Anda di halaman 1dari 9

NAMA : MOCH.

FARRELL ADHYAKSA PRATAMA

NOMOR ABSEN : 25

KELAS : 9C

Perjalanan Hidup

Namaku Ayu, aku lahir di tanah Jawa. Tapi, sekarang aku menetap di Bali bersama kedua
orangtuaku. Kartika Sari dan I Wayan Durma mereka adalah orang yang telah
membesarkanku selama empat belas tahun ini. Aku seorang anak tunggal. Jadi, ketika aku
berada di rumah aku tak mempunyai lawan main. Pada kesempatan itulah aku memanfaatkan
waktuku untuk belajar dan membantu meringankan beban kedua orangtuaku saat bekerja.
Ayahku seorang pengrajin anyaman bambu, namun pendapatannya tak seberapa. Ia mulai
membuat anyaman bambu karyanya tergantung pada konsumen yang memesan anyaman.
Ibuku seorang pengrajin batik. Penghasilan ibuku sedikit lebih besar dibandingkan dengan
ayahku. Di wilayah Bali ini, banyak sekali peminat batik, terutama batik Denpasar sebagai
ciri khasnya. Pada kesempatan inilah ibuku mulai memanfaatkan keadaan.

Aku memang suka membantu kedua orangtuaku, namun aku juga tak lupa dengan tugas
utamaku sebagai seorang pelajar untuk menuntut ilmu. Di waktu-waktu senggangku, aku
habiskan untuk menjawab soal-soal ataupun mengulang kembali pelajaran yang baruku
pelajari di sekolah. Maka tak heran jika aku selalu berprestasi di sekolah karena kecerdasan
dan keahlianku.

Aku anak yang lugu, aku tak mempunyai banyak teman. Teman sekolahku banyak yang
menjauhiku. Mereka enggan bermain denganku. Apa karena aku miskin? Entahlah, aku tak
mengerti apa yang mereka pikirkan tentang diriku. Mereka berani pertama kali menemuiku
ketika mereka membutuhkanku dan memanfaatkan kecerdasan dan keahlianku. Aku tidak
mempermasalahkan semua ini. Aku tak mau memiliki banyak musuh. Hanya ada seorang
gadis lugu berponi sama sepertiku yang ingin menjadi teman baikku. Dia adalah Gloria,
teman sebangkuku. Gloria seorang gadis yang baik, rajin dan cerdas. Tapi sayangnya dia
memiliki sifat yang ceroboh. Gloria sangat lihai dalam menggerakkan tubuhnya saat menari.
Jari-jemarinya sangat lentik. Maka tak heran jika ia selalu menjuarai festival-festival tarian
tradisional di Bali.

Tiba-tiba ponselku bergetar dan kuluangkan waktuku untuk membaca satu pesan singkat,
karena penasaran. “Yu, kerajinan batik untuk besok sudah kamu selesaikan?” Ternyata pesan
yang singkat itu berasal dari teman terbaikku, Gloria. “Sudah Glori, kerajinan batikku sudah
selesai dua hari yang lalu. Kalau kamu gimana? Kamu sudah selesai belum?” Tanyaku
penasaran. “Belum Yu, sepertinya hari ini akan kuselesaikan.” “Kebetulan sekali, bagaimana
kalau aku bantu kamu selesaikan kerajinan batik itu?”, “Tidak usah Ayu, aku tidak mau
merepotkan. Aku sering merepotkanmu.” “Gak masalah. Bagiku itu hanya langkah awal.
Kamu sama sekali tidak merepotkanku.” “Gak papa Ayu, aku bisa selesaikan secepatnya”,
“Bener nih gak apa-apa?” “Iya gak apa-apa. Kalau gitu sampai bertemu besok ya!”, “Sampai
bertemu besok juga Glori!” Kataku, mengakhiri percakapan yang singkat itu.

Keesokan harinya, seperti biasa aku berjalan kaki menuju sekolah sejauh satu kilometer. Aku
datang lebih awal. Aku berjalan kaki saat waktu fajar. Aku memang rutin melakukan hal ini,
karena orangtuaku tidak mempunyai kendaraan. Penghasilan kedua orangtuaku hanya cukup
untuk makan sehari-hari, belum lagi untuk membayarkan hutangnya. Tapi, aku tak keberatan
melakukan hal ini, sebab sudahku niatkan diriku untuk menuntut ilmu. Aku berjalan kaki
dalam suasana ramai yang dipenuhi oleh lalu lalang. Mengapa? Karena rumahku berada di
daerah pasar yang banyak dilalui oleh wisatawan dalam maupun luar negeri yang biasanya
mereka melalui jalan ini untuk membeli buah tangan yang akan dibawanya pulang.

Setelah lima belas menit berlalu, fajar pun mulai melihatkan cahayanya, suasana semakin
ramai dan banyak teman sekolahku yang berlalu melewatiku bersama orangtuanya
menggunakan kendaraan pribadi. Mereka melewatiku dengan begitu saja tanpa tegur sapa.
Memakai seragam putih biru yang dilengkapi dengan atribut sekolah. Ya, sudah pasti mereka
akan menuju ke sekolah.
Beberapa menit kemudian, dari kejauhan aku melihat pagar yang akan ditutup oleh Pak
Satpam. Hatiku semakin tidak tenang dan jantungku berdebar sangat kencang, sebab aku tahu
aku akan terlambat dan aku akan kehilangan sedikit ilmu, karena tak mengikuti pelajaran
pertama dan kedua. Ketika itu, aku bergegas mengambil langkah panjang, berlari seperti
angin dengan cepatnya. Aku tak memikirkan resiko yang akan terjadi. Benar saja, aku
terjatuh dan tanpa kusadari, keranjang yang kubawa dari rumah terjatuh, dan barang
daganganku hancur tak karuan. BRAAAAKK!!! “Aw, aduh… Ya ampun gimana ini??!!!”
Ucapku dengan ekspresi dan nada yang khawatir. “Yang benar saja, kue-kue yang dibuat ibu
jatuh semuaa… hikss.” Seketika itu, aku mulai menangis, aku tak tau apa yang harus
kulakukan selain mengekspresikan keadaanku. Mataku tak mampu menahan air mataku yang
perlahan-lahan keluar dari kelopak mataku, sebab kue yang seharusnya habis terjual harus
bersentuhan dengan debu dan aspal. Aku memang selalu berjualan kue-kue tradisional buatan
ibuku di sekolah. Aku tak malu. Aku ingin meringankan beban orangtuaku.

Ketika itu, orang-orang yang melintas di jalanan tempat aku tergores luka ringan mulai
membantuku secara perlahan. “Kamu gak apa-apa?” Tanya seorang pengendara jalan. “Tidak
apa-apa kok, saya hanya mengalami luka ringan saja.” Ucapku, karena aku tak ingin
merepotkan sang pengendara jalan lain.

Aspal berhasil memahat dengkulku. Dengkulku kini dipenuhi cairan merah nan kental.
Terpaksa aku menahan ke sakitan ini saat akan melanjutkan perjalananku ke sekolah.
Setibanya di sekolah, aku sudah tak dapat mengikuti pelajaran pertama dan kedua, sebab aku
harus menjaga pagar untuk sementara.

“Duuuhhhh… Ayu ke mana ya??!! Sebentar lagi kan pelajaran pertama akan dimulai. Gak
seperti biasanya dia seperti ini..” tuturan kata terlontarkan dari mulut Gloria yang sedang
berada di dalam kelas, karena khawatir dengan keadaan Ayu yang tak kunjung datang.

Detik demi detik telahku lewatkan, menit demi menit telahku lalui, hingga sang surya mulai
memancarkan sinarnya yang mulai membara. Sebentar lagi telah tiba waktuku untuk
memasuki lingkungan sekolah. Aku sudah tak sabar. Aku ingin segera mendapatkan ilmu
yang baru. Karena aku sedikit kecewa dengan diriku yang ceroboh tadi pagi. Kreeeekkk
“Kamu sudah diperbolehkan masuk, lain kali jangan terlambat ya” Pak satpam membukakan
jalan untukku. “Iya pak, terimakasih” Aku sangat-sangat berterimakasih, aku sudah tak sabar
bertemu dengan teman dan guruku.

Setibanya di kelas, keadaan kelas sangat gaduh, ada beberapa teman yang mengusikku.
“Yaaeelah, ngapain sih si udik datang, padahal udah bagus-bagus tadi dia ga ada di kelas ini.”
“Tau nih, bikin suasana kelas jadi panas aja!” Ya, itu adalah contoh cacian dari teman
kelasku. Mereka memang sering mencaci-makiku. Mereka hanya memandangku sebelah
mata. Tapi aku selalu menghiraukan itu. Aku tak ingin mencari-cari masalah.

“Ke mana aja sih kamu? Jam segini kok baru datang?” Tanya Gloria karena khawatir. “Iya
Glo, tadi aku udah datang pagi banget dari rumah, mungkin karena jalanku yang lambat.”
Jawabku agar Glori tidak curiga. “Loh, kok daganganmu sudah habis? Kamu dagang dulu
ya?” Tanya Gloria sambil memaksa ambil keranjang daganganku. “Awww…”, “Loh, kamu
kenapa Yu?” “Duuuhhh.. eesstt” Spontan aku memegang luka ku sambil berdesah.

“Aku tadi tak sengaja jatoh Glo.” Terpaksa aku jujur karena Gloria semakin mendesakku.
“Jatoh di mana? Kok bisa? Kamu sih ga hati-hati. Terus daganganmu juga jatoh?” Reaksi
Gloria dalam keadaan khawatir. “Glo kamu nanya-nya satu satu dong. Aku juga gak tau
gimana aku bisa jatoh. Mungkin karena aku terburu-buru karena pintu pagar sudah mau
ditutup.” “Oh gituu, terus barang daganganmu?”. “Oh iya lupa aku sampaikan. Barang
daganganku juga jatoh. Aku bingung bagaimana cara aku beri kabar sama ibuku. Aku takut
ibuku marah Glo.” Jelasku. “Ya sudah, kalau gitu kamu ngomong baik-baik saja dulu dengan
ibu kamu. Kamu jelaskan semua.” Ucap Gloria memberi saran.

Seketika itu suasana kelas yang gaduh beralih menjadi hening. Ya, benar saja, pelajaran
selanjutnya akan dimulai. Pelajaran Seni Budaya, pelajaran yang aku gemari. “Hari ini ibu
akan mengambil nilai seni kerajinan batik yang sudah ibu berikan tugasnya pada minggu lalu.
Yang tidak membawanya terpaksa ibu kosongkan nilainya. Dan kalian juga tidak boleh
masuk pelajaran ibu selama satu minggu.” Ujar guru seni budaya dengan tegas.

“Asgata, aduh Ayu…, gimana iniiii. Aku lupaaaa… Tugasnya belum ku selesaikan.” Ujar
Gloria, panik. “Loh kok bisa? Bukannya semalem kamu yang ingatkan aku?” Tanya aku
penasaran. “Iya, tapi kemaren aku diajak jalan-jalan ke pantai sama orangtuaku mendadak.
Sehabis setelah itu, aku kembali di rumah. Aku sampai dirumah sekitar pukul enam sore.
Karena aku kecapean, aku langsung tidur.”

Aku tak tega dengan keadaan Gloria, meskipun ini kesalahannya sendiri, aku tetap tak tega.
Kusodorkan kain batik dengan balutan plastik hitam yang sudah kubuat selama empat hari
dengan susah payahnya.

“Apa ini?” Tanya Gloria. “Sudah, kamu ambil saja ini. Nanti akan kubuat lagi kok.”,
“Tttttaapii,…”. Ujar Gloria, tak dapat menerukan pembicaraannya karena aku langsung
memotong pembicaraan. “Sudah, kamu ambil saja. Aku tidak apa-apa.” Kataku meyakinkan.
“Bukan itu masalahnya Yu, taapii…”, “Hey kalian yang di belakang, dari tadi yang ibu
dengar suara kalian saja. Kalau kalian tidak mau ikut pelajaran ibu, silahkan keluar! Dan
yang gak membawa tugas membatik silahkan ikut keluar!” Seru Bu Mirna, guru sini
budaya.Lantas aku dengan sigapnya beranjak meninggalkan kelas.

Setibanya waktu pulang sekolah, seperti biasa, aku masih memikul tas dan keranjang yang ku
bawa. Dalam perjalanan pulang sekolah aku masih dalam keadaan yang sama, dan aku
berjalan dengan pincangnya karena peristiwa tadi pagi. Aku berjalan pincang, dengan
keadaan ini membuatku semakin lama aku bisa melihat istana kecilku. Ya, benar sekali aku
sedikit terlambat sampai di rumah. Sesampainya di rumah aku langsung di lemparkan
beberapa pertanyaan dari ibuku. “Dagangan laku ora?”. “Ora, bu.” Aku memberanikan diri
untuk jujur, agar ibuku tidak marah lagi karena ulahku. “Laah terus iki dagangan ne neng
endi?” “Dagangan ne ambruk bu.” “Laah, piye toh.” “Aku ambruk di dalan bu. Dan dagangan
ne juga ambruk. Nuwun bu, aku ora sengojo.”, “Duh gustii gustiii… Yo wes, pengen opo
mene. Koe ngganti baju sana!” “Yo bu” Ya, semuanya memang tak bisa terelakkan. Aku
melakukan hal yang bodoh. Aku membuat lebih banyak hutang orangtua ku untuk modalnya
kembali.

Ya, hari ke hari telah berlalu. Masih seperti sedia kala, aku rutin berjalan kaki kesekolah.
Hingga suatu hari, aku mendengar kabar akan ada festival budaya yang akan dilaksanakan
minggu-minggu ini. Aku tertarik mendengar kabar yang bagus ini. Lantas kabar ini segera
aku bagikan kepada teman terbaikku. Siapa lagi kalau bukan Gloria. “Gloriaaa…!!” Aku
memanggilnya dengan teriakanku yang melengking ini. “Iya Ayu kenapa? Sepertinya hari ini
kamu terlihat lebih semangat?! Ada apa?”. “Heheee.. Sebentar lagi akan ada festival seni di
kawasan pantai Kuta. Kamu harus ikut nih!!”. Jelasku dengan semangat. “Waahh, kalau gitu
temani aku mendaftar sekarang! Kamu juga harus ikut!” Tegas Gloria. “Pasti aku ikut, aku
ingin sekali menjuarai festival itu!” Kataku dengan penuh semangat.

Setibanya di ruang pendaftaran, aku tak membawa uang saku. Sedangkan uang sakuku
sehari-hari saja tidak cukup untuk mendaftar. Bagaimana bisa aku mendaftar acara festival
itu. Aku tampak kebingungan. Aku gelisah. Dengan memasang raut wajah seperti ini Gloria
tampaknya mengetahui permasalahanku. “Kamu kenapa? Sepertinya kamu kelihatan sangat
gelisah. Ooohh, aku tau dimana permasalahanmu. Kamu tidak punya uang bukan?” Tanya
Gloria. Aku segera menganggukkan kepalaku sebagai bahasa isyarat ‘Iya’. “Sudah kamu
tidak perlu khawatir, aku punya uang lebih untuk kita mendaftar bersama. Karena kamu
sudah membantuku kemarin, sekarang saatnya untuk aku membalas kebaikanmu.”
Mendengar kabar itu, raut wajah sedih ku beralih menjadi raut wajah yang penuh dengan
harapan. Dengan bantuan dari Gloria aku dapat menjadi salah satu orang yang mendaftarkan
diri sebagai peserta pembatik festival budaya Indonesia mewakili sekolahku. Sedangkan
Gloria mendaftarkan diri sebagai penari tradisional yang sama seperti hobinya.

Empat hari sudah berlalu, besok adalah puncak acaranya. Aku sudah mempersiapkan diri
untuk berlaga besok. Begitu pula dengan Glo. Festival budaya ini dilaksanakan selama tiga
belas jam WITA. Festival budaya tahun ini diikuti oleh lebih dari ribuan peserta. Aku dan Glo
sangat antusias, walaupun kami tahu kesempatan untuk menang terlalu kecil.

Keesokan harinya, aku dan Glo pergi bersama ke kawasan pantai Kuta, acara festival itu
digelar dengan didampingi oleh orangtua masing-masing. Aku sudah mempersiapkan dan
membawa peralatan membatikku. Sedangkan Glo membawa perlengkapan tarinya. Tak terasa
hari cepat berlalu, tiba waktunya pembukaan acara festival itu di mulai. Pembukaan acara
festival berupa tarian adat Bali yaitu tari Kecak.
Pembukaan acara festival sangat meriah. Semua pengunjung memberikan tepuk tangan yang
meriah pada akhir pertunjukkan. Tak lupa pula kami melakukan ritual-ritual adat yang
lainnya. Seperti upacara adat untuk sesembahan leluhur kami.

Hari-hari, terus berlalu tiba saatnya Gloria menampilkan bakat menarinya di depan umum.
Dari kejauhan aku melihat Glori yang menari sangat lihai. Ia menarikan tarian Pendet. Ia
tampak lebih anggun. Matanya sangat tajam. Tatapannya membuat indra penglihatku
tersayat-sayat. Orang-orang banyak mengambil gambarnya. Ketika itu pula aku terus
membuat batik karyaku. Mulai dari membuat pola, memanaskan lilin dan mengukir satu-
persatu kain putih menggunakan canting. Tak ada kesulitan yang aku alami. Semuanya
berjalan dengan lancar. Aku mulai mengukir secara perlahan. Dimulai dari bercak kecil
hingga membentuk motif flora. Lama-kelamaan kain milikku yang kubawa dari rumah
berubah warna. Yang awalnya putih bersih tanpa bercak noda namun kini, kain yang
melambangkan simbol suci itu telah mengukir motif flora yang sangat eksotis. Aku mengukir
dan terus mengukir batik. Ketika itu hari sudah semakin senja. Aku harus mengajar waktuku
untuk menyelesaikan karyaku yang sangat berharga ini. Karena dengan cara ini merupakan
awal yang akan aku capai. Awal dari segalanya.

Tepat pukul tujuh WITA, proses pewarnaan sudah ku lakukan. Yang ku lakukan saat ini
adalah menanti gersangnya air pada kain batikku. Ya, memang sangat lama bukan? Aku tetap
bersabar dan aku sangat semangat pada hari ini. Aku tak merasakan letih sama sekali.

Akhirnya waktu yang kutunggu-tunggu telah tiba. Kain batikku sudah kering. Kupandangi
dan terus kupandangi batik karyaku. Begitu tampak indahnya jika dalam keadaan kering. Aku
segera memberikan batikku ini kepada dewan juri beratas namakan Ni Made Ayu Jelantik.
Harapanku semakin besar untuk menjurai festival ini.

Momen yang kutunggu-tunggu telah tiba. Sebentar lagi akan ada penutupan serta pemenang
lomba acara festival yang dipandu oleh Walikota Denpasar, Bali. Hadiahnya tak tanggung-
tanggung. Juara utama akan diberikan uang tunai sebesar Rp 5.000.000.00,- dan berhak untuk
mengikuti lomba festival budaya tingkat nasional. Di sinilah harapan terbesarku. Aku ingin
terus berkarya hingga negeri seberang. Aku ingin orang-orang yang sudah mengucilkanku tak
memandangku sebelah mata lagi.

“Baiklah, saya akan membacakan serta menyerahkan hadiah kepada pemenang pada malam
hari ini.” Tutur pak walikota. “Untuk pemenang kategori penari terbaik jatuh kepada Gloria
Valensia. Kepada pemenang silahkan menaiki panggung.” Lanjut pak walikota. “Waaahhhh,
selamat Glo, akhirnya yang kamu nanti tercapai juga.” Kataku. “Iya terimakasih, semoga
kamu bisa menyusulku nanti!” Seruan Gloria memberi semangat kepadaku. “Dan untuk
pemenang pembatik favorit jatuh kepada Agnes.” Tutur pak walikota. Di sini harapanku
sudah mulai pupus. Ya, Agnes. Dia adalah orang yang selama ini mengucilkanku. Di atas
panggung kulihat dari kejauhan matanya mengarah pada diriku. Ia masih sempat-sempatnya
mengucilkanku. Tapi ini semua kuhiraukan. Aku tak peduli walau aku tak menang. Dan aku
memutuskan untuk pulang saja.

“Daannn, juara pertama kategori pembatik terbaik dan terfavorit jatuh kepadaaa.. Ni Made
Ayu… Selamat untuk Ayu, silahkan menyusul temannya di atas panggung.” Ucap pak
Walikota melanjutkan. Seketika itu, sontak aku menghentikan langkahku. Berlari menyusuri
jalan yang minim. Raut mukaku yang penuh dengan penyesalan berubah menjadi berseri-seri.
Sungguh aku tak menyangka akan menjadi seperti ini. “Waah, apa yang kubilang, pasti kamu
akan menyusulku di sini.” Ucap Gloria menyemangati. “Hehee terimakasih ya Glo.” Kataku
kehabisan kata-kata.

Selanjutnya adalah acara penyerahan hadiah. Hadiah ini akan kupersembahkan untuk
orangtuaku. Sebagai gantinya kemarin aku telah mejatuhkan barang dagangan ibuku. Setelah
itu, lantas aku menyalami kedua temanku dengan ekspresi wajah yang sangat gembira ria.

Itu merupakan kisah yang kualami sejak lima tahun yang lalu, sekarang aku menjadi
mahasiswa di Chicago University, Amerika dengan jurusan seni. Aku tak ingin begitu saja
melepas bakatku. Aku akan selalu mengasah bakatku ini. Sebab, karena seni-lah aku bisa
mendapatkan beasiswa hingga negeri seberang. Di sini aku belajar sambil berdagang batik.
Kuluangkan waktuku untuk membuat batik di waktu senggangku. Puji Tuhan, aku
mendapatkan banyak keuntungan di tempat ini. Dan aku akan terus mengikis ilmu di tempat
ini. Bersama dengan Gloria, teman terbaikku. Inilah akhir cerita ku

Anda mungkin juga menyukai