Kelas IX/3
DI
S
U
S
U
N
Oleh
NOVA MAULIZA
Spranger menggolongkan nilai kedalam enam jenis. Adapun jenis nilai sosial,
antara lain :
1. Nilai keilmuan merupakan salah satu dari macam-macam nilai yang mendasari
perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang bekerja terutama atas dasar
pertimbangan rasional. Nilai keilmuan ini dipertentangkan dengan nilai agama.
2. Nilai agama ialah salah satu dari macam-macam nilai yang mendasari perbuatan
seseorang atas dasar pertimbangan kepercayaan bahwa sesuatu itu dipandang
benar menurut ajaran agama.
3. Nilai ekonomi adalah salah satu dari macam-macam nilai yang mendasari
perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas dasar pertimbangan ada
tidaknya keuntungan finansial sebagai akibat dari perbuatannya itu. Nilai
ekonomi ini dikontraskan dengan nilai seni.
4. Nilai Seni merupakan salah satu dari macam-macam nilai yang mendasar
perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas dasar pertimbangan rasa
keindahan atau rasa seni yang terlepas dari berbagai pertimbangan material.
5. Nilai Solidaritas ialah salah satu dari macam-macam nilai yang mendasari
perbuatan seseorang terhadap orang lain tanpa menghiraukan akibat yang
mungkin timbul terhadap dirinya sendiri, baik itu berupa keberuntungan
maupun ketidakberuntungan. Nilai solidaritas ini dikontraskan dengan nilai
kuasa.
6. Nilai Kuasa adalah salah satu dari macam-macam nilai yang mendasari
perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas dasar pertimbangan baik
buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya.
Dari macam-macam nilai yang disebutkan di atas, nilai yang dominan pada
masyarakat tradisional adalah nilai solidaritas, nilai seni dan nilai agama. Nilai yang
dominan pada masyarakat modern ialah nilai keilmuan, nilai kuasa dan nilai ekonomi.
Sebagai konsekuensi dari proses pembangunan yang berlangsung secara terus-
menerus, yang memungkinkan terjadinya pergeseran nilai-nilai tersebut. Pergeseran
nilai keilmuan dan nilai ekonomi akan cenderung lebih cepat dibandingkan dengan
nilai-nilai lainnya jika menggunakan model dinamik-interaktif. Ini merupakan
konsekuensi dari kebijakan pembangunan yang memberikan prioritas ada
pembangunan ekonomi dan ditunjang oleh cepatnya perkembangan ilmu dan
teknologi.
1. Konflik Papua
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,
Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau
Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah
satu provinsi Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah
Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka
selambat-lambatnya pada tahun 1970-an.
Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang
diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam
beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja
Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan
mengenai Papua Barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam
jangka waktu satu tahun. Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua
Barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia
mengklaim Papua Barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke
Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia
menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua Barat, Belanda
mempercepat program pendidikan di Papua Barat untuk persiapan kemerdekaan.
Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan
tentara Papua pada 1957.
Sebagai kelanjutan, pada 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan
ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera, dengan gubernur pertamanya,
Zainal Abidin Syah. Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan
penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960,
Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo
Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut
kandungan emas ataupun tembaga.
Bendera Papua Barat, sekarang digunakan sebagai bendera Organisasi Papua
Merdeka Karena usaha pendidikan Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki
perawat, dokter gigi, arsitek, teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi,
pegawai kehutanan, dan pegawai meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB
dari tahun 1950 sampai 1961. Selain itu juga diadakan berbagai pemilihan umum
untuk memilih perwakilan rakyat Papua dalam pemerintahan, mulai dari tanggal 9
Januari 1961 di 15 distrik. Hasilnya adalah 26 wakil, 16 di antaranya dipilih, 23 orang
Papua, dan 1 wanita. Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur Platteel pada tanggal 1
April 1961, dan mulai menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini dihadiri oleh wakil-
wakil dari Australia, Britania Raya, Perancis, Belanda dan Selandia Baru. Amerika
Serikat diundang tapi menolak. Dewan Papua bertemu pada tanggal 19 Oktober 1961
untuk memilih sebuah komisi nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang
negara, lagu kebangsaan (”Hai Tanahkoe Papua”), dan nama Papua. Pada tanggal 31
Oktober 1961, bendera Papua dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto
kemerdekaan diserahkan kepada gubernur Platteel. Belanda mengakui bendera dan
lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan-peraturan ini
mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961. Pada 19 Desember 1961, Soekarno
menanggapi’pembentukan Dewan Papua ini dengan menyatakan Trikora di
Yogyakarta, yang isinya adalah:
1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda.
2. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan
kesatuan tanah air bangsa.
Penyebab utama dari belum tuntasnya penyelesaian konflik Papua melalui
kebijakan-kebijakan di atas, menurut saya, karena belum ada solusi yang
komprehensif. Konflik Papua lebih sering diidentikkan dengan masalah ekonomi.
Dengan berasumsi konflik Papua akan hilang dengan sendirinya ketika orang Papua
menikmati kesejahteraan ekonomi, pemerintah lebih memperhatikan bidang
ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur
dasar. Perlu disadari bahwa selain masalah ekonomi, konflik Papua mengandung
masalah ke-Indonesiaan. Masih ada orang Papua yang belum mengakui dirinya
sebagai orang Indonesia. Masalah ini merupakan beban politik bagi pemerintah dan
setiap Presiden Indonesia.
Ada juga persoalan benturan budaya antara Melayu versus Melanesia. Ada
perbedaan penafsiran atas sejarah bergabungnya Papua dengan Indonesia. Papua juga
merupakan satu-satunya daerah yang bergabung dengan Indonesia melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian, konflik Papua mempunyai
dimensi ekonomi, politik, budaya, sejarah, keamanan, dan internasional. Oleh karena
itu, solusi parsial tidak akan menyelesaikan konflik Papua. Kompleksitas dan
multidimensionalitas konflik Papua menuntut suatu solusi komprehensif yang
mengakomodasi dan mampu menjawab semua dimensi permasalahan. Pemerintah
tidak boleh memandang dirinya sebagai satu-satunya pihak yang mampu mengatasi
konflik Papua. Hal ini karena pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan
konflik Papua melalui berbagai kebijakan yang ditetapkannya tanpa keterlibatan pihak
lain. Apabila konflik Papua mau diselesaikan secara permanen, pemerintah harus
merangkul semua pemangku kepentingan agar secara bersama-sama mencari solusi
yang komprehensif. Perlu ditetapkan mekanisme inklusif yang dapat memungkinkan
keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan. Secara
khusus, pemerintah tidak perlu takut melibatkan orang Papua yang bergabung dalam
Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlu disadari bahwa sebagus apa pun kebijakan
pemerintah, tidak dapat menyelesaikan konflik Papua apabila tidak berkonsultasi
dengan kelompok OPM.
OPM terdiri atas tiga kelompok, yakni orang Papua yang melakukan
perlawanan di kota dan kampung, mereka yang bergerilya di hutan dengan nama
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), dan orang Papua yang hidup di
luar negeri. Ketiga kelompok ini harus dilibatkan semuanya dalam pembahasan solusi
yang komprehensif. Pemerintah perlu mendorong mereka untuk berkumpul,
berdiskusi, dan merumuskan pandangan kolektifnya tentang kebijakan yang
komprehensif bagi penyelesaian konflik Papua.
Dengan demikian, solusi komprehensif untuk Papua dicari dan ditetapkan
secara bersama, serta diterima semua pemangku kepentingan, termasuk kelompok.
BAB II
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Nilai adalah harga, angka kepandaian. Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh
suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk
oleh masyarakat. Nilai dalam masyarakat tercakup dalam adat kebiasaan dan tradisi
yang secara tidak sadar diterima dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat. Fungsi
nilai sosial
1. Memberikan seperangkat alat untuk menetapkan harga sosial dari suatu
kelompok.
2. Mengarahkan masyarakat dalam berfikir dan bertingkah laku.
3. Merupakan penentu akhir bagi manusia dalam memenuhi peranan sosialnya.
4. Sebagai alat solidaritas bagi kelompok.
5. Sebagai alat kontrol perilaku manusia.
Konflik social papua merupakan peristiwa yang sangat kompleks. Baik dimensi
sejarah, penyebab, maupun solusi. Namun bukan berarti komplesiksisitas konflik
social papua harus mengurungkan niat pemerintah untuk bersikap apatis terhadap
konflik yang terjadi di Papua.