Anda di halaman 1dari 7

Lomba Cerpen

Tema: Kegelapan

“Einstein Abad 21”

Oleh:
Putu Hediarta Widiana Putra

SMA Negeri 5 Denpasar

2009
Einstein Abad 21

A ku masih termenung menatap langit malam yang begitu indah, yang tentu
saja jauh berbeda dengan nasibku hari ini. Kejadian ini membuatku
terpukul. Kacau, pikiranku kalut, kekecewaanku melebihi batas ukur, dan hatiku
merah padam. Ingin rasanya aku menghancurkan sesuatu demi melampiaskan
kekesalanku. Namun apa daya, aku hanya bisa diam, bungkam seribu bahasa
menyaksikan langit malam yang dengan anggunnya memamerkan keindahannya.
Di tengah bintang-bintang yang bersinar bak serpihan emas, sang rembulan
menertawaiku. Dengan angkuhnya ia memandangku melalui sinar kuningnya dan
seolah-olah ia berteriak.
“Dasar kau makhluk bodoh! Sangat bodoh! Dan mungkin paling bodoh dari
semua makhluk yang pernah kukenal. Tak heran kulihat kau hanya termenung
menatapku, karena kutahu kau tidak punya hal yang dapat kau banggakan.
Apalagi otakmu, hanya seonggok daging lemah tak berguna! Keledai pun bisa
mengalahkanmu!”
Aku tak berhak marah. Memang itu kenyataannya. Mungkin pengalaman ini
harus kupendam seumur hidup. Namun apa gunanya? Toh seluruh dunia sudah
menjadi saksi kebodohanku. Ya, pengalaman buruk ini tak mungkin kulupakan.
Bermula dari sekolah tercintaku. Walaupun terdapat beberapa siswa yang
berprestasi, namun sekolah ini kelebihan siswa yang tidak menaati peraturan.
Tawuran, minum minuman keras, dan merokok sudah merupakan hal biasa yang
benar-benar kasat oleh mataku. Dan inilah aku, seorang siswa biasa yang terjebak
di lingkungan gelap gulita dan tak tahu harus berbuat apa selain mengikuti arah
teman-temanku yang tak bisa diatur itu dengan alasan agar aku tidak dikucilkan
mereka. Namun, akhirnya aku terbiasa mengikutinya.
Seperti biasa, aku melihat teman-teman sekelasku sedang asyik
bercengkerama dengan putung dan asap rokok mereka. Sesekali guru lewat,
dengan sigapnya yang melebihi kecepatan cahaya, mereka menyembunyikan
rokok-rokok itu seolah-olah mereka tidak melakukan apa-apa sebelumnya.

1
Dan aku yang datang dari keluarga baik-baik dengan gampangnya terjerumus
dalam kehidupan mereka. Kurasakan asap-asap rokok itu mengalir bersama
darahku dan impuls-impuls sarafku mengalirkannya ke otak, sehingga dapat
kurasakan kepuasan yang begitu mendalam.
Kejadian itu mungkin terulang tiap harinya. Pihak sekolah tak ada yang tahu
sekalipun itu tim disiplinnya. Belum lagi di luar sekolah. Rangkaian botol-botol
bir berjejer indah di posko tempat aku dan teman-temanku sering berkumpul.
Ditemani cat-cat semprot yang ikut meramaikan aksi kami saat malam hari selain
berjudi. Benar-benar bajingan. Namun, itulah dunaiku. Dunia gelap malam yang
sangat aku sukai dan selalu kupuja. Tak hanya itu, di rumah aku tak pernah
belajar. Bagaimana mau belajar? Melihat buku saja rasanya ingin muntah, apalagi
mempelajarinya.
Aku yang sudah kecanduan rokok dan minuman keras merasakan
kejanggalan dalam otakku. Daya ingatku berkurang, tak bisa mencerna pelajaran,
ditambah lagi saat guru menjelaskan pelajaran, aku tak mempedulikannya. Aku
hanya berbincang-bincang dengan Surya teman sebangkuku. Meskipun itu hal
yang amat tak penting, namun tetap kulakukan asalkan aku bisa tidak
menghiraukan suara melengking guru-guruku yang tidak mengenakkan, yang
selalu membahas pelajaran-pelajaran rumit itu. Otakku kosong, tak berisi ilmu-
ilmu alam maupun sosial yang dapat dibanggakan itu.
Lengkap sudah kebodohanku. Wali kelasku hanya bisa menegurku ketika
kudapat nilai-nilai merah dari masing-masing guru bidang studi. Sesekali ia
memberi surat panggilan orang tua untukku. Namun hanya kuanggap seperti
serpihan sampah yang kapan saja dapat kubuang dengan mudahnya. Aku sudah
kebal dengan setiap amarah dari waliku. Tak heran juga, setiap orang tuaku
memarahiku, kata-kata mereka hanya kuanggap angin lalu yang dengan
mudahnya menembus kedua telingaku dan segera hilang. Aku memang
pembangkang. Guru-guru tak ada yang mau bersahabat denganku apalagi mau
membimbingku. Mereka sudah angkat tangan layaknya nara pidana setelah
melihat segala tingkahku. Aku tidak peduli itu. Setidaknya aku masih punya
teman-teman setiaku yang selalu mengajarkan hal-hal baru yang lebih menantang.

2
Dan pagi tadi, tiada hujan tiada tornado maupun halilintar yang
menyambarku, untuk pertama kalinya kuinjak sekolahku dengan berat hati. Aku
tak mengerti kenapa perasaan ini tiba-tiba muncul. Baru kali ini aku peka terhadap
sesuatu. Bau asap rokok teman-temanku malah membuatku mual sehingga aku
tidak nafsu untuk menhirupnya. Sejenak aku ingat hari ini adalah hari pembagian
rapor semester II di kelas XI ini. Namun, apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah
hal yang biasa jikalau kuterima rapor itu dan langsung pulang tak menghiraukan
yang lain lagi.
Di tengah keributan teman-teman kelasku, aku melihat Pak Joe, wali
kelasku, membawa rapor-rapor itu menuju kelasku. Suara langkahnya laksana
hentakan kaki orang sumo yang siap menggetarkan hatiku. Jantungku berdegup
tak tentu, seakan-akan denyut nadiku hilang.
Seperti biasa, sebelum pembagian rapor, Pak Joe berpidato kenaikan kelas
yang ia bilang hanya 5 menit dapat kuandaikan seperti 5 jam. Sungguh
membosankan. Dilanjutkan dengan membacakan peringkat I, II, dan III serta 10
besar di kelasku yang menurutku sama sekali tidak menarik dan amat tak penting.
Dan tibalah saatnya pembagian rapor masing-masing siswa.
“Fajar Prasetya.”
Aku tersentak ketika namaku disebut. Perlahan-lahan aku maju dan dengan
sigapnya kuambil rapor itu. Waliku memandangku dengan wajah iba seakan-akan
aku ini adalah pengemis yang patut dikasihani. Kemudian aku menuju tempat
dudukku. Kubuka raporku, dan segera kulihat nilai-nilai merah yang terukir di
tengah-tengah nilai kecil lainnya. Dan aku ternganga ketika kulihat beberapa buah
kata yang mungkin bisa membuat aku jungkir balik tak karuan. Tinggal di kelas
XI. Itulah kata-kata yang dapat mengubah hidupku sekarang. Dan untuk pertama
kalinya, dengan tak sadar air mataku menggenang yang membuat mataku berkaca-
kaca. Wali kelasku meninggalkan kelas pun membuatku tak sadar.
“Eh, teman-teman sekalian! Matanya si Fajar berkaca-kaca nih, soalnya dia
nggak naik kelas! Tenang bos, aku juga nggak naik kelas kok! Biasa aja, just
smile!” kata Surya manggodaku hingga membuat teman-teman lainnya
memandangku. Aku tahu, dalam hati, mereka pasti tertawa dan mengejekku.

3
Bagaimana tidak? Fajar dan temannya sang pengganggu tidak naik kelas. Dan itu
membuat mereka lega. Lepas dari seluruh bencana yang mereka dapat selama 2
tahun belakangan ini.
“Hah, mau nangis? Emang aku banci? Cuma ngantuk, habis manguap
lebar,” kataku berbohong membela diri.
Surya pasti kaget. Aku yang biasanya brutal, kini mendadak lemah. Ya,
biasanya jika ada teman yang menggodaku pasti langsung kurespon dengan
kekerasan kecil. Namun hari ini, hanya kata-kata pembela yang dapat
kulantunkan.
Aku hanya lelaki bodoh yang tercantum sebagai siswa tidak naik kelas
diantara 3 teman kelasku lainnya yang bernasib buruk juga. Mungkin teman
lainnya merasa santai dan tidak ada beban saat tahu mereka tidak naik kelas
sekalipun itu tidak lulus mungkin. Namun aku tidak bisa. Meskipun bajingan, aku
tetap merasa sedih. Aku tak bisa memikirkan bagaimana reaksi kedua orang tuaku
yang selama ini telah membiayai sekolahku dengan jerih payah mereka setelah
melihat nilai-nilai terkutuk ini. Aku tak berani pulang. Namun aku harus
bertanggung jawab dengan semua ini. Aku memang harus pulang.
Sesampainya di rumah, aku mendengar suara orang tuaku yang dengan
bangganya memuji kakakku Kak Indah yang baru saja mendapat beasiswa di
Fakultas Kedokteran di salah satu universitas favorit. Mereka memberi belaian
hangatnya kepada kakakku. Kesirikanku bercampur dengan ketakutan. Takut
merusak acara ini hanya karena nilai-nilai merahku. Namun, orang tuaku terlanjur
melihat diriku membawa rapor gila ini, segera saja mereka ingin melihatnya.
Dengan gemetar aku memberikannya.
Tak lama kemudian, kulihat ekspresi wajah ayahku yang dihiasi senyuman
tiba-tiba pucat pasi. Kumisnya melengkung menakutkan ketika melihat kata tidak
naik kelas itu. Tangannya mengarah padaku. Kelima jarinya menamparku. Dan
tamparan yang keras itu membuatku terjatuh. Ibuku hanya bisa diam, kali ini ia
tidak bisa menolongku seperti biasanya disaat ayah memakiku. Sedangkan Kak
Indah hanya memejamkan matanya yang takut melihat ekspresi ayah.

4
“Kau bukan anakku! Aku tak punya darah kebodohan! Apalagi darah
pembangkang seperti yang ada dalam dirimu! Semua anggota keluargaku menjadi
seorang yang sukses, tidak sepertimu laki-laki bodoh! Enyah kau dari sini, aku
benar-benar muak!”
Tamparan dan kalimat-kalimat itu sangat menusuk hatiku. Aku tidak tahan,
segera aku pergi menuju kamarku. Terdengar sayup-sayup suara ayahku.
“Oh Tuhan, aku telah gagal mendidiknya.”
Ayahku memang temperamental. Cepat sekali marah. Apalagi yang
sekarang setelah melihat kegagalanku. Ia juga berprinsip semua anggota
keluarganya harus menjadi sukses. Tak heran selama ini ia terus menasihatiku
untuk bisa merubah diriku yang menjijikkan ini. Namun sayang, ia telah gagal.
Dan aku pantas menerima semua ini. Mungkin ganjaran ini belum cukup untuk
menebus kesalahanku.
Beberapa menit kemudian berlalu. Aku mendengar teriakan histeris ibu dan
Kak Indah. Kuintip dari balik pintu, ternyata penyakit jantung ayah kambuh lagi.
Segera ibu dan kakakku menggiringnya ke kamar. Setelah itu, kakaku
menghubungi dokter spesialis ayahku. Aku takut kehilangan ayah. Aku tidak
berani melihatnya karena akan membuat dirinya semakin drop. Oh Tuhan, semua
ini salahku. Aku ingin menjerit. Aku ingin segera keluar dari masalah ini, dan
tentu saja aku ingin menemukan titik terang di tengah kegelapan yang selalu
menghantuiku.
Aku tertidur. Di dalam tidurku ini, aku bermimpi aneh. Aku berada di dalam
sebuah ruangan gelap. Entah itu gua ataupun sumur, aku tidak tahu. Yang jelas
aku sedang kebingungan mencari titik terang dari kegelapan ini. Berjam-jam aku
mencarinya, tak kunjung kudapatkan. Aku benar-benar panik. Keringat dinginku
terus bercucuran. Siapa saja tolonglah aku agar bisa keluar dari semua ini.
Dan sebuah suara membangunkanku. Ternyata itu dentangan jam dinding
kamarku yang menunjukkan pukul 19.00. Sudah malam rupanya. Ternyata mimpi
buruk itu akibat dari tidurku di sore hari. Aku teringat akan ayahku. Kini
terdengar suara seraknya yang khas sedang melihat-lihat acara televisi sambil
mengobrol dengan ibuku. Untunglah, aku sudah lega sekarang.

5
Dan seperti kubilang tadi, kini aku hanya bisa memandangi langit malam
yang sudah menampakkan bintang-bintang serta rembulan sebagai ciri khasnya
melalui jendela kamarku. Aku berpikir sejenak. Aku ingin berubah. Merubah
sifatku selama ini yang kuanggap memberiku kepuasan, namun malah
menjerumuskanku ke lubang kegelapan. Ya, bagaimanapun caranya, aku harus
menemukan titik terang masalah ini walaupun itu sulit dan mungkin tidak bisa
kujangkau seperti dalam mimpiku. Yang jelas aku harus berubah. Dan
konsekuensi yang harus kudapatkan adalah dikucilkan dari teman-teman yang
pernah menjerumuskanku. Aku siap itu akan terjadi, dan aku bertekad untuk
mencari teman baru yang bisa membantuku menjadi lebih baik bukan semakin
buruk seperti sekarang ini.
Setelah aku merenung, aku juga memiliki sebuah cita-cita. Bukan, bukan
cita-cita namun lebih tepatnya sebuah impian. Aku tidak mau menjadi
pengangguran yang menyesal di kemudian hari. Aku pun tidak ingin menjadi
dokter, pengusaha, ataupun segalanya yang dibanggakan orang. Namun, aku ingin
menjadi seperti Albert Einstein. Walaupun sifatnya berbeda denganku, namun
dahulu beliau juga sempat merasakan apa artinya tidak naik kelas. Hingga kini,
namanya abadi sepanjang masa sebagai orang terjenius di seluruh dunia. Orang-
orang dengan bangga menyebut nama dan kebesarannya.
Tuhan mungkin telah membangunkanku dari semua kegelapan ini. Hingga
beliau memberiku sebuah impian. Ya, sebuah impian yang berbeda dari semua
orang. Sebuah impian menjadi seorang Einstein. Einstein abad 21.

---------

Anda mungkin juga menyukai