Anda di halaman 1dari 3

BHANU

aku masih belum terbiasa dengan tatapan yang seakan-akan mengatakan kalau aku
adalah penjahat yang seharusnya berada di sel tahanan. Tatapan yang mengatakan kalau
aku adalah seorang pendosa yang menjijikan. Mereka berbisik-bisik menertawaiku,
mengasingkanku, tidak cukup sampai situ mereka bahkan mecoret-coret mejaku, melempar
sampah kepadaku, dan masih banyak lagi hal-hal yang tidak ingin ku ingat

Memangnya apa salahku? Apa yang kulakukan sampai kalian semua memperlakukanku
seperti ini? Kenapa harus aku? Dan kenapa orang yang paling kupercayai, Lisha sahabatku
juga ikut menjauhiku? Padahal hanya dia yang kupunya, padahal kita sudah bersahabat
selama 16 tahun. Aku sama sekali tidak mengerti, mau dipikir ribuan kali juga aku masih
belum menemukan jawabannya. Aku capek.

"Kenapa? Ya karena kamu memang pantas dapat perlakuan kayak gitu." Gadis berkuncir dua
itu berteriak kepadaku sehingga membuat gema dalam kelas, Rumi namanya.

"Enyahlah." Lisha berjalan ke luar kelas disusul Rumi dibelakangnya. Baru pertama kali Lisha
membuat wajah seperti itu di depanku, wajah yang ingin kuhapus di ingatanku.

Aku mati-matian manahan air mataku untuk tidak jatuh turun, dadaku rasanya sesak.
Perhatian seisi kelas kini tertuju padaku seorang, mereka memandangiku dan berbisik-bisik
seolah-olah aku adalah pertunjukan opera yang seru untuk dilihat.

Di rumah pun sama saja, ayah dan ibu yang setiap hari bertengkar. Ayah yang memarahi
dam memukuli ibu, bahkan kadang-kadang aku juga ikut dipukul. Padahal sudah jelas dia
yang mempunyai wanita lain. Ibu juga sama saja, kenapa masih bertahan dengan ayah yang
temperamental itu. Ibu yang masih bisa tersenyun dan mengatakan kalau ayah akan segera
berubah.

Aku benci teman-teman sekelasku, aku benci keluargaku, Aku benci diriku sendiri, Aku benci
semuanya. Aku ingin pergi, pergi ke tempat yang jauh, tempat yang damai.

Aku memandangi langit-langit kamarku yang putih polos itu, lampu yang terang
menggantung disana. aku memang disana, tapi pikiranku sedang jauh melayang-layang.
"Padahal dulu semuanya baik-baik saja, kenapa jadi seperti ini.." aku bergumam seraya
mematikan lampu untuk tidur. Bersiap untuk memulai kehidupan besok yang tak kalah
mengerikannya dari hari ini.

"Ukh ibu, jangan dinyalakan lampunya, silau" ibu selalu saja begitu, kenapa harus
menyalakan lampu untuk membangunkanku sih? aku bisa bangun sendiri. aku menyipitkan
mataku untuk melihat sekeliling.

tunggu apa ini? Dimana langit-langit kamarku yang putih? kenapa jadi tergantikan dengan
langit yang biru cerah ini? Kemana juga kasurku dan selimutku? kenapa jadi rumput?
kemana semuanya pergi?

"Astaga" aku benar-benar tidak tau apa yang terjadi sekarang ini, kenapa banyak pohon
pohon besar disini? Dimana kamarku? untungnya baju tidurku masih melekat dibadanku.

Aku berusaha mengelilingi area tersebut mencari jawaban atas puluhan pertanyaan yang
ada di kepalaku.

Disini hanya ada pohon-pohon besar, daunnya yang rimbun bahkan menghalangi matahari
yang mau masuk, akar pohon keluar tak semestinya, rumput tumbuh dimana-mana. Sejauh
apapaun mataku memandang hanya ada rimbunan pohon yang berjejer.

Aku mempercepat langkah, membiarkan telapak kakiku yang telanjang menuntun arah,
kemana saja asal tidak disini. Gelap, dingin, bagamana jika ada binatang buas atau tanaman
beracun? bagaimana jika aku dibuang oleh keluargaku?

"dibuang..?" langkahku terhenti, sekarang air mata membasahi pipiku. Kenapa aku harus
takut? bukannya ini adalah hal yang aku mau?

Air mata itu tidak mau berhenti, dadaku sesak, pusing. Aku berjongkok memegangi lututku.
Sekarang aku harus apa?

"Buk" entah apa yang baru saja mengenai kepaku, rasanya sakit. Apa itu binatang buas? Apa
pada akhirnya hidupku berakhir dengan dimakan oleh binatang buas?

"H—hei, kau siapa?" Apa? terdengar suara manusia! Apa itu penunggu hutan ini? Tapi
bukankah keterlaluan? bukannya katakan maaf atau apa. Aku benar-benar penasaran
setengah mati, aku menengok ke belakangku tepatnya ke sumebr suara itu.
"Bagaimana bisa kau masuk kesini, apa para penjaga tidak melihatnya?" suara itu berasal
darinya, seorang pemuda yang sekiranya lebih tinggi 10 cm dariku, rambutnya yang hitam
legam makin berkilau karena disinari sinar matahari, matanya yang sayu tidak cocok dengan
badannya yang besar. Panahan di tangannya membawa kesan kuat. Tapi kenapa bajunya
seperti itu? Seperti...

"Hei, kau dengar aku? Kau berasal dari mana? Apa sekarang mereka mengirimkan wanita
sebagai mata-mata?" ia terkekeh yang membuat mata sayu itu menghilang menjadi garis,
manis.

" Tunggu, kau menangis?" aku tidak sadar bahwa sekarang dia sudah berjongkok sekitar 1
meter dihadapanku. Aku berusaha mengusap sisa-sisa air mataku.

"Memangnya apa urusanmu?" aku menatap tajam dirinya. "Wah, seharusnya kau berterima
kasih padaku, coba kalau penjaga yang menemukanmu disini, kau pasti sudah ada di penjara
bawah tanah sekarang."

Selama beberapa menit, ia terus melihatku. "Ikuti aku" berjalan beberapa langkah, Ia
menyadari aku yang masih diam ditempatku.

"Kau tidak mau dimakan binatang buas kan?" Ia bebicara sepereti itu tanpa membalikan
badannya. Mau tak mau aku pun mengikutinya.

"Dari tadi aku penasan, apa setelan seperti itu sedang terkenal di kalangan wanita?" suranya
memecahkan keheningan antara ia dan aku.

"Apa? justru kau yang aneh, masih ada ya orang yang pakai

Anda mungkin juga menyukai