Anda di halaman 1dari 8

Perasaan yang Tak Bisa Sampai

Pagi ini aku berangkat sekolah dengan hati riang, seperti


biasa rani menunggumu di teras rumah. Tak lupa aku
berpamitan pada ayah.

“Yah, aku berangkat dulu yaa. Assalamualaikum”.

“Iya, waalaikumsalam. Udah ada uang saku?” Tanya


ayah.

“Udah yah, kan udah dikasih jatah seminggu”

“Oh, yaudah kalo gitu hati-hati ya..”. Tak lupa ayah


mengingatkan.

“Siapp yah".

Sampai di sekolah rani mengajak ke kantin, ya karna


memang dia hampir tidak pernah sarapan di rumah,
katanya takut ketinggalan. Padahal sama saja walaupun
sudah makan di kantin sekolah tetap telat karena
makanannya sambil cerita.

Rani, dia sahabatku dari kecil padahal kemarin kita tidak


bersepakat untuk bersekolah di tempat yang sama,
namun siapa yang tahu kita tidak bisa menolak takdir.
Dia baik selalu mengerti dan menyenangkan, pasti bisa
menjadi pemecahan sunyiku.

“eh tar, tar, liat deh siapa yang lewat. Ihhhh hobi
bangettt pagi-pagi udah bisa cuci mata aja". Heboh rani.

“Emang siapa ran??”. Ujarku tak tahu.

“Makanya liat, itu looo cepet dibelakangmu”.

“Ohhhhh, jadi dia yang selama ini kamu crush-in. Aww


pasti hatinya berbunga-bunga tuh hahhaha". Aku
mencoba ikut senang. Eh, emang sebenernya aku juga
seneng sih, kan dia orang yang aku kagum dari SMP.
Tapi aku gak pernah cerita soal ini ke siapapun, bahkan
Rani. Untuk membagi sesuatu yang seperti ini memang
sulit, karena memang aku tidak terbiasa.

Masa laluku memang cukup suram, bahkan aku tidak


pernah merasa tenang, atau memiliki hidupku
sepenuhnya sampai saat ini. Rasa trauma yang begitu
dalam itu tidak pernah benar-benar lepas dari jiwa ini.
Entah aku yang memang masih terlalu memikirkan ya,
atau mereka yang keterlaluan. Seolah-olah aku masih
terikat pada derita masa kecilku yang kelam.
*6 tahun yang lalu-

Aku duduk di bangku milikku, setelah piket kelas yang


cukup kotor untuk ukuran anak SD, laci meja pun
menjadi tempat sampah sementara secara tidak langsung.
Kemudian temanku berbisik-bisik, “eh itu kok masih ada
sampahnya sih lagi meja fika", yang lain menimpali “
siapa sih yang piket ini, kok masih kotor ya, padahal kan
udah tau biasanya lagi meja juga dibersihkan". Aku yang
merasa anggota piket hari itu risih mendengarnya,
padahal kan tadi sudah kuperiksa, dan kepastian tidak
ada sampah satu pun.

“Kenapa emangnya, aku yang piket sekarang", aku


menyeletuk.

“Itu loh tar, sampah di laci meja fika belom diambil ya?”
salsa bertanya kepadaku.

“udah kok, orang tadi udah kebersihan semua".

“oalah, ya udah deh, kalo udah kamu bersihin”. Timpal


salsa.
Aku mengira masalah itu selesai, tapi ternyata mereka
ngomongin aku lagi di belakang, padahal kan bukan
cuma aku yang piket hari itu. Entah kenapa setiap ada
kesalahan selalu aku yang jadi tumbal, mungkin karena
aku murid pindahan kali ya. Untungnya pada saat itu aku
punya temen yang bener-bener setia banget sama aku, ya
walaupun kita gak bisa bebas buat bisa deket. Selalu ada
aja yang syirik sama persahabatan kami. Dan mereka
sering kali berusaha untuk memisahkan kita, biar aku
juga gak punya temen lagi mungkin.

Nah, masalah gak berhenti disitu, setelah mereka puas


ngomongin aku, ketua geng mereka nyimpen dan nyuruh
aku piket ulang. Padahal sebenernya aku thu ada salah
satu dari mereka yang sengaja masukin sampah itu lagi
ke laci fika, tapi mereka fitnah aku dengan cara itu.
Mungkin saat kalian baca ini, ih hal kayak gitu aja mah
udah biasa alay banget. Iya kelihatannya sih hal kecil,
tapi aku ngerasain itu nggak 1 atau 2 kali aja bahkan tiap
minggu aku digituin.~

Selesai menemani rani makan, kita, kita segera menuju


ke kelas karena jam masuk tinggal 5 menit lagi.
Pulang sekolah rani mengajakku berbelanja, ternyata dia
mau membeli kado untuk dia. Dalam hati ada sedikit
rasa sesak, tapi tak apalah toh aku juga ga mau sampai
rani tahu kalua aku juga menyukai dia. Rani meminta
saran kepadaku perihal kado apa yang cocok untuk dia,
aku sedikit tahu karena dulu aku juga sempat ‘kepo’
dengan hal yang berkaitan dengan dia. Karena dia hobi
berolahraga, jadi aku menyarankan pada rani agar
membelikan handuk dan sepatu sport yang cocok dengan
style-nya.

Setidaknya aku bisa membuat rani dan ‘dia’ bahagia,


walaupun secara tidak langsung. Aku bisa melihat binar
bahagia yang berbeda di mata rani, seolah-olah selama
berteman dengan rani baru kali ini aku melihatnya.

Kalian mungkin bertanya kenapa aku tak ingin ada yang


tahu kalua aku juga menyukai dia. Yah, kalian akan
mengetahuinya di akhir cerita ini. Tapi aku akan
memberitahu satu rahasia tentangku. Bisa dibilang aku
adalah orang yang jarang sekali terlihat panik, padahal
pada saat itu aku merasakan rasa panik itu. Entah
bagaimana rasa itu tidak terlihat oleh teman-temanku.
Seringkali mereka bertanya ketika akan mengikuti ujian
lisan atau akan menghadapi sesuatu yang menegankan,
“eh tari, kamu kok bisa nggak panik sih, padahal ini kita
udah keringat dingin loh”, dengan santai aku menjawab
“emang sekarang aku nggak keliatan panik ya, orang aku
sekarang juga lagi panik, tapi aku berusaha untuk bisa
tenang”.

Setelah berbelanja rani mampir dulu ke rumahku, kita


membungkus kado itu bersama-sama. Melihat rani
bahagia pun aku sudah ikut tersenyum, se-sederhana itu.

Dari kecil aku hobi sekali menulis, entah sekedar


mencoret buku atau merangkai kata, setidaknya bisa
menyalurkan emosiku secara tidak langsung. Saat SMP
aku mulai membuat jurnal harian, yang membantu
meringankan sedikit beban fikiranku ketika aku tidak
punya teman untuk cerita. Jujur aku merasa kesepian
semenjak mendiang ibuku meninggal, itu terjadi saat aku
kelas 6.

Sakit sekali rasanya ditinggal oleh orang yang benar-


benar berpengaruh besar terhadap kita. Apalagi aku
masih membutuhkan kasih sayangnya saat itu. Tentu
dengan proses yang tidak mudah untuk mencapai
keadaanku yang seperti sekarang. Dulu saat ibu masih
hidup, pasti aku selalu menceritakan semua kepadanya.
Selalu membesarkan hatiku saat aku merasa tidak
berharga, mengingatkan kalau masih banyak orang yang
menyayangiku, selalu bisa membuatku tersenyum saat
aku merasa putus asa.

Setelah itu aku belajar bahwa sejatinya hidup kita itu


tergantung pada diri kita sendiri, bukan pada penilaian
dan omongan orang lain, apalagi orang yang memang
tidak suka pada kita. Aku mulai berusaha untuk bangkit,
toh bagaimanapun kehidupan ini pasti berlanjut, entah
saat itu aku dalam keadaan apa semesta pun tak peduli.

Aku merasa beruntung bisa bertemu dengan orang


seperti rani, takdir tuhan memang indah, hanya saja
terkadang kita tidak menyadari bahwa memang itu yang
terbaik untuk kita.’ Serendipity’ kalian pernah
mendengar kata itu? Ya, sebuah kebetulan yang
menyenangkan kalau menurutku ini merupakan salah
satu bentuk kasih saying tuhan kepada kita.
Dibalik sifat riangnya rani adalah orang yang pandai
menutupi kesedihan atau dia pandai mengatur emosinya
bahkan aku hamper tidak pernah melihatnya marah
sampai uring-uringan pada orang lain.

Menjadi support system yang baik, teman yang setia dan


ketika aku salah pun sebelum mengingatkanku dia minta
maaf terlebih dahulu. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana hidupku sekarang tanpa bantuan support
darinya.

Kurasa merebut kebahagiannya, dengan mengatakan


bahwa aku juga menyukai ‘dia’ membuatnya patah hati,
kalau ku mau bisa saja aku mengatakanya, pasti rani
akan mengalah.

Anda mungkin juga menyukai