Anda di halaman 1dari 13

Hukum Nyadran Sebelum

Puasa Ramadhan
Pertanyaan:

Assalamu’alaikum

Apakah nyadran sebelum puasa itu bagian dari ibadah atau ritual yang di


benarkan oleh ajaran Islam ?
terimakasih atas jawabannya.

Dari: Wiwik Suzuki

Jawaban:

Wa alaikumus salam

Nyadran Menurut Islam


Sebelum membahas hukum nyadran, kita akan melihat bagaimana
pengertian nyadran. Dalam wikipedia versi jawa dinyatakan,
Nyadran iku salah siji prosèsi adat budhaya Jawa awujud kagiyatan setaun
sepisan ing sasi Ruwah wiwit saka resik-resik saréan leluhur, mangsak
panganan tertamtu kaya déné apem, ater-ater lan slametan utawa kenduri.
Jeneng nyadran iki asalé saka tembung sraddha, nyraddha, nyraddhan,
banjur dadi nyadran. [http://jv.wikipedia.org/wiki/Nyadran]

Terjemahnya kurang lebih,


‘Nyadran adalah salah satu prosesi adat jawa dalam bentuk kegiatan tahunan
di bulan ruwah (sya’ban), dari mulai bersih-bersih makam leluhur, masak
makanan tertentu, seperti apem, bagi-bagi makanan, dan acara selamatan
atau disebut kenduri. Nama nyadran sendiri berasal dari kata Sradha –
nyradha – nyradhan, kemudian menjadi nyadran.’

Dalam keterangan versi indonesia, dinyatakan,

Nyadran merupakan reminisensi dari upacara sraddha Hindu yang dilakukan


pada zaman dahulukala.
Upacara ini dilakukan oleh orang Jawa pada bulan Jawa-Islam Ruwah
sebelum bulan Puasa, Ramadan, bulan di mana mereka yang menganut
ajaran Islam berpuasa.

Upacara sadran ini dilakukan dengan berziarah ke makam-makam dan


menabur bunga (nyekar). Selain itu upacara ini juga dilaksanakan oleh orang
Jawa yang tidak menganut ajaran Islam.[http://id.wikipedia.org/wiki/Sadran]

Berdasarkan keterangan di atas, kita mengambil kesimpulan tentang


status nyadran,

1. Nyadran sejatinya reminisensi (kenangan) dari upacara hindu


2. Nyadran dilestarikan oleh sebagian orang jawa dan menjadi adat
mereka
3. Nyadran dilakukan di waktu tertentu, yaitu di bulan sya’ban, yang oleh
orang jawa disebut ulan ruwah. Sebagian referensi menyebutkan, kata
ruwah merupakan turunan dari kata arwah (ruh).
4. Nyadran bukan semata kegiatan senang-senang, bergembira ria,
namun ada unsur ritual tertentu. Keberadaan ritual ini tidak akan lepas
dari keyakinan tertentu atau ideologi yang menjadi motivasi utama untuk
melakukannya.
5. Nyadran tidak hanya dilakukan kaum muslimin, tapi juga selain
penganut islam, seperti kejawen, hindu, dan penganut aliran kepercayaan
lainnya.

Mengacu pada beberapa catatan di atas, kita beralih pada pembahasan


hukum nyadran.

Pertama, dengan memahami tradisi nyadran, kita tentu sepakat nyadran


100% bukan ajaran islam. Hanya saja, oleh sebagian orang jawa diklaim
sebagai bagian dari islam. Mulai dari sejarah yang melatar belakanginya,
hingga perjalanannya, bukti nyata nyadran bukan ajaran islam. Bahkan
sejatinya, nyadran merupakan reminisensi ajaran hindu. Di sebagian situs
berita dirilis, Umat Islam dan katholik ‘Nyadran’ bersama. Sungguh aneh jika
masih dianggap ajaran islam??

Salah satu fenomena akhir zaman, yang dialami umat Islam, membeo kepada
orang kafir dalam tradisi dan dan ritual mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

ُ ‫سلَ ْك ُت‬
‫مو ُه‬ َ َ‫ٍب ل‬
ٍّ ‫ض‬
َ ‫ح َر‬ ُ ‫سلَكُوا‬
ْ ‫ج‬ َ ‫ح َّتى لَ ْو‬
َ ،ٍ‫ َو ِذ َراعً ا بِ ِذ َراع‬،‫ش ْب ٍر‬
ِ ِ‫ش ْب ًرا ب‬ ْ ‫ن َق ْبلَك‬
ِ ‫ُم‬ ْ ‫ن َم‬
َ ‫س َن‬ َّ ‫لَ َت َّت ِب ُع‬
َ ‫ن‬

“Sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan kaum sebelum kalian, sama


persis sebagaimana jengkal tangan kanan dengan jengkal tangan kiri, hasta
kanan dengan hasta kiri. Sampai andaikan mereka masuk ke liang biawak,
kalian akan mengikutinya.” (HR. Bukhari 3456, Muslim 2669 dan yang
lainnya).

Meskipun konteks hadis ini berbicara tentang orang yahudi dan nasrani, tapi
secara makna mencakup seluruh kebiasaan kaum muslimin yang mengikuti
tradisi dan budaya yang menjadi ciri khas orang kafir.

Sementara, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kaidah,


meniru ritual orang kafir, apapun bentuknya, berarti telah meniru kebiasaan
mereka. Dan tindakan ini telah melanggar peringatan dalam hadis dari Ibnu
Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫من تشبه بقوم فهو منهم‬

“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari
kaum tersebut.” (HR. Abu Daud 4031 – hadis shahih).

Kedua, nyadran dilakukan di waktu tertentu, yaitu bulan ruwah (sya’ban).

Masyarakat memilih waktu ini tentu tidak sembarangan. Ada keyakinan yang
melatar-belakanginya. Jika tidak, mereka akan melakukannya di sepanjang
tahun tanpa mengenal batas waktu. Dan karena itulah mereka menyebut
bulan sya’ban sebagai bulan ruwah. Bulan untuk mengirim doa bagi para
arwah leluhur. Bagian yang perlu kita garis bawahi di sini, nyadran dilakukan
di setiap bulan sya’ban.

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallhu ‘anhu, Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ج َعلُوا َق ْب ِري‬
‫عي ًدا‬ ْ َ‫ َواَل ت‬،‫ُم ق ُُبو ًرا‬ ْ َ‫اَل ت‬
ْ ‫ج َعلُوا ُب ُيوتَك‬

“Janganlah kalian menjadikan rumah kalian sebagaimana kuburan. Dan


jangan jadikan kuburanku sebagai ‘id.” (HR. Ahmad 8804, Abu Daud 2042,
Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 7542 – hadis shahih)

Kesimpulan tentang nyadran di bulan sya’ban ini akan kita kaitkan


dengan kata ‘id.

Pada hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang


umatnya untuk menjadikan kuburan beliau sebagai ‘id. Jika kuburan beliau
dilarang, tentu kuburan selain beliau hukumnya lebih terlarang.
Apa makna menjadikan kuburan sebagai
‘id?
Terlebih dahulu kita pahami pengertian ‘id

Dalam Lisan Al-Arab (kamus besar bahasa arab) dinyatakan,

:‫ اشتقاقه من‬:‫ وقيل‬،‫ كأنهم عادوا إليه‬،‫ عاد يعود‬:‫ واشتقاقه من‬،‫ع‬ ٌ ‫م‬
ْ ‫ج‬
َ ‫ل يو ٍم فيه‬
ُّ ‫ال ِعيد هو ك‬
‫سمي العي ُد عيداً ألنه يعود كل‬ :
ُ ّ‫ي‬ ‫األعراب‬ ‫ابن‬
ُ ‫قال‬ .… .‫أعياد‬ ‫والجمع‬ ،‫اعتادوه‬ ‫ألنهم‬ ،‫العادة‬
‫سنة بفرح ُمجدد‬

‘Id adalah istilah untuk hari yang disana ada kumpul-kumpul, turunan dari
kata: ‘ada – ya’uudu (yang artinya kembali), karena masyarakat selalu
kembali melakukannya. Ada juga yang mengatakan, turunan dari kata Al-
Adah (adat), karena masyarakat membiasakannya. Bentuk jamaknya, a’yaad.
Ibnul A’rabi mengatakan: ‘Dinamakan ‘id karena hari raya itu kembali
dirayakan dengan kebahagiaan tertentu.’ (Lisanul ‘Arab, 3/315)

Syaikhul Islam dalam Al-Iqtidha mengatakan,

‫عائد آما بعود السنة أو بعود األسبوع أو‬, ‫فالعيد اسم لم يعود من األجتماع على وجه معتاد‬
‫الشهر أو نحو ذلك‬

‘id adalah istilah untuk menyebut kegiatan kumpul-kumpul karena kebiasaan,


yang selalu dilakukan berulang, baik tahunan, setiap pekan, maupun bulanan.
(Iqidha shirat Al-Mustaqim, 1/394)

Berdasarkan keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa suatu kegiatan


bisa disebut ‘id, jika memiliki kriteria,
Ada acara kumpul-kumpul untuk kegiatan tertentu

Dilakukan pada waktu tertentu atau tempat tertentu, yang ini menjadi latar
belakang mereka berkumpul
Dijadikan adat dan kebiasaan masyarakat. Baik karena alasan agama atau
lainnya.

Karena itulah, kegiatan kaum muslimin di hari jumat disebut ‘id. Karena
mereka berkumpul pada hari itu, dan menjadi tradisi kaum muslimin. Berbeda
dengan acara kajian yang dilakukan setiap hari tertentu. Semacam ini tidak
disebut ‘id, karena mereka berkumpul bukan atas motivasi tempat atau waktu,
tapi karena mengikuti kajian.

Memahami hal ini, kegiatan nyadran yang dilakukan kaum muslimin bisa
disebut ‘id. Karena semua kriteria ‘id ada di sana. Ada acara kumpul-kumpul,
dilakukan di kuburan, setiap sya’ban, dan itu menjadi tradisi masyarakat.

Menyadari hal ini, sejatinya tradisi nyadran melanggar hadis dari Abu
Hurairah di atas, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
menjadikan kuburan sebagai ‘id. Beliau melarang kuburan dijadikan tempat
kumpul-kumpul untuk kegiatan nyekar bersama.

Ketiga, dalam kegiatan nyadran ada unsur ritual tertentu

Ritual ini tidak lebih hanya meminjam istilah dalam islam untuk melengkapi
acara semacam ini. Agar bisa diterima kaum muslimin sebagai bagian ajaran
islam. Tentu saja ini adalah tindak kriminal terhadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau tidak pernah mengajarkan demikian kepada
umatnya. Bagaimana mungkin bisa diyakini sebagai bagian dari islam.
Bukankah ini sama halnya dengan berdusta atas nama beliau? Itulah yang
dimaksud tindakan kriminal terhadap Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Malik pernah mengatakan,

‫من ابتدع في اإلسالم بدعة فرآها حسنة فقد زعم أن محمدا صلى هللا عليه وسلم قد‬
‫خان الرسالة‬
“Siapa yang melakukan perbuatan bid’ah dalam islam, dan dia anggap itu
baik, berarti dia menganggap Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallamberkhianat terhadap risalah.” (Al-Inshaf fima Qiila, hlm. 40).

Dialog dan Sanggahan


Barangkali ada sebagian yang hendak mempertahankan tradisi ini dengan
memberikan alasan. Berikut penjelasannya,

1. Bukankah ziarah kubur sesuatu yang disyariatkan, mengapa


dilarang?

Jawab: Benar, ziarah kubur disyariatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bahkan memberi motivasi,

َ ‫م ا ْل‬
‫م ْوت‬ ُ ‫وروا ا ْل ُق ُبو َر َف ِإنَّ َها ُتذَِكِّ ُر ُك‬
ُ ‫ُز‬

“Lakukanlah ziarah kubur, karena ziarah kubur akan mengingatkan kalian


terhadap kematian.” (HR. Nasa’I 2034, Ibn Majah 1572 – hadis shahih)

Dalam keterangan yang kami sampaikan sedikitpun tidak ada larangan untuk
melakukan ziarah kubur. Yang dipermasalahkan bukan ziarahnya tapi tradisi
nyadrannya. Karena tradisi ini, dari beberapa sisi melanggar beberapa aturan
syariat.

Lebih dari itu, dalam tradisi nyadran tidak kita jumpai adanya motivasi ingat
mati. Pernahkah anda jumpai ada orang yang sepulang dari nyadran
kemudian menangis karena ingat mati dan sedih memikirkan dosanya?. Yang
ada justru sebaliknya, mereka pesta makan-makan di kuburan.

2. Dalam tradisi nyadran ada kegiatan mendoakan jenazah


Mendoakan jenazah sangat disyariatkan. Allah juga mengajarkan kepada kita
untuk mendoakan kaum mukminin yang telah meninggal, sebagaimana
disebutkan dalam beberapa ayat di Al-Quran.

Namun kami belum pernah menjumpai dalil bahwa itu dilakukan secara
berjamaah di bulan tertentu. Padahal kita tahu, mayit butuh doa setiap saat,
dan syariat membolehkan kita mendoakan jenazah di semua tempat. Dan
doa itupun bisa sampai kepada jenazah.

3. Dalam tradisi nyadran ada kegiatan mengirim pahala sedekah untuk


jenazah

Sebagian ulama menegaskan pahala sedekah bisa samai ke jenazah. Namun


ini tidak harus berupa makanan dan tidak harus dilakukan di kuburan. Kita
bisa sedekah atas nama orang yang sudah meninggal dalam bentuk apapun,
tidak harus makanan. Bahkan bersedekah dalam bentuk benda yang lebih
permanen, seperti infak untuk pembangunan masjid, pesantren, dst, nilainya
lebih baik dan lebih lama dibandingkan makanan yang pengaruhnya cepat
habis.

Allahu ‘lam

Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan


Pembinawww.KonsultasiSyariah.com)

Artikel ini didukung oleh:


 Zahir Accounting. Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakatJawa,
terutama Jawa Tengah.[1] Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta,sraddha yang
artinya keyakinan.[2] Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat
Jawa, umumnya di pedesaan.[2] Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari
kata sadran yang artiya ruwah syakban.[1]Nyadran adalah suatu rangkaian budaya
yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya
berupa kenduri selamatan di makam leluhur.[3]

Pelaksanaan[sunting | sunting sumber]
Naydran merupakan salah satu tradisi dalam menyambur datangnya
bulan Ramadhan.[4] Kegiatan yang biasa dilakukan saat Nyadran atau Ruwahan
adalah:

 Menyelenggarakan kenduri, dengan pembacaan ayat Al-Quran, zikir, tahlil,


dan doa, kemudian ditutup dengan makan bersama.[1]
 Melakukan besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan
rerumputan.[1]
 Melakukan upacara ziarah kubur, dengan berdoa kepada roh yang telah
meninggal di area makam.[1]

Nyadran biasanya dilaksanakan pada setiap hari ke-10 bulan Rajab atau saat


datangnya bulan Sya'ban.[4] Dalam ziarah kubur, biasanya peziarah membawa
bunga, terutama bunga telasih. Bunga telasih digunakan sebagai lambang adanay
hubungan yang akrab antara peziarah dengan arwah yang diziarahi. [1] Para
masyarakat yang mengikuti Nyadran biasnya berdoa untuk kakek-nenek, bapak-ibu,
serta saudara-saudari mereka yang telah meninggal. [4] Seusai berdoa, masyarakat
menggelar kenduri atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah
digelari tikar dan daunpisang.[4] Tiap keluarga yang mengikuti kenduri harus
membawa makanan sendiri.[4] Makanan yang dibawa harus berupa makanan
tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk
rempah, prekedel,tempe dan tahu bacem, dan lain sebagainya.[4]

Sejarah[sunting | sunting sumber]
Nyadran berasal dari tradisi Hindu-Budha.[1] Sejak abad ke-15
para Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya, agar agama
Islam dapat dengan mudah diterima.[2] Pada awalnya para wali berusaha
meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang
pemujaan roh yang dalam agam Islam dinilai musrik. [1]Agar tidak berbenturan
dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut,
melainkan menyelasraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan
pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa.[1]Nyadran dipahami sebagai bentuk
hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]
1. ^ a b c d e f g h i "Nyadran Upacara Kenduri Masyarakat Jawa".
wartamadani.com. Diakses tanggal 26 Mei 2014.23.30.
2. ^ a b c d "Nyadran, Persembahan Rasa Sayang dan Kesetiaan".
Kratonpedia.com. Diakses tanggal 27 Mei 2014.
3. ^ "Tradisi 'Nyadran' Masih Semarak di Pedesaan". pikiran-rakyat.com.
Diakses tanggal 27 Mei 2014.
4. ^ a b c d e f "Tradisi Nyadran, Jalin Kerukunan dengan Sesama".
regional.kompas.com. Diakses tanggal 27 Mei 2014.
Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan zaman yang semakin modern,
upacara tradisional sebagai wahana budaya leluhur bisa dikatakan masih
memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Upacara tradisional yang
memiliki makna filosofis sampai sekarang masih dipatuhi oleh masyarakat
pendukungnya. Masyarakat tersebut bahkan takut jika tidak melaksanakan upacara
tradisional akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam sejarah
perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa mengalami akulturasi dengan
berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu, corak dan bentuknya diwarnai
oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat memiliki
kebudayaan yang berbeda. Hal ini dikarenakan oleh kondisi sosial budaya
masyarakat antara yang satu dengan yang lain berbeda. Kebudayaan sebagai cara
berpikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan
kelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam ruang dan waktu. Salah
satu budaya yang menonjol adalah adat istiadat atau tradisi kejawen.Kebudayaan
selalu menyajikan sesuatu yang khas dan unik, karena pada umumnya diartikan
sebagai proses atau hasil karya, cipta, rasa, dan karsa manusia dalam menjawab
tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekitarnya. Upacara tradisional yang
dilaksanakan pada umumnya masih mempunyai hubungan dengan kepercayaan
akanadanya kekuatan diluar manusia. Adapun yang dimaksud dengan kekuatan di
luar manusia yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dapat juga diartikan sebagai kekuatan
supranatural seperti roh nenek moyang pendiri desa, dan bisa juga roh leluhur yang
dianggap masih memberikan perlindungan padanya dan keturunannya. Mereka
percaya bahwa tidak semua usaha manusia dapat berjalan lancar, terkadang
menemui tantangan dan hambatan yang sulit dipecahkan. Hal tersebut disebabkan
oleh keterbatasan akal dan sistem pengetahuan manusia, sehingga masalah-
masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan akal mulai dipecahkan secara religi.
Pada dasarnya masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang
diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi maupun agama. Ada
keyakinan pada masyarakat Jawa bahwa suatu tindakan atau tingkah laku
merupakan cara berpikir seorang individu yang sering dikaitkan dengan adanya
kepercayaan atau keyakinan terhadap kekuatan gaib yang ada di alam semesta.
Kekuatan alam semesta dianggap ada di atas segalanya. Selanjutnya dikatakan
bahwa dalam masyarakat Jawa kekuatan manusia dianggab lemah bila dihadapkan
dengan alam semesta. Pandangan hidup orang Jawa terbentuk dari alam pikiran
Jawa tradisional, kepercayaan Hindu, dan ajaran Islam. Budaya dapat diartikan
sebagai keseluruhan warisan sosial yang dipandang sebagai hasil karya yang
tersusun menurut tata tertib teratur, biasanya terdiri dari pada kebendaan,
kemahiran teknik, pikiran dan gagasan, kebiasaan, nilai-nilai tertentu, dan
sebagainya.Wujud kebudayaan selain sebagai kompleksitas ide, gagasan, nilai dan
norma maupun sebagai peraturan, juga mencerminkan pola tingkah laku manusia
dalam masyarakat. Pola tingkah laku ini terjadi karena ekspresi atau manifestasi
hasil proses belajar. Ekspresi ini juga terwujud dalam hasil karyanya sebagai buah
budi dayanya. Wujud tingkah laku tersebut dapat juga berbentuk lambang tertentu,
misalnya upacara keagamaan yang merupakan manifestasi tingkah laku religius.
Apresiasi budaya sering kali dihubungkan dengan cara hidup, adat istiadat suatu
masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut. Misalnya upacara adat
tradisional yang pada umumnya ditimbulkan adanya keyakinan atau doktrin yang
juga merupakan perwujudan dari religi. Semua akivitas manusia yang berhubungan
dengan religi dan didasarkan pada suatu getaran jiwa biasanya disebut emosi
keagaman (religious emotion),emosi keagamaan mendorong manusia melakukan
tindakan religi. Dalam kepercayaan religi animisme, makam adalah tempat suci yang
digunakan sebagai sarana berkomunikasi spiritual nenek moyang dengan roh para
leluhur atau dengan Tuhan. Pada masa sekarang, kepercayaan tersebut belum
luntur. Salah satu tradisi yang melekat pada jiwa masyarakat, khususnya
masyarakat jawa adalah Tradisi Nyadran. Secara filosofis Nyadran adalah ritual
simbolik yang sarat dengan makna. Menurut adat kejawen sadranan berarti
berziarah Kubur atau pergi ke makam nenek moyang dengan membawa menyan,
bunga dan air doa. Sadran berarti kembali atau menziarahi makam atau tempat
yang dianggap sebagai cikal bakal suatu desa, biasanya masyarakat menamakan
tempat tersebut dengan sebutan punden yaitu makam cikal bakal desa setempat.
Sebelum berziarah kubur biasanya masyarakat terlebih dahulu membersihkan
makam secara bersama-sama. Bersih kubur yang dikenal dengan nama sadranan
atau besik merupakan salah satu bentuk alkuturasi Islam dengan kebudayaan Jawa.
Tradisi sadranan merupakan tradisi yang sudah dikenal oleh semua masyarakat
terutama masyarakat Jawa, karena sadranan dilakukan di berbagai daerah tak
terkecuali di Desa Margoyoso, kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah. Sebelum Islam datang kepercayaan Animisme dan Dinamisme serta
agama Hindu dan Budha telah lebih dahulu berkembang di Indonesia khususnya
pulau Jawa. Islam diterima di masyarakat Jawa dengan mudah dan damai, karena
para da`i memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap kebudayaan Jawa. Islam tidak
perlu mengubah struktur budaya dan kepercayaan yang telah ada, melainkan tinggal
melestarikannya dengan siraman Islam. Keadaan demikian memberikan dampak
pada pandangan yang tidak mempersoalkan suatu agama itu benar atau salah, suka
memadukan unsur-unsur dari berbagai agama yang pada dasarnya berbeda bahkan
berlawanan. Pandangan hidup orang jawa merupakan perwujudan dari kepercayaan
terhadap adi kodrati (Allah), selain itu masyarakat Jawa juga menghormati nenek
moyang yang sudah meninggal. Sikap hormat tersebut diungkapkan dengan cara
mengunjungi makam nenek moyang untuk minta berkah dan berdoa agar mendapat
kemudahan dalam menjalani lingkaran hidup. Mengunjungi makam biasanya
dilakukan sebelum mengadakan salah satu upacara lingkaran hidup dalam keluarga
atau upacara yang berhubungan dengan hari besar Islam. Dalam masyarakat Jawa
mengunjungi makam yang penting ketika Nyadran. Pada waktu nyadran makam-
makam dibersihkan dan ditaburi bunga (nyekar) yang kemudian dibacakan doa
sambil membakar dupa. Masyarakat mengadakan tradisi Nyadran pada umumnya
ketika menjelang puasa, tepatnya sehari sebelum puasa Ramadhan. Selain disebut
dengan tradisi Nyadran, ada sebagian masyarakat menyebutnya dengan sebutan
ruwahan. 

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/riskamaryuni/kebudayaan-
nyadran_551fdefca33311e32bb672bc

Anda mungkin juga menyukai