Anda di halaman 1dari 8

Elegi Malam Kamis

Oleh : Desthasya Marthalia Putty Pritha Laura (XI MIPA 5/11)

Malam ini aku menyusuri jalan dengan sedikit rasa cemas. Bagaimana tidak? Satu-satunya
yang terdengar di tempat ini adalah bunyi jatuh air milik penguasa langit. Walau tak sederas waktu
yang lalu, namun masih mampu memecah keheningan malam ini. Orang-orang telah menutup
pintu besi pertokoan mereka. Orang-orang meringkuk di lipatan selimut. Orang-orang menyepi dari
jalanan, meramaikan rumah-rumah dengan kudapan hangat yang kiranya membuat tidur mereka
pulas berkat kenyang. Malam ini hujan. Tidak lebat, tidak pula hanya berupa rintik-rintik air yang
orang masih bisa melaluinya dengan sukacita.
“Hari yang melelahkan” batinku dalam sepi.
Kadang, saat perjalanan pulang ke rumah aku sering memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak
perlu kupikirkan. Entah itu memikirkan sedang apa nenek saat ini, hari ini makan apa, bagaimana
perasaan tukang sapu jika kotoran yang telah ia angkut berantakan kembali, dan sebagainya. Aku
sudah biasa pulang sekolah sendiri seperti ini. Ya, karena rumahku tak terlalu jauh dari sekolah.
Sekitar 15 menit harus ku tempuh untuk menapakkan kaki kembali ke rumah. Sesampainya di
rumah, aku disambut dengan aroma ayam bakar khas buatan nenek.
“Assalamualaikum Uti, Mala pulang” kuucapkan dengan semangat karena aku sudah tidak
sabar untuk menyantap makanan yang dimasak Nenek.
“Waalaikumsalam, cah wedhok sudah pulang. Gek mandi sana nduk, nanti ndak
kedinginan.” Perintah nenek setelah menjawab salamku. Dengan logat Bahasa jawa yang khas,
aku sangat suka mendengarnya. Walaupun aku tidak terlalu fasih berbahasa jawa, aku paham
dengan apa yang dibicarakan nenek.
Setelah mandi dengan air hangat, aku bergegas ganti baju. Saat umurku 5 tahun, nenek
suka sekali mengusapkan minyak telon ke dada dan perutku. Wangi, katanya. Aroma bakar telah
menguasai lorong rumahku, aku pun langsung menuju ruang makan.
“Dhahar ndhisik nduk, tadi uti bikinnya asal karena bumbu dapur sudah banyak yang habis,
lha mau ke pasar kok malah hujan” Nenek mengatakan itu dengan wajah sedikit tertunduk karena
merasa bersalah kepadaku. Aku tersenyum, rasanya ingin meneteskan air mata.
“Walaah, mboten menapa, ti. Masakan uti memang nggak pernah salah, mau masak nasi
pakai garam pun kalau uti yang masak pasti mantap” Ucapku mencoba untuk menenangkan.
Rasa masakan nenek memang tidak pernah salah. Segala bumbu meresap dengan baik. Masakan
nenek adalah masakan terenak yang mampu membuat lidah dan perutku terombang-ambing
karena terlena akan rasanya. Selesai makan, aku mengambil wudhu untuk shalat isya. Nenek
biasa shalat sambil duduk karena beliau sudah tidak kuat berdiri terlalu lama.
“Ya Allah, terimakasih engkau masih memberi kesehatan dan panjang umur pada nenek,
terimakasih atas segala yang kau beri untuk kami, ku mohon sayangilah nenek seperti ia
menyayangiku, serukan kepada ayah ibuku di surga bahwa aku baik-baik saja., amin”
Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Tanpa sadar aku meneteskan air mata.
Berat rasanya bagiku harus kehilangan dua orang yang paling ku sayang, Ayah dan Ibu. Orang tua
ku meninggal karena kecelakaan. Aku tinggal bersama nenek sejak umur 4 tahun.
Setelah selesai shalat, aku menunaikan kewajibanku yang kedua, belajar. Sejak baskara
menampakkan semarak cahaya hingga bulan memunculkan dirinya, aku selalu belajar. Bisa
dikatakan bahwa belajar bukan hanyalah kewajibanku melainkan sudah menjadi darah daging. Aku
menuntut diriku sendiri untuk dapat memahami semua pelajaran agar aku bisa mendapat beasiswa
hingga perguruan tinggi. Sebagian dari temanku terheran, apakah aku tidak bosan dengan hal itu?
Jawaban paling tepat adalah tidak. Aku tidak mempunyai gadget dan tidak ingin mempunyainya.
Meski dihantui rasa iri melihat temanku dapat bermain sosial media, banyak hal penting yang ku
alami jika aku tidak mempunyai gadget.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.45, aku tidak ingin terlalu lelah karena besok aku harus
berangkat sekolah jadi aku tidur lebih awal. Sebelum memejamkan mataku selama 8 jam, aku suka
membuat skenario indah. Barangkali ada salah satu skenarioku yang masuk ke dalam mimpi.
Selamat malam.
Setelah 8 jam lamanya bulan menyinari, giliran matahri yang menampakkan wujudnya.
Terdengar ramai kicauan burung menyambut pagiku. Pagi ini adalah hari yang dibenci beberapa
orang. Ya, hari Senin. Padahal sebenarnya, hari Senin adalah awal yang bagus untuk memulai
kesibukan. Jam dinding menunjukkan pukul lima lebih 5 menit, aku segera menuju ke sumur untuk
menimba air. Dingin dan gelap. Itu yang ku rasakan. Masih untung suara adzan berkumandang
dari masjid sekitar. Jadi aku tidak terlalu merasa sepi.
“Nduk, nanti kalau air nya sudah mendidih dimatikan kompornya ya, Uti mau ke toko
kelontong sebentar beli telur” perintah Uti yang sudah siap dengan dompetnya, bergegas ke took
kelontong.
“Njih, ti. Hati-hati ya, Uti” ucapku.
Bayangan Uti semakin menjauh dari hadapanku. Aku segera melihat keadaan air yang tadi sudah
dimasak Uti. Karena sudah mendidih terlihat dari gelembung yang bersuara nyaring, aku segera
mematikan kompor. Aku pun segera mandi agar tidak telat sekolah.
Matahari sepertinya sudah tidak sabar menemani perjalananku ke sekolah. Dengan semangat aku
berjalan menuju sekolah sambal menyapa tetangga di dekat rumahku. Perjalanan terasa indah
saat dikelilingi oleh tetangga yang ramah. Banyak anak kecil bersemangat mengayuh sepedanya
agar tidak telat masuk sekolah. Terlihat ibu-ibu yang sedaritadi sibuk memilih sayur dengan
kualitas yang bagus di pasar. Gang demi gang, toko demi toko ku lalui. Pemandangan yang jarang
“orang punya” lihat.
Sekitar 15 menit ku tempuh untuk sampai di sekolah. Sebelum memasuki gerbang, aku
selalu membeli setidaknya 4 kue basah dekat sekolah untuk kuberikan pada Pak Edi, satpam
sekolah yang sangat ramah. Hari ini adalah pengumuman nilai Tes Pendalaman Materi terbaik.
Hasil TPM kemarin akan diumumkan sehabis shalat dzhuhur. Sebagai siswa kelas 6, sudah
saatnya aku menyiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional. Maka dari itu, pihak sekolah
menambahkan jam belajar berupa Tes Pendalaman Materi. Melelahkan. Tetapi aku ingat bahwa
usaha tidak akan mengkhianati hasil.
“Halo, bu Rifa. Selamat pagi” ucapku menyapa bu Rifa, guru Bahasa Indonesia.
“Selamat pagi, Mala. Ada apa? Kok sepertinya sumringah sekali” tanya bu Rifa.
“Hehe. Iya, bu. Saya tidak sabar mengetahui hasil TPM saya. Makanya saya sangat
semangat, karena penasaran.” Jawabku dengan ekspresi sumringah.
“Oh, karena itu yaa”
“Hehe iya, bu. Ya sudah bu, Mala masuk kelas dulu ya. Takut dimarahin pak Somat” kataku
kepada bu Rifa meminta izin.
“Iya nak, silahkan”
Aku segera menuju kelas di lantai 2. Kelasku, 6 Al-Battani. Segera ku pilih tempat duduk paling
depan. Aku suka duduk di paling depan. Karena dengan aku duduk di depan, aku dapat
mendengar suara dan membaca tulisan guru dengan jelas. Terlihat satu bangku kosong di
samping Haura.
“Hai, Haura! Bolehkah aku duduk disampingmu?” tanyaku meminta izin kepada Haura.
“Hai juga, Mala! Boleh dong.” Kata Haura mengizinkanku untuk duduk bersamanya.
Ku tenteng tas merah ku. Kupindahkan ke tempat duduk disamping Haura. Haura anak yang baik,
ia suka menolongku saat aku kesulitan memahami pelajaran, ia juga jago dalam pelajaran seni.
Lekukan motif ciptaan tangan Haura, mampu membuat mata terlena akan keindahannya.
Jam pertama hari ini adalah Matematika. Diawali dengan doa dan Latihan Pagi. Selama 8
jam aku harus duduk dengan fokus agar dapat memperhatikan pelajaran yang disampaikan oleh
guru. Tidak selalu duduk juga, sih. Kadangkala, saat pelajaran Karawitan, Musik, atau Olahraga,
aku dan teman-temanku pergi ke laboratorium atau lapangan.
“Eh, Mala, kamu tahu nggak dengan geng Trisya di belakang sana? Aku nggak suka banget
sama mereka. Mereka suka menyuruh teman-teman kita untuk melakukan apa yang mereka mau.
Aku sih cari aman aja, nggak mau bertemu atau kenalan dengan mereka” Bisik Haura di tengah
penjelasan guru.
“Oh, maksud kamu itu Trisya, Hanum, dan Hanna?” tanyaku pada Haura.
“Iyaa, mereka juga suka banget pamer barang baru mereka. Padahal nggak cuma dia
doang kali yang bisa beli” jawab Haura dengan julid.
Aku menghela napas panjang, lalu tertawa kecil.
“Hahahaha. Nggak usah diurusin, Hau. Kalau kamu ngurusin mereka nggak akan ada
habisnya. Biarin aja mereka terlena dengan harta mereka.” Ucapku menyarankan Haura agar lebih
baik tidak usah mempedulikan mereka.
“Ih, kamu mah. Nggak seru.” Kata Haura sambil mencubit lenganku.

Di tengah-tengah fokusnya pikiranku saat memikirkan jawaban soal Matematika, bel istirahat
berdering. Bel favorit tiap siswa. Bel dimana siswa boleh pergi keluar kelas. Entah ke kantin, kamar
mandi, halaman belakang sekolah, perpustakaan.
“Anak-anak, kita istirahat dulu ya selama 20 menit. Nanti jika bel masuk sudah berbunyi
segera masuk kelas. Selamat istrahat.” Ucap pak Somat mengakhiri pelajaran.
“Baik, pak”
Semua siswa dengan semangat menuju keluar kelas. Begitupun dengan aku dan Haura.
“Hau, kamu mau jajan apa?” tanyaku mencairkan suasana.
“Aku dari kemarin pengen nasi ayam, sih. Kalau kamu, Mal?” jawab Haura sekaligus
menanyakan Kembali pertanyaan yang sama denganku.
“Aku cuma ingin beli minum aja, sih” jawabku.
Sesampainya di kantin, aku dan Haura melihat ada kegaduhan di meja kantin paling ujung. Haura
sudah pasti kepo, ada apa disana? Aku hanya menuruti saja. Haura menarik tanganku menuju
sumber kegaduhan.
“Heh! Lo gak usah belagu deh, cupu!”
“Tau tuh. Udah untung kita gak pake kekerasan”
“Lo berani lawan Trisya? Muka lo mau lo taroh dimana?” kata mereka disusul dengan
tawaan menghina yang sangat keras. Mereka adalah Trisya, Hanum, dan Hana. Dari awal aku
sudah memprediksi bahwa merekalah sumber kegaduhan. Membully siswa yang menurut mereka
cupu sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Sudah banyak yang mengetahui sifat busuk
Trisya dan gengnya.
Trisya bisa nggak sih sehari aja nggak bikin gaduh. Gumamku dalam hati.
Haura terperanjat melihat seragam temannya, Hana yang sudah basah kuyup terkena kuah bakso.
Tanpa basa-basi, aku dan Haura langsung menolong Hana yan sedang panik karena perutnya
terkena panas kuah bakso. Segera ku bawa ke UKS untuk diobati.
“Masih perih perutnya, Han?” tanyaku pada Hana saat di UKS.
“Kalau perutnya udah enggak, kok” jawab Hana dengan malu.
Tangan Hana melepuh terkena panas bakso. Beruntungnya tidak parah. Aku sungguh muak
dengan perilaku Trisya dan gengnya. Mereka pikir mereka siapa? Bisa bersikap seenaknya sendiri.
Kalau kata anak-anak generasi Z, “U think u flower?”
Istirahat selesai. Aku dan Haura segera menuju kelas untuk mempersiapkan pelajaran
berikutnya. Sementara itu, Hana izin tidak mengikuti kelas, karena kondisinya belum stabil. Dengan
napas tersengal-sengal, aku dan Haura berhasil memasuki kelas sebelum guru datang. Pelajaran
berikutnya masih sama dengan sebelum istirahat,PKN. Pelajaran yang dianggap membosankan
dan susah ini justru ku anggap sebagai pelajaran paling menantang. Yang mengampu mata
pelajaran tersebut adalah Pak Ardi. Salah satu guru killer di sekolahku. Bagi siswa yang tidak
membawa buku tulis atau buku pelajaran akan dihukum berdiri di depan kelas sampai pelajaran
Pak Ardi selesai. Teringat tentang seberapa killer Pak Ardi, aku segera mencari buku pelajaran dan
buku tulis yang sudah kusiapkan sejak malam.
“Bapak akan absen kalian satu per satu, bapak akan lihat siapa saja siswa yang tidak
membawa buku” seru Pak Ardi.
Tak ku pedulikan seruan Pak Ardi. Aku hanya sibuk mencari dimana buku ku berada. Sudah ku
cari di loker, laci, tas, tetapi hasilnya nihil. Aku tidak dapat menemukan buku itu. Keringat dingin
mengucur dari dahi ku. Perutku panas tidak karuan. Jantungku berdebar kencang bak ingin divonis
ancaman penjara. Kakiku gemetar bagai meniti jembatan kaca. Seumur-umur aku bersekolah
disini, belum pernah aku dihukum. Langkah Pak Ardi semakin mendekat kursiku. Aku hanya bisa
pasrah.
“Mala, dimana buku kamu?” tanya Pak Ardi dengan nada sedikit membentak.
Aku hanya bisa terdiam kaku.
“Maaf pak, sepertinya tadi saya sudah membawa bukunya, tetapi setelah saya cari tidak
ada pak” jawabku sesuai dengan fakta. Karena memang seperti itu realitanya.
“Tidak usah alasan. Bapak tidak menerima alasan apapun. Keluar kamu, Mala!” perintah
Pak Ardi. Aku segera menuruti perintah Pak Ardi. Bukanlah masakah yang besar jika aku harus
dihukum berdiri di depan kelas. Toh, aku masih bisa mendengarkan penjelasan Pak Ardi. Namun,
kali ini berbeda. Aku diminta Pak Ardi untuk berdiri di tengah lapangan. Aku mungkin bisa saja
mengeluh, tapi itu sudah risiko yang harus ku tanggung berkat keteledoranku. Kakiku lemas
menuju ke lapangan.
Aku mendengar cekikikan Trisya dan gengnya. Sejak mendengar itu, aku sudah tahu bahwa
sebenarnya ini bukan karena keteledoranku, namun karena Trisya telah menyembunyikan bukuku.
Siang begitu terik, matahari membakar ubun-ubun. Gesekan dengan sepatu membuat telapak
kakiku terasa kian panas. Aku menghela napas lemas.
Seandainya tadi aku suruh Pak Ardi untuk cek tas Trisya dan gengnya satu-satu. Batinku
seraya menyesal.
Sudah lima belas menit berlalu. Kakiku pegal. Tenggorokan ku kering, kehausan. Beberapa siswa
tertawa kecil melihatku dihukum.
Bel jam berikutnya sudah berbunyi. Dengan semangat aku langsung menuju kelas. Ku
perhatikan lapangan. Rasanya tidak bisa lupa dengan kejadian tadi. Sesampainya di kelas, aku
disambut dengan ceria oleh Haura. Sebelum aku menuju ke tempat duduk, aku sempat menatap
sinis Trisya. Ia memalingkan kepalanya, sudah bisa ditebak bahwa ia mencoba mengelak.
“Hau, kayaknya aku bukan lupa membawa buku, tapi emang ada yang usil sembunyiin
bukuku.”
“Ah? Iyakah? Memangnya siapa, Mal?” tanya Haura.
“Trisya dan geng lah, siapa lagi?” jawabku dengan rasa percaya diri. Seolah-olah aku
adalah detektif yang berhasil menemukan tersangka.
Bel pulang terdengar. Bel yang dinanti-nantikan semua siswa. Sebelum keluar kelas, aku
dan teman-temanku berdoa dahulu agar diberi keselamatan sampai rumah. Setelah berdoa, aku
dan Haura keluar kelas. Aku dan Haura menyempatkan diri mampir ke kantin untuk memberi
makanan kecil. Beberapa murid juga bergegas pergi ke kantin, mengisi perut yang kosong selama
4 jam pelajaran terakhir. Di depan kantin, terlihat supir Haura sedang menunggu. Aku memberitahu
Haura bahwa ia sudah dijemput agar ia tidak telat pulang sekolah.
Mobil Haura semakin menjauh dari hadapanku. Aku pun segera menuju gerbang utama
untuk pulang. Entah apakah hari ini hari sial untukku atau apa, aku melihat geng Trisya seperti
menungguku. Tidak ada jalan lain menuju gerbang utama, aku terpaksa melewati mereka. Dengan
perasaan kikuk dan agak ragu akupun melewati mereka.
Sial. Batinku.
Mereka mencegatku. Dengan tampang mereka yang sok jagoan mereka menanyaiku beberapa
pertanyaan tidak penting.
“Lo yang tadi bantuin Hana ya? Hahaha, sok jagoan banget sih lo”
“Sya, ni anak kita kasih pelajaran apa ya enaknya?”
“Kan tadi kita udah sembunyiin bukunya. Hahaha”
Mendengar hal itu, aku tidak kaget.
“Jadi kamu yang sembunyiin buku aku?” tanyaku dengan perasaan marah, kesal, takut,
campur aduk.
“Iya! Kenapa!?”
“Kalian sadar nggak sih kalo perilaku kalian tuh ngga baik? Apa coba yang bisa kalian
hasilkan? Untung enggak, rugi iya.”
Mendengar perkataanku, emosi Trisya sepertinya memuncak. Terlihat dari caranya memandangku.
Aku sudah pasrah setelah mengatakan hal itu. Entah apa yang akan dilakukan mereka padaku.
Trisya membisikan sesuatu pada Hanum, Hanum pergi ke kantin. Entah mau berbuat apa.
Tanpa basa-basi Trisya menamparku. Hanum memukulku dengan tongkat Panjang. Mereka
berdua menghajarku habis-habisan tanpa tahu apa alasan dibalik itu. Aku mengerang kesakitan.
Tidak sampai situ saja, Trisya menjambak rambutku keras-keras. Hanum menyeretku ke kamar
mandi. Mereka menyalakan air keran sampai penuh dan memasukkan kepalaku dengan paksa
berkali-kali. Masih untung aku tetap bisa bernapas. Aku menangis dalam hati, ingin pulang dan
menceritakan semua ini pada Uti. Setelah mereka puas membullyku, mereka bergegas
meninggalkanku agar tidak ketahuan.
Aku berdiri dengan sisa tenaga yang kupunya. Kakiku lemas. Tanganku dipenuhi luka
lebam yang disebabkan oleh pukulan tongkat. Pipiku lecet terkena keramik kamar mandi. Lututku
berdarah akibat terbeset tangga kamar mandi. Seragamku basah. Tak ada waktu untuk ke UKS.
Lagipula, mungkin guru penjaga UKS sudah pulang. Sekolah sudah sepi, tidak seramai tadi. Aku
melangkah keluar kamar mandi sambil terisak. Aku menghela napas berat.
Ya Allah..
Aku berjalan, sendirian. Aku sudah tidak mempedulikan omongan sekitar ketika melihatku babak
belur seperti ini. Rumah demi rumah, toko demi toko ku lewati. Sang Baskara mulai terlihat malu
menampakkan dirinya. Mendung mengantarku pulang. Belum ada 10 menit, bumantara sudah
tidak sabar ingin menangis bersamaku. Langit yang awalnya seriat, kini tangisnya mulai
membasahi tubuhku. Aku menangis dalam hujan. Tidak kupedulikan betapa perihnya saat hujan
mengenai lukaku. Sebentar lagi aku akan sampai rumah. Aku tidak sabar ingin memeluk Uti dan
menangis di pangkuannya.
Tinggal beberapa langkah lagi aku akan menginjakkan kaki ke rumah, aku melihat ada
mobil ambulans persis di depan rumahku. Sekilas aku berpikir bahwa mobil itu mengangkut pasien
dari tetangga sebelah. Tetapi sepertinya bukan. Aku coba mendekat perlahan. Terlihat ada
beberapa guru sekolahku yang juga ada disana. Firasatku mulai tidak sedap. Tetapi aku coba
meyakinkan diri bahwa itu bukanlah seperti yang kupikirkan. Aku mulai memasuki pagar rumah.
Betapa terkejutnya aku ketika melihat tenaga kesehatan ada di dalam rumahku. Aku merinding
gemetar. Aku tidak percaya dengan apa yang ku lihat.
Uti, satu-satunya harta yang ku punya, dibawa ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut. Bu
Rifa yang sedaritadi menunggu dirumah terkejut dengan kondisi tubuhku yang sudah babak belur.
Bu Rifa yang tampak menampakkan batang hidungnya memelukku erat. Air mata beliau menetes
di rambutku. Aku masih tidak percaya denga napa yang kulihat. Karena selama ini, Uti terlihat
sehat-sehat saja. Tidak pernah ada keluhan. Entah tidak ada keluhan atau Uti merahasiakannya
agar aku tidak sedih. Aku masih belum mengetahui hasil medis mengenai kondisi Uti. Yang bisa
kulakukan sekarang hanyalah pasrah dan berdoa pada Allah SWT.
Ya Allah, kenapa hidupku seperti ini? Orang-orang bilang Tuhan tidak akan memberikan
ujian melebihi batas kemampuan hambanya. Tetapi sampai sini, aku tidak kuat, Ya Allah. Hidupku
tidak adil. Dimana rasa bahagia dapat kutemukan? Di umur yang seharusnya aku bisa fokus
menimba ilmu, aku malah memikirkan beban dunia. Ya Allah, angkatlah penyakit Uti. Jauhkanlah
aku dari manusia bersifat busuk. Dekatkanlah aku pada jalan yang benar. Hanya Uti hartaku yang
tersisa. Jangan ambil beliau dulu, Ya Allah..
Aku bersujud. Dingin dan aroma khas rumah sakit membuatku merasa sunyi. Aku bingung harus
bagaimana lagi. Belum lagi aku harus menanggung biaya rumah sakit. aku menghabiskan beribu-
ribu waktu untuk menangis pasrah pada keadaan. Aku seperti ingin marah pada Tuhanku. Kenapa
hidupku seperih ini?

Sudah 3 hari sejak Uti koma dirumah sakit. Uti belum sadar juga. Kemarin, Haura datang
menjenguk Uti. Demikian juga dengan Bu Rifa yang rela bergantian denganku untuk menjaga Uti.
Beliau belum mempunyai anak. Akhir-akhir ini, aku merasa bersalah dengan doa ku 3 hari yang
lalu. Tidak seharusnya aku berpikiran seburuk itu pada Tuhanku sendiri. Bu Rifa setia
mengingatkanku tentang pentingnya bersyukur. Aku belajar banyak hal dari Bu Rifa.
“Uti, bangun, ti. Cucumu mendapat peringkat pertama tertinggi nilai TPM kemarin, lho.”
Ucapku berharap Uti dapat terbangun.
“Mala, kamu tidur dulu, gantian ibu yang jaga ya?” kata Bu Rifa diakhiri nada lirih. Ia seperti
tak tega melihatku seperti ini.
“Iya, bu. Mala pengen jalan-jalan keluar kamar bentar ya” izinku pada Bu Rifa. Bu Rifa
mengiyakan.
Aku keluar dari kamar Uti. Aku duduk di kursi pengunjung. Aku melihat rembulan memandangiku
yang sedang kesusahan. Kalau rembulan punya perasaan dan ekspresi, mungkin Ia akan
menangis juga. Malam ini hening, beberapa pengunjung sudah pulang. Bicara tentang hening,
menurutku keheningan adalah obat yang paling murah namun susah dicari. Hening adalah satu-
satunya tempat ternyamanku, di mana segala yang aku pendam bebas berteriak. Dalam
keheningan dan harapan, akan muncul kekuatan. Kadang ada perih yang tak sempat dicatat.
Kadang pengorbanan membeku di sudut hening cerita. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam,
aku kembali masuk ke kamar untuk tidur. Selamat malam.
Aku tidak sanggup membuka mata. Mataku terlalu Lelah untuk melihat dunia. Tetapi aku
terganggu dengan suara bising. Aku bertanya dalam hati suara apakah itu? Perlahan ku buka
mataku. Aku terkejut melihat ada 5 orang berada di dekat kasur Uti. Awalnya kupikir mereka hanya
menjenguk. Tetapi kenapa aku mendengar suara tangis juga? Aku mendekati mereka. Aku melihat
ekspresi dokter dan suster yang terlihat seperti kecewa dan cemas.badanku kaku membeku bak
bongkahan es. Mataku terbelalak seperti tidak percaya denga napa yang kulihat. Tubuh Uti dilapisi
kain putih. Suster perlahan melepaskan infus dari tangan usang Uti.
“Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik, mohon maaf.”
Kalimat yang tidak mau kudengar keluar dari mulut dokter.
“Nenek anda menderita diabetes sejak satu tahun yang lalu. Sebelum dirawat di rumah
sakit, beliau terlalu banyak mengonsumsi insulin dan gula darah menurun. Gula darah rendah
benar-benar dapat membuat otak kekurangan oksigen dan itu juga dapat memicu aritmia jantung
yang berbahaya.” Kata dokter menjelaskan penyakit yang diderita Uti. Aku memeluk Uti erat-erat.
Ku teteskan air mataku. Aku menangis sejadi-jadinya, aku marah pada diriku sendiri, aku menyesal
mengapa selama ini aku tidak merawat Uti dengan baik. Aku hanya bisa menangis bak merpati
yang kehilangan sejolinya.

Anda mungkin juga menyukai