Anda di halaman 1dari 7

Namaku Ayu, aku lahir di tanah Jawa.

Tapi, sekarang aku menetap di Sumatra


Barat tepatnya Kabupaten Dharmasraya,aku tinggal bersama kedua orangtuaku.
Kartini dan Doni, mereka adalah orang yang telah membesarkanku selama tiga
belas tahun ini. Aku seorang anak tunggal. Jadi, ketika aku berada di rumah aku
tak mempunyai teman bermain. Pada kesempatan itulah aku memanfaatkan
waktuku untuk belajar dan membantu meringankan beban kedua orangtuaku
saat bekerja. Ayahku seorang pekerja serabutan, namun pendapatannya tak
seberapa. Ia mulai bekerja dari pagi hingga sore.Ibuku seorang pengrajin batik.
Penghasilan ibuku sedikit lebih besar dibandingkan dengan ayahku. Di wilayah
Sumatra Barat ini, banyak sekali peminat batik, terutama batik tanah liek ciri
khas kabupaten Dharmasraya. Pada kesempatan inilah ibuku mulai
memanfaatkan keadaan.

Aku memang suka membantu kedua orangtuaku, namun aku juga tak lupa
dengan tugas utamaku sebagai seorang pelajar untuk menuntut ilmu. Di waktu-
waktu senggangku, aku habiskan untuk menjawab soal-soal ataupun mengulang
kembali pelajaran yang baruku pelajari di sekolah. Maka tak heran jika aku
selalu berprestasi di sekolah karena kecerdasan dan keahlianku.

Aku anak yang lugu, aku tak mempunyai banyak teman. Teman sekolahku
banyak yang menjauhiku. Mereka enggan bermain denganku. Apa karena aku
miskin? Entahlah, aku tak mengerti apa yang mereka pikirkan tentang diriku.
Mereka berani pertama kali menemuiku ketika mereka membutuhkanku dan
memanfaatkan kecerdasan dan keahlianku. Aku tidak mempermasalahkan
semua ini. Aku tak mau memiliki banyak musuh. Hanya ada seorang gadis lugu
sepertiku yang ingin menjadi teman baikku. Dia adalah Fani, teman
sebangkuku. Fani seorang gadis yang baik, rajin dan cerdas. Tapi sayangnya dia
memiliki sifat yang ceroboh. Fani sangat lihai dalam menggerakkan tubuhnya
saat menari. Jari-jemarinya sangat lentik. Maka tak heran jika ia selalu
menjuarai festival-festival tarian tradisional di Sumatra Barat.

Tiba-tiba ponselku bergetar laluku baca satu pesan singkat, karena penasaran.
“Yu, kerajinan batik untuk besok sudah kamu selesaikan?” Ternyata pesan yang
singkat itu berasal dari teman terbaikku, Fani “Sudah Fani, kerajinan batikku
sudah selesai dua hari yang lalu. Kalau kamu gimana? Kamu sudah selesai
belum?” Tanyaku penasaran. “Belum Yu, sepertinya hari ini akan
kuselesaikan.” “Kebetulan sekali, bagaimana kalau aku bantu kamu selesaikan
kerajinan batik itu?”, “Tidak usah Ayu, aku tidak mau merepotkan. Aku sering
merepotkanmu.” “Gak masalah. Bagiku itu hanya langkah awal. Kamu sama
sekali tidak merepotkanku.” “Gak papa Ayu, aku bisa selesaikan secepatnya”,
“Bener nih gak apa-apa?” “Iya gak apa-apa. Kalau gitu sampai bertemu besok
ya!”, “Sampai bertemu besok juga Fani” Kataku, mengakhiri percakapan yang
singkat itu.
Keesokan harinya, seperti biasa aku bersepeda menuju sekolah sejauh satu
kilometer. Aku datang lebih awal. Aku memang rutin melakukan hal ini,
karena orangtuaku tidak mempunyai kendaraan. Penghasilan kedua orangtuaku
hanya cukup untuk makan sehari-hari, belum lagi untuk membayarkan
hutangnya. Tapi, aku tak keberatan melakukan hal ini, sebab sudahku niatkan
diriku untuk menuntut ilmu. Aku bersepeda dalam suasana ramai yang dipenuhi
oleh lalu lalang. Mengapa? Karena rumahku berada di daerah pasar yang
banyak dilalui oleh warga yang akan berbelanja ke pasar.

Setelah lima belas menit berlalu, fajar pun mulai melihatkan cahayanya, suasana
semakin ramai dan banyak teman sekolahku yang berlalu melewatiku bersama
orangtuanya menggunakan kendaraan pribadi. Mereka melewatiku dengan
begitu saja tanpa tegur sapa. Memakai seragam putih biru yang dilengkapi
dengan atribut sekolah. Ya, sudah pasti mereka akan menuju ke sekolah.

Beberapa menit kemudian, dari kejauhan aku melihat pagar yang akan ditutup
oleh Pak Satpam. Hatiku semakin tidak tenang dan jantungku berdebar sangat
kencang, sebab aku tahu aku akan terlambat dan aku akan kehilangan sedikit
ilmu, karena tak mengikuti pelajaran pertama dan kedua. Ketika itu, aku
bergegas mengayuh sepeda. Aku tak memikirkan resiko yang akan terjadi.
Benar saja, aku terjatuh dan tanpa kusadari, keranjang yang kubawa dari rumah
terjatuh, dan barang daganganku hancur tak karuan. BRAAAAKK!!! “Aw,
aduh… Ya ampun gimana ini??!!!” Ucapku dengan ekspresi dan nada yang
khawatir. “Yang benar saja, kue-kue yang dibuat ibu jatuh semuaa… hikss.”
Seketika itu, aku mulai menangis, aku tak tau apa yang harus kulakukan selain
mengekspresikan keadaanku. Mataku tak mampu menahan air mataku yang
perlahan-lahan keluar dari kelopak mataku, sebab kue yang seharusnya habis
terjual harus bersentuhan dengan debu dan aspal. Aku memang selalu berjualan
kue-kue tradisional buatan ibuku di sekolah. Aku tak malu. Aku ingin
meringankan beban orangtuaku.

Ketika itu, orang-orang yang melintas di jalanan tempat aku tergores luka
ringan mulai membantuku secara perlahan. “Kamu gak apa-apa?” Tanya
seorang pengendara jalan. “Tidak apa-apa kok, saya hanya mengalami luka
ringan saja.” Ucapku, karena aku tak ingin merepotkan sang pengendara jalan
lain.
Aspal berhasil memahat dengkulku. Dengkulku kini dipenuhi cairan merah nan
kental. Terpaksa aku menahan ke sakitan ini saat akan melanjutkan
perjalananku ke sekolah. Setibanya di sekolah, aku sudah tak dapat mengikuti
pelajaran pertama dan kedua, sebab aku harus menjaga pagar untuk sementara.
“Duuuhhhh… Ayu ke mana ya??!! Sebentar lagi kan pelajaran pertama akan
dimulai. Gak seperti biasanya dia seperti ini..” tuturan kata terlontarkan dari
mulut Fani yang sedang berada di dalam kelas, karena khawatir dengan keadaan
Ayu yang tak kunjung datang.

Detik demi detik telahku lewatkan, menit demi menit telahku lalui, hingga sang
surya mulai memancarkan sinarnya yang mulai membara. Sebentar lagi telah
tiba waktuku untuk memasuki lingkungan sekolah. Aku sudah tak sabar. Aku
ingin segera mendapatkan ilmu yang baru. Karena aku sedikit kecewa dengan
diriku yang ceroboh tadi pagi. Kreeeekkk “Kamu sudah diperbolehkan masuk,
lain kali jangan terlambat ya” Pak satpam membukakan jalan untukku. “Iya pak,
terimakasih” Aku sangat-sangat berterimakasih, aku sudah tak sabar bertemu
dengan teman dan guruku.

Setibanya di kelas, keadaan kelas sangat gaduh, ada beberapa teman yang
mengusikku. “Yaaeelah, ngapain sih si udik datang, padahal udah bagus-bagus
tadi dia ga ada di kelas ini.” “Tau nih, bikin suasana kelas jadi panas aja!” Ya,
itu adalah contoh cacian dari teman kelasku. Mereka memang sering mencaci-
makiku. Mereka hanya memandangku sebelah mata. Tapi aku selalu
menghiraukan itu. Aku tak ingin mencari-cari masalah.

“Ke mana aja sih kamu? Jam segini kok baru datang?” Tanya Fani karena
khawatir. “Iya Fan, tadi aku udah datang pagi banget dari rumah, mungkin
karena kayuhan sepedaku yang yang lambat.” Jawabku agar Fani tidak curiga.
“Loh, kok daganganmu sudah habis? Kamu dagang dulu ya?” Tanya Fani
sambil memaksa ambil keranjang daganganku. “Awww…”, “Loh, kamu kenapa
Yu?” “Duuuhhh.. eesstt” Spontan aku memegang luka ku sambil berdesah.
“Aku tadi tak sengaja jatoh Fani.” Terpaksa aku jujur karena Fani semakin
mendesakku. “Jatoh di mana? Kok bisa? Kamu sih ga hati-hati. Terus
daganganmu juga jatoh?” Reaksi Fani dalam keadaan khawatir. “Fani kamu
nanya-nya satu satu dong. Aku juga gak tau gimana aku bisa jatoh. Mungkin
karena aku terburu-buru karena pintu pagar sudah mau ditutup.” “Oh gituu,
terus barang daganganmu?”. “Oh iya lupa aku sampaikan. Barang daganganku
juga jatoh. Aku bingung bagaimana cara aku beri kabar sama ibuku. Aku takut
ibuku marah ” Jelasku. “Ya sudah, kalau gitu kamu ngomong baik-baik saja
dulu dengan ibu kamu. Kamu jelaskan semua.” Ucap Fani memberi saran.

Seketika itu suasana kelas yang gaduh beralih menjadi hening. Ya, benar saja,
pelajaran selanjutnya akan dimulai. Pelajaran Seni Budaya, pelajaran yang aku
gemari. “Hari ini ibu akan mengambil nilai seni kerajinan batik yang sudah ibu
berikan tugasnya pada minggu lalu. Yang tidak membawanya terpaksa ibu
kosongkan nilainya. Dan kalian juga tidak boleh masuk pelajaran ibu selama
satu minggu.” Ujar guru seni budaya dengan tegas.
“Asgata, aduh Ayu…, gimana iniiii. Aku lupaaaa… Tugasnya belum ku
selesaikan.” Ujar Fani panik. “Loh kok bisa? Bukannya semalem kamu yang
ingatkan aku?” Tanya aku penasaran. “Iya, tapi kemaren aku diajak jalan-jalan
ke taman sama orangtuaku mendadak. Sehabis setelah itu, aku kembali di
rumah. Aku sampai dirumah sekitar pukul enam sore. Karena aku kecapean, aku
langsung tidur.”

Aku tak tega dengan keadaan Fani meskipun ini kesalahannya sendiri, aku
tetap tak tega. Kusodorkan kain batik dengan balutan plastik hitam yang sudah
kubuat selama empat hari dengan susah payahnya.
“Apa ini?” Tanya Fani“Sudah, kamu ambil saja ini. Nanti akan kubuat lagi
kok.”, “Tttttaapii,…”. Ujar Fani tak dapat menerukan pembicaraannya karena
aku langsung memotong pembicaraan. “Sudah, kamu ambil saja. Aku tidak apa-
apa.” Kataku meyakinkan. “Bukan itu masalahnya Yu, taapii…”, “Hey kalian
yang di belakang, dari tadi yang ibu dengar suara kalian saja. Kalau kalian tidak
mau ikut pelajaran ibu, silahkan keluar! Dan yang gak membawa tugas
membatik silahkan ikut keluar!” Seru Bu Mirna, guru sini budaya.
Lantas aku dengan sigapnya beranjak meninggalkan kelas.

Setibanya waktu pulang sekolah, seperti biasa, aku masih memikul tas dan
keranjang yang ku bawa. Dalam perjalanan pulang sekolah aku masih dalam
keadaan yang sama, dan aku berjalan dengan pincangnya sambil mendorong
sepedaku karena peristiwa tadi pagi. Aku berjalan pincang, dengan keadaan ini
membuatku semakin lama aku bisa melihat istana kecilku. Ya, benar sekali aku
sedikit terlambat sampai di rumah. Sesampainya di rumah aku langsung di
lemparkan beberapa pertanyaan dari ibuku. “Dagangan laku nggak?”. “nggak,
bu.” Aku memberanikan diri untuk jujur, agar ibuku tidak marah lagi karena
ulahku. “Laah terus dagangannya kemana ?” “Dagangannya jatuh bu.” “Laah,
gimana ini” “Aku jatuh di jalan bu. Dan dagangannya juga jatuh. Maaf bu, aku
tidak sengaja.”, “Duh gustii gustiii… Yaudah, Kamu ganti baju sana!” “Ya bu”
Ya, semuanya memang tak bisa terelakkan. Aku melakukan hal yang bodoh.
Aku membuat lebih banyak hutang orangtua ku untuk modalnya kembali.

Ya, hari ke hari telah berlalu. Masih seperti sedia kala, aku rutin bersepeda
kesekolah. Hingga suatu hari, aku mendengar kabar akan ada festival budaya
yang akan dilaksanakan minggu-minggu ini. Aku tertarik mendengar kabar
yang bagus ini. Lantas kabar ini segera aku bagikan kepada teman terbaikku.
Siapa lagi kalau bukan Fani. “Faniiii…!!” Aku memanggilnya dengan
teriakanku yang melengking ini. “Iya Ayu kenapa? Sepertinya hari ini kamu
terlihat lebih semangat?! Ada apa?”. “Heheee.. Sebentar lagi akan ada festival
seni di kawasan pantai Kuta. Kamu harus ikut nih!!”. Jelasku dengan semangat.
“Waahh, kalau gitu temani aku mendaftar sekarang! Kamu juga harus ikut!”
Tegas Fani. “Pasti aku ikut, aku ingin sekali menjuarai festival itu!” Kataku
dengan penuh semangat.
Setibanya di ruang pendaftaran, aku tak membawa uang saku. Sedangkan uang
sakuku sehari-hari saja tidak cukup untuk mendaftar. Bagaimana bisa aku
mendaftar acara festival itu. Aku tampak kebingungan. Aku gelisah. Dengan
memasang raut wajah seperti ini Fani tampaknya mengetahui permasalahanku.
“Kamu kenapa? Sepertinya kamu kelihatan sangat gelisah. Ooohh, aku tau
dimana permasalahanmu. Kamu tidak punya uang bukan?” Tanya Fani. Aku
segera menganggukkan kepalaku sebagai bahasa isyarat ‘Iya’. “Sudah kamu
tidak perlu khawatir, aku punya uang lebih untuk kita mendaftar bersama.
Karena kamu sudah membantuku kemarin, sekarang saatnya untuk aku
membalas kebaikanmu.” Mendengar kabar itu, raut wajah sedih ku beralih
menjadi raut wajah yang penuh dengan harapan. Dengan bantuan dari Fani aku
dapat menjadi salah satu orang yang mendaftarkan diri sebagai peserta pembatik
festival budaya Indonesia mewakili sekolahku. Sedangkan Fani mendaftarkan
diri sebagai penari tradisional yang sama seperti hobinya.

Empat hari sudah berlalu, besok adalah puncak acaranya. Aku sudah
mempersiapkan diri untuk berlaga besok. Begitu pula dengan Fani. Festival
budaya ini dilaksanakan selama tiga belas jam. Festival budaya tahun ini diikuti
oleh lebih dari ribuan peserta. Aku dan Fani sangat antusias, walaupun kami
tahu kesempatan untuk menang terlalu kecil.

Keesokan harinya, aku dan Fani pergi bersama ke taman, acara festival itu
digelar dengan didampingi oleh orangtua masing-masing. Aku sudah
mempersiapkan dan membawa peralatan membatikku. Sedangkan Fani
membawa perlengkapan tarinya. Tak terasa hari cepat berlalu, tiba waktunya
pembukaan acara festival itu di mulai. Pembukaan acara festival berupa tarian
adat yaitu tari pasambahan.

Pembukaan acara festival sangat meriah. Semua pengunjung memberikan tepuk


tangan yang meriah pada akhir pertunjukkan.

Hari-hari, terus berlalu tiba saatnya Fani menampilkan bakat menarinya di


depan umum. Dari kejauhan aku melihat Fani yang menari sangat lihai. Ia
menarikan tari payung. Ia tampak lebih anggun. Tatapannya membuat indra
penglihatku tersayat-sayat. Orang-orang banyak mengambil gambarnya. Ketika
itu pula aku terus membuat batik karyaku. Mulai dari membuat pola,
memanaskan lilin dan mengukir satu-persatu kain putih menggunakan canting.
Tak ada kesulitan yang aku alami. Semuanya berjalan dengan lancar. Aku mulai
mengukir secara perlahan. Dimulai dari bercak kecil hingga membentuk motif
flora. Lama-kelamaan kain milikku yang kubawa dari rumah berubah warna.
Yang awalnya putih bersih tanpa bercak noda namun kini, kain yang
melambangkan simbol suci itu telah mengukir motif flora yang sangat eksotis.
Aku mengukir dan terus mengukir batik. Ketika itu hari sudah semakin senja.
Aku harus mengajar waktuku untuk menyelesaikan karyaku yang sangat
berharga ini. Karena dengan cara ini merupakan awal yang akan aku capai.
Awal dari segalanya.

Tepat pukul tujuh , proses pewarnaan sudah ku lakukan. Yang ku lakukan saat
ini adalah menanti gersangnya air pada kain batikku. Ya, memang sangat lama
bukan? Aku tetap bersabar dan aku sangat semangat pada hari ini. Aku tak
merasakan letih sama sekali.

Akhirnya waktu yang kutunggu-tunggu telah tiba. Kain batikku sudah kering.
Kupandangi dan terus kupandangi batik karyaku. Begitu tampak indahnya jika
dalam keadaan kering. Aku segera memberikan batikku ini kepada dewan juri
beratas namakan Ni Made Ayu Jelantik. Harapanku semakin besar untuk
menjurai festival ini.

Momen yang kutunggu-tunggu telah tiba. Sebentar lagi akan ada penutupan
serta pemenang lomba acara festival yang dipandu oleh gubernur Sumatra Barat
Hadiahnya tak tanggung-tanggung. Juara utama akan diberikan uang tunai
sebesar Rp 5.000.000.00,- dan berhak untuk mengikuti lomba festival budaya
tingkat nasional. Di sinilah harapan terbesarku. Aku ingin terus berkarya hingga
negeri seberang. Aku ingin orang-orang yang sudah mengucilkanku tak
memandangku sebelah mata lagi.

“Baiklah, saya akan membacakan serta menyerahkan hadiah kepada pemenang


pada malam hari ini.” Tutur pak walikota. “Untuk pemenang kategori penari
terbaik jatuh kepada Fani Valensia. Kepada pemenang silahkan menaiki
panggung.” Lanjut pak walikota. “Waaahhhh, selamat Fan, akhirnya yang kamu
nanti tercapai juga.” Kataku. “Iya terimakasih, semoga kamu bisa menyusulku
nanti!” Seruan Fani memberi semangat kepadaku. “Dan untuk pemenang
pembatik favorit jatuh kepada Agnes.” Tutur pak walikota. Di sini harapanku
sudah mulai pupus. Ya, Agnes. Dia adalah orang yang selama ini
mengucilkanku. Di atas panggung kulihat dari kejauhan matanya mengarah
pada diriku. Ia masih sempat-sempatnya mengucilkanku. Tapi ini semua
kuhiraukan. Aku tak peduli walau aku tak menang. Dan aku memutuskan untuk
pulang saja.

“Daannn, juara pertama kategori pembatik terbaik dan terfavorit jatuh


kepadaaa.. Ayu… Selamat untuk Ayu, silahkan menyusul temannya di atas
panggung.” Ucap pak Walikota melanjutkan. Seketika itu, sontak aku
menghentikan langkahku. Berlari menyusuri jalan yang minim. Raut mukaku
yang penuh dengan penyesalan berubah menjadi berseri-seri. Sungguh aku tak
menyangka akan menjadi seperti ini. “Waah, apa yang kubilang, pasti kamu
akan menyusulku di sini.” Ucap Fani menyemangati. “Hehee terimakasih ya
Fan.” Kataku kehabisan kata-kata.
Selanjutnya adalah acara penyerahan hadiah. Hadiah ini akan kupersembahkan
untuk orangtuaku. Sebagai gantinya kemarin aku telah mejatuhkan barang
dagangan ibuku. Setelah itu, lantas aku menyalami kedua temanku dengan
ekspresi wajah yang sangat gembira ria.

Itu merupakan kisah yang kualami sejak lima tahun yang lalu, sekarang aku
menjadi mahasiswa di Chicago University, Amerika dengan jurusan seni. Aku
tak ingin begitu saja melepas bakatku. Aku akan selalu mengasah bakatku ini.
Sebab, karena seni-lah aku bisa mendapatkan beasiswa hingga negeri seberang.
Di sini aku belajar sambil berdagang batik. Kuluangkan waktuku untuk
membuat batik di waktu senggangku, aku mendapatkan banyak keuntungan di
tempat ini. Dan aku akan terus mengikis ilmu di tempat ini. Bersama dengan
Fani, teman terbaikku. Inilah akhir cerita ku.

Anda mungkin juga menyukai