yang di suka dan tidak suka, aku ingin tahu semua itu, aku ingin tahu segalanya
tentangmu, Bhanu. Itu sangat mengganggu pikiranku. Apa ia belum sepenuhnya percaya
kepadaku? Tak apa-apa, aku akan menunggumu sampai kamu bisa terbuka padaku.

“Coba sekali-kali mengaca sana! Apa kau tidak pernah berpikir kenapa aku main di
luar? Itu semua karena penampilan buruk rupamu. Aku muak harus melihatmu setiap hari.”
Ayah dan Ibu bertengkar di meja makan pagi ini. Ibu hanya bisa menunduk dan mengatakan
maaf berkali-kali.

Aku memukul meja makan di hadapanku, dan pergi bergegas tanpa menghabiskan
sarapanku.

“Lihat kelakuan anak ini, Aku tidak pernah mengajarimu menjadi anak yang kurang
ajar seperti itu!” ayah mengatakannya dengan nada yang tinggi.

“Memangnya ayah pernah mengajariku?” Aku jengkel sekali dengan bapak tua
pengangguran yang terus mengoceh omong kosong seharian itu.

“Hei, ini ayahmu ya?” Tanya Yumi sambil menunjukkan handphonenya sesampainya
aku di kelasku.

Aku tersentak kaget melihat layar handphone itu, handphone mahal itu
menunjukkan gambar ayahku dengan seorang wanita di depan sebuah bar.

“Melihat reaksimu ternyata benar, ya. Aku mendapatkannya ketika aku sedang
menuju tempat lesku dan ternyata aku malah menemukan orang yang tidak asing di
perjalananku.” Yumi tertawa meledek.

“Gen memang tidak pernah berbohong, ya. Lihat saja anaknya.” Seseorang
melanjutkan yang membuat seisi kelas tertawa kencang.

Aku mencoba bersabar dengan semua hinaan itu dan berlalu menuju tempat
dudukku. Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja jika aku bertemu dengan Bhanu hari
ini.
Seseorang menoyor kepalaku dengan cukup keras. “Lihat anak ini, rupanya dia
mencoba untuk bersabar, ya?” Yumi kembali menganggukku.

“Pasti kelakuanmu sama seperti ayahmu, ya? Orang tua yang kotor pasti menurun
juga ke anaknya.” Sekarang tawa Yumi menggema ke seisi kelas diikuti tawa anak-anak
lainnya.

Berawal dari kejadian itu, anak-anak mulai berani bermain dengan tangan kepadaku.
Memukul, menampar, menendang, semua sudah pernah aku alami. Bahkan yang paling
parah, mereka pernah mendorongku dari tangga, untungnya aku hanya mengalami cedera
saja.

Aku menceritakan hal-hal yang mereka lakukan kepadaku ke Bhanu. Bhanu


memasang raut wajah marah yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku merasa senang
karena ada orang di sisiku yang berpihak kepadaku. Semuanya akan baik-baik saja jika aku
bersama dengan Bhanu.

“Nala, kau mau tinggal di sini bersamaku? Di sini tidak akan ada orang yang
menyakitimu, aku akan menjagamu.” Bhanu memasang wajah yang serius sambil
menggenggam tanganku.

Ya. Jika aku tinggal di sini, aku tidak perlu lagi bertemu dengan orang-orang itu,
badanku juga tidak akan kesakitan lagi. Apalagi ada Bhanu, aku merasa semuanya akan baik-
baik saja jika aku bersama dengannya, Aku merasa aman jika ada di dekatnya. Kurasa itu
bukan permintaan yang buruk.

“Tapi bagaimana caranya? Selama ini aku hanya menemuimu di dalam mimpiku.
Bagaimana caranya untukku tinggal di dalam mimpiku sendiri?” aku membalasnya dengan
senyuman.

“Bukannya aku tidak menyadari dari awal, tapi dunia kita berbeda Bhanu, kau dan
aku berbeda.” Meskipun sudah menyadarinya, aku tetap akan menyukai Bhanu yang seperti
itu, karena ia satu-satunya orang yang ada di pihakku, orang yang mengerti tentang
perasaanku.

Bhanu tersentak kaget dan tersenyum. “Jika kau ingin tahu caranya, aku akan
memberi tahumu.”
Tangan Bhanu berada di sisi mulutnya seperti seseorang yang akan memberitahukan
rahasia besar. Aku mendekatkan telingaku kepadanya.

“Aku mengatakannya untuk kebaikanmu, Nala. Kau akan aman di sini.” Seperti Biasa
senyuman Bhanu sangat manis.

Aku berdiri di sisi jalan besar tempat kendaraan berlalu lalang, di hadapanku
terdapat zebra cross yang cukup besar. Orang-orang di sekelilingku menunggu lampu
berubah warna menjadi merah, mereka mengabaikan asap yang dikeluarkan kendaraan
yang lewat.

Aku mengerakkan kedua kakiku untuk bergerak lebih cepat menuju jalan besar
sebelum aku melewatkan kesempatan bus berwarna merah itu yang melaju kencang.

“KYAAAAA” Teriakan orang bersahut-sahutan terdengar. Derap langkah kaki berlari


terdengar dari sini. Terdengar juga sirene ambulans yang mengarah ke sini.

Terasa sakit dari semua tubuhku, terutama di kepala. Darah yang tak berhenti
mengalir dari kepalaku. Pandanganku semakin buram. Pemandangan yang terakhir kali
kulihat adalah orang-orang yang mengerubungiku yang membuatku terasa sesak.

Tak apa, ayo tahan semua rasa sakit ini. Tak lama lagi aku bisa tinggal dengan Bhanu
selamanya. Aku juga tidak perlu bertemu dengan orang-orang itu lagi. Aku akan bahagia.

Tanpa di sadari orang-orang, dua pemuda berpakaian aneh sedang menatap ke arah
kerumunan yang terjadi.

“Kalau aku jadi dia, aku akan sangat sedih karena orang yang paling kupercayai
hanya menginginkan jiwaku saja.” Ucap seorang pria yang berpakaian serba hitam dengan
rambut panjangnya yang diikat, raut mukanya yang datar dan kulitnya yang putih pucat
membuatnya seperti boneka yang hidup.

“Kau seperti baru pertama kali melihat ini saja. Kau tahu kan yang namanya rantai
makanan? Aku harus bertahan hidup dengan memakan jiwa yang lemah, lagi pula kau lihat,
kan? Ia tidak terpaksa melakukannya,” jawab seorang pemuda yang menggunakan sumping
emas di telinga kirinya.

“Kau juga akan melakukan hal yang sama bukan?” lanjut pemuda itu
“Apa? Aku tidak akan pernah melakukan hal keji sepertimu untuk bertahan hidup,
masih banyak hal yang bisa dilakukan selain itu.” Elak pemuda berbaju hitam.

“Dengan menjadi grim reaper?” Pemuda yang memakai sumping emas terkekeh
memberikan candaannya.

“Setidaknya itu lebih baik dari pada kau yang memanfaatkan perasaan korbanmu.”
Pria berbaju hitam tersenyum menjawabnya.

“Kau tahu? Yang kali ini agak unik. Ia menyadarinya saat pertama kali kita bertemu.
Tapi tetap saja ia masuk dalam perangkapku.” Pemuda yang memakai sumping emas
memiringkan kepalanya.

“Jadi, kau menyesal telah melakukan itu kepadanya?” tanya pemuda berbaju hitam.

“Haha, tentu tidak. Malah aku sangat puas, jiwanya sangat lezat. Aku akan
merindukan rasanya selama ratusan tahun ke depan.” Pemuda yang memakai sumping
emas tersenyum puas.

End.

Biografi Penulis

Davina Aurellia Santoso lahir di Bekasi, Jawa Barat pada 30 November 2007. Ia
bersekolah di SMPN 1 Tambun Selatan. Mempunyai ketertarikan pada bidang karya
sastra, membuatnya tertantang untuk membuat cerpen ini. Meskipun ia belum
mahir dalam membuat karya sastra, tapi ia berharap karyanya dapat membuat
pembaca yang membaca karyanya tersenyum. Jika ingin tahu lebih banyak
tentangnya, mampir ke Instagramnya @ddavinayaa.

Anda mungkin juga menyukai