Anda di halaman 1dari 2

Segelas Air untuk Guruku

DewiArini
Pagi ini, pukul 6 tepat aku berangkat ke sekolah menengah pertamaku. Kukayuh
sepeda tuaku melewati desa yang mungkin bisa dikatakan desa kumuh. Ya, aku tinggal di
sebuah desa yang amat sangat jauh dari lirikan para petinggi negara. Rata-rata orang tua
disini bekerja sebagai buruh dan pemungut sampah. Penghasilannya pun tidak seberapa,
hanya bisa mencukupi makan sehari-hari. Aku pun bisa bersekolah disini karena
mendapatkan beasiswa untuk warga yang kurang mampu. Adikku Ana, hampir berumur 6
tahun yang sebentar lagi akan menginjak sekolah dasar. Orang tuaku mulai kebingungan
mencari biaya untuk memasukkan adikku ini ke sekolah. Diam-diam aku memiliki pekerjaan
sampingan tanpa sepengetahuan orang tuaku. Aku bekerja sebagai jasa pembawa belajaan di
sebuah pasar dekat desaku. Mungkin tidak seberapa pendapatanku, hanya mendapat 2ribu
saja sekali bantu. Tapi lumayanlah, dalam sehari aku bisa mengumpulkan 20ribu dan bisa
membantu adikku membayar sekolahnya.
Akhirnya aku sampai disekolah, aku memarkirkan sepedaku di bawah pohon beringin
di ujung sekolah. Bergegas aku masuk ke kelas untuk memberikan segelas air untuk guruku.
Bel masuk pun berbunyi. Teman-teman dan guruku mulai memasukin ruang kelas, kami
mendengarkan guru saat menjelaska pelajaran. Dan seperti biasa guruku melihat gelas air
yang aku berikan kepadanya dengan wajah bingung. Mungkin beliau berfikir siapa yang
menaruh segelas air disini? atau jangan-jangan malah beliau mengira untuk apa ada air
disini?. Karena selama ini guruku tidak pernah sekalipun menyentuh gelas apa lagi
meminumnya. Apa mungkin beliau tau bahwa yang memberikan air itu aku? Seorang siswi
miskin yang bisa bersekolah karena mendapat beasiswa? Ah itu tidak mungin. Bel istirahat
pun berbunyi, semua para murid berhamburan keluar kelas untuk menuju kantin atau tempat
lain. Aku hanya duduk di kursi ujung kelas karena masih memikirkan hal tadi. Menit demi
menit pun berlalu, bel masuk pun berbunyi. Tiba-tiba guruku bertanya pada murid-muridnya.
Anak-anak, ibu mau bertanya.
Bertanya apa bu? aku dan teman-temanku menjawabnya.
Siapa yang setiap hari menaruh segelas air di meja ibu?Aku langsung gugup, aku
tidak ingin memberitahu bahwa aku yang menaruhnya.
Bukan saya bu satu per satu temanku menjawab seperti itu.
Yasudah kalau tidak ada yang mau mengaku
Aku langsung lega bercampur bingung mengappa ibu guru ku ini bertanya seperti itu.
Keesokan harinya seperti biasa aku berangkat sekolah dan menaruh segelas air diatas
meja guruku itu. Aku terkejut saat guruku tiba-tiba masuk dan melihat aku sedang memegang
gelas berisi air itu. Aku mulai gugup dan takut, akan diapakan aku ini.
Guruku mulai berjalan memasuki kelas dan menghampiriku.
Jadi kamu yang setiap hari memberikan segelas air untuk ibu? tanyanya lembut.

I..iya bu.. dengan gugup.


Kenapa kemarin tidak mau mengaku?
Saya takut bu, kalau saya ngaku ibu semakin tidak mau menyentuh gelas itu sama
sekali.
Kenapa kamu berbicara seperti itu? Ibu hanya ingin memastikan dahulu itu untuk
siapa, makanya ibu tidak meminumnya.
Maaf bu saya sudah salah sangka. Apa sekarang ibu mau meminumnya setelah tau
saya yang memberikan?
Iya jelas saya akan meminumnya, tapi kenapa kamu selalu memberikan ibu segelas
air putih itu?
Saya tau ibu lelah menerangkan pelajaran seharian, maka dari itu saya memberikan
segelas air yang bisa ibu minumm disaat ibu lelah.
Baik sekali hatimu nak, semoga kebaikanmu dibalas berkali-kali lipat ya.
Terima kasih bu.
Aku pun mulai lega, guruku sempat meneteskan air mata karena mungkin merasa terharu
melihat kebiasaanku ini.

Anda mungkin juga menyukai