0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
6 tayangan8 halaman
Cerita ini menceritakan tentang perasaan seorang gadis bernama Tari yang menyukai teman masa kecilnya namun memilih untuk merahasiakannya agar tidak menyakiti sahabat karibnya, Rani, yang juga menyukai orang yang sama. Tari bersyukur akan dukungan yang diberikan Rani selama ini.
Cerita ini menceritakan tentang perasaan seorang gadis bernama Tari yang menyukai teman masa kecilnya namun memilih untuk merahasiakannya agar tidak menyakiti sahabat karibnya, Rani, yang juga menyukai orang yang sama. Tari bersyukur akan dukungan yang diberikan Rani selama ini.
Cerita ini menceritakan tentang perasaan seorang gadis bernama Tari yang menyukai teman masa kecilnya namun memilih untuk merahasiakannya agar tidak menyakiti sahabat karibnya, Rani, yang juga menyukai orang yang sama. Tari bersyukur akan dukungan yang diberikan Rani selama ini.
Pagi ini aku berangkat sekolah dengan hati riang, seperti
biasa rani menunggumu di teras rumah. Tak lupa aku berpamitan pada ayah.
“Yah, aku berangkat dulu yaa. Assalamualaikum”.
“Iya, waalaikumsalam. Udah ada uang saku?” Tanya
ayah.
“Udah yah, kan udah dikasih jatah seminggu”
“Oh, yaudah kalo gitu hati-hati ya..”. Tak lupa ayah
mengingatkan.
“Siapp yah".
Sampai di sekolah rani mengajak ke kantin, ya karna
memang dia hampir tidak pernah sarapan di rumah, katanya takut ketinggalan. Padahal sama saja walaupun sudah makan di kantin sekolah tetap telat karena makanannya sambil cerita.
Rani, dia sahabatku dari kecil padahal kemarin kita tidak
bersepakat untuk bersekolah di tempat yang sama, namun siapa yang tahu kita tidak bisa menolak takdir. Dia baik selalu mengerti dan menyenangkan, pasti bisa menjadi pemecahan sunyiku.
“eh tar, tar, liat deh siapa yang lewat. Ihhhh hobi bangettt pagi-pagi udah bisa cuci mata aja". Heboh rani.
“Emang siapa ran??”. Ujarku tak tahu.
“Makanya liat, itu looo cepet dibelakangmu”.
“Ohhhhh, jadi dia yang selama ini kamu crush-in. Aww
pasti hatinya berbunga-bunga tuh hahhaha". Aku mencoba ikut senang. Eh, emang sebenernya aku juga seneng sih, kan dia orang yang aku kagum dari SMP. Tapi aku gak pernah cerita soal ini ke siapapun, bahkan Rani. Untuk membagi sesuatu yang seperti ini memang sulit, karena memang aku tidak terbiasa.
Masa laluku memang cukup suram, bahkan aku tidak
pernah merasa tenang, atau memiliki hidupku sepenuhnya sampai saat ini. Rasa trauma yang begitu dalam itu tidak pernah benar-benar lepas dari jiwa ini. Entah aku yang memang masih terlalu memikirkan ya, atau mereka yang keterlaluan. Seolah-olah aku masih terikat pada derita masa kecilku yang kelam. *6 tahun yang lalu-
Aku duduk di bangku milikku, setelah piket kelas yang
cukup kotor untuk ukuran anak SD, laci meja pun menjadi tempat sampah sementara secara tidak langsung. Kemudian temanku berbisik-bisik, “eh itu kok masih ada sampahnya sih lagi meja fika", yang lain menimpali “ siapa sih yang piket ini, kok masih kotor ya, padahal kan udah tau biasanya lagi meja juga dibersihkan". Aku yang merasa anggota piket hari itu risih mendengarnya, padahal kan tadi sudah kuperiksa, dan kepastian tidak ada sampah satu pun.
“Kenapa emangnya, aku yang piket sekarang", aku
menyeletuk.
“Itu loh tar, sampah di laci meja fika belom diambil ya?” salsa bertanya kepadaku.
“udah kok, orang tadi udah kebersihan semua".
“oalah, ya udah deh, kalo udah kamu bersihin”. Timpal
salsa. Aku mengira masalah itu selesai, tapi ternyata mereka ngomongin aku lagi di belakang, padahal kan bukan cuma aku yang piket hari itu. Entah kenapa setiap ada kesalahan selalu aku yang jadi tumbal, mungkin karena aku murid pindahan kali ya. Untungnya pada saat itu aku punya temen yang bener-bener setia banget sama aku, ya walaupun kita gak bisa bebas buat bisa deket. Selalu ada aja yang syirik sama persahabatan kami. Dan mereka sering kali berusaha untuk memisahkan kita, biar aku juga gak punya temen lagi mungkin.
Nah, masalah gak berhenti disitu, setelah mereka puas
ngomongin aku, ketua geng mereka nyimpen dan nyuruh aku piket ulang. Padahal sebenernya aku thu ada salah satu dari mereka yang sengaja masukin sampah itu lagi ke laci fika, tapi mereka fitnah aku dengan cara itu. Mungkin saat kalian baca ini, ih hal kayak gitu aja mah udah biasa alay banget. Iya kelihatannya sih hal kecil, tapi aku ngerasain itu nggak 1 atau 2 kali aja bahkan tiap minggu aku digituin.~
Selesai menemani rani makan, kita, kita segera menuju
ke kelas karena jam masuk tinggal 5 menit lagi. Pulang sekolah rani mengajakku berbelanja, ternyata dia mau membeli kado untuk dia. Dalam hati ada sedikit rasa sesak, tapi tak apalah toh aku juga ga mau sampai rani tahu kalua aku juga menyukai dia. Rani meminta saran kepadaku perihal kado apa yang cocok untuk dia, aku sedikit tahu karena dulu aku juga sempat ‘kepo’ dengan hal yang berkaitan dengan dia. Karena dia hobi berolahraga, jadi aku menyarankan pada rani agar membelikan handuk dan sepatu sport yang cocok dengan style-nya.
Setidaknya aku bisa membuat rani dan ‘dia’ bahagia,
walaupun secara tidak langsung. Aku bisa melihat binar bahagia yang berbeda di mata rani, seolah-olah selama berteman dengan rani baru kali ini aku melihatnya.
Kalian mungkin bertanya kenapa aku tak ingin ada yang
tahu kalua aku juga menyukai dia. Yah, kalian akan mengetahuinya di akhir cerita ini. Tapi aku akan memberitahu satu rahasia tentangku. Bisa dibilang aku adalah orang yang jarang sekali terlihat panik, padahal pada saat itu aku merasakan rasa panik itu. Entah bagaimana rasa itu tidak terlihat oleh teman-temanku. Seringkali mereka bertanya ketika akan mengikuti ujian lisan atau akan menghadapi sesuatu yang menegankan, “eh tari, kamu kok bisa nggak panik sih, padahal ini kita udah keringat dingin loh”, dengan santai aku menjawab “emang sekarang aku nggak keliatan panik ya, orang aku sekarang juga lagi panik, tapi aku berusaha untuk bisa tenang”.
Setelah berbelanja rani mampir dulu ke rumahku, kita
membungkus kado itu bersama-sama. Melihat rani bahagia pun aku sudah ikut tersenyum, se-sederhana itu.
Dari kecil aku hobi sekali menulis, entah sekedar
mencoret buku atau merangkai kata, setidaknya bisa menyalurkan emosiku secara tidak langsung. Saat SMP aku mulai membuat jurnal harian, yang membantu meringankan sedikit beban fikiranku ketika aku tidak punya teman untuk cerita. Jujur aku merasa kesepian semenjak mendiang ibuku meninggal, itu terjadi saat aku kelas 6.
Sakit sekali rasanya ditinggal oleh orang yang benar-
benar berpengaruh besar terhadap kita. Apalagi aku masih membutuhkan kasih sayangnya saat itu. Tentu dengan proses yang tidak mudah untuk mencapai keadaanku yang seperti sekarang. Dulu saat ibu masih hidup, pasti aku selalu menceritakan semua kepadanya. Selalu membesarkan hatiku saat aku merasa tidak berharga, mengingatkan kalau masih banyak orang yang menyayangiku, selalu bisa membuatku tersenyum saat aku merasa putus asa.
Setelah itu aku belajar bahwa sejatinya hidup kita itu
tergantung pada diri kita sendiri, bukan pada penilaian dan omongan orang lain, apalagi orang yang memang tidak suka pada kita. Aku mulai berusaha untuk bangkit, toh bagaimanapun kehidupan ini pasti berlanjut, entah saat itu aku dalam keadaan apa semesta pun tak peduli.
Aku merasa beruntung bisa bertemu dengan orang
seperti rani, takdir tuhan memang indah, hanya saja terkadang kita tidak menyadari bahwa memang itu yang terbaik untuk kita.’ Serendipity’ kalian pernah mendengar kata itu? Ya, sebuah kebetulan yang menyenangkan kalau menurutku ini merupakan salah satu bentuk kasih saying tuhan kepada kita. Dibalik sifat riangnya rani adalah orang yang pandai menutupi kesedihan atau dia pandai mengatur emosinya bahkan aku hamper tidak pernah melihatnya marah sampai uring-uringan pada orang lain.
Menjadi support system yang baik, teman yang setia dan
ketika aku salah pun sebelum mengingatkanku dia minta maaf terlebih dahulu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku sekarang tanpa bantuan support darinya.
Kurasa merebut kebahagiannya, dengan mengatakan
bahwa aku juga menyukai ‘dia’ membuatnya patah hati, kalau ku mau bisa saja aku mengatakanya, pasti rani akan mengalah.