Puasa Ramadhan
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Jawaban:
Wa alaikumus salam
Salah satu fenomena akhir zaman, yang dialami umat Islam, membeo kepada
orang kafir dalam tradisi dan dan ritual mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
ُ سلَ ْك ُت
مو ُه َ ٍَب ل
ٍّ ض
َ ح َر ُ سلَكُوا
ْ ج َ ح َّتى لَ ْو
َ ،ٍ َو ِذ َراعً ا بِ ِذ َراع،ش ْب ٍر
ِ ِش ْب ًرا ب ْ ن َق ْبلَك
ِ ُم ْ ن َم
َ س َن َّ لَ َت َّت ِب ُع
َ ن
Meskipun konteks hadis ini berbicara tentang orang yahudi dan nasrani, tapi
secara makna mencakup seluruh kebiasaan kaum muslimin yang mengikuti
tradisi dan budaya yang menjadi ciri khas orang kafir.
“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari
kaum tersebut.” (HR. Abu Daud 4031 – hadis shahih).
Masyarakat memilih waktu ini tentu tidak sembarangan. Ada keyakinan yang
melatar-belakanginya. Jika tidak, mereka akan melakukannya di sepanjang
tahun tanpa mengenal batas waktu. Dan karena itulah mereka menyebut
bulan sya’ban sebagai bulan ruwah. Bulan untuk mengirim doa bagi para
arwah leluhur. Bagian yang perlu kita garis bawahi di sini, nyadran dilakukan
di setiap bulan sya’ban.
ِ ج َعلُوا َق ْب ِري
عي ًدا ْ َ َواَل ت،ُم ق ُُبو ًرا ْ َاَل ت
ْ ج َعلُوا ُب ُيوتَك
: اشتقاقه من: وقيل، كأنهم عادوا إليه، عاد يعود: واشتقاقه من،ع ٌ م
ْ ج
َ ل يو ٍم فيه
ُّ ال ِعيد هو ك
سمي العي ُد عيداً ألنه يعود كل :
ُ ّي األعراب ابن
ُ قال .… .أعياد والجمع ،اعتادوه ألنهم ،العادة
سنة بفرح ُمجدد
‘Id adalah istilah untuk hari yang disana ada kumpul-kumpul, turunan dari
kata: ‘ada – ya’uudu (yang artinya kembali), karena masyarakat selalu
kembali melakukannya. Ada juga yang mengatakan, turunan dari kata Al-
Adah (adat), karena masyarakat membiasakannya. Bentuk jamaknya, a’yaad.
Ibnul A’rabi mengatakan: ‘Dinamakan ‘id karena hari raya itu kembali
dirayakan dengan kebahagiaan tertentu.’ (Lisanul ‘Arab, 3/315)
عائد آما بعود السنة أو بعود األسبوع أو, فالعيد اسم لم يعود من األجتماع على وجه معتاد
الشهر أو نحو ذلك
Dilakukan pada waktu tertentu atau tempat tertentu, yang ini menjadi latar
belakang mereka berkumpul
Dijadikan adat dan kebiasaan masyarakat. Baik karena alasan agama atau
lainnya.
Karena itulah, kegiatan kaum muslimin di hari jumat disebut ‘id. Karena
mereka berkumpul pada hari itu, dan menjadi tradisi kaum muslimin. Berbeda
dengan acara kajian yang dilakukan setiap hari tertentu. Semacam ini tidak
disebut ‘id, karena mereka berkumpul bukan atas motivasi tempat atau waktu,
tapi karena mengikuti kajian.
Memahami hal ini, kegiatan nyadran yang dilakukan kaum muslimin bisa
disebut ‘id. Karena semua kriteria ‘id ada di sana. Ada acara kumpul-kumpul,
dilakukan di kuburan, setiap sya’ban, dan itu menjadi tradisi masyarakat.
Menyadari hal ini, sejatinya tradisi nyadran melanggar hadis dari Abu
Hurairah di atas, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
menjadikan kuburan sebagai ‘id. Beliau melarang kuburan dijadikan tempat
kumpul-kumpul untuk kegiatan nyekar bersama.
Ritual ini tidak lebih hanya meminjam istilah dalam islam untuk melengkapi
acara semacam ini. Agar bisa diterima kaum muslimin sebagai bagian ajaran
islam. Tentu saja ini adalah tindak kriminal terhadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau tidak pernah mengajarkan demikian kepada
umatnya. Bagaimana mungkin bisa diyakini sebagai bagian dari islam.
Bukankah ini sama halnya dengan berdusta atas nama beliau? Itulah yang
dimaksud tindakan kriminal terhadap Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.
من ابتدع في اإلسالم بدعة فرآها حسنة فقد زعم أن محمدا صلى هللا عليه وسلم قد
خان الرسالة
“Siapa yang melakukan perbuatan bid’ah dalam islam, dan dia anggap itu
baik, berarti dia menganggap Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallamberkhianat terhadap risalah.” (Al-Inshaf fima Qiila, hlm. 40).
َ م ا ْل
م ْوت ُ وروا ا ْل ُق ُبو َر َف ِإنَّ َها ُتذَِكِّ ُر ُك
ُ ُز
Dalam keterangan yang kami sampaikan sedikitpun tidak ada larangan untuk
melakukan ziarah kubur. Yang dipermasalahkan bukan ziarahnya tapi tradisi
nyadrannya. Karena tradisi ini, dari beberapa sisi melanggar beberapa aturan
syariat.
Lebih dari itu, dalam tradisi nyadran tidak kita jumpai adanya motivasi ingat
mati. Pernahkah anda jumpai ada orang yang sepulang dari nyadran
kemudian menangis karena ingat mati dan sedih memikirkan dosanya?. Yang
ada justru sebaliknya, mereka pesta makan-makan di kuburan.
Namun kami belum pernah menjumpai dalil bahwa itu dilakukan secara
berjamaah di bulan tertentu. Padahal kita tahu, mayit butuh doa setiap saat,
dan syariat membolehkan kita mendoakan jenazah di semua tempat. Dan
doa itupun bisa sampai kepada jenazah.
Allahu ‘lam
Pelaksanaan[sunting | sunting sumber]
Naydran merupakan salah satu tradisi dalam menyambur datangnya
bulan Ramadhan.[4] Kegiatan yang biasa dilakukan saat Nyadran atau Ruwahan
adalah:
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Nyadran berasal dari tradisi Hindu-Budha.[1] Sejak abad ke-15
para Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya, agar agama
Islam dapat dengan mudah diterima.[2] Pada awalnya para wali berusaha
meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang
pemujaan roh yang dalam agam Islam dinilai musrik. [1]Agar tidak berbenturan
dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut,
melainkan menyelasraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan
pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa.[1]Nyadran dipahami sebagai bentuk
hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan.[2]
Referensi[sunting | sunting sumber]
1. ^ a b c d e f g h i "Nyadran Upacara Kenduri Masyarakat Jawa".
wartamadani.com. Diakses tanggal 26 Mei 2014.23.30.
2. ^ a b c d "Nyadran, Persembahan Rasa Sayang dan Kesetiaan".
Kratonpedia.com. Diakses tanggal 27 Mei 2014.
3. ^ "Tradisi 'Nyadran' Masih Semarak di Pedesaan". pikiran-rakyat.com.
Diakses tanggal 27 Mei 2014.
4. ^ a b c d e f "Tradisi Nyadran, Jalin Kerukunan dengan Sesama".
regional.kompas.com. Diakses tanggal 27 Mei 2014.
Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan zaman yang semakin modern,
upacara tradisional sebagai wahana budaya leluhur bisa dikatakan masih
memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Upacara tradisional yang
memiliki makna filosofis sampai sekarang masih dipatuhi oleh masyarakat
pendukungnya. Masyarakat tersebut bahkan takut jika tidak melaksanakan upacara
tradisional akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam sejarah
perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa mengalami akulturasi dengan
berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu, corak dan bentuknya diwarnai
oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat memiliki
kebudayaan yang berbeda. Hal ini dikarenakan oleh kondisi sosial budaya
masyarakat antara yang satu dengan yang lain berbeda. Kebudayaan sebagai cara
berpikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan
kelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam ruang dan waktu. Salah
satu budaya yang menonjol adalah adat istiadat atau tradisi kejawen.Kebudayaan
selalu menyajikan sesuatu yang khas dan unik, karena pada umumnya diartikan
sebagai proses atau hasil karya, cipta, rasa, dan karsa manusia dalam menjawab
tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekitarnya. Upacara tradisional yang
dilaksanakan pada umumnya masih mempunyai hubungan dengan kepercayaan
akanadanya kekuatan diluar manusia. Adapun yang dimaksud dengan kekuatan di
luar manusia yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dapat juga diartikan sebagai kekuatan
supranatural seperti roh nenek moyang pendiri desa, dan bisa juga roh leluhur yang
dianggap masih memberikan perlindungan padanya dan keturunannya. Mereka
percaya bahwa tidak semua usaha manusia dapat berjalan lancar, terkadang
menemui tantangan dan hambatan yang sulit dipecahkan. Hal tersebut disebabkan
oleh keterbatasan akal dan sistem pengetahuan manusia, sehingga masalah-
masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan akal mulai dipecahkan secara religi.
Pada dasarnya masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang
diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi maupun agama. Ada
keyakinan pada masyarakat Jawa bahwa suatu tindakan atau tingkah laku
merupakan cara berpikir seorang individu yang sering dikaitkan dengan adanya
kepercayaan atau keyakinan terhadap kekuatan gaib yang ada di alam semesta.
Kekuatan alam semesta dianggap ada di atas segalanya. Selanjutnya dikatakan
bahwa dalam masyarakat Jawa kekuatan manusia dianggab lemah bila dihadapkan
dengan alam semesta. Pandangan hidup orang Jawa terbentuk dari alam pikiran
Jawa tradisional, kepercayaan Hindu, dan ajaran Islam. Budaya dapat diartikan
sebagai keseluruhan warisan sosial yang dipandang sebagai hasil karya yang
tersusun menurut tata tertib teratur, biasanya terdiri dari pada kebendaan,
kemahiran teknik, pikiran dan gagasan, kebiasaan, nilai-nilai tertentu, dan
sebagainya.Wujud kebudayaan selain sebagai kompleksitas ide, gagasan, nilai dan
norma maupun sebagai peraturan, juga mencerminkan pola tingkah laku manusia
dalam masyarakat. Pola tingkah laku ini terjadi karena ekspresi atau manifestasi
hasil proses belajar. Ekspresi ini juga terwujud dalam hasil karyanya sebagai buah
budi dayanya. Wujud tingkah laku tersebut dapat juga berbentuk lambang tertentu,
misalnya upacara keagamaan yang merupakan manifestasi tingkah laku religius.
Apresiasi budaya sering kali dihubungkan dengan cara hidup, adat istiadat suatu
masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut. Misalnya upacara adat
tradisional yang pada umumnya ditimbulkan adanya keyakinan atau doktrin yang
juga merupakan perwujudan dari religi. Semua akivitas manusia yang berhubungan
dengan religi dan didasarkan pada suatu getaran jiwa biasanya disebut emosi
keagaman (religious emotion),emosi keagamaan mendorong manusia melakukan
tindakan religi. Dalam kepercayaan religi animisme, makam adalah tempat suci yang
digunakan sebagai sarana berkomunikasi spiritual nenek moyang dengan roh para
leluhur atau dengan Tuhan. Pada masa sekarang, kepercayaan tersebut belum
luntur. Salah satu tradisi yang melekat pada jiwa masyarakat, khususnya
masyarakat jawa adalah Tradisi Nyadran. Secara filosofis Nyadran adalah ritual
simbolik yang sarat dengan makna. Menurut adat kejawen sadranan berarti
berziarah Kubur atau pergi ke makam nenek moyang dengan membawa menyan,
bunga dan air doa. Sadran berarti kembali atau menziarahi makam atau tempat
yang dianggap sebagai cikal bakal suatu desa, biasanya masyarakat menamakan
tempat tersebut dengan sebutan punden yaitu makam cikal bakal desa setempat.
Sebelum berziarah kubur biasanya masyarakat terlebih dahulu membersihkan
makam secara bersama-sama. Bersih kubur yang dikenal dengan nama sadranan
atau besik merupakan salah satu bentuk alkuturasi Islam dengan kebudayaan Jawa.
Tradisi sadranan merupakan tradisi yang sudah dikenal oleh semua masyarakat
terutama masyarakat Jawa, karena sadranan dilakukan di berbagai daerah tak
terkecuali di Desa Margoyoso, kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah. Sebelum Islam datang kepercayaan Animisme dan Dinamisme serta
agama Hindu dan Budha telah lebih dahulu berkembang di Indonesia khususnya
pulau Jawa. Islam diterima di masyarakat Jawa dengan mudah dan damai, karena
para da`i memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap kebudayaan Jawa. Islam tidak
perlu mengubah struktur budaya dan kepercayaan yang telah ada, melainkan tinggal
melestarikannya dengan siraman Islam. Keadaan demikian memberikan dampak
pada pandangan yang tidak mempersoalkan suatu agama itu benar atau salah, suka
memadukan unsur-unsur dari berbagai agama yang pada dasarnya berbeda bahkan
berlawanan. Pandangan hidup orang jawa merupakan perwujudan dari kepercayaan
terhadap adi kodrati (Allah), selain itu masyarakat Jawa juga menghormati nenek
moyang yang sudah meninggal. Sikap hormat tersebut diungkapkan dengan cara
mengunjungi makam nenek moyang untuk minta berkah dan berdoa agar mendapat
kemudahan dalam menjalani lingkaran hidup. Mengunjungi makam biasanya
dilakukan sebelum mengadakan salah satu upacara lingkaran hidup dalam keluarga
atau upacara yang berhubungan dengan hari besar Islam. Dalam masyarakat Jawa
mengunjungi makam yang penting ketika Nyadran. Pada waktu nyadran makam-
makam dibersihkan dan ditaburi bunga (nyekar) yang kemudian dibacakan doa
sambil membakar dupa. Masyarakat mengadakan tradisi Nyadran pada umumnya
ketika menjelang puasa, tepatnya sehari sebelum puasa Ramadhan. Selain disebut
dengan tradisi Nyadran, ada sebagian masyarakat menyebutnya dengan sebutan
ruwahan.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/riskamaryuni/kebudayaan-
nyadran_551fdefca33311e32bb672bc