Anda di halaman 1dari 3

Tantangan Yang Aneh

(Faizal/IX-C/10)

Sedari awal masuk ke sekolah menengah, aku tak pernah menyapa para temen
sekelasku sebelum mereka menyapaku. Tak pernah menoleh sebelum mereka memanggil
namaku dan tak pernah tersenyum sebelum mereka tersenyum padaku. Aku tak merasa
membutuhkan teman. Tak akan pernah.

Bagiku, pertemanan itu hanyalah omong kosong. Teman hanya datang dikala
membutuhkan lalu menghempaskan dirimu menjauh dari hadapan. Aku tidak trauma,
sungguh. Hanya saja rasa percayaku pada teman telah hilang seperti air hujan yang
meresap ke dalam tanah.

“ Hai, boleh aku duduk di sini?”

Aku menoleh ke sumber suara. Menatap sejenak pada seorang siswi berkacamata
dengan tas gendong. Aku mengangguk. “ Silahkan.”

Lalu kembali sibuk membaca buku-buku dimeja ku.

Siswi di hadapanku mengucap terima kasih kemudian mendudukkan diri di sebelahku.


Selama beberapa menit, hanya suara rintik hujan yang bersuara. Sesekali aku mendengar
suara gemericik genangan air yang terinjak. Pasti siswa-siswi tak sabar menunggu hujan
reda lalu memilih menerobos saja.

“Ehem …”

Mungkin karena jengah, siswi di sebelahku menutup buku yang sedari tadi ia baca.
Menghembuskan napas. “Mulutku gatal ingin bicara. Siapa namamu?” Tanyanya.

Aku mendongak, mengalihkan atensi. Menyimpan ponsel di tas yang sedari tadi
kuletakkan di pangkuan. “Cakesha Ara.” Jawabku pelan.

Siswi itu menatapku terkejut. “Jadi kamu itu Kesha yang sering dibicarakan teman-
temanku. Wah …”

Aku menatapnya tak mengerti. Tanpa aku minta, siswi itu melanjutkan ucapannya.
“Iya. Jadi para temanku sering bahas kamu yang katanya pendiam cuek gitu. Aku ga nyangka
bisa ketemu kamu.”

Matanya berbinar-binar. Tersenyum. “Aku Izza Salea kelas XII MIPA 3. Salam
kenal Cakes.”

Izza mengulurkan tangan, sejenak aku terdiam. Tak tahu harus berbuat apa. Namun
melihat binar di mata Izza aku jadi tak tega untuk mengabaikannya. “Kelas XII IPS 2.
Salam kenal.”

1
Disaksikan oleh koridor depan kelas, bangku kayu, dan rinai hujan yang mereda,
tanganku membalas tangannya. Membuat senyumnya makin merekah. Apa ini awal aku
memiliki teman?

Sejak itu, Izza selalu menghampiriku. Entah saat waktu istirahat atau pulang
sekolah. Kami akan berjalan bersama menuju kantin atau berjalan bersama menuju gerbang
sekolah. Seperti saat ini, aku dan Izza sedang berjalan menuju kantin. Aku memilih bangku
dan Izza yang memesan makanan.

“Ga bisa dibiarin. Izza lupain kita terus makin sering sama si Kesha.” Seorang siswi
berucap kesal. Tangannya mengepal.

“Ini salah kita juga. Truth or dare. Kita kan yang minta Izza deketin Kesha? Biar ga
penasaran seberapa pendiam dan cueknya Kesha.” Suara lain berbicara. Kali ini terdengar
biasa saja. Tak ada nada kemarahan di sana. Namun, mampu membuatku tertegun. Dare?
Tantangan?

Meja kedua siswi itu di depanku, posisi duduk mereka membelakangiku. Jadi mereka tak
akan melihat aku.

Aku menghela napas, jadi ini alasan kenapa Izza berteman denganku? Netraku berlinang.
Aku mendongak untuk mencegah sesuatu itu jatuh. Sebelum pipiku basah, aku memutuskan
untuk keluar dari kantin. Peduli amat dengan Izza. Bukankah ia berteman denganku karena
permainan truth or dare?

“Cakes! Tunggu!”

Ternyata Izza mengejarku. Aku mengusap mata dan pipiku sebelum berbalik
menghadapnya.

“Kes, aku –”

Kalimat Izza terhenti. Aku tersenyum simpul. Kurasa pertemananku dengannya akan
berakhir sekarang. Padahal baru dua Minggu yang lalu berkenalan.

“Aku tau semuanya Iz. Aku tau tentang temanmu dan permainan aneh itu.” Ucapku pelan.

“Apa yang kamu katakan Kes?”

“Apa lagi? Kalian bermain truth or dare lalu kamu memilih opsi kedua dan temanmu
menyuruhmu untuk mendekatiku kan? Kamu tak bisa menolak karena itu adalah permainan.
Apa lagi yang tidak aku tau Iz?”

Izza menggeleng. “Kes dengerkan aku. Tentang permainan itu benar tapi–”

Sebelum Izza menyelesaikan kalimatnya, aku telah melangkah mundur, menjauh. “Maaf …
tapi sepertinya aku memang tak ditakdirkan untuk memiliki teman. Entah dengan kamu,
entah dengan siapapun.”

“CAKES!”
2
Aku berbalik badan, berlari meninggalkan Izza yang memanggil namaku. Telingaku masih
berfungsi baik walau samar-samar saat Izza berucap:

“MAAF …”

Kejadian itu membuatku berani membolos. Aku berdiam diri di ruang kesehatan. Ijin tak
masuk kelas dengan alasan pusing. Jam ini mapel Sejarah, untung saja guru yang mengajar
baik hati. Jadi, aku tak perlu repot-repot untuk berbohong lebih banyak. Tapi sepertinya
benar, kepalaku pusing. Apa ini akibat berbohong pada guru?

Aku keluar dari ruang kesehatan lima belas menit setelah bel pulang sekolah berbunyi. Tadi
niatku cuma tiduran tapi malah ketiduran. “Aman,” gumamku setelah tengok kanan kiri,
depan belakang untuk mengecek sikon, situasi dan kondisi. Cepat-cepat aku berjalan
menuju kelas lalu mengambil tas.

“Kamu ngapain sih Iz?”

Suara itu membuatku bersembunyi dibalik pintu kelas. Iz? Apa itu Izza?

“Kalau ga suka kamu boleh pulang duluan.”

Ternyata benar. Itu Izza dan kedua temannya.

“Kesha udah pulang. Buktinya tasnya ga ada.” Suara lain menimpali. Berbeda dengan suara
pertama dan kedua tadi. Dari celah pintu aku dapat melihat Izza menggeleng tak percaya.

“Tapi tadi Kesha ke ruang kesehatan. Aku barusan kesana ga ada.” Dua teman Izza, kalau
tidak salah namanya Karlin dan Pita menarik Izza keluar dari kelas. “Udah ku bilang Kesha
ga ada. Mending kita pulang. Katanya mau ke Timezone?”

Kalimat itu diutarakan Karlin. Terlihat Pita dan Izza mengangguk semangat. “Yuk.” Ketiga
siswi itu pun lenyap dari pandanganku. Bernapas lega, aku keluar dari persembunyian.
Segera keluar kelas sebelum ada lagi yang datang.

Sepertinya aku benar. Izza hanya mengajakku berteman karena tantangan permainan aneh
itu. Kenapa aku merasa sedih? Sedari dulu aku tak punya teman. Seharusnya ini menjadi
hal biasa bagiku. Lagipula, masa-masa SMA sebentar lagi berakhir. Sebentar lagi Ujian
Nasional. Tak terasa, hampir tiga tahun aku bersekolah tanpa bermain bersama teman.
Datar sekali kehidupan sekolahku ya? Dan tentang tantangan berteman, ya aku mengaku
kalah.

Anda mungkin juga menyukai