Anda di halaman 1dari 5

Nama Anggota : 1.

Yudi Hendardi (1930505061)

2. Indra Darmawangsa (1930505033)

3. Reksa Manda (1930505040)

4. Anestania (1930505060)

5. Nurul Tarisa Putri (1930505049)

Dosen Pengampu : Drs. Eni Murdiati, M.Hum

Mata Kuliah : Antropologi Agama

HASIL ANALISIS VIDEO AGAMA DAN BUDAYA


KISAH INKLUSI DARI TAMBORA

Judul : Kisah Inklusi dari Tambora

Durasi : 3 (tiga) menit 3 (tiga) detik

Kategori : Video Dokumenter

Produksi : Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan dan Kebudayaan Indonesia

dan Program Peduli

Publikasi : Youtube Program Peduli

Target Video : Seluruh Umat Manusia Beragama

Ide Cerita :Video ini dibuat Untuk Mewujudkan Kerukunan Antar Umat Beragama

Narasumber : 1. Sulastri Afrianti

2. Putu Suswandane

Posisi Kamera : 1. Midrum Close up


2. Midium Shoot
3. Point of Niew
4. Long Shoot
Gaya dan Pengukuran : Kontrakdisi karena dilihat dalam keseluruhan video banyak
sekali wawancara yang ditayangkan mengenai apa yang

terjadi, penyebab, dan penyelesaiannya.

Melalui video “Agama dan Budaya : Kisah Inklusi dari Tambore” diperoleh informasi
bahwa Dusun Tambore terletak di Nusa Tenggara Barat. Di dusun tersebut terdapat 3 (tiga)
suku, yaitu 70% muslim yang mendominasi, 25% hindu, dan 5% kristen. Pada tahun 2009-
2014 sering terjadi konflik di dusun Tambora. Konflik utamanya adalah mengenai pemugaran
Pura Agung Udaya Parwata Tambora atau Pura Jagat Agung mulai tahun 2008. Kompleks
pura ini masuk ke dalam dua kabupaten. Sebagian masuk wilayah Desa Oi Bura Kabupaten
Bima sedangkan sisanya masuk ke dalam wilayah Dusun Pancasila Kabupaten Dompu. Pura
ini dibangun tahun 1984 oleh sebuah perusahaan pemegang HPH di Tambora diperuntukan
untuk ibadah karyawan beragama Hindu dalam bentuk pura yang sangat kecil. Namun sejak
perusahaan itu angkat kaki, pura ini pun terbengkalai dan rusak.

Pembukaan hutan di kaki Tambora untuk perluasan pemukiman pun terjadi. Warga
Dusun Pancasila yang mayoritas muslim membangun pemukiman di sana akhirnya
menggunakan mata air yang terletak di dekat kompleks pura untuk keperluan hidup mereka
sehari-hari. Hingga tahun 1995 program transmigrasi akhirnya mendatangkan warga Hindu
dari Bali ke Kabupaten Dompu, Bima, dan juga Kab. Sumbawa. Tahun 1995 mereka
mencari, membangun dan menghidupkan kembali Pura Tambora ini. Pura ini direnovasi dari
tahun 1995 hingga tahun 2005. Namun di tahun 2007 diguncang gempa hingga membuat
pura rusak. Mulai tahun 2008 hingga awal 2014 pura ini kembali direnovasi dan diperluas.
Renovasi dan perluasan inilah yang kemudian memicu konflik antara umat Hindu
pengempon pura dengan warga Dusun Pancasila serta memicu reaksi keras umat Islam di
Bima dan Dompu.

Konflik terjadi disebabkan oleh kekhawatiran pencemaran kesucian air sungai yang
dimafaatkan oleh warga muslim pancasila dengan sajian peribadatan umat hindu dan
kesewenangan pihak pengelola pura yang menutup dan mengecor sumber mata air dengan
beton. Hal ini membuat warga Dusun Pancasila tak lagi bisa memanfaatkan mata air tersebut
untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Warga muslim yang tersinggung dengan sikap semena-
mena warga hindu akhirnya melakukan penyerangan terhadap umat Hindu. Di tengah-tengah
masyarakat Dompu dan Bima pun beredar kabar yang mengatakan bahwa Pura Tambora akan
dibangun menjadi Pura terbesar di Asia. Lebih lanjut, pura itu akan dijadikan salah satu
destinasi wisata dalam rangka Peringatan 2 abad meletusnya G. Tambora di tahun 2015.
Ternyata di beberapa media Bali pun didapati informasi bahwa Pura Agung Tambora
menempati wilayah seluas 12 hektar. Maka pura ini akan menjadi Pura terbesar se-Asia.
Penyematan “pura terbesar se-Asia” menimbulkan kecurigaan dari masyarakat Dompu bahwa
ada maksud tersebunyi dari kaum Hindu untuk membuat Hindu menjadi agama mayoritas di
Dompu.

Menurut analisis kami konflik berkepanjangan ini menimbulkan ketegangan dan


komunikasi yang buruk antar umat beragam di Dusun Tambora Nusa Tenggara Barat. Tak
dapat dipungkiri kehidupan masyarakat desa Oi Bura yang cenderung berkotak-kotak atau
pemisahan lokasi yaitu menempatkan pendatang dari Bali dan beragama Hindu di Kampung
Bali terpisah jauh dari dusun lain telah memicu menimbulkan jarak sosial anatar umat
beragama. Dimana warga pemeluk Islam sebagai mayoritas disana tidak dapat
berkomunikasi secara intensif dengan kelompok minoritas Hindu. Penghuni kampung Bali
pun tidak heran jika enggan menjalin komunikasi dengan mereka. Selain karena jarak sosial
juga disebabkan oleh predikat pendatang yang melekat pada diri mereka. Jarak ini
mengakibatkan interaksi menjadi terbatas yaitu hanya dalam lingkup ssesama agama.

Kemudian jarak sosial semakin meruncing karena adanya upaya pemugaran pura dan
kekhawatiran warga desa pancasila bahwa rembesan air sisa pembersihan sesajen mengalir
masuk ke sungai mencemari kesucian air sungai yang di manfaatkan warga desa pancasila
untuk keperluan sehari-hari bahkan untuk berwudhu. Akibat muncul kedua kasus tersebut
keengganan umat agama hindu untuk membuka diri, berbaur, dan berinteraksi dengan warga
lainnya berbeda agama semakin mengeras. Partisipasi kelompok Hindu dalam berbagai
kegiatan di tingkat desa nyaris tidak terjadi.

Kondisi ini menyadarkan sejumlah pihak ada sesuatu yang salah dalam konteks relasi
umat Hindu dan Muslim di Oi Bura. Ketidak inginan praktik deskriminasi agama berjalan
terus menerus dan semakin membesar, maka kami setuju bahwa inklusi sosial menjadi kata
kunci yang diperlukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Seperti kitaketahui akhirnya
warga dusun Tambora merespon konflik ini dengan membangun sekolah kepemimpinan
sebagai bentuk pencegahan konflik berbasis masyarakat. Aparat desa, tokoh agama, tokoh
masyarakat, perwakilan disabilitas, dan kader perempuan berdiskusi untuk mennetukan
indikator desa inklusi. Berbagai pihak berbaur dan berdialog bersama sebagai langkah awal
mewujudkan desa tanpa deskriminasi. Interaksi sosial dalam wadah sekolah kepemimpinan
ada demi mewujudkan kerukunan umat beragama.

Inklusi sosial secara sederhana merupakan sebuah kondisi yang mencerminkan tidak
adanya pembatasan akses seseorang maupun kelompok terhadap sumber daya, informasi,
pelayanan, dan lain-lain termasuk keleluasaan bekeyakinan beragama. Konsep inklusi sosial
dapat mencakup toleransi dan pluralisme. Langkah awal yang dilakukan dengan adanya
sekolah kepemimpinan untuk mempertemukan kelompok-kelompok yang selama ini tepisah
dan berhadapan saling curiga. Kegiatan ini diikuti lima belas orang pemuda belajar tentang
pengelolaan pariwisata agar dapat menjadi pengelola dan menjadi pemandu wisata
profesionl.

Langkah berikutnya yang sangat baik diambil oleh program peduli adalah
menjadikan pemuda kader desa Oi Bura Tambora sebagai barisan paling depan untuk
menjaga desa mereka. Maka diadakanlah pelatihan teknik pencegahan dan mediasi konflik
bagi pemuda—pemuda kader perdamaian dari desa Oi Bura dan desa Pancasila. Pelatihan ini
dimaksudkan agar membina pemuda kedua desa memiliki kempuan dalam pembentukan
komunitas pemuda pro-perdamaian yang bertugas mneyuarakan perdamaian sosial. Mereka
juga diharapkan dapat menjadi kelompok yang dapat mencegah dan mediasi mkonflik.

Inklusi sosial juga dilakukan melaui pendekatan budaya dan mengadakan Festival
Budaya Lereng Tambora. Dalam acara ini masyarakat benar-benar menikmati suasana
kebersamaan, dimana semua kelompok sosial yang ada di desa Oi Bura menampilkan budaya
masing-masing dengan penuh kemeriahan, peragaan busana, tari-tarisan, drama, hingga seni
tradisional seperti Gantao dan priseaan. Dinas pariwisata pun memutuskan
menyelanggarakan kegiatan ini setiap tahun lanatran mampu mengukuhkan persatuan
masyarakat.

Kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak pihak menurut kami perlu terus


dikembangkan. Mengajak orang-orang dari media, pemerintah, akademisi, dan seniman
untuk membicarkan tentang berbagai perubahan yang diidealkan di masa depan.. berbagai
kegitan harus disusun dalam rangka memperkuat kader perdamaian di tingkat desa.
Terbentuknya kader perdamaian yang bersal dari berbagai kelompok etnis yang berbeda
menjadikan pengambilan sikap yang lebih bijaksana, yaitu setiap ada persoalan yang muncul
masyarakat tidak lagi berkotak-kotak untuk mengambil sikap, tetapi mendahulukan
musyawarah bersama guna mencari solusi. Di samping itu, masyarakat menjadi berani
menyuarakan aspirasinya menyangkut permasalahan yang dihadapi.

Pencapaian dengan adanya sekolah kepemimpinan adalah lahirnya kesadaran akan


inkusi sosial di kalangan warga desa. Pihak-pihak mulai menyadari bahwa pencegahan
konflik yang paling efektif diterapkan adalah pendekatan diskursif, dapat dilihat dari setiap
rangkaian pertemuan musyawarah maupun kegiatan kebudayan melibatkan kedua belah
pihak. Seperti kita tahu sebelum ada sekolah kepemimpinan ini biasanya warga berinteraksi
terbatas hanya sesama agama, Hindu ke Hindu dan yang Muslim ke sesama Muslim. Namun
dengan adanya sekolah kepemimpinan warga yang awalnya tidak tahu berinteraksi antar
agama mulRimpu dan Gambus.

Selain itu, sekolah kepemimpinan mampu menghadirkan suasana yang kekeluargaan


seperti yang dialami seorang warga kampung Pancasila yang beraga muslim. Menurutnya
pengalaman berbuka puasa dengan orang-orang yang berbeda agama ternyata membuatnya
tertawa lepas, pecah, dan merasa tidak ada beban. Rasa canggung yang diemban warga
selama ini hilang menjadi kelegaan.

Adapun pesan kami semoga dengan menonton video ini masyarkat beragama di
Indonesia dapat meningkatkan toleransi atanr agama serta meningkatkan kerukunan antar
umat beragama tanpa terprvokasi oleh oknum berkepentingan yang ingin menghancurkan
persatuan Negara Republik Indonesia terlebih mengatasnamakan agama.

Praktik Inklusi sosial yang berhasil diwujudkan warga Tambora Nusa Tenggara Barat
menyadarkan kita bahwa persatuan dapat diwujudkan dengan adanya kepedulian dan
toleransi. Secara sederhana kepedulian dapat kita aplikasikan dalam setiap hari yang kita
lalui. Misalnya, terbuka menghormati dan menghargai semua tindakan orang lain selama
tindakan tersebut sesuai norma masyarakat. Selain menghargai agamanya kita juga harus
menghargai penganutnya sebagai manusia, memanusiakan manusia.

Adanya sekolah kepemimpinan harus mampu meluaskan wawasan warga tentang


keberagaman dan cara membangun desa Tambora menjadi desa yang sejahtera dan
berbahagia. Di dalam keberagaman maka Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia
memiliki peran sebagai perekat persatuan bangsa di bawah panji Bhineka Tunggal Ika.
Pancasila mengandung nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan
yang menjadi landasan kita sebagai warga negara Indonesia mewujudkan inklusi sosial.

Anda mungkin juga menyukai