Tujuan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kuis besar mata kuliah Teori Warna yang
diampu oleh Bapak Tegar Andito, S.Sn, M.Sn
Ditulis oleh :
Patricia Abigail Wijaya
NIM : 331710019
Kain tenun ulap doyo adalah kain khas Suku Dayak Benuaq di Kalimantan. Kain
tersebut berasal dari tumbuhan liar yaitu Doyo (Curliglia latifolia). Pembuatan kain dilakukan
oleh kaum perempuan dari Suku Dayak Benuaq sejak usia muda secara turun temurun. Dalam
pembuatan kain tersebut dulunya semua pewarna yang digunakan alami, tetapi pada masa kini
banyak pengrajin yang menggunakan pewarna buatan untuk mendapat warna yang lebih
bervariasi dan juga atas permintaan pembeli. Dalam makalah ini dibahas proses pembuatan
kain tenun doyo, warna-warna yang dipakai beserta maknanya, motif-motif pada kain, dan
penggunaan kain menurut adat Suku Dayak Benuaq. Selain itu juga akan dijabarkan analisis
hubungan antar warna yang terdapat pada kain. Dari makalah ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang salah satu kebudayaan Indonesia yaitu
kain ulap doyo.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Pengampat atau ikat pingggang. Alat ini biasa juga disebut band
2. Apit atau penjepit, yaitu berfungsi untuk menggulung pangkal tenun. Oleh karena itu,
alat ini biasa juga disebut penggulung kain
6. parasai merua atau bambu tipis selebar 2 cm, berfungsi untuk memisahkan benang
10. tukar atau tangga pijatan kaki, berfungsi sebagai pengencang benang tenun
11. tukar tekuat atau sekoci dari kayu, berfungsi sebagai tempat benang yang akan ditenun
pada benang lungsi (Achmad, et al., 1994/1995:27-28).
Proses pembuatan kain tenun ulap doyo dimulai dari pemetikan daun tumbuhan Doyo.
Dalam sekali pemetikan biasanya diambil 60-100 daun Doyo. Daun yang dipilih adalah
daun yang muda dari varietas doyo temoyo atau pentih. Setelah itu daun-daun tersebut
direndam di dalam air untuk menghancurkan dagingnya. Serat diambil dengan cara dikerik
dengan pisau searah dengan tulang daunnya, pengerikan dilakukan di dalam air. Setelah
proses pengerikan selesai, serat tersebut dibawa pulang ke rumah untuk dijemur dengan
cara digantung hingga benar-benar kering dan siap untuk ditenun (Achmad, et al.,
1994/1995:17-22).
Dalam penyusunan corak dibutuhkan sebuah alat yang disebut ngorak uta. Alat ini
digunakan untuk menyusun dan mengencangkan benang-benang hingga rapi. Itulah
sebabnya proses penyusunan corak ini disebut juga ngorak uta. Proses penyusunan corak
ini memerlukan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 2 sampai 3 minggu agar susunan
benang-benang tersebut dapat lebih rapi.
5. Telegat (mengikat)
Proses pengikatan ini disebut juga telegat karena menggunakan alat yang
bernama telegat. Alat ini berfungsi untuk mengikat dan melipat benang yang tidak kencang
menjadi dua.
5. Nyarau (pewarnaan)
Benang-benang yang sudah jadi kemudian diberi warna, dominan warna yang
digunakan adalah merah, hitam, dan coklat. Pewarna yang digunakan diambil dari tumbuh-
tumbuhan. Warna merah berasal dari buah Glinggam, kayu Uwar, dan batu Lado Warna
coklat berasal dari kayu uwar. Warna hitam berasal dari hasil pembakaran damar serat daun
Kebuau yang sudah tua. Warna hijau berasal dari daun tumbuhan putri malu. Warna kuning
berasal dari umbi kunyit. Pada bidang yang berwarna terang, muncul titik-titik hitam yang
dihasilkan dari pengikatan sebelum dicelup bahan pewarna. Titik-titik hitam inilah yang
menjadi salah satu ciri khas kain tenun doyo karena hampir tak ditemui pada tenun ikat
manapun di daerah lain.
1. Warna Merah
Bahan pewarna merah untuk tenun Doyo terdiri dari tiga macam, batu alam atau batu
Lado, biji buah Glinggam, dan kulit batang pohon Uwar. Batu alam yang diperoleh dari
Sungai Lawa Bentian Besar di daerah Tanjung Isuy ini hanya merupakan alat untuk
memberi warna merah pada tenun. Caranya adalah batu ini digosokkan pada piring putih
dengan sedikit campuran air, kemudian dicoletkan pada benang tenun. Untuk penggunaan
biji buah Glinggam (annatto bixa orellana), diambil yang sudah agak tua. Caranya adalah
beberapa biji buah Glinggam yang telah dicampur dengan air diremas di dalam mangkuk
hingga mengeluarkan cairan berwarna merah kental. Setelah itu, cairan berwarna merah
tersebut dioleskan atau dicoletkan pada benang tenun. Jika menggunakan kulit batang
pohon Uwar caranya adalah kulit pohon dikupas dan dipotong-potong, kemudian ditumbuk
hingga air getahnya keluar, dan selanjutnya direndam selama satu malam hingga airnya
menjadi merah tua. Setelah itu, serat daun doyo direndam dalam air getah kulit luar selama
beberapa jam hingga serat.berwarna merah.
2. Warna Coklat
Warna coklat diperoleh dari akar kayu oter dengan cara diambil getahnya dan
kemudian dioleskan pada benang tenun (Achmad, et.al., 1994/1995: 22-23). Pada masa kini,
para perajin banyak yang menggunakan bahan sepuhan kue sebagai bahan pewarna dan cat
warna rhodamine (I.C.I.) untuk pencelupan benang tenun. Tetapi cat warna yang juga biasa
digunakan sebagai bahan pewarna makanan ini memiliki daya tahan yang sangat rendah
terhadap air.
3. Warna Hitam
Warna hitam diperoleh dari asap hasil pembakaran Damar yang dicampur dengan
cairan pekat. Selain pembakaran damar, bahan pewarna hitam juga dapat diperoleh dari
daun pohon Kebuau yang sudah tua. Serat daun Kebuau tersebut direbus bersama dengan
serat daun Doyo sehingga serat tersebut menjadi berwarna hitam.
4. Warna Hijau
Warna hijau dapat diperoleh dari daun putri malu (aminosa pudica) dengan cara daun
terlebih dahulu dilumatkan, kemudian direbus hingga berwarna hijau kental, dan kemudian
dioleskan pada benang tenun.
5. Warna Kuning
Warna kuning diambil dari umbi kunyit (curcuma longa) dengan cara diparut dan
diberi air sedikit, kemudian diperas hingga mengeluarkan cairan berwarna kuning kental,
dan selanjutnya dioleskan pada benang tenun.
Warna biru tidak bisa didapatkan secara natural. Hal ini dikarenakan cuaca Kutai
Barat yang panas dan tanah yang kurang subur sehingga tanaman indigo tidak bisa tumbuh.
Ada beberapa alternatif bahan pewarna agar mendapat warna yang lebih terang atau
gelap, yaitu:
1. Tawas: memberikan warna lebih muda
2. Kapur: memberikan warna sedikit lebih muda
3. Tunjung: memberikan warna lebih gelap
Pada jaman dahulu Suku Dayak hanya mengenal lima warna yang disebut dengan 5 Ba,
yaitu; Bahenda, Bahandang, Bahijau, Baputi, Babilem ,berikut penjelasan warna-warna
tersebut beserta artinya:
Bahenda
Bahenda adalah warna kuning, menurut Suku Dayak mengandung makna kebesaran Hatalla
(Tuhan) dan tidak ada yang bisa melebihi kekuasaannya, melambangkan kekayaan (emas),
keluhuran, dan keagungan
Bahandang
Bahandang adalah warna merah, artinya sesuatu yang abadi yang tidak pernah luntur atau
berubah. Diilhami oleh batu merah.
Bahijau
Bahijau adalah warna hijau, memiliki makna kesuburan, dan rejeki yang limpah ruah,
kehidupan, perdamaian dan pembangunan. Diilhami oleh warna tanaman yang ada di
lingkungan mereka.
Baputi
Babilem
Babilem adalah warna hitam, mengandung makna, roh jahat bisa juga roh baik, kuasa
kegelapan, kesungguhan, bisa juga sebagai penangkis bahaya atau celaka.
Menurut Achmad, et al., penggunaan motif atau ragam hias pada tenun doyo tidak saja
mengandung nilai-nilai estetika yang mengagumkan, tetapi juga mengandung nilai-nilai
fungsional yang bersifat rohaniah (Achmad, et al., 1994/1995:35). Begitu pula penggunaan
warna-warna tertentu pada tenun ini juga memiliki arti simbolik. Misalnya, warna hitam
pada laukng (destar) dan tapeh (sarung atau kain panjang) menandakan bahwa pemeliaten atau
pemakainya memiliki pengetahuan dan kemampuan menolak sihir hitam. Jika pada warna
hitam itu terdapat garis-garis putih, maka hal itu menandakan bahwa pemakainya dapat
mengobati segala bentuk sihir dan berbagai macam penyakit (Mohd. Noor, et al., 1990: 134-
135).
Berikut ini merupakan beberapa motif kain ulap doyo yang umum digunakan:
1. Motif udo/orang
2. Motif udoq/patung
Motif ini menceritakan tentang berladang. Udoq berfungsi di ladang untuk menjaga
ladang dari hewan-hewan pengganggu. Selain itu, udoq juga merupakan salah satu budaya
dari suku Dayak yang sangat penting sehingga menginspirasi para perajin untuk
membuatnya menjadi salah satu motif tenun doyo.
3. Motif kinas/ikan
Motif kinas atau ikan, memilik makna sebagai suatu pertanda atau peringatan yang berupa
nasehat dari leluhur kepada generasi penerusnya.
4. Motif limar/perahu
Motif limar atau perahu, merupakan lambing dari kerja sama dalam usaha. Perahu dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak Benuaq merupakan alat transportasi yang
digunakan di sungai dan di danau.
5. Motif beleq/kadal
Para pengrajin kain ulap doyo sering mengambil motif dari flora fauna disekitar dan kadal
kemungkinan adalah salah satunya.
1. Upacara Adat
Jenis pakaian dari tenun doya yang biasa dikenakan kaum laki-laki dalam upacara adat
adalah kesapung, sapai, dan belet begamai (cancut). Jenis pakaian dari tenun doyo yang
dipakai oleh kaum perempuan adalah sapai atau sape (baju), dan ketau atau tapeh (sarung,
kain) yang biasanya dilengkapi dengan hiasan tambahan (Achmad, et al., 1994/1995:13).
2. Tari-tarian Adat
Jenis tenun doyo yang dikenakan kaum laki-laki adalah kesapung (topi), sapai atau
sape (baju), dan belet begamai. Jenis tenun doyo yang dikenakan para penari perempuan
adalah sapai atau sape, dan ketau atau tapeh (Achmad, et al., 1994/1995:14).
3. Sehari-hari
Jenis pakaian sehari-hari yang biasa dipakai kaum laki-laki adalah sapai
sonaaq (baju), belet betaaq (cancut atau cawat), dan kesapung (topi). Jenis pakaian sehari-hari
untuk kaum perempuan adalah sapai (baju) leher bundar, ketau atau tapeh, dan seraung (tutup
kepala) (Achmad, et al., 1994/1995:14).
BAB III
ANALISIS
Berikut ini merupakan analisis teknis warna dari warna-warna alami yang umunya digunakan
pada kain tenun ulap doyo:
1. Warna merah
Hue: Merah
Value: Tengah
Saturation: Kusam
3. Warna Hitam
Value: Bawah
Saturation: Tidak ada
4. Warna Putih
5. Warna Hijau
Hue: Hijau
Hue: Kuning
Value: Tengah
Berikut ini merupakan analisis hubungan antar warna yang dgunakan pada kain:
1. Merah-coklat
Value: Harmonis
2. Merah-hitam:
Value: Kontras
3. Merah-putih
Value: Harmonis
5. Merah-kuning:
6. Coklat-hitam
7. Coklat-putih
8. Coklat-hijau
9. Coklat-kuning
Value: Harmonis
10. Hitam-putih
12. Hitam-kuning
13. Putih-hijau:
14. Putih-kuning
Hue: Harmonis
15. Hijau-kuning
Kain tenun ulap doyo merupakan salah satu budaya Indonesia yang berasal dari
Kalimantan. Kain tersebut dibuat dari tumbuhan liar yaitu Doyo. Proses pembuatannya dimulai
dari pemetikan daun Doyo hingga penenunan dan pewarnaan. Warna-warna yang dipakai
untuk kain ulap doyo adalah merah, coklat, hitam, putih, hijau, dan kuning. Masing-masing
warna dulunya dibuat dengan bahan-bahan alam yang berbeda, tetapi seiring dengan
berjalannya waktu para pengrajin mulai menggunakan pewarna sintetis pada kain. Motif pada
kain Doyo bermacam-macam, umumnya berupa flora dan fauna yang berada di Desa Tanjung
Isuy dan memiliki arti tersendiri. Dalam makalah ini, penulis menganalisa teknis warna-warna
yang dipakai pada kain serta hubungan antar warnanya.
DAFTAR PUSTAKA
Qibtiyah, Mariyatul. 2015, Studi Tentang Kain Tenun Ikat Ulap Doyo Khas Kutai
Kartanegara. Diakses tanggal 2 Mei 2018, http://karya-
ilmiah.um.ac.id/index.php/TIBusana/article/view/39622#
Sari, Irma Indah. 2016, BUNGA ANGGREK HITAM SEBAGAI IDE PENCIPTAAN KARYA
BATIK PADA KAIN TENUN ULAP DOYO, diakses tanggal 2 Mei 2018,
http://digilib.isi.ac.id/1741/
Syabana, Dana Kurnia dkk. 2013, APLIKASI ZAT WARNA ALAM PADA TENUNAN SERAT
DOYO UNTUK PRODUK KERAJINAN, diakses tanggal 2 Mei 2018,
http://ejournal.kemenperin.go.id/dkb/article/view/951/814
Samsuni. 2010, Tenun Doyo: Kain Tradisional Suku Dayak Benuaq, Kalimantan Timur,
diakses tanggal 2 Mei 2018, http://m.melayuonline.com/ind/culture/dig/2595/tenun-doyo-
kain-tradisional-suku-dayak-benuaq-kalimantan-timur
ANTV, TOPIK. 2014, [ANTV] TOPIK Tenun Dayak, Ulap Doyo Tenun Ikat Dari Tanaman,
diakses tanggal 2 Mei 2018, https://www.youtube.com/watch?v=8GFrsBrFgew
Mohd., Noor., et al. 1990. Pakaian adat tradisional daerah Kalimantan Timur. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Proyek Investasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya. Kutai
Usman Achmad, et al. 1994/1995. Tenun doyo daerah Kalimantan Timur. CV. Krisna Agung
bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Provinsi
Kalimantan Timur, Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Kalimantan Timur. Kutai
Purbasari, Mita., & Rahardja, Anita. 2018, WARNA TENUN DOYO SEBAGAI EXPRESI
MASYARAKATNYA (TANJUNG ISUY - KUTAI BARAT), diakses tanggal 1 Juni 2018,
http://trijurnal.lemlit.trisakti.ac.id/index.php/dimensi/article/view/2864