Anda di halaman 1dari 5

Mural Kenangan di Jalan Kelam

Oleh: Mita Handayani

Namaku Ajo Sutan. Aku mutlak berdarah Minang. Amak-ku dari Bukit Tinggi. Abak-ku asli
Pariaman. Tapi aku lahir di tanah Sabang, Aceh. Amak dan abak sudah merantau sejak
mereka menikah. Mereka turut memboyong nenek dan paman ke Aceh. Di tanah ini lah aku
di TK-kan. Di TK ini pula pem-bully-an pertamaku dimulai.

Taman Kanak-Kanak (TK) Cut Nyak Dien adalah tempat pertama kali aku mengenyam
pendidikan formal. Di tempat ini pula interaksiku terjalin selain dengan keluarga di rumah.
Semenjak pertama kali menginjakkan kaki di TK ini, semenjak itu pula pikiranku
menerawang entah ke mana. Membayangkan dan mempertanyakan hal-hal yang biasanya
menjadi kerja orang dewasa. “Siapa itu Tuhan? Bagaimana rupanya?” tanyaku kebingungan.
“Bisakah manusia tinggal di planet selain Bumi? Bagaimana jika tidak ada matahari? Apa
bumi akan gelap?” pertanyaan gilaku selanjutnya. Rumput adalah kawan bicaraku. Segala hal
kuceritakan padanya. Pernah suatu hari, guruku, Bu Mutiah, melihatku bicara pada rumput. Ia
menatapku dengan keheranan. “Apa yang sedang kau lakukan, Ajo?” tanyanya sembari
mengernyitkan dahi. “Berbicara dengan rumput, Bu. Rumput ini bisa bicara. Ia bisa bicara
seperti teman-teman lainnya,” jawabku sembari menunjuk rumput yang berada di depan
kelas. “Ada-ada saja kau, Ajo. Ayo masuk ke kelas!” pintanya sambil menarik tangan
kananku.

Aku adalah murid yang lamban dalam belajar. Tak pernah ada pelajaran yang kumengerti.
Bahkan, aku sering kesulitan membedakan huruf. Hal ini juga berpengaruh pada kemampuan
membacaku. Huruf A sering kutulis U. Huruf D, kutulis B. Huruf M, kubuat W. Bahkan,
namaku saja, kutulis Ujo. Saat teman-teman sedang asik menyanyikan lagu tentang alfabet
dan angka, aku malah sibuk memperhatikan setiap hal yang menempel di dinding kelas. Jika
ada cicak di sana, kubayangkan ia sebagai seorang wanita cantik. Jika ada bercak darah,
kuimajinasikan ia sebagai kapal terbang, kerbau, kasur, dan hal-hal tak masuk akal lainnya.

“Ajo, huruf apa ini?” tanya Bu Mutiah sambil menunjuk huruf yang telah ia tulis di papan
tulis. “D, Bu ” ujarku. “Kalau ini?” tanyanya lagi. “W, Bu” lanjutku. “Ajo, ini bukan huruf D
tapi B. Dan yang ini huruf M, bukan W,” katanya sambil membenarkan kesalahanku. “Coba
tulis nama ibu di papan tulis,” pintanya sembari menyodorkan spidol hitam. “Huitaw,”
tulisku dengan menghabiskan waktu dua menit menuliskannya. “Ini salah, Jo. Harusnya, Ajo
tulis seperti ini. Mutiah,” ujarnya kepadaku. Semua teman di kelas tertawa terbahak-bahak.
Aku dikatai Padang bengkok dan Minang maliang. Dikatai anak aneh karena sering
menghayal dan suka bicara pada rumput. Dikatai bodoh karena tak bisa membedakan huruf.
Tak bisa menulis dengan benar. Semenjak kejadian itu, aku selalu diolok teman-temanku.
Tak satupun dari mereka yang mau berteman. Aku dianggap orang asing.

***

Usai kejadian itu, Bu Mutiah meminta orang tuaku datang ke sekolah. Ia melaporkan semua
hal aneh yang terjadi. Abak marah besar. Darahnya menggelegak. Ia menamparku ketika
sampai di rumah. Ia tak mau menerima anak bodoh. Baginya, memiliki anak bodoh adalah
suatu keharaman. “Mulai hari ko, salapeh baliak sikolah, Ang baraja jo amak Ang di
rumah! Aden indak nio punyo anak bodoh. Lai mangarati, Ang!” hardiknya padaku.

Setiap pulang sekolah, aku harus belajar lagi dengan amak. Namun, hasilnya tetap sama. Aku
tetap tak bisa membedakan huruf. Juga masih kesulitan membaca. Masih sering menghayal
ketika amak menjelaskan pelajaran. Saat ini giliran amak yang jantungnya menggelegak.
“Angkek tangan den. Indak mangarati-ngarati diaja,” katanya sambil menghela napas
panjang. Abak yang melihat kejadian itu langsung menusuk tanganku dengan pensil yang
berada di dekatku. “Ang ngangak bana. Pandia. Ang tu anak disleksia. Anak Bodoh. Malu
Den!” bentaknya sambil melayangkan tangan besarnya ke badanku. Aku menangis sejadi-
jadinya. Tak kurasakan sosok ayah di diri abak. Ia lebih terlihat seperti monster. Paman yang
sedang asik menyeruput kopi di dekat kami juga menambah pernyataan abak. “Kanai down
syndrome inyo tu ma,” ujarnya dengan santai. Nenek yang baru ke luar dari kamar langsung
menyambung perkataan paman “Alah tu. Inyo ketek baru. Alun bisa dipaso bana baraja,”
kata nenek sambil meraih tanganku dan membawaku ke kamar.

“Nek, baa Ayah sarupo itu?” ujarku menangis dengan terisak pada nenek.

“Abak baitu karano sayang ka Ajo.” Balas nenek sambil memeluk dan membelai rambutku.
Aku hanya terdiam dan tak malakukan pertanyaan lanjutan. Aku tertidur dipelukan nenek.

Semenjak tragedi hari itu, neneklah yang mengambil alih kerja amak. Ia begitu sabar dan
telaten mengajariku tentang huruf dan membaca. Meskipun aku melakukan kesalahan, tak
pernah ada hardikan atau pukulan darinya. Nenek sering membawaku ke beberapa toko.
Setiap perjalanan kami, nenek memintaku membaca setiap kata atau kalimat yang tertera di
plank depan toko. Yang paling kuingat adalah tulisan “Marlboro”. “Murdoro,” teriakku pada
nenek. “Marboro, Jo” ujar nenek memperbaiki. Nenek adalah malaikatku. Di saat rumah
terasa seperti neraka, nenek hadirkan sejuta cinta.

***

Hari ini adalah hari pertamaku masuk SD. Aku disekolahkan di SD N 02 Cut Nyak Dien.
Sekolah ternama. Unggulan pula. Isinya anak-anak pintar saja. Amak dan abak sengaja
mendaftarkanku ke sekolah ini agar bodohku hilang. Agar bisa belajar pada mereka yang
pintar. Yang ada justru sebaliknya. Aku makin terlihat bodoh diantara anak-anak pintar lain.
Bodohku terlihat kentara. Hanya saja, saat ini aku sudah mulai lancar membaca. Aku juga
sudah bisa membedakan huruf yang kuanggap sulit sebelumnya. Ini semua berkat nenak. Saat
teman-teman sangat antusias dalam belajar, aku justru sibuk menghayal. “Apa orang bisa
kembali ke masa lalu? Apakah mungkin ada mesin waktu yang bisa membawa kita ke masa
depan?” pikirku sambil menopangkan tangan kanan ke daguku dan melayangkan pandangan
ke luar jendela kelas. Aku juga masih sering mengimajinasikan bercak darah menjadi benda-
benda hidup. Semua pikiran liar ini kutuangkan dalam tulisan. Puisi kalau kata orang
sekarang.

Bumi adalah anak Tuhan

rumah bagi orang-orang

bumi punya mesin waktu

yang bisa mengajak kita

ke masa depan dan masa lalu

Saat penerimaan lapor, Amak dan abak diminta datang ke sekolah. Hanya amak dan abak
saja. Tidak dengan orang tua teman-teman lainnya. Nilaiku paling rendah. Semuanya ditulis
dengan tinta merah kecuali Bahasa Indonesia. Aku dilaporkan sering melamun di kelas.
Bahkan, aku juga dilaporkan pernah membawa tinjaku ke dalam kelas dan mengatakan
kepada guru dan teman-teman bahwa yang kubawa adalah anak ayam. Ya, hal itu memang
benar adanya. Aku tak naik ke kelas dua. Tahun depan, aku mesih mendekam di kelas satu.

Abak kembali marah besar. Pukulan demi pukulan ia layangkan ke badan kecilku. Nenek
pasang badan untuk menghentikan. “Alah Muis. Mati anak Ang beko!” teriak nenek pada
abak. Dekapan hangat dari tubuh nenek selalu jadi penenang usai pemukulan. Setelah
pukulan itu, aku selalu berusaha keras untuk belajar. Namun, mengimajinasikan benda-benda
mati seolah-olah hidup tak pernah kuhentikan. Tak ada yang mau berteman denganku saat
SD. Teman-teman selalu mengolok-olok. Aku dikatai bodoh. Dikatai aneh karena
menganggap tinja sebagai anak ayam.

Guru, amak, dan abak tak tahan dengan segala kekuranganku itu, lebih-lebih melihat
keanehan dan kebandelanku yang menjadi-jadi. Pada akhirnya mereka memutuskan
“membuangku” ke Pesantren Datuk Panglima Khatib.

***

Aku tak tau apa yang harus dilakukan di pesantren ini. Jangankan mengaji irama, baca alif,
ba, ta saja lidahku terbata-bata. Bukan salah orang tuaku yang tak menyerahkan aku untuk
mengaji ke surau. Aku saja yang tak pernah sampai di lokasi. Kalaupun sampai, paling hanya
di depan pagar surau saja. Aku trauma. Suatu hari, guruku memberikan lecutan di tanganku
karena tak hapal Surah Al-Fatihah. Sejak itu, aku tak lagi mau pergi mengaji.

Mata pelajaran (Mapel) pertama yang kuikuti di tempat ini adalah Tafsir. Mapel ini diampu
oleh Ustadz Abdul Somad. Kami diajari tentang Surah Al-fatihah tafsirannya.

“Jo, Ustadz dengar kamu murid baru di sini. Coba baca Al-Fatihah. Setelah itu, kita akan
bahas mengenai arti dan tafsiran mendalamnya.” pinta Ustadz dengan begitu santun dan
lembut kepadaku.

“Alamat cilaka. Ini akibat malas pergi ke surau. Kalau saja dulu kuturuti perintah guruku,
pasti aku bisa memenuhi keinginan ustadz,” aku membatin. “Tak bisa Ustadz,” kataku pada
ustadz sambil menunduk. Semua teman di kelasku tertawa. Mereka menggeleng-gelengkan
kepala sambil melihatku.

“Andai saja aku rajin mengaji. Aku tak akan semalu ini.” aku membatin dengan wajah
memerah akibat menahan malu.

“Sudah..sudah. Tak Apa. Mari kita lanjutkan,” balas Ustadz.

“Hei, Jo. Kau ini orang Islam atau tidak? Apa pernah kau pergi mengaji? Baca Surah Al-
Fatihah saja tak mampu. Memalukan.” Ujar salah seorang teman kelasku saat pelajaran telah
usai. Aku hanya diam dan menunduk.
Tiba-tiba, seorang teman kelas yang lain datang menghampiriku. “Rionta,” ujarnya sambil
mengulurkan tangan kanannya padaku. “Ajo. Ajo Sutan,” balasku. “Aku sudah 3 tahun di
sini. Aku seorang mualaf. Aku juga tak terlalu lancar membaca beberapa Al-Qur’an ketika
pertama kali tiba di tempat ini. Sekarang sudah lumayan. Kau mau belajar denganku?”
katanya lagi. “Mau. Mau sekali,” kataku dengan senyum sumringah.

Rionta mengajariku banyak hal. Mulai dari mengaji jus ama sampai membaca Al-Qur’an.
Aku juga hapal beberapa ayat pendek karena bantuannya. Kami bercerita banyak hal. Apa
saja. Pelajaran di kelas, perempuan, politik, agama, dan sebagainya. Rionta juga
meminjamiku beberapa buku yang ia punya. Buku-buku sastra, agama, dan masih banyak
lagi. Dari sanalah aku mulai senang belajar. Aku senang membaca. Terutama buku-buku
sastra. Ya, meskipun di kelas aku tetap peringkat terakhir. Walau demikian, ilmuku banyak
bertambah dari sebelumnya. Hari-hariku banyak kuhabiskan bersama Rionta. Kami tidur
bersama. makan bersama, bahkan juga dihukum bersama.

Memang benar kata orang. Waktu terasa cepat berjalan jika dihabiskan dengan orang yang
disayang. Aku dan Rionta harus berpisah. Hari ini, kami lulus dari Pesantren Datuk
Panglima Khatib. Sedih bukan kepalang rasanya. Aku masih ingin menambah tahun di
tempat ini. Menghabiskan hari bersama Rionta. Satu-satunya sahabat yang kupunya. Tapi apa
mau dikata. Hidup harus terus berlanjut. Pendidikan harus diteruskan. Rionta kembali ke
kampung halamannya, Medan. Ia berencana untuk lanjut kuliah di sana. Namun aku akan
selalu berdoa agar di suatu hari kelak dapat bersua kembali dengannya.

Solok Selatan, 2021.

Anda mungkin juga menyukai