Anda di halaman 1dari 6

JIKA KAU TAK DATANG

Fauziah Zahra Mursyid

Di dunia dimana orang lebih memilih fisik daripada


hati. Ada aku, yang pasti sudah ada di paling bawah dalam
pilihan. Dulu, pandangan ku kepada orang tidak begitu
negatif, bisa saja dibilang aku polos di waktu itu. Sampai
akhirnya aku harus melihat kegelapan hati orang dengan cara
yang menyakitkan. Pada hari ini saja masih ada bekas luka di
hati yang masih terasa.
Namaku Ame, aku sekarang kelas 9 dan sedang
menjalani hidup dengan santai…Ya, jika hanya itu benar.
Kebalikannya dari santai, aku tegang dan tidak nyaman disini.
Kata-kata yang selalu dilempar kepada ku sangat asam dan
pahit, dan semuanya karena fisik ku ini. Padahal hari ini akan
ada murid baru yang datang, bisa aja mereka memberi waktu
untuk mencaci maki diriku.
“Oke anak-anak, murid barunya sudah datang dan
sebentar lagi akan masuk kelas. Jadi kalian yang tertib ya”
Ucap guru kelas kita. Seluruh murid mengangguk sebagai
tanda mengerti. “Tok” “Tok” Suara ketukan pintu diikuti
dengan kata “Permisi.” Terbuka pintu dan masuklah seorang
perempuan cantik yang jalan menuju papan tulis disebelah
pak guru.
Berhenti tepat di ditengah dan menengok lurus,
“Halo! Namaku karisa, biasa dipanggil Kasa. Senang bertemu
dengan kalian!”. Semua murid di kelas terpesona oleh dia,
bahkan pak guru saja juga ikut kaget melihatnya. Setelah
perkenalan itu, ia jalan untuk duduk di bangku kosong yang
berada disebelahku.
Walaupun terdengar hiperbola, tapi memang begitu
sosoknya. Muka cantik seperti bidadari, suara lembut,
selembut kasur aku, bahkan lebih! Fisik yang ala sempurna
itu sudah pasti akan membuatnya di keroyok semua laki-laki
di sekolah ini dari kelas 7 sampai 12. Bahkan sekarang saja
dia sedang di tanya-tanya seluruh kelas kayak artis.
Ditambah lagi fakta kesempurnaanya bahwa di kelas
dia menjawab seluruh pertanyaan dengan benar, mau itu
petanyaan dari guru langsung, atau tertulis di kertas,
jawabanya benar semua. Intinya dia itu pintar banget.
Datanglah waktu istirahat. Seperti biasa aku ke
taman sekolah untuk makan sendiri di bangku taman.
Ditengah-tengah aku makan, datanglah sosok bidadari kelas,
dan anehnya ia jalan menuju ke arah...
“Halo! Ame ya?” Tanya Kasa kepada ku. Mataku
melotot, mulutku terbuka, dan terdiam seperti patung. Efek
kaget membuat ku tidak dapat mengeluarkan kata apa-apa,
yang aku pikirkan hanya bahwa Kasa, anak pindahan popular
itu, sedang berbicara dengan…aku?
“Eh? Kenapa?” Kasa bertanya lagi dengan muka
khawatir, dan akhirnya aku dapat menjawab “M-Maaf! Maaf,
iya aku Ame. Salam kenal…” Suara ku patah-patah dan sedikit
gemetar, hasil dari lamanya tidak berbicara dengan makhluk
sesama jenis.
“Oh! Aku Kasa, salam kenal juga!” Kata Kasa dengan
senang. Tapi, siapa juga yang ga tau dia? Bidadari, anak
pindahan popular, Madonna kelas, Albert Einstein juga ada.
Banyak lah nama panggilanya, positif semua juga. Lalu ia
duduk disamping ku dan izin untuk makan bareng. Tentu aku
izinkan, tapi kenapa harus aku dari sekian banyak orang?
Hilanglah penasaranku Ketika dia menjelaskan
bahwa ia merasa sedih karena melihat aku makan sendiri dan
ingin menemaniku. Kata-kata baik itu membuat hatiku
merasakan hangat yang tidak pernah ku rasakan sebelumnya.
Apakah ini rasanya dipedulikan?
Aku berpikir, tetapi balik ke realita. Bisa saja dia akan
menjadi seperti orang itu, sebuah memori masa lalu yang
menyakitkan. Sebelum aku mengatakan terimakasih, ia
memberi ku pertanyaan yang...Gimana ya, bisa saja dibilang
lumayan gila.
“Mau jadi temen aku ga?” Berdiri dan mengeluarkan
tanganya untuk dijabat, ia menunggu jawaban ku dengan
senyuman hangat. Teman? Yang aku inget dari kata itu
hanya…pengkhianatan. kamu baik, tapi apa di dalam juga?
Aku berdiri dan menolaknya, lalu lari ke kelas
meninggalkan tanganya tanpa dijabat, dan juga tempat
makan ku yang belum dihabiskan. Bukannya aku tidak mau
jadi teman dia, tapi aku takut akan kejadian yang dapat
terjadi lagi di hidupku.
Dulu pernah ada yang mengatakan kata-kata yang
sama, “Boleh ga aku menjadi temen kamu, ame?” Ia yang
merusak senyumku, Miru namanya. Miru memang awal-awal
berperilaku baik, tapi itu hanya selimut kebohonganya. Di
dalam hati ia manipulatif, sombong, dan tidak peduli apa
yang terjadi kepada orang lain. Untuk Miru, yang penting
tujuanya tercapai, lalu ia membuang yang membantu agar dia
bisa naik sendiri, menang sendiri. Dan aku menjadi salah satu
korban pertama hati busuknya itu.
Aku terima-terima saja tanpa rasa lain kecuali
senang. Walaupun ia bilang kita teman, tapi perahabatan kita
lebih seperti penyuruh dan disuruh. Aku mengungkapkan
persaanku tentang persahabatan kita yang tidak seperti
persahabatan biasa. Semuanya tegang dan tidak ada becanda
ataupun ketawa.
“Pinter juga kamu, tapi tetep bodoh sih sampe baru
tau sekarang. Lagian kamu pikir ada gitu yang mau jadi
temen kamu beneran? mana ada yang mau. Aku temenan
sama kamu biar aku dikira baik aja. Siapa juga yang percaya
kamu kalo aku jujur tentang ini? Gaada!” Aku pernah
merasakan sakit, pernah, memang pernah, tetapi tidak
pernah aku mersakan rasa sakit yang sampai menusuk hati
ku sedalam itu.
Bisa dibilang aku trauma dengan yang namanya
persahabatan, tapi juga sepi tanpa hadirnya teman dalam
hidupku. Bel sekolah menyatakan bahwa sudah waktunya
murid pulang. Aku baru ingat tentang kotak makanku dan
bergegas ke taman untuk mengambilnya, tetapi setelah
sampai disana tidak ada apa-apa di bangku.
“Mencari ini kah?” Kaget, aku menengok ke belakang
untuk melihat Kasa sedang memegang kotak makanku. “Iya..”
Aku jawab dengan nada menurun. “Ini, lain kali gausah buru-
buru. Santai aja, aku ga marah kok kalo kamu nolak jadi
temen aku. Tapi kalo kamu perlu bantuan bilang aja, nanti
aku bantu sebisa aku” Kasa, kebaikan yang kamu punya itu
mungkin setara atau mungkin lebih dari luas dan dalamnya
lautan di dunia ini.
Kepala ku menunduk mendengar jawabnya. Tanpa
kusadari air mata sudah mengalir dari mata ku dan menetes
ke tanah taman. “Kasa…Boleh tanya aku lagi ga kalo mau jadi
temen?” ujar aku sambil menangis. Walaupun kaget, Kasa
mengganguk. “Ame, kamu mau jadi temen aku ga?”
Pertanyaan yang dulu ku hindari sekarang aku tunggu dan
hampiri dengan jawaban “Mau!”.
Menengok ke atas aku melihat mukanya dan ketawa.
Mengapa aku merasa lega walaupun mengeluarkan air mata
ya? Lucu sekali. Mulailah hari-hari ku yang dulu hanya hitam
dan putih menjadi warna bagaikan pelangi.
Tapi dimana ada pertemuan pasti akan ada juga
perpisahan. 1 tahun lebih sudah lewat, wisuda selesai, dan
datanglah waktu kita untuk menuju ke SMA masing-masing.
Semuanya berlalu dengan sangat cepat, sampai-sampai aku
lupa untuk meminta kontakmu, Kasa.
Mungkin…ini memang takdir, dimana aku harus
Ikhlas dan menuju kedepan tanpamu disisi. Tapi kadang-
kadang aku berpikir gimana hariku jika kita mengobrol
bareng di setiap waktu yang ada. Mungkin aku akan selalu
tersenyum memikirkanya.
Kasa, jika kita dapat bertemu lagi di suatu hari nanti.
Maka aku ingin menghilangkan rasa penyesalan ini yang
berada di hati. Jika bisa, ingin ku ucapkan terimakasih atas
segala yang kau lakukan untuk diriku. Kamu ga akan tau
betapa besarnya kau merubah pemandangan ku terhadap
dunia ini, ga akan.
Dunia ku mulai bewarna dan terasa hangat. Sejuta
terimakasih tak akan dapat membalas datangnya dirimu
kepada hidupku. Engkau bagaikan matahari yang menyinari
pagi, dan bulan yang bersinar dalam kegelapan.
Semoga hari-hari mu akan selalu dihadiri dengan
senyum. Sehat selalu, dan juga kelancaran dalam urusan yang
ada. Aku akan selalu merasa bersyukur atas kehadiranmu
dalam hidupku. Sampai jumpa, Kasa.
In a world where everything seemed dark, a light
came and shined on a path for a new beginning. To you who
came and left like seasons across the days, like flowers that
bloom anew. The things that I say may never be delivered, but
just this once I wanted to say, “Thank You”.

TAMAT
Biodata Penulis: Hoi, nama saya Fauziah Zahra Mursyid yang
biasa dipanggil Zahra. Saya bersekolah di SMP Insan
Cendekia Madani dan sekarang saya duduk di kelas 8C. Saya
berasal dari ciputat. Saya kurang tau mau jadi apa di masa
depan, tapi paling melanjutkan bisnis keluarga. Hobi saya
adalah menggambar sketsa karakter. Walaupun saya tidak
pandai dalam menulis cerpen, saya akan tetap berusaha
sebisa mungkin.

Anda mungkin juga menyukai